BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menduduki peringkat kepadatan penduduk tertinggi tahun 2015. Berdasarkan CIA World Factbook tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat nomor 4 penduduk terpadat di dunia, dengan jumlah penduduk mencapai 255.993.674 jiwa.1 Dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, tentu banyak dampak yang ditimbulkan, seperti tingkat kemiskinan dan angka pengangguran yang tinggi. Tidak hanya itu, peningkatan penduduk yang pesat juga menimbulkan dampak yang negatif bagi lingkungan seperti semakin kurangnya ketersediaan lahan karena kebutuhan penduduk akan tempat tinggal, hingga kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tingkat polusi yang tinggi dan limbah yang berasal dari rumah tangga, pabrik, industri dan lain-lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk antara lain2 : a. Kelahiran (Fertilitas); b. Kematian (Mortalitas); dan c. Migrasi (Perpindahan). 1
Central Intelligence Agency, 2015, East & Southeast Asia : Indonesia, dalam URL : https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/print_id.html (diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015 pukul 17:46 WITA). 2 Munandar Soelaeman,1987, Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial, PT Eresco Bandung, Bandung, hlm. 76.
1
2
Ketiganya merupakan faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk. Mengenai faktor kematian (mortalitas) merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat pertumbuhan penduduk, namun faktor ini tidak terlalu dapat menekan kepadatan penduduk karena faktor kematian merupakan hal yang terjadi secara alamiah. Adapun faktor kelahiran (fertilitas) merupakan faktor alami yang menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk, mengingat angka kelahiran di Indonesia rata-rata setiap tahunnya mencapai 1,49 persen pertahun yang apabila diakumulasikan dengan angka, maka kelahiran bayi di Indonesia menyentuh angka 4.880.951 orang pertahun3. Namun sekalipun kelahiran merupakan faktor alami yang menyebabkan laju pertumbuhan semakin pesat, hal ini dapat ditangani dengan program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan adanya jumlah kelahiran yang tinggi. Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan penduduk adalah migrasi. Migrasi adalah bagian dari mobilitas penduduk. Pada studi geografi, mobilitas biasanya mengacu pada perpindahan atau pergerakan, maka dapat dikatakan bahwa mobilitas penduduk adalah perpindahan dan/atau gerakan individu maupun kelompok dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu mobilitas non-permanen dan permanen. Mobilitas non-permanen ini biasanya seperti perjalanan wisata atau
3
Indra Akuntono, 2015, Mengkhawatirkan, Angka Kelahiran di Republik Indonesia Tiap Tahun Setara Jumlah Penduduk Singapura, dalam URL :http://nasional.kompas.com/red/2015/09/29/13574351/Mengkhawatirkan.Angka.Kelahiran.di.RI.Tiap. Tahun.Setara.Jumlah.Penduduk.Singapura (diakses pada Kamis, 1 Oktober 2015 pukul 16:47 WITA).
3
liburan, sedangkan mobilitas permanen merupakan perpindahan penduduk ke suatu daerah dengan tujuan untuk menetap di daerah tersebut, atau dengan kata lain disebut migrasi4. Rozy Munir memberikan pengertian mengenai migrasi yaitu perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik atau negara atau batas administratif atau batas bagian suatu negara.5 Adapun beberapa jenis migrasi antara lain seperti migrasi sirkuler, migrasi parsial, migrasi masuk, migrasi keluar, dan yang paling sering terjadi yaitu urbanisasi dan transmigrasi. Adanya migrasi penduduk disebabkan oleh 2 faktor berupa faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong migrasi antara lain6 : a. Makin berkurangnya sumber daya alam; b. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal dikarenakan masuknya teknologi yang menggunakan mesin; c. Adanya tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal; d. Terjadinya ketidak cocokan dengan budaya atau kepercayaan di daerah asal; e. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa mengembangkan karier pribadi; f. Timbulnya bencana alam seperti banjir, kebakaran saat kemarau, ataupun wabah penyakit. Selanjutnya faktor-faktor penarik penyebab terjadinya migrasi antara lain7 : a. Adanya rasa nyaman berada di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok; b. Kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik; 4
Munandar Soelaeman, op.cit, hlm. 79. Moh. Yasin, Rozy Munir, Dkk, 2000, Dasar-Dasar Demografi, Lembaga Demografi UI, Jakarta, hlm. 115. 6 Munandar Soelaeman, op.cit, hlm. 78. 7 Ibid. 5
4
c. d. e. f.
Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi; Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan; Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung; Adanya aktivitas kota besar seperti tempat hiburan dan pusat kebudayaan. Berkaitan dengan migrasi, perlu diketahui bahwa setiap penduduk yang berada
di wilayah Negara Indonesia yang melakukan migrasi wajib untuk mengurus serta memiliki dokumen kependudukan, yang dimaksud dalam hal ini merupakan kartu identitas bagi pendatang. Bagi pendatang yang berada di Kecamatan Denpasar Barat, salah satu dokumen kependudukan yang wajib untuk dimiliki adalah Kartu Identitas Penduduk Sementara (selanjutnya disebut KIPS). Saat ini penerbitan KIPS memasuki fase dilema, hal ini dikarenakan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013) tidak ada menyebutkan mengenai pungutan biaya terkait penerbitan dokumen kependudukan bagi penduduk di luar Kartu Tanda Penduduk (selanjutnya disebut KTP). Namun kenyataannya bagi penduduk pendatang yang menetap sementara, untuk mendapatkan KIPS justru dikenakan sejumlah biaya, hal ini tentu telah menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 yang dinyatakan bahwa, pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan tidak dipungut biaya. Biaya yang dikenakan pun beragam, hal ini dapat dilihat dari salah satu kutipan berita di website Tribun Bali yakni8 :
8
I Komang Artawan Putra, 2014, Warga Luar Bali Bayar Kipem Rp 120 Ribu, dalam URL :http://bali.tribunnews.com/2014/10/31/warga-luar-bali-bayar-kipem-rp-120-ribu (diakses pada Senin, 8 Februari 2016 pukul 10:41 WITA).
5
“… mengatakan pembayaran Kipem tidak sama, bahkan antara orang Bali sekalipun. Untuk orang Bali, ada Rp 10 ribu, ada juga yang Rp 20 ribu per kepala. Tapi untuk orang luar bali lebih mahal lagi, Rp 120 ribu per kepala” Ketidaksesuaian antara ketentuan dalam Pasal 79A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 dengan fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, hal inilah yang menjadi pokok penelitian ini. Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan di atas, maka peneliti ingin mengkaji tentang “Efektivitas Pelaksanaan UndangUndang Tentang Administrasi Kependudukan Terkait Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) di Kecamatan Denpasar Barat”
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikemukakan beberapa masalah yang menjadi pokok bahasan di dalam penulisan ini anatara lain : 1. Bagaimana pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan ? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerbitan KIPS di Kecamatan
Denpasar Barat
Administrasi Kependudukan
terkait dengan
Undang-Undang tentang
6
1.3. Ruang Lingkup Masalah Untuk membatasi agar permasalahan yang dibahas tidak mencakup bidang yang terlalu luas serta tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka diperlukan batasan-batasan terhadap ruang lingkup pembahasan pada penulisan ini. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas antara lain : 1. Pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentng Administrasi Kependudukan. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.
1.4. Orisinalitas Sejuah ini penelitian tentang “Efektivitas Undang-Undang Tentang Administrasi Kependudukan Terkait Penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) di Kecamatan Denpasar Barat” belum pernah dilakukan. Secara spesifik tidak ada penelitian yang mengangkat mengenai pembuatan KIPS ini, namun penulis menemukan penelitian sejenis dengan penelitian yang diajukan. Penelitian tersebut dapat diuraikan dalam paparan di bawah : 1. Tesis oleh Yuliastuti Fajarsari dari Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Sebelas
“Implementasi
Maret
Surakarta,
Undang-Undang
No.
tahun 23
2010,
Tahun
dengan 2006
judul
Tentang
Administrasi Kependudukan Di Kota Surakarta”. Dalam tesis tersebut
7
diuraikan permasalahan mengenai implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di Kota Surakarta, kesesuaian implementasi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendaftaran penduduk di Kota Surakarta dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektif atau tidak efektifnya implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 berkaitan dengan pendaftaran penduduk di Kota Surakarta. 2. Penelitian oleh Irfan Fajri dari Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus, tahun 2012, dengan judul “Implementasi Program e-KTP Dalam Rangka Tertib Administrasi Kependudukan Di Kabupaten Pati”. Dalam penelitian tersebut diuraikan permasalahan mengenai implementasi program e-KTP di Kabupaten Pati dalam rangka tertib administrasi kependudukan, tanggapan masyarakat terhadap program e-KTP tersebut, dan kendala-kendala yang timbul pada implementasi program e-KTP tersebut 3. Penelitian oleh Noviana Adibtasari dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, tahun 2014, dengan judul “Implementasi Pasal 7 Ayat (1) Huruf C Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Terkait Kewenangan Walikota Untuk Melakukan Pengaturam Teknis Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Di Kota Malang”. Dalam penelitian tersebut diuraikan permasalahan mengenai implementasi Pasal 7 ayat (1) huruf (c) UU No. 23 Tahun 2006 tentang
8
Administrasi Kependudukan di Kota Malang serta hambatan dan upaya yang dapat
dilakukan
untuk
menyelesaikan
permasalahan
administrasi
kependudukan di Kota Malang.
1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas UndangUndang tentang Administrasi Kependudukan terkait penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat. 1.5.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pengurusan dan penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan. 2. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
proses
penerbitan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat terkait dengan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.
1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai ilmu yang bermanfaat serta menambah informasi mengenai perkembangan hukum, khususnya dalam
9
bidang Hukum Kependudukan terkait keefektivitasan pelaksanaan UndangUndang tentang Administrasi Kependudukan. 1.6.2. Manfaat Praktis 1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah khususnya bagi pemerintah desa dan kelurahan dalam melakukan setiap tindakan terkait pengurusan dan penerbitan KIPS. 2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran untuk diadakannya penelitian lebih lanjut, serta dapat digunakan sebagai bahan acuan pertimbangan, maupun penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya.
1.7. Landasan Teoritis Sehubungan dengan penelitian yang diajukan, maka dipandang perlu untuk membahas mengenai landasan teori yang digunakan. Beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Teori Negara Hukum Istilah rechtsstaat yang diterjemahkan sebagai negara hukum oleh Philipus M. Hadjon mulai populer di Eropa sejak abad ke-19. Cita negara hukum itu untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan yang
10
menentukan baik atau buruknya suatu hukum. Aristoteles juga mengemukakan tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi yaitu9 : 1. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; 2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang; 3. Pemerintahan berkonstitusi yang dilaksanakan atas kehendak rakyat. Konsep rechtsstaat menurut Philipus M. Hadjon lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner. Adapun ciri-ciri rechtsstaat adalah sebagai berikut : 1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat; 2. Adanya pembagian kekuasaan negara; 3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ciri-ciri rechtsstaat tersebut menunjukan bahwa ide mengenai rechtsstaat adalah pengakuan dan perlidungan hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-Undang Dasar memberikan jaminan atas konstuitusional dan kebebasan tersebut. Pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang yang dimiliki oleh seorang penguasa
9
Ni’Matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, hlm. 1
11
cenderung bertindak mengekang kebebasan dan persamaan yang menjadi ciri khas negara hukum. Selain rechtsstaat terdapat istilah lain dari negara hukum yaitu rule of law. Konsep rule of law dipelopori oleh A. V. Dicey, yang menurutnya ada 3 ciri-ciri dari rule of law yaitu10 : 1. Supremasi hukum untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, discretionary authority yang luas dari pemerintah; 2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, hal ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum dan tidak ada peradilan administrasi negara; 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. Bila dilihat dari kedua konsep negara hukum tersebut, baik rechtsstaat maupun rule of law sama-sama menekankan pada kebebasan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral untuk menentang kesewenangwenangan penguasa, sehingga sulit untuk menarik perbedaan yang hakiki dari kedua konsep tersebut. Merujuk pada kepustakaan Indonesia, terlepas dari penamaan Indonesia sebagai negara hukum dengan sebutan rechsstaat atau rule of law, eksistensi Indonesia sebagai negara hukum ditandai dengan beberapa unsur pokok, seperti pengakuan
dan
perlindungan
hak-hak
asasi
manusia,
pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya
10
Ni’ Matul Huda, 2012, Hukum Tata Negara (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 83.
12
peradilan administrasi, dan unsur-unsur lainnya. Negara Indonesia menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas kerukunan.11 Berdasarkan asas kerukunan, menurut Philipus M. Hadjon akan berkembang elemen lain dari konsep negara hukum Pancasila, yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan hak-hak asasi manusia tidak hanya menekankan hak atau kewajiban tetapi terjalin suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ciri berikutnya dari negara hukum Pancasila adalah menjamin setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukan adanya komitmen yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya untuk mengimplementasikan kebebasan dalam memeluk agama serta beribadah sesuai keyakinan tanpa ada gangguan dari pihak lain. Kebebasan memeluk agama serta beribadah ini juga diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945. Karakteristik dari negara hukum Pancasila yang lain adalah asas kekeluargaan
sebagai
bagian
fundamental
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan.12 Adanya asas kekeluargaan ini, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya sejauh tidak menggangu hajat hidup orang banyak. Di samping itu, negara hukum Pancasila 11
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, 2008, PT Alumni, Bandung, hlm. 52. 12 Ibid, hlm. 54
13
juga mengedepankan prinsip persamaan
sebagai unsur penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan secara konstutisional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) memberikan landasan untuk menghargai dan menghayati prinsip persamaan, hal ini tercermin dalam Pasal 28D UUD NRI 1945 yaitu : 1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. 3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. 4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Penegakan prinsip persamaan ini menjadi prasyarat untuk mendukung eksistensi negara
hukum
menyejahterahkan
Pancasila kehidupan
mengimplementasikan masyarakat
sebagai
komitmennya misi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan. 2. Teori Kewenangan Dalam literatur ilmu hukum maupun ilmu pemerintahan sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Ketiganya memiliki pengertian yang berbeda, namun satu sama lain saling berkaitan. Menurut Miriam Budiarjo kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau
14
negara.13 Kekuasaan merupakan inti penyelenggaraan negara, agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek kewajiban. Disamping kekuasaan, terdapat kewenangan dan wewenang. Kedua istilah tersebut sering disejajarkan, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan tertentu yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Menurut P. Nicolai, dalam kewenangan terkandung hak dan kewajiban yakni14 ; Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut15 :
13
Miriam Budiarjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.
35. 14
Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 99. 15 Ridwan H. R. op.cit, hlm. 102.
15
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursogaan, (Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan); b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursogaan aan een ander, (Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya); c. Mandaat : een bestuursogaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya). Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan sangat penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang. Setiap pemberian kewenangan
kepada
pejabat
pemerintahan
tertentu,
tersirat
di
dalamnya
pertanggungjawaban dari pejabat bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Kemudian pada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain. Sementara dalam hal mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas pemberi mandat. 3. Teori Penegakan Hukum Hukum adalah sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan, sosial, dan sebagainya. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak, penegakan hukum adalah
16
usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.16 Kemudian menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional maka inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.17 Jika hakikat penegakan hukum adalah mewujudkan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, makan penegakan hukum bukan saja menjadi tugas para penegak hukum yang telah dikenal secara konvensional, tapi masyarakat pun dilibatkan di dalamnya. Penegakan hukum merupakan sebuah proses, sehingga keberhasilan dari penegakan hukum tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Soerjono Soekanto ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain18 ; 1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi oleh undang-undang; 2. Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
16 Satjipto Rahardjo, tanpa tahun terbit, Masalah Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, bandung, hlm. 15. 17 Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1. 18 Ibid, hlm. 8.
17
Kelima faktor di atas saling berkaitan satu sama lain, karena merupakan esensi serta tolok ukur dari sebuah penegakan hukum. Adapun Satjipto Rahardjo mengemukakan pendapat bahwa agar hukum dapat berperan dengan baik di masyarakat maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut19 : 1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya, termasuk dalam mengenali dengan seksama mengenai masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut; 2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektorsektor kehidupan majemuk seperti tradisional, odern, dan perencanaan. Pada tahap ini dipilih nilai-nilai sektor mana yang dipilih; 3. Membuat hipotesa dan memilih yang mana paling layak untuk digunakan; 4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya. Dalam suatu negara hukum, penegakan hukum adalah salah satu hal yang sangat penting terutama apabila hal tersebut menyangkut masyarakat, maka sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap penegakan hukum guna memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam suatu penegakan hukum, untuk mecegah terjadinya kesewenang-wenangan atau bahkan pelanggaran norma yang dilakukan oleh pemerintah, maka diperlukan adanya pengawasan dan penegakan sanksi. Menurut Philipus M. Hadjon, instrument penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi.20 Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan pemberian sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Jadi dapat dikatakan bahwa, pengawasan dalam suatu
19
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 208. Ridwan H.R, op.cit. hlm. 296.
20
18
penegakan hukum bertujuan agar pemerintah menjalankan tugasnya sesuai norma-norma hukum, dan apabila hal tersebut dilanggar maka upaya represif melalui pemberian sanksi akan dilakukan untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum pelanggaran norma itu terjadi.
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum empiris.Penelitian
hukum
empiris
adalah
penelitian
hukum
menyangkut
pemberlakuan atau implementasi hukum normatif pada setiap hukum tertentu.21 Peneliatian empiris ini ditekankan pada penelitian terhadap efektivitas hukum. Penelitian terhadap efektivitas hukum merupakan penelitian yang membahas bagaimana hukum beroprasi dalam masyarakat.22 Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat antara lain23 : 1. Kaidah hukum/peraturan itu sendiri; 2. Petugas/penegak hukum; 3. Sarana/fasilitas yang digunakan oleh penegakan hukum; 4. Kesadaran masyarakat. 1.8.2. Jenis Pendekatan 21 Abdukadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 134. 22 H. Zainuddin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 31. 23 Ibid.
19
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Pendekatan Undang-Undang (The Statute Approach) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), adalah pendekatan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan, norma hukum dalam hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan pembuatan KIPS di Kecamatan Denpasar Barat. Dikatakan bahwa pendekatan Perundangundangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.24 2. Pendekatan kasus (The Case Approach) Pendekatan Kasus adalah melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang di hadapi yang telah menjadi putusan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. 1.8.3. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian bersifat deskriptif ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.25
24
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar MetodePenelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 72. 25 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanpa penerbit, Denpasar, hlm. 81
20
1.8.4. Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dilapangan yaitu dari wawancara dengan para informan.26 Data ini di peroleh dengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab dari instansi terkait yakni Kantor Kelurahan Pemecutan, Kantor Desa Pemecutan Kelod, Kantor Desa Dauh Puri Kangin, Kantor Desa Dauh Puri Klod, dan Kantor Kelurahan Padangsambian. Sedangkan data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahanbahan hukum.27 Data sekunder dalam penelitian ini adalah : a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; c. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 1996
26
Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hlm. 30. Ibid.
27
21
tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam Kerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK); d. Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/1159/B.T.Pem Perihal Pedoman Operasional Pendaftaran Penduduk di Provinsi Bali; e. Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapem perihal Pedoman Pendaftaran Penduduk Pendatang; f. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000 tentang Penertiban Penduduk Pendatang di Kota Denpasar; g. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 610 Tahun 2002 tentang Perubahan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000 tentang Penertiban Penduduk Pendatang di Kota Denpasar; h. Kesepakatan Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota Se-Bali Nomor 153
Tahun
2003
tentang
Pelaksanaan
Tertib
Administrasi
Kependudukan di Provinsi Bali; i. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 585 Tahun 2002 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Walikota Denpasar Tanggal 13 Desember 2001 Nomor 1002 Tahun 2001 tentang Standarisasi Pungutan Desa/Sumbangan Keluharan di Kota Denpasar; j. Keputusan manggala Parum Bendesa Desa Pakraman Kota Denpasar Nomor 005/PBDA/XI/2002 tentang Standarisasi Pungutan Desa Pakraman atas Biaya Administrasi Penduduk Pendatang di Kota Denpasar;
22
k. Keputusan
Bendesa
Desa
Pakraman
Padangsambian
Nomor
05/KEP/DP.Pds/14 tentang Kontribusi Biaya Ketertiban dan Keamanan Sosial di Wilayah Desa Pakraman Padangsambian. 1.8.5. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik-teknik untuk mengumpulkan data
yaitu
:
studi
dokumen,
wawancara,
observasi,
dan
penyebaran
kuisioner/angket.28 Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam skripsi ini antara lain adalah : a. Teknik Studi Dokumen Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.29 b. Teknik Wawancara (Interview) Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah salah satu instrument mengumpulkan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang di sampaikan secara lisan. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan
28
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 21, 66, 201. Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hlm. 68.
29
23
bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaanpertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. c. Teknik Observasi Merupakan teknik pengumpulan data dengancara melakukan pengamatan atau observasi dari peneliti.Pengamatan dalam penilitian ilmiah di tuntut harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti validitas dan realibilitasnya, sehingga hasil
pengamatan
sesuai dengan
kenyataan
yang
menjadi
sasaran
pengamatan.30 1.8.6. Teknik Penentuan Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi atau yang menjadi objek penelitian.31 Dalam penelitian ini, maka teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik non probability sampling. Teknik non probability sampling digunakan dalam hal32 : -
Data tentang populasi sangat langka atau tidak diketahui secara pasti jumlah populasinya;
-
Penelitian bersifat studi eksploratif atau deskriptif;
-
Tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi tentang populasinya. Teknik non probability sampling, dibagi menjadi empat macam yaitu, quota
sampling, accidental sampling, purposive sampling, dan snowball sampling. 30
Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hlm.72. H. Zainuddin Ali,op.cit.hlm. 98. 32 Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit.hlm. 86. 31
24
Penelitian ini menggunakan purposive sampling. Pengambilan sampel berdasarkan purposive sampling dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel ditentukan sendiri oleh peneliti yang mana pemilihan sampel didasarkan pada pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. 1.8.7. Teknik Analisa Data Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan terkumpul, maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan teknik pengolahan data secara kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman dan interprestasi data.33 Setelah melalui proses pengolahan dan analisa, selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif analisis yaitu penyajian yang menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek hukum permasalahan yang diteliti dan selanjutnya dianalisa kebenarannya serta menyusun dan memilih data yang berkualitas untuk menjawab permasalahan yang diajukan.34
33
Abdulkadir Muhammad, op.cit.hlm. 170. Ronny Hanititijo Soemitro, 1990, Metodalogi Penelitian Hukum dan Jurimeter, Cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 47. 34