BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan Kehidupan sebuah agama tidak mungkin dilepaskan dari identitasnya. Identitas1 hidup keagamaan adalah spiritualitas, yaitu iman kepercayaan yang mewujud dalam praktek beserta motivasi-motivasi yang mendorong terwujudnya praktek keagamaan tersebut. Sehubungan dengan hal itu, menurut Jan Hendriks2, Gereja yang memiliki identitas dan konsepsi identitas yang jelas akan membuat suatu gereja menjadi menarik dan vital. Menurut Chr De Jonge dan Jan Aritonang, Gereja adalah organisasi dan organisme yang mengantar keselamatan Allah didalam Yesus Kristus kepada manusia (segi obyektif). Di situ orang-orang percaya datang ke gereja untuk mendengarkan Firman yang disampaikan dalam kotbah atau ajaran serta menerima sakramen-sakramen yang dilayankan. Gereja juga sekaligus merupakan tempat persekutuan manusia yang menjawab, memberi dan mengungkapkan iman dan ibadah kepada Allah (segi subyektif). Selain itu Gereja adalah persekutuan orang percaya yang diutus untuk mengantar keselamatan Allah kepada seluruh dunia (segi apostoler atau segi ekstravert). Dengan demikian, Gereja tidak hanya merupakan jembatan antara Allah dan orang-orang percaya, tetapi juga jembatan antara Allah dan dunia3. Sehingga
1
Identitas adalah kekhasan organisasi, menunjuk pada sesuatu yang mencirikan dan membedakannya dari grup lain. Identitas adalah definisi diri grup tertentu tentang siapa saya? Apa misi saya dalam kultur dan masyarakat ini? 2 J.Hendriks, Jemaat Yang Vital Dan Menarik. Kanisius.Yogyakarta 3 Dr. Chr. De Jonge dan Dr. Jan S.Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja? (Pengantar Sejarah Eklesiologi). BPK Gunung Mulia. Jakarta.1997, hal 5. Didalalam buku tersebut, disebutkan bahwa
Gereja secara terus-menerus ditantang untuk merumuskan identitas dan konsepsi identitasnya dalam konteks kultur dan masyarakatnya. Menurut Jan Hendriks4, identitas Gereja hendaknya bersifat pasti dan utuh, namun berdasarkan sejarah dapat dilihat bahwa penekanan dari ketiga segi obyektif, subyektif dan ektravert tersebut tidaklah selalu sama. Selama berabad-abad, Gereja telah bergumul untuk mencari keseimbangan antara segi institusional atau obyektif, segi subyektif dan segi ekstravert. Sebagai contoh, dalam pengamatan penulis adalah bahwa Gereja kerap kali memberi penekanan kepada pembinaan spiritualitas yang sifatnya ke dalam (perjumpaan dengan Tuhan) dan mengabaikan pelayanan-pelayanan sosial (aspek ekstravert), demikian juga terjadi sebaliknya. Padahal 3 (tiga) aspek tersebut merupakan pengejawantahan iman Kristen yang menyatu yaitu relasi vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan relasi horisontal (hubungan dengan sesama) yang semestinya diseimbangkan, menyatu dan tak terpisahkan. Gereja dalam melaksanakan aspek ekstravert dengan melakukan pelayanan-pelayanan sosial seharusnya juga selalu dibarengi dengan internalisasi diri dan refleksi dalam terang hidup iman, sehingga tidak terjebak pada aktivisme dan dilema cara berpikir yang bias dari iman Kristen. Dan pada gilirannya dengan mudah Gereja sebagai lembaga yang memiliki kumpulan ajaran, ritus dan kultus akan dipakai untuk kepentingan-kepentingan ideologis tertentu. Sebaliknya jika aspek obyektif dan subyektif lebih ditekankan, maka itu berarti bahwa fungsi domestik (memenuhi kebutuhan jemaat sifatnya ke dalam) sebagai salah satu fungsi agama menjadi fungsi yang lebih ditonjolkan daripada fungsi kritis inovatifnya yang berdasarkan teologis sistematis gereja memiliki beberapa segi yaitu: segi obyektif, segi subyektif dan segi apostoler (ekstravert). 4 J. Hendriks, Jemaat Yang Vital dan Menarik, Kanisius. Yogyakarta.
mengharuskan gereja memainkan peran katalisator bagi perubahan-perubahan sosial. Oleh karena itu demi sebuah kesimbangan Hendriks mengusulkan 3 (tiga) unsur identitas Gereja yaitu: doa, persahabatan, dan pelayanan kepada kaum yang paling miskin. Sedangkan Jim Herrington5 menambahkan ketiga unsur identitas Gereja yaitu spiritualitas dan relasi yang vital. Menurut Herrington, spiritualitas dan relasi yang vital adalah jantung dan sumber energi dari suatu proses transformasi. Tanpa sebuah tingkatan spiritualitas dan vitalitas yang cukup, maka suatu gereja tidak akan mampu mendukung proses transformasi. Jemaat yang tidak memiliki komitmen untuk mentaati Allah atau mengalami perpecahanperpecahan serius juga tidak akan dapat melaksanakan transformasi, karena sesungguhnya antara spiritualitas dan proses transformasi memiliki keterkaitan erat. Proses transformasi adalah segala daya upaya Gereja untuk mewujudkan Kerajaan
Allah
dan
dalam
melaksanakan
proses
transformasi,
Gereja
membutuhkan kekuatan atau Roh untuk tahan uji. Spiritualitas transformatif berarti menyatukan sikap dan praktek iman sebagai pelaksana tugas perutusan Gereja menjadi mitra Allah dalam mewujudkan Kerajaan Allah.
Penulis
menduga bahwa salah satu penyebab adanya pemisahan antara spiritualitas dan pelayanan sosial disebabkan tidak jelasnya gereja dalam memahami istilah spiritualitas dalam sebuah pemahaman yang utuh dan padu.
Hal ini juga
merupakan bukti bahwa makna spiritualitas mengalami berbagai penyempitan dan pendangkalan arti, dalam cara berpikir yang dikotomis. Menurut Banawiratma
5
Jim Herrington Cs, Leading Congregational Change Wordbook, Jossey-Bass A Willey Company. New York. Th 2000. Lihat dalam pendahuluan.
dkk6 spiritualitas sebenarnya mempunyai pengertian yang lebih luas yang harusnya terwujud dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Spiritualitas merupakan kesadaran dan sikap hidup manusia untuk tahan uji dalam mewujudkan tujuan dan pengharapan perwujudan Kerajaan Allah7. Dengan demikian yang dimaksud dengan spiritualitas transformatif adalah iman kepercayaan yang terwujud dalam praktek beserta motivasi yang mendorong praksis gereja dan masyarakat.
1.1 Sejarah Pergulatan Spiritualitas dan Maknanya Menurut Juergen Moltmann8 memahami spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari sejarah yang membentuknya. Kenyataan secara historis membuktikan bahwa pemahaman tentang spiritualitas mengalami dinamika dalam makna dan cakupannya, misalnya: pada abad ke V, pemahaman spiritualitas Kristen dilihat sebagai pemisahan antara yang rohani dan yang materi dalam praktek hidup asketis serta anti materi. Pada abad XII sampai abad XVI, pemahaman spiritualitas Kristen bergeser ke suatu bidang teologi yang terkait dengan kesempurnaan hidup dan cara-cara untuk mencapainya. Selanjutnya pada abad XVII, usaha hidup kudus semakin mendapat perhatian yang besar khususnya di
6
JB. Banawiratma (Editor) Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekumenis. Penerbit Kanisius. 1990. Jogjakarta, hal 58 7 Menurut Penulis, Gereja tidak identik dengan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah dimulai oleh Allah yang menunjuk pada pemerintahan Allah yaitu kawasan dimana kehadiran dan kuasa Allah berlaku dan dialami. Sedangkan Gereja adalah perhimpunan atau persekutuan yang mengalami kuasa Allah. Kerajaan Allah menciptakan gereja dan bekerja melalui gereja untuk mewartakannya. Gereja adalah saksi, alat dan sekaligus pemelihara Kerajaan Allah. 8 Lihat dalam Bab IV The Spirit of live: Spirituality or Vitality? Dalam buku karangan Juergen Moltmann: The Spirit of live: A Universal Affirmation. Fortress Press. Minneapolis.1992. p 84-85. Dalam buku ini Moltmann menegaskan bahwa spiritualitas yang sesungguhnya meliputi dimensi-dimensi kehidupan yang utuh dan luas yang digerakkan oleh Roh Kudus sebagai Roh kehidupan.
kalangan Moravian dan Methodis. Penekanan
hidup ilahi dan kudus
mencerminkan adanya tradisi-tradisi spiritualitas yang lebih merupakan pengalaman mistis, meskipun ada juga yang memandang spiritualitas sebagai ilmu yang mempelajari anugerah-anugerah dalam doa-doa mistis di kalangan orang-orang percaya9. Lebih lanjut Juergen Moltmann10 mengatakan bahwa dalam sejarahnya spiritualitas sering diartikan sebagai cara hidup yang meninggalkan dunia, secara khusus menekankan pengalaman akan Allah yang dihubungkan dengan hidup asketis, meditasi dan kontemplasi. Setiap corak spiritualitas yang dipilih oleh Gereja pasti tidak terpisahkan dari konteks masyarakatnya dan zamannya. Sejarah membuktikan bahwa Gereja pernah menempatkan tujuan-tujuan spiritualitas terpisah dengan panggilan kehidupan Kristen di dunia dan kepada dunia. Bertolak dari deskripsi sejarah tersebut, nampaknya Gereja jaman sekarang mempunyai tugas untuk mengintegrasikan spiritualitas dengan panggilan Kristen di dunia dan kepada dunia. Salah satunya adalah mengintegrasikan spiritualitas dan pelayanan-pelayanan sosial sebagai wujud karya dan pelayanan di tengah-tengah konteksnya.
1.2 Antara Hambatan dan Peluang Pada abad ke XXI ini, sesungguhnya telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia ilmu pengetahuan yang melihat dunia termasuk manusia secara keseluruhan
9
Aristarkhus Sukarto, Modernitas dan Spiritualitas: Refleksi Misi atas Pergumulan Untuk Memahami Spiritualitas Kristen dan Aplikasinya dalam Era ini. Paper bahan kuliah Misi Gereja Dalam Konteks. Tanpa tanggal dan tahun, hal 2 10 Juergen Moltamann, The Spirit of Live: A Universal Affirmation. Fortress Press. Minneapolis.1992. p-85
dari pada sebagai bagian yang terpisah-pisah11. Danah Zohar dan Ian Marshall memperkenalkan satu model kecerdasan yaitu kecerdasan spiritual, (SQ) yaitu kemampuan manusia untuk memecahkan masalah-masalah tentang makna dan nilai-nilai. Dengan kecerdasan spiritual diyakini manusia dapat menempatkan tindakan dan hidupnya di dalam konteks yang paling luas dan kaya makna, yaitu suatu kecerdasan yang dapat membuat tindakan dan bagian hidup manusia menjadi
lebih bermakna. Menurut keyakinan Zohar dan Marshall, SQ akan
mendasari efektivitas berfungsinya IQ dan EQ. Zohar dan Marshal mengutip Webster’s dictionary yang mendefinisikan spirit sebagai daya hidup atau prinsipprinsip vital yang memberikan hidup kepada organisme fisikal yang berbeda pada dirinya dengan elemen-elemen material. Harus diakui bahwa manusia secara esensial adalah pencipta spiritual karena diarahkan oleh kebutuhan pertanyaan yang fundamental atau pertanyaan yang mendasar. Manusia selalu diarahkan dan akhirnya harus mendifinisikan harapan untuk menemukan makna dan nilai di dalam karya dan pengalamannya12. Dengan demikian menurut Zohar dan Marshall dalam bukunya Spiritual Quotient melihat spiritualitas sebagai kemampuan manusia yang berfungsi sebagai pendorong menciptakan nilai atau makna yang disebut “God Spot”. Karena perspektif pendekatannya yang lebih bersifat psikologis, maka pengertian spiritualitas yang dimaksudkan dalam buku itu tidak terkait dengan pemahaman iman agama tertentu. Jika diperbandingkan
11
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Spiritual Intellegence The Ultimate Intellegence. Bloomsbury Publishing. New York and London.2000, hal 18 dibab 2 (dua) yang membahas tentang krisis makna dikutip dari sebuah pernyataan Viktor Frankyl. 12 Ibid, hal 4
dengan pengertian spiritualitas Kristen menurut McGrath13 adalah sesuatu yang memberi hidup dan memberi semangat, gairah, daya juang kepada manusia. Spiritualitas terkait dengan kehidupan iman dan segala variabel-variabel yang mendorong dan memotivasi kehidupan iman. Juga segala sesuatu
yang
dieksplorasi untuk menolong, menyokong dan mengembangkan kehidupan iman. Spiritualitas bekerja dalam kehidupan nyata iman seseorang, yang berkenaan dengan tindakan dan kepercayaan. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya sekedar ide, meskipun ide-ide dasar tentang iman Kristen penting untuk memperjelas spiritualitas Kristen. Hal ini berkenaan dengan cara hidup Kristen yang dipahami dan dihidupi serta pengertian penuh terhadap realitas Allah. Selanjutnya McGrath14 mengatakan bahwa spiritualitas Kristen sebagai refleksi dari keseluruhan “Christian enterprise of achieving and sustaining a relationship with God, which icludes both public worship and private devotion, and the results of these in actual Christian life”. Spiritualitas Kristen merujuk kepada cara hidup Kristen yang dipahami dan secara eksplisitit menunjuk pada latihan-latihan rohani dan penyembahan kepada Allah untuk mengembangkan dan mendukung cara hidup yang berhubungan dengan Kristus. Spiritualitas Kristen dipahami sebagai cara Orang Kristen secara pribadi atau kelompok berkenaan dengan pengalaman perjumpaan dengan Allah. Kekristenan paling tidak terdiri dari 3 (tiga) elemen pokok15: pertama, suatu sistem kepercayaan (a set of belief) bagian-bagiannya adalah doktrin, kredo, pernyataan iman. Kedua, suatu sistem nilai-nilai (a set of values). Kekristenan secara kuat menekankan kehidupan etis iman. Nilai-nilai itu 13
Alister E McGrath, Christian Spirituality. Blackwell Publishers. Malden Massachusetts USA.1999, hal 2 Alister E. McGrath, ibid, hal 3 15 Ibid, hal 3 14
dihubungkan dengan karakter dan pribadi Kristus dari Nazaret yang dihormati dan diteladani sebagai dasar hidup iman dan teladan utama sebagai pengikut Allah. Ketiga, suatu cara hidup ( a way of life). Kekristenan tidak hanya berisi kepercayaan dan nilai-nilai, namun kehidupan nyata yang mengekspresikan ideide dan nilai-nilai dalam suatu cara hidup.
1.3 Wacana tentang Spiritualitas dan Hubungannya dengan Pelayanan Sosial Wacana tentang spiritualitas dan hubungannya dengan pelayanan sosial menarik minat kaum Liberatif. Spiritualitas menurut pandangan liberatif dapat dilihat dari salah satu tokohnya yaitu Aloysius Pieris yang memberi apresiasi terhadap Konsili Vatican II yang membuka pintu bagi perumusan komprehensif dari hal yang secara tradisional telah dikotak-kotakan seperti liturgi, spiritualitas, dan keterlibatan sekular (sosio-politis). Meskipun ketiga hal tersebut ditempatkan sejajar, menurut Pieris bisa bergeser kepada pemisahan rangkap tiga yaitu16: pertama, litugi berhadapan dengan spiritualitas. Kedua, spiritualitas berhadapan dengan keterlibatan sekular. Ketiga, keterlibatan sekular berhadapan dengan liturgi. Selanjutnya Pieris mengatakan bahwa ketiga unsur tersebut seharusnya tidak dilihat secara dikotomis, melainkan sebagai kesatuan yang saling mencakup dari satu kehidupan Kristiani sejati seperti lingkaran yang tak terputus. Menurut Pieris, spiritualitas adalah masuknya kawasan Roh ke dalam penghayatan orang beragama, yang membawa ke dalam kawasan yang melampaui ajaran-ajaran dan mendekatkannya kepada sesama manusia dan alam, maka selanjutnya manusia 16
Aloysius Pieris SJ, Berteologi Dalam Konteks Asia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 1996, hal 21
memberi respon dan penyerahan diri yang total, akrab dan intim, personal dan hangat, dan penuh bakti darinya kepada Roh. Dengan menemukan kembali hakikat spiritualitas, maka agama dan umat beragama akan memberi sumbangan yang positif bagi usaha-usaha pembangunan masyarakat yang terarah kepada persaudaraan dan cinta kasih semesta17. Selain Pieris, seorang teolog Indonesia Eka Darmaputra18 juga turut mempertanyakan inti atau sari pati agama. Dengan mengutip pendapat William James (lihat bukunya The Varietes of Religious Experience: A Study in Human Nature) bahwa yang paling inti dan paling hakiki dari agama adalah pengalaman, khususnya pengalaman yang unik, lain dari pada yang
lain,
yang
dasyat
dan
mengurung,
mencengkeram
sepenuhnya
(overwhelming) orang yang mengalaminya dan mengubahnya secara total dan radikal. Jadi inti dari agama adalah religious experience (pengalaman religius) yang pada akhirnya mampu mengubah orang yang mengalaminya. Namun menurut Eka Darmaputra harus diakui bahwa kemampuan untuk mengubah ini bisa mengalami penurunan atau bersurut. Menurut E.Darmaputra, penerusan dan pewarisan pengalaman keagamaan dilakukan dalam proses, yang mengambil 3 (tiga) bentuk19: pertama, pengalaman agamaniah yang diberi bentuk kognitif yang selanjutnya direfleksikan dalam bentuk mitos, doktrin dan dogma. Kedua, pengalaman agamaniah yang diberi bentuk ekspresif, untuk memenuhi kebutuhan emosional manusia yang diterjemahkan, didramakan, dan diperagakan dalam bentuk ritus-ritus, upacara-upacara ibadah. Ketiga, pengalaman agamaniah yang
17
Catatan Redaksi, lihat dalam pengantar dengan tema Agama dan Spiritualitas Jurnal Penuntun (Jurnal Teologi dan Gereja) Vol 3, No.12, Juli 1997. Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat. Jakarta.1997 18 Lihat “Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar” Eka Darmaputra dalam Ibid, hal 388 19 Ibid, hal 390-391
diberi bentuk praktis, guna memenuhi kebutuhan fungsional manusia. Pengalaman agamaniah yang dijabarkan dalam bentuk norma-norma dan aturanaturan praktis untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu etika. Menurut Eka Darmaputera penerusan dan pewarisan pengalaman melalui ketiga proses tersebut bisa menurun atau surut, maka dari itu ia mengusulkan bahwa upaya untuk mengatasi penurunan dalam kemampuan agama untuk mengubah manusia adalah dengan merevitalisasikan spiritualitas 20. Dan yang dimaksudkan yaitu revitalisasi spiritualitas yang mampu memadukan ketaatan yang mutlak kepada Allah dan kasih yang total kepada sesama21
1.4 Pergulatan Spiritualitas GKI Manyar Surabaya GKI Manyar mengalami pergulatan spiritualitas yang agak menonjol untuk dieksplorasi, khususnya dalam perspektif pembangunan jemaat.
Pergulatan
spiritualitas di GKI Manyar sempat menimbulkan pro-kontra karena menekankan pada aspek-aspek tertentu dalam spiritualitasnya22. Pro-kontra tersebut terbagi dalam 2 (dua) kelompok, pertama: yaitu kelompok jemaat yang ingin bertahan dengan corak spiritualitas model GKI dan warisan tradisinya serta identitasnya. Kedua, kelompok yang ingin mengembangkan spiritualitas yang lebih bebas (dalam terminologi liturgis), menekankan karya Roh Kudus, memberikan tempat pada pengalaman iman dan unsur perasaan atau emosi, menonjolkan kehidupan doa dan kekudusan hidup dan sebagainya.
20
Dalam pergulatan spiritualitas GKI Manyar terjadi penekanan pada
Ibid, hal 393. Ibid, hal 395 22 Hasil wawancara dengan Pendeta GKI Manyar DS, pada tanggal 3 Januari 2005 21
aspek pengalaman yang menimbulkan “perpecahan”23 karena hanya hal yang bersifat supranatural semata yang dikejar24. Sedangkan dampak positif pergulatan spiritualitas yaitu terjadi pengembangan spiritualitas jemaat. GKI Manyar memiliki aktivitas dan pembinaan spiritualitas kepada jemaat dengan mengadakan 2 (dua) persekutuan doa di hari Selasa (dalam bentuk doa kontemplatif/Taize) dan doa malam pada setiap hari Kamis dalam corak Kharismatik25. Penulis berminat untuk melihat, sejauh mana aktivitas doa-doa tersebut mentransformasi jemaat baik secara personal maupun komunal, khususnya hingga dorongan imperatif untuk melakukan aksi pelayanan sosial. Sedangkan secara geografis, lokasi GKI Manyar dapat dikategorikan berada dalam suatu lokasi perumahan “elit”, namun di sekitarnya dikelilingi oleh perkampungan masyarakat miskin. Posisi demografi yang demikian penting untuk dieksplorasi, sejauh mana spiritualitas jemaat menjawabi masalah-masalah sosial masyarakat, khususnya konteks kemiskinan yang ada disekitarnya. Penulis berminat 23
Hal ini tercermin dari visi GKI Manyar yaitu menjadi keluarga besar Allah yang harmonis, bertumbuh dalam iman dan mampu berbagi dengan lingkungan
24
Hasil wawancara dengan aktivis pemuda GKI Manyar PT, pada tanggal 20 Februari 2005. Realita ini juga dicerminkan dengan visi dan misi GKI Manyar 2005-2007 dimana GKI Manyar diibaratkan sebagai keluarga besar Allah yaitu masing-masing anggotanya diikat oleh sebuah komitmen untuk saling peduli, menerima dan saling mendidik. Pentingnya komitmen ini karena ia bersifat mengikat dan memberikan ciri khas yang membedakan gereja dari organisasi sosial lainnya. Realita seluruh keluarga besar adalah adanya keragaman keluarga besar Allah menerima keragaman sebagai kekayaan yang indah. Keragaman meliputi karakter, temperamen, latar belakang pendidikan, suku bangsa dan lain-lain. Untuk itu diperlukan sikap dan pandangan positif serta pengorbanan diri pada satu sisi, serta upaya penataan dan pertanggung jawaban pada nilai yang lain. Keharmonisan dipandang sebagai keseimbangan antara menerima perbedaan dan mendorong supaya penataan dan pertanggung jawaban. Ciri sebuah warga dimanapun adalah adanya pertumbuhan masing-masing anggotanya. 25 GKI Manyar merupakan GKI di Surabaya yang pertama kali mengadakan Persekutuan Doa Taize. Model doa kontemplatif atau Taize dilakukan dengan cara menyanyi lagu-lagu pendek tetapi dalam maknanya secara diulang-ulang, doa dalam keadaan hening, tidak ada khotbah, hanya pembacaan ayat alkitab tanpa ada penjelasan. Penerangan menggunakan lilin-lilin dan lampu diredupkan. Peserta doa ini rata-rata 15-25 orang. Sedangkan doa malam, hari Kamis yang bercorak kharismatik, suasana persekutuan doa lebih semarak. Nyanyian diiringi dengan musik, lagu riang sambil bertepuk tangan, ada khotbah yang disampaikan, beberapa jemaat berdoa dan menyembah Tuhan dengan menggunakan bahasa roh, doa-doa juga diucapkan dengan kalimat-kalimat yang terdengar. Dihadiri rara-rata 30 orang jemaat. (Hasil pengamatan/live-in di GKI Manyar mulai tanggal 1 Januari-31 Maret 2005)
untuk meneliti relasi spiritualitas jemaat dengan realitas masyarakat di sekitar Gereja sebagai konteksnya. Penulis menfokuskan pada isu tersebut.
1.5 Keunikan Pergulatan Spiritualitas GKI Manyar dalam Konteks Corak Spiritualitas GKI Sinwil Jatim (Mainstream) Berdasarkan wawancara26, diperoleh informasi bahwa nampaknya sulit untuk menentukan secara pasti corak spiritualitas GKI Sinwil Jatim yang uniform.
Hal
tersebut disebabkan oleh banyaknya zending yang mempengaruhi dengan bermacammacam corak yang ikut membentuk dan mempengaruhi spiritualitas GKI Sinwil Jatim yaitu THKTH, Misionaris dari Belanda, dari Amerika (Hudson Tylor), John Sung, Pietisme dan sebagainya. Maka tidak mengherankan jika pluriformitas corak spiritualitas terbawa sampai sekarang ini. Berdasarkan wawancara27 juga, pluriformitas corak spiritualitas di GKI Sinwil Jatim dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) corak yaitu: corak spiritualitas Liberal, corak spiritualitas Injili dan corak spiritualitas Kharismatik28. Namun demikian sejauh yang penulis ketahui, dari ketiga corak di atas belum pernah diteliti sejauh mana corak spiritualitas di atas mampu mentransformasi jemaat dan masyarakatnya. GKI Manyar sebagai bagian dari GKI Sinwil Jatim melakukan pelayananpelayanan sosial kepada warga jemaat dan masyarakat umum sebagai bagian dari spiritualitasnya. Menurut penulis idealnya, pelayanan-pelayanan sosial merupakan perwujudan dan dampak nyata dari keyakinan dan praktek iman dalam menjawabi 26
Hasil wawancara dengan pendeta GKI Sinwil Jatim inisial ST Hasil Wawancara dengan pendeta GKI Sinwil Jatim inisial YS 28 Menurut Penulis ketiga corak spiritualitas tersebut memiliki ciri khas yang berbeda. Dan perbedaannya yang paling mencolok adalah dalam pada pemahaman dan penekanan pada transformasi. Misalnya corak spiritualitas Injili lebih menekankan bahwa transformasi personal/pribadi melalui lahir baru. 27
masalah-masalah sosial sesuai konteks masyarakat dimana gereja berada. Pelayanan sosial merupakan salah satu barometer untuk mengukur apakah spiritualitas jemaat sudah transformatif atau belum. Dalam konteksnya sesungguhnya terdapat segudang masalah sosial di Jawa Timur yang menjadi tantangan utama dan konteks GKI Manyar adalah29: 1. Kependudukan: Jumlah penduduk 35 Juta orang, 60% berada dibawah usia 30 tahun; penduduk miskin 10 %. Orang miskin di Jatim berdasarkan data BPS pusat adalah 7.312.475 jiwa. 2. Pendidikan masih jauh dari ideal; penduduk berpendidikan SD ke bawah masih besar. Motivasi sekolah masih belum konstruktif, mutu SDM memprihatinkan. 3. Pekerjaan: sebagian besar masih bekerja tanpa perlindungan organisasi; struktur hubungan, musiman, ketrampilan terbatas. Persentetase tertinggi masih bekerja sendiri: pekerja struktural masih sangat terbatas. Diperlukan investasi besar untuk membangun kesempatan kerja. 4. Kesehatan: kondisi lingkungan ikut memperburuk, pengeluaran untuk kesehatan sangat besar. Tidak ada perlindungan dan dukungan publik: indikator kematian bayi, kematian ibu hamil dan angka sakit masih cukup tinggi.
Masih banyak
pekerja formal belum punya jaminan kesehatan. 5. Kondisi sosial lainnya: perkawinan usia dini masih tinggi, angka perceraian dan perkawinan dibawah usia dewasa makin besar. Pekerjaan asusila antara lain: judi, narkoba, korupsi merajalela dan sebagainya. Menurut penulis, masalah-masalah di atas merupakan konteks yang berkaitan erat dengan panggilan dan perutusan Allah kepada GKI Manyar sebagai gerejaNya. GKI Manyar 29
Kresnayana Yahya, Tantangan Layanan Gereja, dalam bentuk makalah, hal 9
merupakan komunitas umat Allah yang dipanggil sebagai mitra Allah dalam mewujudkan transformasi di jemaat dan masyarakat demi perwujudan Kerajaan Allah.
1.6 Pentingnya Spiritualitas Dalam Pembangunan Jemaat Secara umum GKI merumuskan misinya tahun 2002-2010 adalah “membangun spiritualitas yang berpusat pada hubungan yang hidup dengan Allah30”. Menurut penulis hal ini penting, karena hal tersebut mencerminkan sebuah kesadaran tentang pentingnya spiritualitas dalam proses pembangunan jemaat di kalangan GKI Sinwil Jatim. Kesadaran itu
tercermin
dengan
komentar
seorang
pendeta
GKI
mengatakan31
bahwa
“pembangunan jemaat akan sia-sia tanpa pembangunan spiritualitas jemaat itu sendiri”. Menurut penulis pernyataan ini sungguh tepat dan patut direnungkan. Merujuk tokoh teologi praktika yaitu Rob Van Kessel32 yang paling peduli dengan masalah spiritualitas, karena menurutnya umat Kristiani dewasa ini sedang ditantang serta diancam oleh proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seperti modernisasi dan sekularisasi. Di tengah-tengah kondisi seperti itu Gereja diharapkan untuk berpartisipasi kreatif dalam perkembangan jaman sedangkan di sisi lain warga jemaat merasakan juga efek-efek negatif dari perubahan tersebut. Pembangunan jemaat menawarkan bermacam-macam usaha-usaha yang diharapkan dapat menangani proses itu dengan tepat. Pembangunan jemaat ingin menyediakan program yang menginspirasikan harapan dengan tujuan sentral
30
Dalam penjelasan misi tersebut adalah bahwa pertumbuhan spiritualitas anggota GKI merupakan dasar pelaksanaan keseluruhan misi. Dan untuk mendorong terlaksananya pengembangan spiritualitas yang berpusat pada hubungan yang hidup dengan Allah perlu dilakukan berbagai kegiatan seperti doa, khotbah, pemahaman Alkitab dan katekisasi. Dengan cara bersama-sama pula perlu dilaksanakan membudayakan pembacaan Alkitab, melakukan kebaktian keluarga, berperan serta aktif dalam pemahaman Alkitab dan berdoa bersama. Lihat dalam Visi dan Misi GKI Th 2002-2010 . Badan Pekerja Majelis Sinode GKI. Tahun 2004, hal 2 31 Hasil wawancara dengan Pendeta GKI dengan inisial WA 32 Rob van Kessel, 6 Tempayan Air, Penerbit Kanisius. Yogyakarta
vitalisasi karena fokusnya pada kehidupan yang baru, pemancaran terang yang baru dan daya tarik yang baru. Pembangunan jemaat mau ikut membangun Gereja dimana orang dengan semangat baru mau berdiam dan bekerja. Apapun yang dipikirkan tentang gereja jika tidak ada pengalaman bersama yang distrukturkan dalam salah satu bentuk institusi nyata maka segala yang baik yang ada dalam pengalaman Kristen lambat laun akan lenyap dalam sejarah. Inilah keyakinan yang mendasari Pembangunan Jemaat. Pembangunan Jemaat berarti mencari cara berpikir serta bertindak fungsional untuk bereaksi terhadap permasalahan yang sedang dialami dewasa ini. Pembangunan Jemaat mempergunakan metode-metode bertindak yang baru yang tampaknya akan membawa pemecahan. Metode-metode tersebut harus diuji validitasnya secara kritis melalui penelitian empiris. Setiap masalah dalam gereja harus dideskripsikan sejelas-jelasnya sehingga ditemukan relasi antara masalah dan harapan-harapan yang ada. Selanjutnya dikaji sebab-sebab permasalahan sambil dicari perspektif baru dan metode pemecahan yang mempunyai arti dan fundamental tentang kesejahteraan manusia. Itu berarti dalam teologi, tujuan pembangunan jemaat perlu dirumuskan dengan jelas dan teliti dalam kerangka kebijakan Kristiani yang lebih luas dan diselaraskan dengan pengertian manusia tentang yang baik dan membahagiakan yang diperoleh dari refleksi pengalaman bersama Allah berdasarkan Alkitab dan keikutsertaannya pada Yesus Kristus demi sebuah pencapaian Gereja yang vital. Tapi bagaimanakah mengukur vitalitas gereja? Apa yang menjadi ciri-cirinya dan sifat-sifatnya? Kriteria itu dapat dibagi dalam tiga kelompok33: pertama, vitalitas itu tergantung pada apakah dan sejauh manakah jemaat beriman menemukan dirinya dalam penghayatan Injil? (maka kriteria pertama adalah menanyakan identitas jemaat). Kedua, sejauh mana struktur intern, dan pemenuhan fungsi dalam 33
Rob van Kessel, ibid, hal 7
jemaat berlangsung? Bagi vitalitas, perlu bahwa relasi-relasi intern, tugas-tugas dan kompetensi-kompetensi diorganisasikan secara efesien. Pembangunan jemaat harus memperhatikan pengorganisasiannya dengan seksama. Bukan hanya caranya tapi juga efisiensinya. Ketiga, sejauh mana Injil relevan, bermakna dan mencolok dalam penampilan serta penghayatan anggota jemaat sendiri secara de facto. Selain itu, juga mempertanyakan sejauh manakah jemaat termotivasi untuk berpartisipasi dalam perwujudan Gereja kedalam dan keluar (Kriteria ini mempertanyakan spiritualitas pribadi orang beriman yang bersangkutan). Menurut Rob van Kessel34 vitalitas Gereja terkait dengan spiritualitas. Menurutnya, spiritualitas adalah keseluruhan hidup yang terdiri dari kata, gambaran dan perbuatan. Keseluruhan itu berasal dari tradisi Gerejawi maupun dari pengalaman dan penemuan mengenai segala sesuatu yang baik dan membahagiakan dalam cara berpikir, merasa dan bertindak. Pengalaman itu memberi motivasi. Menurut van Kessel, istilah spiritualitas identik dengan model etis. Ada banyak model etis yang telah dipakai gereja menjadi perwujudan keseluruhan yang konsisten tentang norma-norma kelakuan yang oleh gereja dijadikan keharusan bagi anggotanya agar sebagai persekutuan bisa bertahan dan berkembang. Pertanyaannya adalah model spiritualitas seperti apakah yang dapat menjadikan gereja menjadi vital dan menarik? Gereja adalah vital dan mempunyai identitas kalau anggota dan pemimpinnya membuka mata, telinga dan hati terhadap penderitaan disekelilingnya, kongkret, dekat dan lebih jauh dalam terlibat dalam mencurahkan kekuatannya untuk membebaskan manusia dari penderitaan. Spiritualitas yang diperlukan disini adalah spiritualitas yang melihat, merasakan dan mengerti kehadiran Allah dalam orang yang mengalami penderitaan dan ketidak-adilan. Dalam mereka yang walaupun menderita mempunyai keberanian dan 34
Ibid, hal 9
harga diri untuk tetap mau hidup secara manusiawi. Itulah spiritualitas yang mengabdikan dirinya kepada manusia yang tersalib.
Menurut van Kessel dalam sebuah proses
pembangunan jemaat, spiritualitas salib merupakan dasar yang fundamental. Sebab tanpa itu, maka pembangunan jemaat bisa terjebak dalam aktivisme dan dilema cara berpikir liberalistis dan sosialistis, tanpa kemungkinan untuk merefleksikan didalamnya identitas etis sendiri. Dalam konteks GKI Manyar corak spiritualitas seperti apa yang dihidupi dan dipraktekan oleh jemaat dalam rangka menjawabi konteksnya?
II. Perumusan Masalah 1. Dengan latar belakang tersebut, sebenarnya pertanyaan yang mau dijawab dalam tesis ini adalah bagaimana hubungan spiritualitas jemaat dengan pelayananpelayanan sosial dalam konteks pembangunan jemaat di GKI Manyar? Apakah ada kausalitas atau berdiri sendiri secara terpisah? Apakah diintegrasikan atau diceraikan? Bagaimana membangun spiritualitas yang transformatif dalam konteks pembangunan jemaat GKI Manyar? Dalam hal ini yang penulis maksud adalah apakah GKI Manyar yang telah merumuskan misinya untuk membangun spiritualitas yang hidup, masih dipengaruhi oleh warisan tradisinya dan teologi yang merupakan hasil dari para zending? atau dalam perkembangannya GKI Manyar mereformulasikan model spiritualitasnya?
Khususnya dalam konteks
pembangunan jemaat di GKI Manyar, sudahkah pergulatan spiritualitas yang terjadi di GKI Manyar diarahkan kepada proses transformasi secara luas dari aras personal ke komunal bahkan sosial dimana pengalaman pribadi diakui dan difungsikan dalam pembangunan jemaat dan praksis masyarakat?
2. Penulis menganggap bahwa spiritualitas adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan gereja, akan tetapi sejauh yang penulis ketahui spiritualitas yang transformatif belum terdefinisikan, khususnya yang merangkum praksis gereja dan praksis masyarakat. Oleh karena itu, penulis menganggap perlu mengupayakan mendefinisikan spiritualitas transformatif dalam ranah dua praksis tersebut. Penulis berangkat dari Teologia Praktika, khususnya ilmu-ilmu Pembangunan Jemaat untuk mengangkat pergulatan spiritualitas yang terjadi di GKI Manyar Surabaya.
III. Perumusan Topik/Judul Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dan pertimbangan diatas, maka penulis memilih topik/judul bagi tesis ini dengan:
Merajut Spiritualitas Transformatif: Studi Pembangunan Jemaat Tentang Spiritualitas di GKI Manyar Surabaya
IV. Hipotesa: 1. GKI Manyar mengalami pergulatan spiritualitas yang menonjol, namun diduga
pergulatan
spiritualitas
GKI
Manyar
belum
sepenuhnya
mentransformasi masyarakatnya. Salah satu penyebabnya diduga karena dipengaruhi oleh model spiritualitasnya yang dihidupi khususnya model spiritualitas yang memisahkan diri dengan dunia melalui keterlibatan dalam pelayanan-pelayanan sosial.
2. Diduga bahwa pergulatan spiritualitas yang terjadi di GKI Manyar belum sepenuhnya diarahkan kepada proses transformasi secara luas dari aras pengalaman personal ke pembangunan jemaat secara komunal hingga praksis sosial dimana pengalaman pribadi diakui dan ditempatkan dalam konteks pembangunan jemaat dan praksis masyarakat. Karena pengalaman merupakan unsur yang penting dalam spiritualitas.
V. Metode Penulisan 1. Rancangan Penelitian Lokasi penelitian empiris dilaksanakan di GKI Manyar yang berlokasi di Jalan Manyar Tirtoasri VII/2 Surabaya (wilayah Surabaya Timur), berada dalam kompleks perumahan Tompotika di wilayah Surabaya Timur. Perumahan tersebut tergolong perumahan ”elite” dan dikelilingi perkampungan yang dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu: sebelah selatan (Manyar sabrangan), sebelah barat (Mleto), sebelah timur (Kedung Tomas) dan Utara (Klampis Ngasem). Perkampungan tersebut ratarata berada dalam kehidupan ekonomi masyarakat kelas menengah kebawah.
2. Cara memperoleh Data dan Alasan Pemilihan Sampel Cara untuk mendapatkan data yaitu melalui pengamatan langsung35 untuk menggali informasi yang bersifat lisan maupun tertulis dan wawancara36 dengan beberapa
35
Penulis melakukan pengamatan langsung dengan cara tinggal didalam (live in) di gereja GKI Manyar. Antara Januari 2005-Maret live in di GKI Manyar, (surat ijin penelitian dan live in dilampiran) 36 Menurut John Mansford Prior dalam bukunya Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partispatoris dikatakan bahwa wawancara merupakan kelanjutan metode pengamatan yang menjelaskan dan menempatkan apa yang kita lihat dan alami dalam konteks yang lebih luas. Dari wawancara kepada subjek, kita memperoleh data (kisah yang merupakan sudut pandang kelompok sosial tertentu atau pelaku tertentu. Dalam hal ini
tokoh, aktivis serta pendeta-pendetanya. Pengamatan yang penulis lakukan di GKI Manyar didasarkan suatu pemilihan. Pemilihan gereja tersebut untuk menunjukkan gambaran mengenai corak spiritualitas dan berdasarkan beberapa pertimbangan yang terkait dengan judul dan tujuan tesis ini.
3. Metode Penelitian Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan-pendekatan kualitatif lebih bersifat induktif dan fenomenologis dengan memberi tekanan utama pada pemahaman akan kerangka yang unik (khas), lewat penemuan pemahaman dan makna terhadap perasaan-perasaan, pikiran, kepercayaan dan tingkah laku. Strategistrategi demikian memperhatikan cakrawala atau lingkup yang lebih luas dari pengalaman37. Teknik penelitian melalui obsevasi partisipan dan menggunakan wawancara terbuka38 sifatnya kepada beberapa informan. Metodologi adalah sebuah cara untuk menjawab dan memecahkan masalah-masalah yang ada. Berkenaan dengan subyek yang penulis pilih adalah masalah spiritualitas dalam ranah theologia praktika dan pembangunan jemaat, maka penulis akan memakai teori Gerben Heitink39 khususnya lingkaran hermenutis. Menurut Heitink, Teologia Praktika adalah teori teologis yang berorientasi empiris tentang perantaraan tradisi Kristen dalam praksis masyarakat. Dalam masalah ini, Heitink mendekati dalam tiga kita tidak pernah bisa memperoleh data yang bebas nilai, yang penting menyadari sisi atau sudut mana yang terungkap dalam data yang kita peroleh itu. Penerbit Grasindo. Jakarta.1997, hal 93 37 Angela Hope, Psikologi dan Penelitian, Majalah Gema Duta Wacana No.42 Tahun1992, hal 106 38 Wawancara terbuka merupakan tipe wawancara dengan mengajukan pertanyaan untuk ditanggapi, diolah dan diperbaiki, dianalis. Sifatnya fleksibel untuk menemukan kategori pemahaman budaya stempat (emik, memahami pandangan orang dan membandingkannya dengan persepsi orang lain. Yang selanjutnya membantu kita untuk menemukan nilai-nilai yang dimiliki bersama untuk mengarahkan tingkah laku. John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris. Grasindo. Jakarta. 1997, hal 96 39 Gerben Heitink, Teologi Praktis (Pastoral dalam Era Modernitas dan Postmodernitas). Kanisius. Yogyakarta, 1999, hal 36
perspektif yaitu perspektif hermeneutis, empiris dan strategis. Penulis akan memakai ketiga perspektif tersebut dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Perspektif hermeunutis (memahami). Penulis akan mengadakan studi literatur tentang spiritualitas dari teori Alister Mc Grath, mengeksplorasi teorinya dan merumuskan item-item pokok dan melakukan analisa kritis untuk melakukan penelitian empiris. 2. Perspektif empiris (menjelaskan). Penulis akan mengadakan penelitian lapangan melalui wawancara dan penelitian kualitatif (live in) GKI Manyar Surabaya untuk mengamati secara langsung corak spiritualitas yang dihidupi jemaat dan pelayanan sosial-sosial yang dilaksanakan sesuai dengan konteksnya. Selain itu penulis akan melihat adakah kausalitas keduanya, apakah disatukan atau diceraikan? Mengapa sebuah jemaat memilih corak spiritualitas tertentu dan sejauh mana sudah mentransformasi jemaat dan masyarakatnya? 3. Perspektif strategis (mengubah). Penulis akan mengadakan refleksi hermeunutis dan selanjutnya mengajukan usulan-usalan perbaikan untuk membangun spiritualitas yang transformatif kepada GKI Manyar dalam rangka revitalisasi. Dalam studi literatur Penulis mendalami teori McGrath40 yang melihat beberapa faktor yang membentuk spiritualitas yaitu: 1. Faktor Personal Faktor personal khususnya menyoroti hubungan spiritualitas dan kepribadian (aspek personal dan pengalaman). Tiap orang Kristen memiliki latar belakang, kepribadian,
40
Alister E. McGrath, Christian Spirituality. Blackwell Publishers. Malden Massachusetts USA.1999, hal 8-9
lokasi sosiologis, penekanan pada tema-tema iman Kristen secara berbeda-beda. Halhal yang bersifat pribadi memiliki relasi penting sebagai pembentuk spiritualitas. 2. Hubungan spiritualitas dan denominasi (teologi, doktrin atau ajaran) Kekristenan bukanlah entitas tunggal. Sebab masing-masing komunitas terbagi dalam denominasi karena melakukan penekanan pada teologi, doktrin atau ajaran tertentu yang membedakan satu dendan yang lainnya. Dalam penelitian lapangan penulis berfokus pada penekanan-penekanan teologi dan pengajaran di GKI Manyar yang mempengaruhi corak spiritualitasnya. Demikian pula corak spiritualitas denominasi yang memberi warna pada pergulatan spiritualitasnya. 3. Hubungan spiritualitas dan sikap terhadap dunia Beberapa corak spiritualitas secara kuat memiliki sikap meninggalkan dunia. Mendukung pilihan bahwa kekristenan sejati adalah meninggalkan dunia. Akan tetapi corak spiritualitas lainnya terlibat dengan dunia dan kepada dunia. Sedangkan perspektif Pembangunan Jemaat,
penulis menggunakan gagasan-gagasan
Rob van Kessel yang mengatakan bahwa spiritualitas sebagai indikator untuk mengukur vitalitas sebuah jemaat. Menurut Kessel ada beberapa hal yang dapat ditanyakan dalam melihat spiritualitas jemaat yaitu: 1. Penghayatan Kenyataan Segala yang hidup ditempatkan dan menempatkan diri dalam ruang dan waktu. Pada diri manusia, hal itu terjadi melalui kesadaran yang berbeda-beda dan dalam hubungan timbal-balik yang terus menerus antara pengalaman dan pilihan, antara pengamatan dan penentuan diri. Adakalanya sebagai manusia, kita ditempatkan pada fakta yang sudah ada dan tidak bisa kita pilih. Meski fakta penting, akan tetapi
penghayatan terhadap fakta juga penting. Maka, patut dipertanyakan bagaimana penghayatan jemaat terhadap kenyataan yang dialami? 2
Penebusan dan Pembebasan Apakah Gereja menarik diri dari keseluruhan kenyataan manusia dan hanya mengurus kenyataan adikodrati? Apakah jemaat mengalami pendewasaan eksistensial dan moril (belajar) serta bertindak-tanduk
bersama untuk mengalahkan penderitaan dan
kemiskinan (pelayanan)? Apakah Gereja menyelenggarakan pelayanan pemeliharaan manusia? Bagaimana diakonia dijalankan? Menurut Kessel, diakonia
adalah
termasuk inti vitalitas gereja. 3. Gambaran-gambaran Mengenai Allah: Bagaimanakah Allah hadir pada manusia? Apakah pergaulan dengan Allah dalam doa dianggap sebagai praktek yang bermakna oleh jemaat? Bagaimanakah bentuk-bentuk doa dipraktekkan dalam liturgi, kelompok belajar jemaat dan wujudnya dalam pelayanan? Bagaimana dan dimana jemaat mengalami kehadiran Kristus dan RohNya? Apakah dalam praksis hidup, dalam perhimpunan orang beriman, dalam orang-orang miskin dan menderita, atau dalam sabda (warta) dan tanda (sakramen)? Bagaimanakah keempat cara itu dikombinasikan dalam proses pembangunan jemaat melalui fungsi, struktur, tujuan dan tugas serta kompetensi-kompetensi yang dimiliki jemaat? 4. Pewahyuan dan Komunikasi Iman Relasi antara manusia (di dunia modern) dengan Allah adalah hal yang patut dicermati. Sebab relasi itu telah mengalami pergeseran dari relasional kepada obyektif, lalu kepada kebimbangan hingga penyangkalan. Dalam kondisi seperti itu
bagaimana sarana-sarana gerejawi dapat ditransformasikan kepada bertindak komunikatif? 5. Hubungan Gereja dan Masyarakat Konteks
sosial
yang
menyekitari
gereja
merupakan
faktor
yang
perlu
dipertimbangkan karena turut menentukan dan mempengaruhi gereja. Demikian pula gambaran dan model gereja merupakan aspek yang penting untuk didiskusikan karena konsep eklesiologi sedang mengalami pergumulan dan dilema. Khususnya tarik ulur antara pemahaman gereja tradisional dan modern antara struktur hirarki dan kongregational dan seterusnya. 6. Fungsi dan Jabatan Gereja secara kongkret dapat dilihat secara keseluruhan mengacu pada jemaat setempat. Di dalam jemaat nampak struktur yang memperlihatkan garis-garis yang disebut fungsi. Fungsi terbagi dalam sejumlah tugas yang berbeda-beda. Dalam jemaat fungsi–fungsi tersebut dilaksanakan oleh banyak orang diantaranya ada yang disebut pejabat gerejawi (yaitu orang yang melalui penahbisan atau diangkat dan diakui untuk melaksanakan fungsi dan tugas tertentu secara professional dan mendampingi pemenuhan fungsi dan tugas tertentu bersama orang lain).
VI. Sistematika Penulisan Tesis ini akan dipaparkan dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan 7. Latar Belakang 8. Perumusan Pokok Permasalahan
9. Perumusan topik/judul 10. Hipotesa 11. Metode Penulisan 12. Sistematika Penulisan
Bab II: Kerangka Teoritis Spiritualitas Kristen 8. Latar Belakang ketertarikan terhadap tema spiritualitas 9. Tesis Allister McGrath tentang spiritualitas 10. Faktor-Faktor Pembentuk spiritualitas Faktor Kepribadian Faktor Denominasi Sikap Terhadap Dunia 11. Dasar-Dasar Teologis Spiritualitas 12. Gambaran-Gambaran Biblis Spiritualitas 13. Tinjauan Kritis 14. Kesimpulan
Bab III: Penelitian Empiris Spiritualitas GKI Manyar Surabaya 1. Penjabaran Alat Penelitian 2. Sampel 3. Hasil Penelitian 4. Analisa Penelitian 5. Kesimpulan
Bab IV: Pergumulan Iman 1. Pergumulan Iman 1.1 Refleksi atas subyektifitas pengalaman pribadi sehingga menimbulkan pengelompokan Refleksi atas interaksi dan pengaruh antar berbagai corak spiritualitas denominasi Refleksi atas sikap terhadap orang miskin dan motif pelayanan sosial
2. Dari refleksi ke aksi 2.1 Mewujudkan kehadiran Allah dan perjumpaan dengan Allah dalam semua dimensi kehidupan 2.2 Memperluas pemahaman tentang pengalaman dan sharing pengalaman 2.3 Membangun spiritualitas yang kontekstual dengan menggali pemahaman dan penghayatan jemaat terhadap realitas dan konteks 2.4 Merajut spiritualitas transformatif 2.5 Memberi arahan –arahan teologis dan operatif yang mendukung pengembangan spiritualitas
Bab V: Kesimpulan