BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Pada
zaman
modern
yang
semakin
berkembang
manusiasemakin meningkat. Perkembangan teknologi
ini,
kebutuhan
yang pesat membuat
masyarakat menjadi lebih konsumtif. Dalam usaha meningkatkan taraf kualitas kehidupannya, masyarakat berlomba-lomba bekerja, baik itu bekerja di lapangan pekerjaan yang telah ada sebelumnya, atau membuat lapangan pekerjaan yang baru. Untuk membuat lapangan kerja yang baru, masyarakat bisa memulai dengan membuat usahanya sendiri. Usaha mandiri ini akan dapat membantu berbagai kalangan. Pembukaan usaha baru ini akan membuka lapangan kerja baru bagi para orang yang mencari pekerjaan, membantu negara mengurangi angka pengangguran, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional di bidang pembangunan ekonomi. Peningkatan taraf kualitas masyarakat dalam menuju bangsa Indonesia yang makmur
merupakan
tujuan
dari
pembangunan
nasional
secara
bertahap.
Pembangunan nasional adalah cerminan kehendak terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila.
1
Pembangunan
nasional
di
bidang
ekonomidapat
dimulai
dengan
pemberdayaan usaha-usaha mandiri kecil dan menengah. Usaha-usaha tersebut akan sangat membantu dalam pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Namun perkembangan usaha-usaha ini kurang memuaskan karena adanya beberapa kendala dalam praktiknya. Beberapa kendala tersebut seperti kurangnya kemampuan teknologi, pelatihan, manajemen, struktur, perijinan, dan yang paling penting adalah pembiayaan. Pengertian pembiayaan berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), Pasal 1 Angka 12, “Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” Pembiayaan bisa didapatkan dari lembaga pembiayaan maupun bank. Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Sedangkan bank, menurut Pasal 1 Angka 2 UU Perbankan adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
2
Bank bertugas menerima simpanan dalam berbagai bentuk dari masyarakat, kemudian menyalurkan kredit yang bersumber dari dana yang telah diterima dari masyarakat sesuai dengan kemampuannya untuk digunakan dalam meningkatkan daya beli baru, dan memberikan jasa dalam peredaran uang dan pembayaran. Bank berfungsi menyimpan dana masyarakat yang telah diterimanya dari layanan jasa penyimpanan dan kemudian juga menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dengan layanan jasa peredaran uang melalui pemberian kredit.1 Bank dapat membantu permasalahan pembiayaan yang dialami oleh usahausaha kecil dengan memberikan modal atau kucuran dana melalui pemberian kredit. Adapun pengertian kredit berdasarkan Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Pemberian kredit oleh bank kepada nasabah bank bukanlah hal yang mudah. Bank sangat berhati-hati dalam memberikan kredit karena jika terjadi kesalahan, akan sangat beresiko bagi bank itu sendiri. Resiko itu dapat berupa kerugian apabila debitur tidak dapat mengembalikan jumlah pinjaman kredit dari bank. Hal inilah yang
1
Soetanto Hadinoto, 2003, How to Develop Successful Retail Banking, Membedah Sukses Bank Ritel, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, h. 1.
3
membuat bank memasang syarat-syarat yang cukup tinggi dan tegas dalam hal mengevaluasi para calon debitur yang ingin mengajukan permohonan kredit. Namun apabila syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank begitu ketat, hal ini akan mengurangi minat calon nasabah bank untuk mengajukan permohonan kredit di bank yang bersangkutan.Hal ini akan berdampak tidak baik terhadap bank dimana kredit memiliki peran yang cukup krusial dalam kegiatan usaha bank. Kegiatan usaha yang pada umumnya dilakukan oleh bank adalah menanamkan dana mereka melalui pemberian kredit, investasi surat berharga, mendanai transaksi perdagangan internasional, penempatan dana pada bank lain, dan penyertaan modal saham.2 Kredit merupakan sumber utama pendapatan dan keuntungan bank. Namun kredit juga merupakan kegiatan penyaluran dana yang paling sering menyebabkan bank beresiko mengalami kerugian. Kemampuan suatu bank dalam mengelola kredit mereka akan mempengaruhi kestabilitas usaha bank tersebut. Usaha bank yang dapat mengelola kreditnya dengan baik, akan berkembang. Sebaliknya, apabila usaha bank yang selalu mengalami kredit bermasalah akan mundur perlahan.3 Usaha bank yang paling cepat dapat merugikan suatu bank adalah pemberian kredit kepada debitur yang tidak berkompeten dalam mengembalikan pinjaman kredit tersebut. Pemberian kredit oleh bank kepada nasabah bankdilengkapi dengan landasan
kepercayaan
yang
kuat
bahwa
2
nasabah
bank
tersebut
mampu
Siswanto Sutojo, 1997, Menangani Kredit Bermasalah: Konsep, Teknik, dan Kasus, Cet. I, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, h. 1. 3 Ibid.
4
mengembalikan pinjaman kredit tersebut beserta bunganya dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Landasan kepercayaan yang kuat tersebut berupa analisa bank terhadap keadaan dan kondisi dari nasabah bank yang bersangkutan yang berpengaruh terhadap kemampuan dan kesediaan nasabah bank melunasi pinjaman kredit. Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan dimana dikatakan, “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.” Hal-hal
yang
diperhatikan
dari
nasabah
banktersebut
berupawatak
(character), kemampuan (capacity), modal (capital), prospek usaha dari nasabah bank (condition of economy), dan agunan (collateral), yang terkenal disebut dengan the C’s of credits atau prinsip 5 C’s. Di dalam bukunya, Siswanto Sutojo (1997) menambahkan satu lagi ke dalam konsep 5 C kredit ini, yaitu kemampuan menghasilkan pendapatan (ability to create incomes). Konsep 5 C’s ini dapat memberikan informasi mengenai itikad baik dan kemampuan membayar nasabah bank untuk melunasi pinjaman kredit.Tidak dapat dipungkiri juga bahwa keadaan faktor-faktor tersebut dapat berubah pada saat sebelum dan sesudah pinjaman kredit
5
diberikan yang menyebabkan kemampuan nasabah bank untuk mengembalikan pinjaman kredit juga berubah.4 Pasal 8 ayat (1) UU Perbankanberbunyi, “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan,” tersirat bahwa bank dapat memberikan kredit tanpa adanya agunan. Namun dalam kenyataannya, bank tidak mau mengambil resiko tersebut dengan tetap memberi syarat kepada debitur untuk memberikan agunan dalam permohonan kreditnya. Agunan merupakan salah satu unsur jaminan pemberian kredit, apabila dilihat dari unsur-unsur lainnya yaitu watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha dari nasabah bank sudah dinilai cukup mampu untuk mengembalikan kreditnya kelak, agunan dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.Apabila nilai barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan belum menutupi hutang debitur, maka bank dapat meminta tambahan agunan yangbisa digunakan untuk menanggung pembayaran kredit tersebut. Penerimaan agunan dari debitur untuk menjamin pengembalian kredit yang diberikan oleh kreditur dilakukan dengan pengikatan agunan atau pembebanan hak
4
Ibid., h. 4.
6
tanggungan terhadap agunan tersebut. Jenis-jenis pengikatan barang agunan ini dibagi menurut sifat bendanya, yaitu benda-benda bergerak dipakai lembaga jaminan fidusia dan atau gadai, sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak dibebani dengan hipotik dan hak tanggungan.5 Hak tanggungan adalah jaminan atas hak atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.6 Penelitian ini secara mengkhusus membahasmengenai hubungan antara perjanjian kredit dengan pengikatan agunan terhadap hak atas tanah beserta bangunan yang dibebani hak tanggungan. Perjanjian atau perikatan antara pihak bank dan nasabahnya atas berbagai agunan merupakan perjanjian accessoir, perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya.Perjanjian pokok di sini adalah perjanjian kredit itu sendiri. Apabila perjanjian pokok tersebut berakhir atau batal, perjanjian accessoir itu akan berakhir atau batal juga.Untuk menghindari resiko dari kemungkinan dirugikannya pihak bank, kreditur dapat meminta jaminan dari debitur dengan menunjuk harta tertentu debitur dan melakukan pengikatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pentingnya peranan agunan dalam pemberian kredit oleh bank kepada nasabah bank menyebabkan diperlukannya perjanjian kredit dan perjanjian accessoir yang kuat dalam mengikat agunan.Karena apabila pengikatan agunan yang lemah
5
H.R. Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 243. 6 Ibid., h. 257.
7
dapat menimbulkan resiko kepada bank untuk tidak dapat mengeksekusi agunan tersebut sebagai jaminan kredit apabila debitur tidak mampu membayar hutangnya. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulisan skripsi ini mengambil judul, “Proses Perjanjian Kredit dengan Pengikatan Agunan terhadap Hak Atas Tanah beserta Bangunan dalam Pemberian Kredit di PT. Bank Pembangunan Daerah Bali”.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, serta agar
permasalahan yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka permasalahan pokok yang akan diteliti adalah: 1) Bagaimana proses pembuatan perjanjian kredit dan pengikatan agunan terhadap hak atas tanah beserta bangunan yang dilakukan oleh PT. Bank Pembangunan Daerah Bali pada saat pemberian kredit kepada debitur? 2) Apa akibat hukum yang ditimbulkan dalam hal perjanjian kredit dan pengikatan agunan terhadap hak atas tanah beserta bangunan tidak dilakukansesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanahdalam pelaksanaannya oleh pihak PT. Bank Pembangunan Daerah Bali?
8
1.3.
Ruang Lingkup Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang diangkat,
ruang lingkup masalah dimaksudkan untuk menghindari penyimpangan dari pembahasan masalah yang telah dirumuskan agar dapat dijelaskan secara sistematis. Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah: 1.
Membahas mengenai bank, kredit, agunan berupa hak atas tanah beserta bangunan, perjanjian kredit, pengikatan agunan, hubungan antara perjanjian kredit dan pengikatan agunan, tata cara proses pembuatan perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang dilakukan di PT. Bank Pembangunan Daerah Bali pada saat memberikan kredit.
2.
Membahas mengenai pengikatan agunan, proses pencairan agunan debitur apabila debitur wanprestasi, kekuatan hukum pengikatan agunan dalam mencairkan agunan debitur, akibat hukum yang ditimbulkan apabila perjanjian kredit dan pengikatan agunan tidak dilakukan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
1.4.
Tujuan Penelitian Penulisan karya ilmiah ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus yang disebutkan sebagai berikut: 1.4.1. Tujuan umum 9
Tujuan umum berupa upaya untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Berikut adalah tujuan umum dari penelitian ini: 1.
Untuk mengetahuiproses pembuatan perjanjian kredit dan pengikatan agunan terhadap hak atas tanah beserta bangunan yang dilakukan oleh PT. Bank Pembangunan Daerah Bali.
2.
Untuk mengetahuiakibat hukum yang ditimbulkan dalam hal perjanjian kredit dan pengikatan agunan terhadap hak atas tanah beserta bangunan tidak dilakukansesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah oleh PT. Bank Pembangunan Daerah Bali.
1.4.2. Tujuan khusus Tujuan khusus mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan masalah yang diangkat dalam karya tulis ilmiah ini, yaitu sebagai berikut: 1.
Untuk mendeskripsikan proses pembuatan perjanjian kredit dan pengikatan agunan terhadap hak atas tanah beserta bangunan yang dilakukan oleh bank pada saat pemberian kredit kepada debitur di PT. Bank Pembangunan Daerah Bali.
10
2.
Untuk mendeskripsikan akibat hukum yang ditimbulkan dalam hal perjanjian kredit dan pengikatanagunan terhadap hak atas tanah beserta bangunan tidak dilakukansesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanaholeh pihak bank.
1.5.
Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan untuk adanya suatu manfaat atau kegunaan dari
hasil penelitian yang telah dikerjakan, karena manfaat penelitian tersebut akan menjadi nilai dari penelitiantersebut. Adapun manfaat dari penelitian karya tulis ilmiah ini adalah: 1.5.1. Manfaat teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum perbankan dan hukum jaminan yang hubungannya saling berkaitan dalam kegiatan pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur. 1.5.2.
Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi untuk keperluan praktek bagi masyarakat luas dan pihak bank untuk menghindari resiko pada saat melakukan kegiatan pemberian kredit. 11
1.6.
Landasan Teoritis Bank berperan dalam siklus peredaran dana yang terjadi di dalam masyarakat.
Bank memiliki tugas untuk menghimpun dana dari masyarakat, menyalurkan kembali dana yang dihimpun tersebut kepada masyarakat/dunia usaha yang membutuhkan, serta menyediakan layanan jasa-jasa tertentu di bidang keuangan dan perbankan.7 Menjalankan tugasnya sebagai penghimpun dan penyalur dana, dan penyedia jasa-jasa lainnya dalam bidang perbankan, usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum diatur di Pasal 6 UU Perbankan: a.
b. c. d.
e.
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; Memberikan kredit; Menerbitkan surat pengakuan utang; Membeli, menjual, atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya; 1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; 2. Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan suratsurat dimaksud; 3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah; 4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI); 5. Obligasi; 6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun; 7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan satu tahun; Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
7
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h. 8.
12
f.
Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya; g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga; h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya; (ketentuan Pasal 6 huruf k dihapus setelah perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan) l. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali amanat; m. Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain yang berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berbagai kegiatan usaha yang dapat dijalankan oleh bank tersebut, menghimpun dana dan memberikan kredit adalah layanan jasa dari bank yang paling umum diketahui oleh masyarakat. Pemberian kredit bagi bank merupakan kegiatan yang utama, karena pendapatan terbesar dari bank berasal dari sektor tersebut baik dalam bentuk bunga, provisi, ataupun pendapatan lainnya.8 Besar kecilnya kredit yang disalurkan akan mempengaruhi keuntungan yang didapat oleh bank dan kelangsungan perkembangan usaha dari bank yang bersangkutan.
8
Jonker Sihombing, 2009, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah, Cet. I, PT. Alumni, Bandung, h. 47.
13
Pemberian kredit oleh bank pada umumnya diawali dengan pengajuan permohonan kredit oleh calon nasabah bank melalui surat permohonan permintaan kredit dengan cara mengisi formulir yang telah disediakan. Kredit dapat diberikan apabila telah mencapai persetujuan atau kesepakatan antara pihak bank dan calon debitur bahwa pihak debitur akan melunasi utangnya setelah jangka waktu yang telah ditentukan bersama dengan bunganya. Syarat-syarat terjadinya suatu persetujuan yang sah disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata). Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang halal.9 Latar belakang hubungan hukum antara kreditur dengan debitur adalah asas konsensualisme yang tercermin pada Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata, yakni kata sepakat yang merupakan salah satu syarat subjektif untuk melahirkan perjanjian. Objek dalam perjanjian kredit merupakan uang atau yang dipersamakan dengan itu yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 1320 angka 4 jo Pasal 1337 KUH Perdata.10
9
Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim H.S. I), h. 33. 10 Tan Kamello, 2006, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan antara Bank dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, h. 14-15.
14
Kredit menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan adalah, “penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu denganpemberian bunga.” Dilihat dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-unsur dari kredit yaitu persetujuan, kepercayaan, waktu, degree of risk, dan prestasi.11 Unsur kepercayaan dari unsur-unsur kredit merupakan hal yang penting dalam mendasari proses pemberian kredit. Dimana debitur percaya bahwa bank akan memberikan sejumlah kredit yang telah disetujui, dan kreditur percaya bahwa debitur akan melunasi utangnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan beserta dengan bunganya. Kepercayaan kreditur terhadap debitur dibangun dari penilaian-penilaian yang dilakukan dalam penerapan the five C of credit atau prinsip 5C. The five C of creditmeliputi penilaian watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan kondisi ekonomi (condition of economy). 1) Penilaian Watak (Character) Penilaian watak dimaksudkan untuk mengetahui iktikad baik dan kejujuran calon debitur untuk melunasi utangnya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. Informasi ini dapat diperoleh dari
11
Thomas Suyatno et.al., 2007, Dasar-dasar Perkreditan, Cet. XI, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 14.
15
hubungan yang dibangun oleh kreditur dengan calon debitur, moral, kepribadian, dan perilaku calon debitur dalam kehidupan sehari-harinya. 2) Penilain Kemampuan (Capacity) Bank mempelajari kemampuan calon debitur dalam mengelola usahanya, untuk meyakinkan bank bahwa pada jangka waktu yang ditentukan, calon debitur dapat mengembalikan utangnya. 3) Penilain terhadap Modal (Capital) Bank menganilisis kondisi keuangan calon debitur secara menyeluruh, baik yang di masa lalu maupun yang akan datang, sehingga dapat mengetehaui kedaan permodalan debitur dalam membiayai proyek atau usahanya. 4) Penilaian terhadap Agunan (Collateral) Dalam pengajuan permohonan kredit, calon debitur diwajibkan untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan dan minimal memiliki nilai yang sama dengan kredit yang dipinjam. 5) Kondisi Ekonomi (Condition of Economy) Keadaan perekonomian di sekitar tempat tinggal calon debitur juga diperhatikan untuk memperhitungkan kondisi ekonomi yang akan terjadi di masa mendatang. Kondisi ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain
16
seperti daya beli masyarakat, luar pasar, persaingan, perkembangan teknologi, bahan baku, dan pasar modal.12 Pentingnya unsur kepercayaan dalam pemberian kredit ditekankan kembali dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan yang berbunyi bahwa “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.” Selain menekankan pada unsur kepercayaan, Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan juga menyiratkan bahwa bank dapat memberikan kredit hanya dengan keyakinan bahwa debitur akan sanggup membayar utangnya di kemudian hari. Namun pada prakteknya, bank yang menyediakan fasilitas penyaluran kredit tetap memasang syarat penyerahan agunan dari debitur untuk menjamin utangnya apabila debitur wanprestasi di masa mendatang. Pengertian agunan sesuai dengan Pasal 1 angka 23 UU Perbankan adalah “sebagai jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.” Agunan merupakan unsur yang paling penting dalam pemberian kredit, dibanding dengan jaminan berupa keyakinan bahwa calon debitur mampu membayar
12
Rachmadi Usman, 2003, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 246.
17
utangnya. Hal ini dikarenakan agunan merupakan sesuatu yang jelas, yang memiliki nilai, yang dapat dicairkan di kemudian hari apabila debitur tidak dapat melunasi utangnya, dibanding dengan jaminan yang bersifat abstrak yang dinilai dari analisis terhadap debitur yang bersifat subjektif. Istilah jaminan dan agunan dianggap sebagai hal yang sama dalam dunia perbankan, dimana kedua istilah tersebut memiliki maksud yang sama namun dengan pengertian yang berbeda. Menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang telah diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan agunan adalah agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penelitian lembaga pemerintahan yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Agunan dapat berupa benda berwujud yang dibagi menjadi benda/barang bergerak dan atau benda/barang tidak bergerak. Sedangkan benda/barang tidak berwujud yang lazim diterima oleh bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih debitur terhadap pihak ketiga.13 Benda/barang bergerak yang dapat dijadikan sebagai agunan berupa kendaraan bermotor, logam mulia, stok barang, dan
13
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 214.
18
sebagainya yang dapat dinilai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan benda/barang tidak bergerak yang dapat dijadikan agunan berupa tanah, bangunan, kapal berukuran 20 m3 (dua puluh meter kubik) ke atas, dan lain-lain termasuk mesinmesin pabrik yang melekat dengan tanah. Pembagian barang bergerak dan tidak bergerak ini diatur dari Pasal 506 sampai dengan Pasal 518 KUH Perdata.14 Terhadap masing-masing benda bergerak dan tidak bergerak yang dijaminkan sebagai agunan kredit digunakan pengikatan agunan yang berbeda-beda. Terhadap benda bergerak digunakan lembaga jaminan fidusia dan gadai. Sedangkan untuk benda tidak bergerak digunakan hipotik dan pembebanan hak tanggungan. Dilihat dari benda-benda yang dapat dijadikan sebagai objek agunan kredit, tanah merupakan benda dengan nilai ekonomis yang paling stabil diantara yang lainnya. Harga tanah di pasaran pada saat ini sangatlah tinggi, sehingga dapat dijaminkan untuk permohonan kredit yang besar pula. Dengan besarnya jumlah kredit yang dipinjamkan tersebut, kredit yang dijaminkan dengan tanah memiliki resiko yang lebih tinggi, sehingga diperlukan proses perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang tepat guna menghindari resiko yang dapat merugikan bank. Hak tanggungan merupakan salah satu bagian dari jaminan kebendaan. Objek dari hak tanggungan adalah bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan kesatuan dengan tanah; dan hak pakai atas tanah negara tertentu. Adapun asas-asas umum hak kebendaan yang mempengaruhi hak tanggungan, meliputi:
14
H.R. Daeng Naja, loc.cit.
19
1.
Asas sistem tertutup: bahwa hak-hak atas benda bersifat limitatif, terbatas hanya pada yang diatur oleh undang-undang. Di luar itu, dengan perjanjian tidak diperkenankan menciptakan hak-hak yang baru.
2.
Asas hak mengikuti benda/zaaksgevolg, droit de suite: bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7 dan Penjelasan Umum angka 3 huruf b UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan
dengan
Tanah
(selanjutnya
disebut
UU
Hak
Tanggungan)). Dengan berlakunya asas ini, apabila objek hak tanggungan telah dijual dan dialihkan menjadi milik pihak ketiga, kreditur tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan apabila debitur wanprestasi. 3.
Asas publisitas: pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan (Pasal 13 ayat (1) UU Hak Tanggungan).
4.
Asas spesialitas: menunjukkan dengan jelas wujud, batas, letak, dan luas tanah (Pasal 11 ayat(1) huruf e dan Penjelasan Umum angka 3 huruf c UU Hak Tanggungan). Asas ini terdapat pada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap.
5.
Asas totalitas: hak kepemilikan hanya dapat diletakkan terhadap objeknya secara totalitas dengan perkataan lain hak itu tidak dapat diletakkan hanya untuk bagian-bagian benda (Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan).
20
6.
Asas accessie/asas pelekatan: pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap. Dengan demikian status benda pelengkap mengikuti status benda pokok (Pasal 4 ayat (4), (5) dan Penjelasan Umum angka 6 UU Hak Tanggungan).
7.
Asas pemisahan horizontal: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas pelekatan, sedangkan UU Hak Tanggungan menganut ajaran bahwa hak atas tanah terpisah dari benda-benda yang melekat di atasnya (Penjelasan Umum angka 6). Jika bangunan dan tanaman akan mengikuti jual beli hak atas tanah, dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli.
8.
Asas dapat diserahkan: hak pemilikan mengandung wewenang untuk menyerahkan benda. Dalam perihal hak tanggungan, dimana objek berupa tanah dan bangunan, proses penyerahan benda ditemukan dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 21 UU Hak Tanggungan.
9.
Asas perlindungan: asas ini dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu perlindungan untuk golongan ekonomi lemah dan kepada pihak yang beritikad baik (to goeder trouw) walaupun pihak yang menyerahkannya tidak wenang berhak (beschikkingsonbevoegd). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1977 KUH Perdata.
21
10. Asas absolute (hukum pemaksa): hak kebendaan itu wajib dihormati atau ditaati oleh setiap orang yang berbeda dengan hak relatif.15 Kompleksnya proses pemberian kredit kepada calon debitur, bank sangat berhati-hati dalam menganalisis data-data yang diperlukan dalam prosedur permohonan kredit oleh debitur. Dari tahapan-tahapan yang diperlukan dalam membuat perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, hingga langkah-langkah dalam pengikatan agunan sebagai perjanjian accessoir, sebaiknya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemungkinan terjadinya kelalaian dari tahapan-tahapan prosedur tersebut dapat menyebabkan bank kehilangan kekuatan hukum dari perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang menyebabkan bank tidak dapat mengeksekusi agunan yang dijaminkan jika debitur wanprestasi. Hal ini akan dapat menimbulkan masalah dalam kelangsungan dari usaha bank yang bersangkutan.
1.7.
Metode Penelitian Metode penelitian merupakan kerangka kerja untuk melakukan penelitian
kepustakaan ataupun penelitian lapangan dalam mencari jawaban dari rumusan
15
Mariam Darus Badrulzaman, 2010, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, PT. Alumni, Bandung, h. 36.
22
masalah yang diangkat dalam suatu penelitian.16 Berikut adalah metode penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini:
1.7.1. Jenis Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.17 Ada dua jenis penelitian yang pada umumnya digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Jenis penelitian yang diterapkan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian hukum empiris. Dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata. Penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan hukum empiris biasa disebut socio-legal research, anthro-legal research dan pendekatan-pendekatan sosial terhadap hukum lainnya, atau juga dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum nondoctorinal, namun pada intinya adalah sebuah kegiatan pencarian data empiris. Peneliti hukum yang melakukan penelitian dengan pendekatan nondoctrinal lazimnya mengambil fokus kajiannya pada aspek proses, misalnya proses
16
Hani Halifudin, 2012, Tips Memilih Tema Skripsi + Menggarapnya dengan Tuntas, Cet. II, DIVA Press, Jogjakarta, h. 127. 17 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cet. VII, Prenada Media Group, Jakarta, h. 35.
23
pengambilan keputusan hukum baik dari segi tindakan pelaku pengambil keputusan ataupun kerja institusi dimaksud yang diatur oleh hukum.18 Hal yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana proses kegiatan pemberian kredit oleh bank kepada debitur dan proses pengikatan agunan terhadaphak atas tanah beserta bangunan yang dilakukan oleh bank di PT. Bank Pembangunan Daerah Bali.
1.7.2. Jenis Pendekatan Penelitian hukum umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan, yakni pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan frasa, pendekatan sejarah, dan pendekatan perbandingan. Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat dalam karya tulis ilmiah ini, jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fakta, yaitu pencarian fakta-fakta yang terjadi di dalam masyarakat mengenai rumusan masalah yang dibahas. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan perundang-undangan, dimanaperaturan perundang-undangan yang berlaku menjadi bahan hukum dalam penelitian ini.
18
Ade Saptomo, 2009, Pokok-pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, Cet. I, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 34-39.
24
Penelitian karya tulis ilmiah ini digunakan dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan fakta (the fact approach) dan pendekatan perundang-undangan (the statute approach).
1.7.3. Sifat Penelitian Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dibedakan menjadi penelitian eksploratif
(penjajakan
atau
penjelajahan),
penelitian
deskriptif,
penelitian
eksplanatoris, dan penelitian verifikatif. Dilihat dari permasalahan, penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan mengetahui secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
1.7.4. Data dan Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari penelitian langsung di lapangan yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama di lapangan yaitu koresponden maupun informan di PT. Bank Pembangunan Daerah Bali. Data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan seperti Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang-Undang Nomor 4 25
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966, Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang,Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb.Tanggal 8 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit,Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR, dan literatur-literatur yang memuat mengenai perjanjian kredit dan pengikatan jaminannya.
26
1.7.5. Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang diterapkan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian hukum empiris, maka penelitian akan dilakukan di lokasi penelitian yang berkaitan dengan rumusan masalah yang diangkat, yaitu di PT. Bank Pembangunan Daerah Bali selaku sebagai kreditur yang menyediakan layanan jasa pemberian kredit kepada nasabahnya. PT. Bank Pembagunan Daerah Bali merupakan bank milik pemerintah daerah Bali yang memberikan fasilitas kredit kepada masyarakat Bali, patutlah dikaji prosedur pemberian kredit dan pengikatan agunan yang diterapkan oleh bank bersangkutan untuk menghindari resiko kredit macet dan mengamankan kas daerah.
1.7.6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data, yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran kuisioner atau angket. Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan pertanyaanpertanyaan yang muncul pada saat wawancara berlangsung.
1.7.7. Teknik Analisis Penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal dengan model-model analisis seperti analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Penerapan masing-masing
27
analisis tersebut di atas sangat tergantung dari sifat penelitian dan sifat data yang dikumpulkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan fakta dan pendekatan perundangundangan, maka teknik analisis yang akan digunakan adalah teknik analisis data kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul, baik dari data primer, maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.
28