1
BAB I PENDAHULUAN I.1.
Latar Belakang Persoalan pemanasan global dan perubahan iklim menumbuhkan
kepentingan
yang
sama
di
antara
sebagian
besar
negara-negara
di
dunia. Keseriusan negara-negara yang tergabung dalam PBB terbukti dalam kesuksesan penyelenggaraan UN Climate Summit pada 23 September 2014 lalu. Pertemuan tingkat tinggi ini menyemangati agar usaha untuk menekan pemanasan global dilakukan serentak di seluruh dunia. Salah satu negara yang diminta untuk melakukan usaha yang sama besarnya adalah Amerika Serikat. Dalam pertemuan yang sama, Presiden Barrack Obama dalam pidatonya menyampaikan perlu langkah serius untuk menekan laju pemanasan global (White House, 2014). Perang terhadap pemanasan global menuai tantangan. Sejumlah negara berbasis manufaktur dan industri berat enggan untuk terlibat aktif dalam usaha menekan laju pemanasan global (Biermann & Brohm, 2005). Tindakan untuk menekan pemanasan global dianggap merugikan sektor industri berat dan manufaktur yang selama ini menjadi urat nadi perekonomian suatu negara. Jika industri dan manufaktur tertekan, maka perekonomian suatu negara menjadi taruhannya. Hal ini yang menjadi kontroversi seputar komitmen Amerika Serikat terhadap usaha menekan laju pemanasan global. Meskipun Amerika Serikat menjadi terdepan dalam segala konferensi antipemanasan global, Amerika Serikat selalu menjadi yang terbelakang dalam hal komitmen dan ratifikasi (Zeller, 2009).
2
Pada hakikatnya, ada solusi strategis untuk menjembatani tantangan tersebut (Brewer, 2003, p. 329) (Brack et al., 2000; Buck dan Verheyen, 2001; Assuncao dan Zhang, 2002; Petsonk, 1999; dan Zhang, 1998). Panel Surya dapat menjadi alternatif untuk menekan laju pemanasan global. Panel Surya menjanjikan sumber energi yang berkelanjutan. Sumber yang berkelanjutan artinya sumber energi baru dan terbarukan sekaligus tidak terbatas dan ramah lingkungan (Scheer, 2005). Kontroversi seputar pemanasan global dan masa depan industri berat dan manufaktur dapat diatasi jika panel surya tersedia dalam harga yang ekonomis dan terjangkau (Scheer, 2005). Negara dapat melanjutkan berbagai kebijakan ramah lingkungan dan berkelanjutan guna menekan laju pemanasan global. Industri memiliki ruang untuk tetap berkembang dengan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil (Brewer, 2003). Setiap individu rumah tangga dapat menekan konsumsi listrik rumah tangga dengan beralih menggunakan panel surya. Persoalannya, promosi energi alternatif yang ramah lingkungan ini menghadapi tekanan. Studi kasus sengketa perdagangan antara Amerika Serikat dan China terkait modul panel surya pada tahun 2012 – 2014 menawarkan sudut pandang baru untuk memahami beragam tekanan tersebut. Tantangan terbesar yang terletak pada komitmen negara untuk menjamin akses panel surya dengan harga yang ekonomis dan terjangkau. Amerika Serikat menerapkan aturan baru dengan meningkatkan tarif. AS menerapkan biaya antidumping dan bea imbalan terhadap seluruh produk panel surya yang diimpor dari China. Akibatnya harga panel surya berpotensi melejit hingga 14% (Wang, 2014). Tidak hanya itu,
3
kebijakan ini dikhawatirkan akan menimbulkan sejumlah kerugian daripada keuntungan bagi dua negara China dan Amerika Serikat (Clifford, 2014) (Runyon, 2014) (Clover, 2014). Tulisan ini mencoba meluruskan asumsi yang kurang tepat bahwa tidak selamanya teknologi ramah lingkungan merupakan barang mewah. Pemikiran kritis yang muncul adalah negara dapat menjalankan komitmen dalam menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim dengan memungkinkan panel surya terjangkau bagi konsumen akhir khususnya konsumen sektor rumah tangga dengan harga se-ekonomis mungkin mengingat gaya hidup masyarakat yang saat ini beralih ke gaya hidup yang lebih hijau (Mega, 2005) (Scheer, 2013). I.2.
Rumusan Masalah Penelitian ini ingin memberi pengetahuan bahwa di tengah-tengah
komitmen negara untuk menekan laju pemanasan global, negara justru menjadi batu sandungan utama. Dalam hal ini, Amerika Serikat mengenakan hambatan tarif yang tinggi terhadap produk panel surya yang dapat menekan penggunaan energi konvensional. Adapun pertanyaan penelitian ini adalah mengapa Amerika Serikat sebagai negara yang terdepan dalam usaha menekan laju pemanasan global justru mengenakan hambatan tarif yang tinggi terhadap produk panel surya tersebut? I.3.
Tinjauan Pustaka Kajian seputar politik inkonsistensi masih cukup terbatas. Politik
inkonsistensi dikenali dengan mudah dari perubahan tingkah laku dari pendirian politik seseorang atau kelompok tertentu. Dalam hubungan internasional, politik
4
inkonsistensi sangat lekat dengan negara. Negara seringkali melakukan suatu kebijakan yang bertentangan dari yang semula dikatakan. Sebagai suatu strategi, inkonsistensi dilakukan guna mencapai hasil maksimal. Strategi inkonsistensi memungkinkan AS untuk mengalihkan isu hambatan tarif ke ranah domestik dan membuat inkonsistensi lahir dari kondisi alami struktur pasar yang memicu pertarungan kepentingan-kepentingan serta kultur politik yang bersifat khusus seperti model otoritas terkoordinasi, pergeseran kebijakan, keterwakilan rendah di parlemen, serta perhatian rendah warga AS akan perubahan iklim mempengaruhi agenda kebijakan AS. I.3.1.
Politik Inkonsistensi Kajian seputar politik inkonsistensi lebih mudah ditemukan dalam studi
psikologi dan sosiologi dalam topik status inconsistency dan time inconsistency. Literatur
yang
memuat
politik
inkonsistensi
dalam
konteks
hubungan
internasional nyatanya masih cukup terbatas. Politik inkonsistensi pertama kali dibahas dalam tulisan berjudul “Political Inconsistency” di tahun 1926 (Anon., 1926). Tulisan tersebut merekam politik inkonsistensi sebagai wujud perubahan tingkah laku dari pendirian politik seseorang – umumnya politisi. Garnett (2007) juga mengakui pada hakikatnya konsep politik inkonsistensi sangat melekat pada politisi dan setiap tindakannya. Donald E Blake (1982) mencontohkan salah satu persoalan inkonsistensi politik simpatisan partai yang mempraktikkan dual loyalities (Blake, 1982). Selanjutnya di tahun 2014, wacana politik inkonsistensi digaungkan oleh John Acceturo yang mengartikan inkonsistensi dalam politik
5
dengan kondisi dimana banyak orang mengatakan suatu hal lalu mereka melakukan hal lain (Acceturo, 2014). Inkonsistensi juga pernah disebut dalam suatu literatur hubungan internasional. Dalam ranah hubungan internasional, inkonsistensi dapat menjadi perangkat strategi untuk mencapai kepentingan yang lebih diuntungkan dari kesepakatan sebelumnya. Stretegi inkonsistensi menurut Raustiala dan Victor (2004) ialah negara sengaja beralih pada aturan yang bertentangan dengan regime yang ada dengan tujuan mengurangi dampak aturan regime tersebutdalam kesepakatan yang berbeda (Raustiala dan Victor, 2004: 301). Hal ini menegaskan bahwa terdapat kondisi yang memungkinkan bagi suatu negara untuk secara sadar inkonsisten dengan kesepakatan awal sehingga beralih untuk mencapai kesepakatan yang lain (Alter, 2008: 12). Dalam ranah pengembangan energi terbarukan khususnya energi surya, Elliot (2013) menilai pemerintah AS cenderung inkonsisten. Inkonsistensi ini menurutnya akibat absennya kebijakan energi terbarukan hingga saat ini. Mirjan R Damaska (1989) mencatat penyebab absennya kebijakan energi terbarukan ialah adanya model otoritas terkoordinasi yang terdesentralisasi ke 50 negara bagian dengan regulasi masing-masing yang independen dari pemerintah pusat. Hal senada juga ditulis Nankyung Choi (2011) yang mempelajari perjalanan meraih kekuasaan dalam politik lokal Indonesia. Menurut Choi, inkonsistensi dalam politik di Indonesia disebabkan pemerintah menarik kekuasaan yang tadinya diberikan ke pemerintah daerah dan ambiguitas hubungan antarwewenang.
6
Dengan kata lain, Choi menyiratkan inkonsistensi dapat berasal dari kurangnya koordinasi antar intitusi terkait misalnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah. David Brooks (Brooks, 2011) meyakini juga adanya pemisahan wewenang dalam politik AS turut menyumbang absennya kebijakan tersebut. Sedangkan National Academy of Science (NAS) (2009) berpendapat penyebabnya ialah lemahnya kebijakan pendukung yang diperlukan. NAS menyiratkan terdapat pergeseran kebijakan dari pemerintahan satu ke pemerintahan lain dalam sejarah pengembangan energi terbarukan yang sulit diabaikan. Pemerintahan yang demikian membuat suatu kebijakan seolah datang dan pergi begitu saja (Lehner, 2013). Lain halnya dengan Andrew Dobson. Ia menyebut penyebab absennya agenda yang dimaksud Elliot ialah karena rendahnya perwakilan di parlemen yang disebabkan rendahnya konstituen di tingkat bawah. Akibatnya, konstituen pro energi terbarukan tidak memiliki wadah suara signifikan di hadapan isu-isu yang lebih populer (Dobson, 2011). Sedangkan kolumnis di New York Times menangkap adanya kelompok kepentingan yang pro energi konvensional berperan dalam menghambat perjalanan agenda kebijakan energi terbarukan (Rosenthal, 2010). Menurutnya hal itu tidak lepas dari ideologi pasar bebas yang dipadati oleh kelompok kepentingan energi konvensional. Industri cenderung menyukai energi konvensional karena dianggap lebih terjangkau. Sebagai tambahan, Ka Zeng (2014) menilai kebijakan energi terbarukan AS tidak konsisten mendukung pengembangan energi terbarukan. Ka Zeng menyebut adanya peran pasar yang strukturnya berubah menyumbang terhadap
7
inkonsistensi tersebut. Dalam studinya, Ka Zeng mengulas adanya inkonsistensi di AS. Ka Zeng (2014) menilai AS tidak cukup konsisten untuk dapat terus menerus mendapat konsesi dari negara lain, utamanya dalam kasus energi terbarukan dengan negara partner China. Inkonsistensi tersebut berasal dari kepentingan domestik yang turut menentukan tingkat posisi tawar AS. Jika kepentingan domestik yang bersumber pada struktur pasar domestik memiliki suara bulat (unipolar atau konvergen), maka kemungkinan posisi tawar AS untuk memperoleh konsesi dari negara lain semakin besar. Sebaliknya jika kepentingan domestik terpolarisasi atau divergen, maka AS sulit untuk mendapatkan konsesi yang diinginkan dari negara lain. Konsekuensinya, divergensi kepentingan domestik justru akan menekan arah kebijakan AS. Divergensi kepentingan domestik sangat rawan menimbulkan pertarungan kelompok-kelompok yang berkepentingan sehingga mengurangi posisi tawar AS terhadap negara lain. Ia juga tidak mengabaikan bahwa internasional juga turut berperan menekan posisi tawar AS di meja perundingan. Ka Zeng (2014) yang menggunakan pendekatan two-level game Robert Putnam menambahkan kepentingan domestik dan internasional bersama-sama dapat saling tumpang tindih menyebabkan distorsi kebijakan. Menurut Robert Putnam, negara dapat menglihkan isunya baik ke ranah internasional maupun domestik yang dinilai dapat paling menguntungkan. Strategi ini yang disebut oleh Raustiala dan Victor (2004) sebagai strategi inkonsistensi.
8
I.3.2.
Strategi Inkonsistensi Divergensi kepentingan domestik dan internasional sangat rawan
menimbulkan pertarungan kelompok-kelompok yang berkepentingan sehingga mengurangi posisi tawar AS terhadap negara lain. Menurut Robert Putnam posisi tawar suatu negara di meja perundingan sangat dipengaruhi oleh kontribusi domestik dan internasional. Menggunakan pendekatan two-level game Robert Putnam menambahkan kepentingan domestik dan internasional bersama-sama dapat saling tumpang tindih menyebabkan distorsi kebijakan. Selain itu, negara dapat menglihkan isunya baik ke ranah internasional maupun domestik yang dinilai dapat paling menguntungkan. Kondisi ini membuka celah negara untuk mempraktikan strategi inkonsistensi. Strategi inkonsistensi pertama kali digaungkan oleh Raustiala dan Victor (2004) yang menulis tentang “The Regime Complex on Plant Genetic Resources”. Raustiala dan Victor menilai banyaknya institusi internasional menyumbang kompleksitas pada regime regime yang ada. Regime dapat saling tumpang tindih dan membuka peluang bagi negara untuk memanfaatkan cela yang ada guna mendapatkan hasil maksimal dari suatu kesepakatan. Sebagian besar kasus dalam strategi inkonsistensi terdapat pada upaya negara untuk sengaja inkonsisten dalam memahami aturan suatu regime. Bentuk kesengajaan ini adalah dengan menggunakan aturan suatu regime dalam regime yang lain untuk mendapatkan kesepakatan yang berbeda. Inkonsistensi sebagai strategi memungkinkan negara untuk menghindari tuntutan mengharmonisasikan aturan dan mengijinkan kesepakatan dibawa ke ranah domestik.
9
I.3.3.
Panel Surya Sebagai Daya Tarik di sektor Energi Berkelanjutan Energi berperan penting bagi kelangsungan hidup makhluk dan organisme
yang hidup di bumi. Jatuh bangunnya suatu peradaban bergantung pada ketersediaan energi. Bahkan Voula Mega menekankan pada peran penting masyarakat dalam menyukseskan pembangunan berkelanjutan (Mega, 2005). Energi telah menjadi bagian integral dalam setiap kegiatan manusia seperti transportasi, industri, bahkan perdagangan. Tidak hanya minyak dan batu bara yang menjadi komoditas perdagangan utama negara-negara di dunia utamanya negara berkembang, saat ini kelompok negara maju utamanya Jerman dan Jepang serta negara kekuatan ekonomi baru (emerging markets) seperti China, Korea Selatan, Taiwan-China, mengembangkan panel surya sebagai komoditas perdagangan yang potensial karena memiliki nilai tambah yang tinggi. Banyak pengamat dan ahli di bidang sumber energi terbarukan dan lembaga think tank mendukung penggunaan panel surya sebagai energi alternatif yang
berkelanjutan
sebagai
sumber
energi
di
masa
depan (Shahan,
2013) (Whitburn, 2014) (Scheer, 2005). Penelitian untuk mengeksplorasi potensi merumuskan kebijakan di sektor energi telah dilakukan sejak tahun 1990. Penelitian ini kemudian disegarkan kembali oleh Gerrit Schaeffer (2010) di tahun 2004 yang diterapkan untuk mempelajari kecenderungan harga panel surya yang terus turun (Schaeffer, et al., 2004). Hal ini yang menjadi salah satu argumen Richard M Swanson untuk mendukung bahwa panel surya menjadi pusat perhatian karena harganya yang semakin turun (Swanson, 2006). Bahkan menurut riset oleh Greentech Media (Wesoff, 2013) dan IEA (IEA, 2014), tren ini masih
10
berlangsung hingga tahun 2013. Setidaknya harga panel surya telah turun menjadi sepertiga kali sejak tahun 1992 hingga 2012 dari $6.00 menjadi $2.00. Penelitian terbaru oleh Michael Liebreich (2015) dan McConnell (2013) menyebut ada indikasi bahwa pada umumnya pelanggan menggunakan harga lama untuk menentukan biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli panel surya tanpa menyadari bahwa harga solar saat ini telah turun drastis dari 2 hingga 100 kali lipat. Akibatnya, ketika pelanggan memiliki informasi harga terbaru panel surya di saat bersamaan perubahan gaya hidup ke arah yang lebih ramah lingkungan, menyebabkan lonjakan permintaan panel surya di AS sejak tahun 2009. Fenomena ini ditangkap oleh Swanson yang melakukan studi tren penurunan harga panel surya yang dinamakan “Swanson Effect” dan menghasilkan “Swanson Law”. Swanson Law berisi harga panel surya cenderung turun sebesar 20 persen pada setiap dua kali lipat volume kumulatif yang dihasilkan (Carr, 2012) (Swanson, 2006, pp. 443-453). Hasil penelitian ini mengungkap harga panel surya turun drastis dari tahun $76,67/ watt di tahun 1977 menjadi sekitar $0.74/watt di tahun 2013 (McConnell, 2013) (Liebreich, 2015) (Swanson, 2006). Di sisi lain, Pekka Tiitinen menyatakan panel surya menarik perhatian sejak instalasi panel PV meningkat empat kali lipat sejak tahun 2009 menjadi 100 gigawatts (GW), yang setara dengan jumlah energi diperlukan untuk menerangi 30 juta rumah di kawasan Eropa (Tiitinen, 2014). Panel surya menjadi pilihan paling menarik untuk mengembangkan energi terbarukan. Hal ini didorong oleh kecenderungan harga panel surya yang terus menurun dari tahun ke tahun (Swanson, 2014) (Tiitinen, 2014) (Wesoff, 2013).
11
Disamping itu, tingkat instalasi (pemasangan) panel surya untuk berbagai sektor (utilitas, rumah tangga, dan non-rumah tangga) terus menunjukkan tren peningkatan. Kendati banyak pengamat yang menangkap potensi panel surya sebagai sumber energi yang tidak terbatas (Scheer, 2005) (Mega, 2005) (Whitburn, 2014), banyak
yang
menyangsikan
kemampuan
sumber
energi
ini.
Benny
Peiser menyatakan kendati riset dan pengembangan (R&D) di sektor panel surya telah dilakukan selama 30 tahun, energi surya belum berhasil mengatasi persoalan yang ada bahkan teknologi ini terbukti tidak ekonomis untuk dikembangkan di masa mendatang. Dalam laporan yang dikeluarkan U.S. Department of Energy dalam Laporan Renewable Energy Data Book 2013, menyebutkan panel surya hanya menyumbang 0,5 % sumber daya energi AS setiap tahunnya (U.S. Department of Energy, 2013). Sedangkan secara global, panel surya bersamaan dengan sumber energi terbarukan lainnya hanya mampu menyumbang 13,5 % sumber energi global, jauh dari pemanfaatan sumber energi konvensional yang mencapai 80% (Tiwari & Mishra, 2011). Hal ini dinilai cukup rendah dibandingkan pembangkit listrik tenaga air yang menyumbang 6,6 sumber energi listrik AS setiap tahunnya (U.S. Department of Energy, 2013). Namun, penelitian yang dilakukan oleh Liebreich (2015) yang dipublikasikan dalam Bloomberg New Energy Finance mengungkap bahwa investasi panel surya sepanjang tahun 20042014 justru menyita porsi tertinggi dan terus bertambah daripada sumber energi angin, pembangkit tenaga listrik serta sumber energi bersih lainnya.
12
Sumber: (Liebreich, 2015) Adapun peningkatan ini dikarenakan, (1) permintaan akan panel surya sendiri terus menunjukkan tren positif utamanya di negara yang sedang berkembang (U.S. Solar Market Insight, 2013), (2) kecenderungan untuk memelihara sumber dan atau cadangan energi tradisional (konvensional) untuk keperluan ekspor, (3) visi untuk menuju kemandirian energi semakin besar (Foster, et al., 2010), (4) usaha untuk memperluas akses ketersediaan listrik (Foster, et al., 2010, p. 2), dan (5) pemasangan panel surya melibatkan arus rantai suplai terpendek dibandingkan energi listrik bersumber dari batu bara dan minyak bumi – sehingga jika dibandingkan dengan instalasi listrik konvensional, instalasi panel surya lebih ekonomis (Scheer, 2005). I.3.4.
Perjalanan Kebijakan Energy Surya AS terkait Panel Surya Perjalanan kebijakan energi panel surya AS tidak melalui jalan yang
mulus. Hal ini dapat dilihat melalui kendala menurut Strum dan Strum (1983) yang dapat digolongkan menjadi tiga yakni (1) politik energi, (2) sektor pekerjaan
13
umum swasta atau utilities, dan kebijakan internal institusi energi AS yang menghambat kemajuan panel surya di AS. Mempelajari sejarah kebijakan energi panel surya membantu mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam merumuskan kebijakan energi AS terkait sumber energi terbarukan, khususnya panel surya. Pertama, politik energi di AS. Kebijakan energi panel surya AS memiliki sejarah panjang sejak 1952. Presiden Harry Truman saat itu tertarik untuk mencari sumber energi yang ekonomis dan ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengembangan energi saat itu adalah panel surya. Untuk itu Presiden Harry Truman membentuk komisi kebijakan materi (Material Policy Commission) yang bekerja menyusun rekomendasi kebijakan terkait panel surya. Akan tetapi karena pandangan ini datang bersamaan dengan penemuan kilang minyak besar-besaran di Timur Tengah dan keyakinan untuk mengembangkan energi nuklir di masa depan, rekomendasi dari komisi ini diabaikan. Sejak saat itu, tidak ada upaya lebih jauh untuk mempelajari potensi sumber energi terbaru apalagi memulai pengembangan energi surya. Upaya ini kemudian mendapat penyegaran di era Presiden Nixon sebagai reaksi embargo minyak oleh produsen Arab di tahun 1973 (Strum & Strum, 1983). Usul Nixon kemudian ditindaklanjuti oleh Kongres yang membentuk ERDA (Energy Research and Development Administration) di tahun 1974 (Buck, 1982) (General Services Administration, 1976, p. 1258) (Garetz, 2011) (Sandalow,
2008).
ERDA
berfungsi
sebagai
agen
nasional
yang
mengkonsolidasikan upaya pengembangan sumber energi yang masih terkotak-
14
kotak di sejumlah negara bagian (Buck, 1982). Di tahun 1978, pelobi yang mendukung pengembangan energi surya berhasil meruntuhkan resistensi pemerintah federal. Hasilnya, Presiden berikutnya, Jimmy Carter, setuju untuk mengkaji ulang pengembangan energi matahari. Di tahun 1979, Solar Energy Policy Committee dibentuk. Presiden
Jimmy
Carter
juga
memerintahkan
untuk
percepatan
pengembangan energi surya dan mendirikan Solar Energy Development Bank yang disinyalir menelan dana sebesar $100 juta (Buck, 1982) (Carter, 1977). Batu loncatan pertama di sektor ini adalah, Presiden Jimmy Carter membangun 32 panel yang didesain untuk menangkap sinar Matahari dan menggunakannya untuk memanaskan air (Biello, 2010). Sampai tahun 1982, kebijakan energi surya di AS bergeser orientasi untuk mengembangkan energi nuklir (Strum & Strum, 1983). Puncaknya di era Presiden Reagan, di tahun 1986 menghapus anggaran riset dan pengembangan untuk energi terbarukan dan mencabut keringanan pajak untuk mengembangkan turbin angin serta teknologi terkait panel surya demi ketergantungan atas energi murah tapi penuh polusi yakni bahan bakar fosil (Biello, 2010). Reagan juga memperluas usahanya dengan diam-diam menghapus White House Solar Panels Installations. Kedua, di sektor pekerjaan umum. Perusahaan yang bergerak di bidang pekerjaan umum (PU) atau utilitas memainkan peran penting dalam keputusan untuk konsentrasi pengembangan sistem pembangkit listrik pusat di AS. Melalui fasilitas penelitiannya, yakni Electric Power Research Institute, sektor pekerjaan umum swasta mendukung sistem pembangkit listrik pusat. Mereka menganggap
15
pembangunan menara surya menjamin kontrol pasokan energi surya dan memelihara ketergantungan konsumen pada sumber daya utama untuk seluruh kebutuhan listriknya. Sektor pekerjaan umum menolak sistem pembangkit listrik desentralisasi karena dikhawatirkan akan mengurangi ketergantungan konsumen terhadap fasilitas yang diberikan (Strum & Strum, 1983, p. 141). Ketiga, carut marut politik energi dalam negeri AS. Carut marut politik energi dalam negeri AS termanifestasi secara internal dalam badan energi nasional AS yakni ERDA (Energy Research and Development Administration). Ada suatu kebijakan yang dinilai agresif yakni ketika ERDA mencanangkan pengembangan sekuensial agresif. Kebijakan ini menempatkan pengembangan energi surya sebagai prioritas dalam setiap subprogram yang dimiliki. Karena kritik dari agen energi yang lebih tinggi dan pemotongan anggaran oleh Kantor Urusan Tata Kelola dan Anggaran (Office of Management and Budget), maka pengembangan subprogram termasuk pengembangan panel surya di dalamnya dieliminasi. Banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai pengamat. Para pengamat, salah satunya Allen Hammond dan William Metz menilai ERDA setengah-setengah dalam melaksanakan kebijakan energi surya di AS (Hammond & Metz, 1977, p. 241). Di samping itu, terdapat kendala yang erat dengan pendirian SERI (Solar Energy Research Institute) yang disahkan oleh Kongres pada tahun 1974 melalui Solar energy Research, Development, and Demonstration Act. Dinamika politik kebijakan energi di AS yang mewarnai upaya mencari sumber energi baru untuk mengurangi ketergantungan akan penggunaan energi konvensional dijelaskan dengan komprehensif oleh penelitian yang dilakukan oleh Alice Buck (1982).
16
Bukan pertama kali AS bersengketa dengan China terkait kebijakan sepihak yang dicanangkan oleh salah satu pemerintahan. Ka Zeng (2014) mencatat sebelumnya pada tahun 2010 AS pernah menggugat China ke WTO (DS419). AS mengklaim pemerintah China telah memberikan subsidi kepada sejumlah manufaktur pembangkit listrik tenaga angin melalui Special Fund Program. AS menilai China telah melanggar kesepakatan SCM sebagai negara anggota WTO. Gugatan ini didasarkan pada temuan USTR hasil dari penyidikan yang dimuat dalam petisi yang diusung oleh USW (United Steelworkers). Sengketa ini berakhir di tahap konsultasi yang mana China sepakat untuk mencabut program khusus yang dimaksud AS. Dalam hal ini AS berhasil mendapatkan konsesi China yakni kebijakan yang dikehendaki AS. Keberhasilan AS dalam memperoleh konsesi dari negara partner dagangnya tidak lepas dari kepentingan domestik yang bulat menentang kebijakan China. Ka Zeng (2014) juga menyimpulkan semakin bulat suara atau kepentingan domestik, maka posisi tawar suatu negara akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin divergen suara atau kepentingan domestik, maka semakin sulit suatu negara untuk menaikkan posisi tawarnya atas negara lain (Zeng, 2014, p. 3). Tulisan Ka Zeng, yang dalam tulisannya menggunakan pendekatan two-level game Robert Putnam, menyimpulkan kepentingan domestik berpengaruh dalam sengketa dagang sumber energi alternatif, utamanya panel surya. Menurutnya dinamika koalisional domestik AS menyumbang kesulitan dan secara signifikan turut mempengaruhi posisi tawar AS dalam forum internasional.
17
I.3.5.
Kunci Sukses Menekan Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Tiga hal di atas menjadi kendala utama promosi dan pengembangan panel
surya sebagai salah satu arah kebijakan energi nasional AS. Namun, Alan Hirshberg dan Richard Schoen (1974) dalam tulisannya “Barriers to the Widespread Utilization of Residential Solar Energy: the Prospects for Solar Energy in the U.S. Housing Industry” memiliki pandangan lain. Hirshberg dan Schoen (1974) menekankan sektor perumahan dapat menjadi pilar utama dalam upaya menekan pemanasan global dengan menggalakkan pemasangan panel. Hirshberg dan Schoen juga menyebutkan kendala pemasangan panel surya di sektor perumahan karena beragam faktor multidimensional (Hirshberg & Schoen, 1974).
Oleh
karena
itu
perlu
adanya
dorongan
non-finansial
untuk
membangkitkan animo masyarakat guna beralih dari energi konvensional ke energi yang lebih ramah lingkungan. Dorongan non-finansial ini yang ditangkap oleh J David Roessner. J David Roessner (1982) dalam tulisannya berjudul “U.S. Government Solar Policy: Appropriate roles for Nonfinancial Incentives” berpendapat bahwa insentif finansial kepada pembeli potensial yang diberikan oleh pemerintah bertanggung jawab terhadap masuknya dan merebaknya pemasangan panel surya sebagai sistem pemanas di sektor perumahan (Roessner, 1982). Roessner meneliti pentingnya faktor non-finansial dalam pengambilan keputusan untuk membeli sistem pemanas surya di sektor perumahan selama masa awal penetrasi pasar dan mendiskusikan implikasi dari faktor-faktor tersebut terhadap rumusan kebijakan terkait. Salah satu variabel faktor non-finansial yang dapat dimasukkan dalam
18
mengukur kecenderungan sektor rumah tangga menggunakan energi panel surya sehingga mengarah pada meningkatnya pemasangan panel surya di atap perumahan adalah gaya hidup. Masyarakat AS sekarang berangsur untuk mengikuti gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Seringkali mereka mempertimbangkan pilihan-pilihan alternatif yang lebih menawarkan kehidupan dan gaya hidup yang ramah lingkungan. Dengan demikian dorongan non-finansial akan mengkatalisasi masyarakat untuk beralih dari menggunakan energi konvensional ke energi berkelanjutan. Faktor inilah yang menciptakan momentum di tahun 2012 bersamaan dengan harga panel surya yang terus turun pada harga yang ekonomis sehingga permintaan meningkat. Penulis mengambil kesimpulan bahwa informasi di atas terfokus pada persoalan teknis dalam industri panel surya secara umum. Penulis menyimpulkan bahwa belum ada penelitian terdahulu yang spesifik mengkaitkan tren pasar panel surya di AS dengan politik inkonsistensi AS terkait komoditas panel surya yang di gadang-gadang sebagai energi alternatif terhadap penggunaan energi konvensional dewasa ini. Tulisan ini bertujuan untuk menawarkan pendekatan alternatif dalam melihat persoalan panel surya di luar konteks teknis dan kemajuan teknologi. Salah satu pendekatan yang penulis tawarkan adalah dengan memposisikan penelitian untuk mempelajari politik inkonsistensi pemerintah AS dalam kasus sengketa panel surya AS – China sepanjang tahun 2012-2014. Penulis menyadari bahwa belum ada literatur yang secara spesifik dan komprehensif membahas persoalan panel surya dari sisi politik yang mencerminkan inkonsistensi AS ketika
19
komoditas yang disengketakan merupakan komoditas yang potensial untuk mendukung kampanye menekan pemanasan global dan perubahan iklim. Penulis ingin menjelaskan interaksi perdagangan panel surya kedua negara sejak tahun 2009 hingga 2012 yang kemudian mendorong pemerintah AS melalui DoC untuk menindaklanjuti petisi yang dikeluarkan oleh sejumlah produsen panel surya di AS dan asosiasi manufaktur panel surya atas dugaan adanya praktik dumping yang dilakukan oleh produsen panel surya dari China Berdasarkan kajian pustaka tersebut, politik inkonsistensi dapat ditelusuri dari struktur pasar dan segala institusi politik serta proses seputar inkonsistensi negara terkait suatu kebijakan tertentu yang sangat erat dengan kultur politik domestik. Faktanya, politik inkonsistensi sangat erat dengan perilaku negara dalam hubungan internasional. Banyak ditemui negara mengatakan suatu hal namun melakukan hal lain berupa kebijakan yang bertentangan. Namun masih sedikit yang mengangkat topik tersebut ke dalam tulisan sehingga kajian seputar politik inkonsistensi dalam wacana hubungan internasional cukup terbatas. Untuk itu perlu mengangkat isu politik inkonsistensi menambah ruang untuk meneliti perilaku negara terhadap negara lain yang cenderung inkonsisten dan mengetahui penyebabnya. Oleh karena itu, fokus tulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui keterkaitan struktur pasar dan kultur politik AS dengan inkonsistensi AS dalam isu panel surya sebagai energi terbarukan. Dengan demikian dapat memperkaya literatur mengenai politik inkonsistensi.
20
I.4.
Kerangka Konseptual Setelah meninjau singkat tulisan-tulisan sebelumnya seputar panel surya
yang bermanfaat untuk menjawab rumusan masalah di atas, maka penulis merasa perlu untuk membangun kerangka konseptual. Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam tulisan ini terdiri atas:
Politik Inkonsistensi Kajian seputar politik inkonsistensi dalam studi politik dan hubungan
internasional masih terbatas. Politik inkonsistensi pertama kali ditulis pada tahun 1926 dalam suatu catatan sejarah Carolina Utara. Menurut catatan ini, inkonsistensi lekat dengan perilaku individu yang mengubah haluan politiknya (Anon., 1926). Lebih lanjut, Donald E Blake (1982) mencontohkan persoalan inkonsistensi politik ditemukan pada simpatisan partai yang mempraktikkan dual loyalities (Blake, 1982). Di tahun 2007, Garnett menulis esai tentang politik inkonsistensi. Ia berpendapat inkonsistensi dalam politik dapat ditengarai dari adanya perubahan perilaku dari mengatakan suatu hal, tetapi pada akhirnya melakukan hal lain (Garnett, 2007). Senada dengan Garnett, di tahun 2014 John Acceturo mengartikan inkonsistensi dengan kondisi dimana banyak orang mengatakan suatu hal lalu melakukan hal lain yang pada akhirnya menuntut perhatian publik (Acceturo, 2014). Adapun definisi politik yang digunakan Craine dan Oakley (1995) dalam “The Politics on Infrastructure” masih terbatas pada ranah domestik. Craine dan Oakley mengartikan politik adalah segala institusi politik dan proses seputar keputusan negara atas kebijakan tertentu. Dengan mengadopsi definisi politik yang digunakan oleh Craine dan Oakley dalam ranah
21
hubungan internasional, maka politik inkonsistensi dapat dipahami sebagai segala institusi politik dan proses seputar inkonsistensi negara atas suatu kebijakan tertentu. Inkonsistensi juga pernah disebut dalam suatu literatur hubungan internasional. Dalam ranah hubungan internasional, inkonsistensi dapat menjadi perangkat strategi untuk mencapai kepentingan yang diinginkan. Stretegi inkonsistensi menurut Raustiala dan Victor ialah negara sengaja beralih pada aturan yang bertentangan dengan regime yang ada dengan tujuan mengurangi dampak suatu aturan dalam kesepakatan yang berbeda (Raustiala dan Victor, 2004: 301). Hal ini menegaskan bahwa terdapat kondisi yang memungkinkan bagi suatu negara untuk secara sadar inkonsisten dengan kesepakatan awal sehingga beralih untuk mencapai kesepakatan yang lain (Alter, 2008: 12). Dalam ranah pengembangan energi terbarukan khususnya energi surya, Elliot (2013) menilai pemerintah AS cenderung inkonsisten. Inkonsistensi ini menurutnya disebabkan absennya kebijakan energi terbarukan hingga saat ini. Sejumlah penyebabnya antara lain kompleksitas yang khusus terjadi dalam politik AS yakni kultur struktur politik yang terdiri dari model otoritas koordinasi, pergeseran kebijakan, minim konstituen, ideologi pasar bebas dan rendahnya perhatian terhadap perubahan lingkungan (Brooks, 2011) (Rosenthal, 2010) (Lehner, 2013) (National Academy of Science, 2009) (Damaška, 1989) (Dobson, 2011). Bukti empiris lainnya ditulis Nankyung Choi (2011) yang mempelajari perjalanan meraih kekuasaan dalam politik lokal Indonesia. Menurut Choi, inkonsistensi dalam politik di Indonesia disebabkan pemerintah menarik
22
kekuasaan yang tadinya diberikan ke pemerintah daerah dan ambiguitas hubungan antarwewenang. Hal ini menyiratkan bahwa pergeseran kebijakan memainkan peran. Dalam tulisannya yang berisi pandangan antara kepentingan domestik yang konvergen dan divergen dengan tingkat posisi tawar AS untuk mendapatkan konsesi dari negara lain, Ka Zeng (2014) menilai AS tidak cukup konsisten untuk dapat terus menerus mendapatkan konsesi dari negara lain, utamanya dalam kasus energi terbarukan dengan negara partner China. Ka Zeng menilai inkonsistensi tersebut berasal dari kepentingan domestik yang bersumber pada tingkat struktur pasar domestik turut menentukan tingkat posisi tawar AS. Konsekuensinya, divergensi kepentingan domestik dapat menekan arah kebijakan AS. Selain itu, divergensi kepentingan domestik sangat rawan menimbulkan pertarungan kelompok-kelompok yang berkepentingan sehingga mengurangi posisi tawar AS terhadap negara lain. Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan politik cukup jelas yakni segala proses dan institusi politik terkait kebijakan tertentu. Sedangkan inkonsistensi ialah mengenali adanya perubahan perilaku negara yang mengatakan suatu hal tetapi melakukan hal lain yang bertentangan dengan yang semula dikatakan. Dengan demikian, politik inkonsistensi dapat dipahami sebagai segala institusi politik dan proses seputar inkonsistensi suatu negara menyangkut suatu kebijakan. Jika dikaitkan dengan topik dalam tulisan ini, maka politik inkonsistensi dipahami sebagai segala institusi politik dan proses seputar inkonsistensi AS menyangkut kebijakan hambatan tarif terhadap produk panel
23
surya impor. Inkonsistensi yang dimaksud ialah inkonsistensi AS yang bertentangan dengan semangat menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim. Adapun konsep-konsep terkait politik inkonsistensi ialah struktur pasar domestik panel surya dan kultur politik domestik yang dianggap memainkan peran dalam menghasilkan inkosistensi AS.
I.5.
Argumen Utama Untuk memperjelas maksud argumen utama di atas, diusulkan/
dirumuskan sebagai berikut: struktur
pasar
domestik kultur struktur politik domestik tingkat tinggi tingkat rendah
Unipolar (konvergen) Pro-hambatan tarif (anti-liberalisasi pasar)
Anti-hambatan tarif (pro-liberalisasi pasar)
Bipolar (divergen) pro+anti
(1) inkonsisten (4) inkonsisten
(2) inkonsisten (5) inkonsisten
(3) inkonsisten (6) inkonsisten
Penjelasannya sebagai berikut jika struktur pasar domestik AS bersifat bipolar (tersusun atas pro-hambatan tarif dan anti-hambatan tarif) sementara tingkat kultur struktur politik domestik cukup tinggi, maka pemerintah AS akan cenderung inkonsisten (kotak nomor 3); struktur pasar domestik AS yang bipolar dan kultur struktur politik domestik yang cukup tinggi memungkinkan AS untuk menerapkan strategi inkonsistensi sehingga inkonsistensi seolah lahir secara natural dan kondisi alamiah.
24
I.6.
Metode Penelitian Untuk memahami bagaimana perubahan perilaku AS dari konsisten
menjadi tidak konsisten, riset kualitatif diperlukan sebagai metode penelitian. Tulisan ini dilengkapi serangkaian materi pemberitaan dari media massa dari kedua negara. Karena tulisan ini menggunakan metode kualitatif, maka penting untuk mendapatkan data baik sekunder maupun primer. Untuk itu, penulis telah mengumpulkan serangkaian pendapat dari pemangku kepentingan terkait antara lain ahli di lembaga riset Greentech Media, chief executive produsen panel surya di China dan produsen panel surya di AS serta importir panel surya di AS. Harapannya, penulis memiliki wawasan yang luas sehingga dapat menulis dan meneliti dengan cermat agar bisa menghasilkan tulisan yang kredibel, reliable dan akuntabel. I.7.
Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 – berisi latar belakang yang mengenalkan problematika dari
persoalan yang akan ditulis. Selain itu terdapat metodologi terkait upaya-upaya yang dilakukan untuk mengumpulkan data yang diperlukan serta tinjauan pustaka dari sejumlah penelitian sebelumnya yang dimaksudkan untuk memposisikan penelitian yang akan ditulis. Bab 2 – mengulas kemunculan sengketa dan proses penyelesaian sengketa yang tengah berjalan. Sengketa pertama kali muncul ketika produsen AS mengajukan petisi meminta pemerintah untuk mencegah kerugian materiil lebih lanjut akibat praktik dumping China. Menindaklanjuti hasil laporan tersebut,
25
pemerintah AS mengenakan kenaikan tarif sehingga mengundang respon China untuk membawa sengketa ke tingkat internasional melalui adjudikasi WTO. Bab 3 – mengulas struktur pasar panel surya AS yang bergeser serta menjelaskan kepentingan industri domestik terbagi. Struktur pasar panel surya terdiri dari empat industri utama yakni industri sebagai pemain lama, industri hilir, industri hulu, dan subsidier produsen China. Masuknya produsen panel surya telah menciptakan perubahan struktur pasar panel surya yang nantinya memunculkan tidak hanya ketergantungan tetapi juga pertarungan kelompok kepentingan domestik yang terkotak-kotak. Persoalan kelangsungan industri panel surya AS ke depan dan lapangan kerja mewarnai perbedaan pandangan terkait sengketa dan implikasi putusan WTO terhadap masa depan industri panel surya. Bab 4 – bab ini membahas sumber-sumber inkonsistensi AS yang terdiri dari tingkat kultur struktur politik domestik AS. Sebagai negara besar secara ekonomi sekaligus punya peran besar dalam konstelasi politik dunia, AS dituntut untuk menjaga konsistensi dalam setiap forum multilateral lingkungan. Untuk itu, AS mengklaim masih konsisten dengan menentukan action plan. Namun demikian, lebih banyak inkonsistensi yang muncul yang melekat pada kultur politik domestik AS. Sejumlah kultur politik domestik seperti model otoritas yang terkoordinasi, pergeseran kebijakan, minim konstituen, ideologi pasar bebas, perhatian rendah terhadap perubahan iklim serta kepentingan domestik sebagai prioritas disinyalir masih kental melemahkan konsistensi yang digadang-gadang AS di ranah internasional.
26
Bab 5 - berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah. Keseriusan AS dalam usaha menekan pemanasan global dan perubahan iklim diragukan. AS yang selalu menyeru agar komitmen menekan pemanasan global dan perubahan iklim dilakukan serentak di seluruh dunia, justru menunjukkan inkonsistensi di ranah domestik. Panel surya sebagai sumber energi alternatif ramah lingkungan menghadapi
hambatan tarif
yang cukup signifikan.
Inkonsistensi ini disebabkan tidak hanya oleh perubahan struktur pasar domestik, tetapi juga tingkat kultur struktur politik domestik sehingga menurunkan semangat AS untuk mempromosikan panel surya sebagai salah satu usaha untuk menekan pemanasan global dan perubahan iklim.
27