BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan luas wilayah 32,50 km2, sekitar 1,02% luas DIY, jumlah penduduk Kota Yogyakarta tahun 2011 tercatat sebesar 388.627 jiwa, atau sebesar 11.958 jiwa per km2 (Badan Pusat Statistik, 2011). Sebagai kota dengan bermacam predikat: kota pelajar atau kota pendidikan, kota budaya, kota wisata membuat Kota Yogyakarta mempunyai daya tarik yang tinggi bagi banyak orang untuk datang, baik itu untuk tinggal sementara sebagai pelajar atau mahasiswa atau sekedar berkunjung sebagai wisatawan, maupun untuk tinggal menetap sebagai pelaku ekonomi.
Hal ini menjadikan Kota
Yogyakarta terus mengalami perkembangan hingga menjadi suatu tempat dengan pergerakan orang dan barang yang semakin padat. Peningkatan ini memicu terjadinya peningkatan jumlah permintaan perjalanan yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya peningkat kebutuhan transportasi yang memadai. Perkembangan sarana dan prasarana transportasi yang memadai menjadi mutlak bagi perkembangan dan pembangunan suatu kota. Tanpa adanya transportasi sebagai sarana pendukung sulit mengharapkan tercapainya hasil pembangunan yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi dari suatu kota. Adanya transportasi yang cukup dan memadai sangat mendukung mobilitas orang dan barang yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Jadi transportasi memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam perkembangan dan pembangunan suatu kota. Namun pada sisi yang lain peningkatan sarana
1
2
transportasi pada kenyataannya telah menimbulkan masalah baru, yaitu: kemacetan dan polusi udara (Munawar, 2004). Transportasi dipandang penting dalam pengaruhnya terhadap kualitas udara perkotaan. Polutan yang dikeluarkan, sering disebut emisi, berasal dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan. Proses pembakaran dan kualitas bahan bakar menentukan banyaknya emisi yang dilepas ke lingkungan. Nitrogen Dioksida (NO2), Sulfur Dioksida (SO2), Karbon Dioksida (CO2), Karbon Monoksida (CO), Hidrokarbon (HC), partikulat debu/Total Suspended Particulate (TSP) dan Timah Hitam (Pb) merupakan emisi penting yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor (Achmad, 2004). Hasil penelitian di kota DKI Jakarta dan Bandung menunjukkan sektor transportasi menyumbang emisi NOx 56% sampai 73%, SOx 11% sampai 26%, CO sebesar 94% sampai 98%, HC 78% sampai 89%, TSP 27% sampai 44%, dan Pb 100% (Soedomo, 2001). Hal ini berdampak terjadinya penurunan kesuburan tanaman dan kerusakan bangunan, juga peningkatan kasus-kasus gangguan pernapasan kronis maupun penyakit kardiovaskuler pada masyarakat perkotaan (Wardhana, 2004, Depkes RI, 2009). Upaya pengendalian masalah transportasi dilakukan dengan membangun sistem transportasi yang mampu memenuhi kebutuhan jumlah perjalanan yang terus meningkat, tanpa menimbulkan kemacetan arus lalulintas di jalan raya dan polusi. Sayangnya sistem transportasi yang berjalan selama ini adalah tingginya penggunaan kendaraan pribadi yang justru merupakan faktor penting timbulnya kemacetan dan pencemaran udara perkotaan (Munawar, 2007). Pertumbuhan kendaraan bermotor secara nasional dan di DIY khususnya ditunjukkan pada Tabel 1.1 dan 1.2 berikut:
3
Tabel 1.1 Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Indonesia Jenis Kendaraan Tahun 2006 Tahun 2009 sepeda motor 35.102.492 59.447.626 mobil penumpang 7.678.891 11.828.529 bus 2.727.610 4.223.677 Sumber: Kementerian Perhubungan, 2011
Pertumbuhan (%) 19,47 15,64 11,56
Tabel 1.2 Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Wilayah DIY Jenis Kendaraan Tahun 2010 sepeda motor 1.310.241 mobil penumpang 124.177 bus 10.965 Sumber: BPS DIY, 2012
Tahun 2011 1.423.147 138.538 10.987
Pertumbuhan (%) 8,62 11,56 0,2
Guna mengatasi masalah tersebut di atas, salah satu solusi adalah meningkatkan fungsi transportasi massal, seperti bus kota. Sejak tahun 2008 pemerintah Kota Yogyakarta telah menambah pelayanan transportasi dalam kota dengan mengoperasikan bus Transjogja. Meskipun belum mampu menahan laju pertumbuhan kendaraan pribadi, namun wacana penambahan armada bus kota tetap menjadi agenda pemerintah Kota Yogyakarta. Penambahan armada bus kota tersebut tentu akan berdampak pada sistem pendukungnya yaitu Terminal Giwangan, terjadinya peningkatan volume bus. Sebagai gambaran, Terminal Giwangan pada tahun 2011 telah melayani perjalanan masyarakat total sebanyak rata-rata 2.009 ritase tiap harinya (UPT Terminal Giwangan, 2012). Peningkatan
volume
bus
di
terminal
pada
sisi
lain
berpotensi
meningkatkan dampak terhadap lingkungan terminal, khususnya terkait dengan emisi yang dikeluarkan (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012), dan salah satu yang penting adalah SO2. Pada konsentrasi tertentu SO2 dapat menyebabkan gangguan kesehatan. SO2 merupakan polutan yang berbahaya terutama bagi kelompok individu usia lanjut dan penderita gangguan
4
pernafasan dan kardiovaskular (Kristanto, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukirno (2009) juga menyebutkan bahwa pajanan SO2 berkorelasi terhadap penurunan fungsi faal paru pedagang kaki lima (PKL) di Terminal Giwangan. Emisi SO2 berasal dari oksidasi sulfur yang terkandung dalam bahan bakar solar yang menjadi bahan bakar utama dari kendaraan bus. Kandungan sulfur dalam bahan bakar mempengaruhi besarnya SO2 yang dilepaskan ke lingkungan. Berdasarkan laporan hasil pemantauan kualitas bahan bakar bensin dan solar pada tahun 2007 yang dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup, ditemukan kandungan sulfur sebesar 2300 ppm hingga 2500 ppm pada 4 (empat) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBBU) di Yogyakarta yang menjadi sampel; meningkat dibandingkan tahun 2006, yaitu sebesar 1000 ppm hingga 2100 ppm (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Tingginya volume bus yang beroperasi di terminal dalam suatu waktu dan tingginya kandungan sulfur dalam bahan bakar solar yang dikonsumsi menjadi penting untuk dilakukan studi seberapa besar emisi SO2 yang dihasilkan dan bagaimana dampaknya terhadap kondisi lingkungan udara di terminal sebagai upaya perlindungan bagi lingkungan maupun kesehatan masyarakat khususnya yang beraktivitas di terminal dari dampak negatif emisi SO2. Di samping itu hingga saat ini upaya pemantauan kualitas udara lingkungan terminal baik melalui studi maupun pemantauan rutin sangat minim dilakukan sehingga alat untuk mengevaluasi dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari operasional bus di terminal sangat terbatas. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis memandang penting untuk melakukan studi mengenai emisi SO2 dari kendaraan bermotor dan dampaknya terhadap kualitas SO2 udara ambien Terminal Giwangan Kota
5
Yogyakarta sebagai upaya evaluasi kualitas udara yang diakibatkan emisi SO2 hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bus di terminal.
1.2. Permasalahan Penelitian Permasalahan yang mendasari penelitian tesis ini adalah adanya sejumlah bus dalam volume yang besar secara bersamaan dalam suatu waktu di dalam terminal, dan tingginya kandungan sulfur dalam bahan bakar solar yang dikonsumsi sehingga berpotensi meningkatkan emisi SO2 yang dihasilkan yang menimbulkan potensi dampak terhadap lingkungan udara Terminal Giwangan.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian tesis ini dilakukan dengan tujuan: a. Mengetahui gambaran kualitas SO2 udara ambien yang diakibatkan aktivitas kendaraan bus di Terminal Giwangan. b. Mengatahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas SO2 udara ambien Terminal Giwangan. c. Mengusulkan skenario upaya pengendalian emisi SO2 di Terminal Giwangan.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian tesis ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Bagi Pemerintah Kota dan Instansi terkait, sebagai alternatif informasi dan bahan masukan dalam merumuskan kebijakan terkait dengan operasional Terminal Giwangan Kota Yogyakarta yang ramah terhadap lingkungan.
6
b. Bagi Ilmu Pengetahuan, sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan upaya pengendalian pencemaran udara.
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai emisi dari kegiatan transportasi dan dampaknya terhadap lingkungan udara sudah pernah dilakukan. Hoesodo (2004) melakukan penelitian permodelan pencemaran udara akibat lalu lintas di jalan arteri (studi kasus ruas jalan Soekarno-Hatta di Kota Bandung). Polutan yang diteliti adalah CO dan NOx. Laju emisi CO dan NOx dilakukan dengan pendekatan kecepatan laju kendaraan. Pendugaan konsentrasi CO dan NOx menggunakan pendekatan dispersi Gaussian. Supriyadi (2009) melakukan penelitian tentang dampak emisi CO dan NOx dari kendaraan bermotor terhadap kualitas udara ambient di Jl. M.H. Thamrin, DKI Jakarta. Laju emisi CO dan NOx dilakukan dengan menggunakan pendekatan jarak tempuh kendaraan dan faktor emisi. Pendugaan konsentrasi CO dan NOx menggunakan pendekatan model dispersi Finite Length Line Source (FLLS). Hidayatullah (2011) melakukan penelitian tentang dampak emisi SO2 dari kendaraan bermotor terhadap kualitas udara ambient di Jl. Gayungsari Barat Surabaya. Estimasi laju emisi SO2 menggunakan pendekatan jarak tempuh kendaraan dan faktor emisi. Pendugaan konsentrasi SO2 menggunakan pendekatan model dispersi Delhi Finite Line Source (DFLS). Penelitian-penelitian di atas mempunyai persamaan bahwa studi dilakukan terhadap kegiatan transportasi di jalan raya. Estimasi laju emisi didekati dengan
7
menggunakan faktor emisi. Sedangkan pendugaan konsentrasi polutan pada prinsipnya menggunakan model Gaussian. Persamaan antara penelitian-penelitian di atas dengan studi yang penulis lakukan
adalah
sumber
emisi,
yaitu
kegiatan
transportasi,
sedangkan
perbedaannya adalah terletak pada karakteristik sumber emisinya, pendekatan identifikasi laju emisi, dan pendekatan model dispersi. Sumber emisi sama-sama dari kegiatan transportasi, namun karakteristik sumber emisi berbeda. Pada penelitian Hoesodo (2004), Supriyadi (2009) dan Hidayatullah (2011) sumber emisi merupakan kendaraan yang melaju dengan kecepatan yang konstan pada kecepatan rata-rata cenderung tinggi di jalan raya dengan jarak tertentu. Jadi emisi merupakan fungsi jarak, artinya emisi yang dikeluarkan tergantung dari jarak yang ditempuh kendaraan. Pada studi yang penulis lakukan karakteristik sumber emisi adalah kendaraan, terutama bus, di terminal
yang
melaju
dengan
kecepatan
cenderung
rendah
dan
juga
stasioner/idle karena menunggu penumpang. Jadi emisi tergantung dari lamanya kendaraan beroperasi di dalam terminal (waktu tinggal). Estimasi laju emisi pada penelitian Hoesodo (2004), Supriyadi (2009) dan Hidayatullah (2011) menggunakan pendekatan faktor emisi, yang mengukur laju rata-rata emisi polutan berdasarkan jarak tempuh kendaraan dan nilai faktor emisi. Pendekatan faktor emisi tidak tepat digunakan pada karakteristik sumber emisi di terminal. Pendekatan yang penulis gunakan adalah Kualitas Emisi, yaitu dengan mengukur konsentrasi emisi gas buang kendaraan. Laju emisi ditentukan konsentrasi emisi gas buang kendaraan dan berapa lama bus beroerasi di terminal.
8
Pendugaan konsentrasi polutan di udara ambien pada penelitian Hoesodo (2004), Supriyadi (2009) dan Hidayatullah (2011) pada prinsipnya menggunakan model Gaussian, yaitu mengukur konsentrasi polutan di udara ambien pada titik tertentu (reseptor) yang terletak pada jarak tertentu dari jalan raya. Faktor yang mempengaruhi konsentrasi polutan udara ambien di sekitar reseptor selain besarnya emisi polutan juga kecepatan angin, arah angin, dan stabilitas atmosfir. Pada studi yang penulis lakukan menggunakan Box Model, yang mengukur konsentrasi polutan di udara ambien dalam suatu area yang diibaratkan seperti dalam kotak (box) dengan aktivitas sumber emisi di dalamnya. Faktor yang mempengaruhi selain besarnya emisi adalah kacepatan angin dan volume kotak.