BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa dan budaya merupakan suatu ikatan dan keterkaitan yang akan sangat tidak mungkin untuk dilepaskan satu sama lain. Dalam ikatan tersebut bahasa dikenal sebagai bentuk alat berkomunikasi antar manusia, baik secara lisan maupun maupun tulisan. Banyak ahli yang telah menyatakan hal tersebut, salah satunya adalah Keraf (1997:1) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi anggota masyarakat berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Simbol-simbol yang dijadikan sarana komunikasi tersebut merupakan simbol yang saling dipahami satu sama lain yang terlahir dari proses interaksi antar anggota masyarakat setempat. Hal senanda dikemukakan oleh Sumarsono dan Paina (2002:20) bahwa bahasa sebagai produk sosial atau produk budaya, yang merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan, perilaku masyarakat, dan penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa. Dengan kata lain, bahasa merupakan pencerminan hasil cipta dan refleksi dari interaksi individu-individu dalam suatu kebudayaan masyarakat. Kluckhon (1963, dalam Maryati dan Suryawati, 2007:111) menyebutkan ada 7 unsur kebudayaan yakni: peralatan hidup manusia, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, pengetahuan dan agama. Sesuai dengan unsurunsur yang ada diketahui bahwa bahasa mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan semua lapisan masyarakat yang berbudaya. Oleh karenanya, bahasa
1
2
selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang mengandung nilai-nilai masyarakat pengguna bahasa tersebut. Nilai-nilai yang terkandung tersebut meliputi segala hal mengenai peradaban kebudayaan yang mencakup semua aspek nilai. Menurut Danandjaja (dalam Sauri dan Firmansyah, 2010: 4), nilai merupakan pengertian yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar. Untuk menentukan atau mengukur sesuatu itu dikatakan penting atau tidak, baik atau tidak dan benar atau tidak melalui proses menimbang. Dalam proses menimbang ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Sehingga mengakibatkan antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan dalam nilai-nilai yang ada di dalamnya. Adanya hal-hal yang dianggap baik atau tidak baik, benar atau tidak benar dan sebagainya itu pada akhirnya akan melahirkan sesuatu yang dilarang dalam masyarakat karena tidak sesuai dengan pertimbangan budaya yang ada. Bentukbentuk pelarangan tersebut merupakan usaha untuk menjaga agar budaya dan kehidupan masyarakat tetap terjaga dan kondusif. Hal yang demikian ini biasa disebut dengan tabu, yaitu larangan sakral untuk tidak menyentuh, menyebut atau melihat obyek-obyek dan orang-orang tertentu, dan juga tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu; jika larangan sakral ini dilanggar akan mendatangkan berbagai bentuk kerusakan (Tischler, 1996:385). Tabu dibagi menjadi empat macam yaitu tabu tindakan, tabu orang, tabu benda dan tabu kata-kata (Frazer, 2000). Jenis tabu yang terakhir tersebut biasa
3
juga disebut sebagai tabu verbal atau tabu bahasa. Jenis tabu inilah akan banyak dibahas pada penelitian ini. Menurut Ohiwutun (2007:94), jika tindakan saja, dilarang, maka bahasa/kata-kata yang merupakan simbol dari tindakan juga dilarang. Sehingga tabu bahasa adalah larangan dalam mengucapkan kata-kata tertentu yang akan mengakibatkan kerusakan. Dalam kepercayaan masyarakat lama, kerusakan atau hal-hal yang buruk tersebut bisa hadir melalui kekuatan supranatural atau gaib yang menghukum orang-orang yang melanggar tabu bahasa. Namun pada era masyarakat modern, pelanggar tabu bahasa atau tabu lainnya dianggap sebagai orang yang telah melanggar dan merusak tata susunan nilai dan norma kemasyarakatan yang menjadi pedoman. Oleh karenanya bagi pelanggarnya akan menerima hukuman sosial dari masyarakat tersebut. Kata-kata yang dilarang dalam suatu budaya berbeda dengan yang ada dalam budaya lain, maka sebaiknya dalam mempelajari bahasa dari budaya lain perlu mempelajari kata-kata tabu dari bahasa tersebut. Hal demikian dilakukan untuk menghormati nilai budaya yang ada, berkomunikasi yang baik dan sesuai, dan juga menghindarkan diri sendiri maupun orang lain dari kerugian-kerugian yang akan ditimbulkan dari pengucapan atau penyebutan kata-kata tabu tersebut. Misalnya dinilai rendah oleh masyarakat, tidak disukai, dianggap kasar dan sebagainya. Tindakan yang demikian pulalah yang seharusnya dilakukan saat belajar bahasa Inggris, bahasa yang sangat banyak sekali dipelajari oleh penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia banyak menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris dalam keseharian mereka. Bahkan mengumpatpun sering dilakukan dengan
4
umpatan bahasa Inggris, dengan menggunakan kata fuck, shit, hell atau lainnya. Hal ini sering dilakukan oleh kaum muda Indonesia dengan santainya. Padahal kata tersebut jika didengar oleh penutur asli yang notabene adalah pemilik budaya tersebut akan sangat terasa kasar dan menyakitkan. Sebuah cerita nyata disampaikan oleh Claire (1998:77) dimana ada seorang peneliti yang suka pergi bekerja menggunakan sepeda. Suatu saat dia didahului oleh sebuah mobil, dari dalam mobil ada yang meneriakinya untuk minggir, kemudian peneliti ini mengacungkan jari tengah kearah mereka sambil mengucap fuck you. Beberapa meter dari tempat tersebut orang-orang dari dalam mobil itu berhenti dan menunggunya kemudian menghajar dia habis-habisan. Salah seorang dari mereka bilang ‘ini untuk hinaanmu’. Kemudian dia ditinggalkan di jalan dalam keadaan luka parah. Selain itu pernah juga tercatat bahwa tentara Amerika menembaki pelajar pada sebuah demonstrasi karena tersulut emosi karena para demostran menggunakan kata-kata tabu yang bersifat kasar seperti mother fucker dan cock sucker. Lebih jauh lagi kata tabu masih akan sangat menyakitkan bagi orang-orang yang tersangkut dengan budaya tersebut walaupun diujarkan dalam konteks bercanda. Contoh terhadap hal ini adalah apa yang baru-baru ini terjadi pada pembawa acara program ‘Top Gear’ di Inggris, dimana pada salah satu episode dari program tersebut pembawa acaranya menyebut ‘slope’ untuk menunjuk pada orang Asia. Kata tersebut sebenarnya adalah salah satu kata tabu dalam bahasa Inggris, khususnya di Amerika dan Australia, namun produsernya menjelaskan bahwa di Inggris sendiri kurang dipahami sebagai tabu (dailymail.co.uk).
5
Mengenai becandaan tersebut, program itu banyak menerima protes dari masyarakat karena dinilai rasis, bahkan ada yang sampai mengajukkan tuntutan hukum. Dari contoh diatas terlihat jelas bahwa kata tabu memang sangat berbahaya oleh karena itu pembelajar bahasa Inggris harus mengetahui kata-kata tabu dalam bahasa Inggris dan menghindari penggunaannya demi keselamatan diri juga. Menurut Laksana (2009:65) Salah satu cara menghindari tabu bahasa adalah dengan cara menggantikan atau menyulih kata tersebut dengan kata lain. Kata pengganti dari kata atau bentu tabu tersebut haruslah yang mempunyai nilai rasa lebih baik. Cara penghindaran seperti ini disebut dengan eufemisme yang diperjelas oleh Fromkin dan Rodman (1993:304) dengan menyatakan bahwa eufemisme adalah kata atau frase yang menggantikan kata tabu atau digunakan untuk menghindari hal-hal yang menakutkan atau tidak menyenangkan. Bentuk eufemisme tersebut banyak sekali digunakan bahasa Inggris seperti lose your lunch untuk vomit ‘muntah’, pull the pope untuk masturbate ‘masturbasi’, G-d untuk God ‘tuhan’, shuck untuk shit ‘tahi (dalam arti makian)’, behind untuk ass ‘pantat’ dan sebagainya. Bentuk eufemisme terhadap tabu semacam itulah yang seharusnya dipahami oleh pembelajar bahasa Inggris sehingga dapat berinteraksi secara aman dan sopan kepada siapapun khususnya penutur asli tanpa harus takut menyakiti perasaan lawan bicara. Di dalam penelitian, akan dikaji mengenai tabu bahasa dan eufemisme mulai dari ranah, bentuk hingga pembentukannya. Latar belakang budaya dari bentuk tabu, eufemisme, dan mengapa eufemisme tertentu dapat
6
menggantikan suatu bentuk tabu juga akan dibahas. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembelajar bahasa Inggris di Indonesia untuk dapat lebih memahami tentang kedua hal tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) Terdapat di ranah kehidupan apa sajakah tabu bahasa dalam bahasa Inggris? 2) Bagaimanakah bentuk-bentuk satuan kebahasaan pada eufemisme tabu bahasa yang terdapat dalam bahasa Inggris? 3) Bagaimanakah pembentukkan eufemisme dari tabu bahasa yang terdapat dalam bahasa Inggris?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi ranah kehidupan yang tercakup dalam tabu bahasa dalam bahasa Inggris. 2) Mendeskripsikan bentuk-bentuk satuan kebahasaan pada eufemisme tabu bahasa yang terdapat dalam bahasa Inggris. 3) Mendeskripsikan pembentukkan eufemisme dari tabu bahasa yang terdapat dalam bahasa Inggris.
7
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini secara teoritis hasil penelitiannya dapat menjadi pelengkap dan tambahan referensi dalam pengkajian tabu bahasa dan eufemisme, khususnya dalam bahasa Inggris. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan tambahan teori dalam ranah semantik maupun sosiolinguistik dalam mengungkapkan tabu bahasa dan eufemisme. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebuah bahan acuan atau tambahan untuk peneliti selanjutnya dalam bidang yang sama. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai bentuk, ranah, dan pembentukan dari eufemisme pada pada tabu bahasa. Juga kepada pembelajar atau pengguna bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, penelitian ini dapat dijadikan penambah wawasan sehingga memahami dan mengurangi penggunaan kata atau bahasa yang ditabukan dalam bahasa Inggris.
1.5. Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa peneliti yang telah melakukan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Kebanyakan penelitian tersebut hanya melakukan
8
pada obyek single yang berupa satu media atau satu bahasa saja. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu. Lilimiwirdi (2011) dalam tesisnya yang berjudul “Eufemisme dalam Masyarakat Minangkabau di Kota Padang”. Penelitian ini meneliti tentang tuturan masyarakat Minangkabau di Kota Padang. Eufemisme yang diteliti mencakup segi bentuk, wujud, makna, fungsi, ideology, dan nilai. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa eufemisme dalam tuturan masyarakat Minang di kota Padang dapat berbentuk kata, frase, klausa, kalimat, idiom, penyingkatan, angka, pengulangan, dan istilah asing. Wujudnya dapat berupa benda dan binatang, bagian tubuh, profesi, penyakit, aktivitas, peristiwa, sifat/keadaan, tempat, manusia, tumbuh-tumbuhan, harga dan jumlah. Diketahui pula bahwa makna eufemisme tidak stabil karena adanya pengaburan, penyimpangan, dan pembelokan. Sedangkan fungsinya ada tiga yaitu fungsi penghalus makna, fungsi untuk menjaga ketabuan dan untuk menyugesti sesuatu yang tidak menyenangkan. Dari segi ideologi dapat pula diketahui bahwa eufemisme di masyarakat Minang dapat berupa ideologi keagamaan, sosial, materialism, adat istiadat, etika atau moral, dan estetika. Kemudian nilai yang ditemukan dalam eufemisme dalam mayarakat Minang adalah nilai religious, kepercayaan pada kekuata supranatural, kebersamaan, kasih sayang, kearifan, kecurigaan, kebohongan, kewaspadaan, kesetaraan, ekonomi, keasangsian, ketakutan, adat istiadat, etika, dan estetika. Faridah (2002) dalam tesisnya meneliti tentang “Eufemisme dalam Bahasa Melayu Deli Serdang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasikan dan mendeskripsikan tipe-tipe, fungsi dan makna eufemisme secara sosiolinguitik.
9
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: tipe dari eufemisme Bahasa Melayu Deli Serdang adalah ekpresi, figurative, metaphor, satu kata menggantikan kata lain, umum ke khusus, hiperbol, klokial. Fungsi eufemisme adalah sapaan, menghindari tabu, menyatakan cara, menyatakan situasi. Sedangakan makna dari eufemisme adalah makna penutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan dan aktivitas, tituran sebagai produk tindak verbal. Laili (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Eufemisme dan Disfemisme pada Wacana Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Kritis dalam Media Massa di Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: bentuk dan referensi satuan ekspresi eufemisme dan disfemisme, tipe-tipe satuan satuan ekspresi eufemisme dan disfemisme, dan fungsi satuan ekspresi eufemisme dan disfemisme pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia. Kemudian penelitian ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut: bentuk-bentuk eufemisme pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia ada empat macam, yakni kata, frase, klausa dan kalimat. Bentuk-bentuk disfemisme yang terdapat pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia juga ada empat macam, yaitu kata, frase, klausa, dan kalimat. Selanjutnya, referensi eufemisme yang terdapat dalam media massa di Indonesia digunakan untuk menggantikan istilahistilah yang kurang berkenan berkaitan dengan manusia, tumbuhan, binatang, tanah, nuklir dan material beracun, sampah dan limbah, polusi, perusakan habitat alami, kepunahan spesies dan tabu. Masing-masing merujuk pada sifat, keadaan, aktivitas, profesi, benda dan tempat. Lalu referensi disfemisme yang terdapat
10
dalam media massa di Indonesia digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan manusia, tumbuhan, binatang, tanah, nuklir dan material beracun, sampah dan limbah, polusi, perusakan habitat alami, kepunahan spesies dan tabu. Masing-masing merujuk kepada hal-hal yang berkaitan dengan sifat, keadaan, aktivitas, profesi, benda, tempat, dan peristiwa. Adapun tipe-tipe eufemisme yang terdapat pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia sekurang-kurangnya ada 11 macam, yaitu penggunaan ekspresi figuratif, pemodelan kembali, sirkumlokusi, singkatan, satu kata untuk menggantikan kata yang lain, synecdoche totem pro parte, hiperbola, understatement, penggunaan istilah teknis (jargon), penggunaan istilah kolokial (sehari-hari), dan pinjaman dari bahasa lain. Sedangkan tipe-tipe disfemisme yang terdapat pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia sekurangkurangnya ada 11 macam, yaitu penggunaan ekspresi figuratif, pemodelan kembali, sirkumlokusi, metonimia, sinestesia, satu kata untuk menggantikan kata yang lain, synecdoche totem pro parte, hiperbola, penggunaan istilah teknis (jargon), penggunaan istilah kolokial dan pinjaman dari bahasa lain. Selanjutnya, fungsi-fungsi eufemisme yang terdapat pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia sekurang-kurangnya ada 13 macam, yaitu: menyembunyikan fakta, menunjukkan rasa hormat, menghindari tabu, menyindir, menunjukkan kepedulian,
memberi
saran,
melebih-lebihkan,
menunjukkan
bukti,
menyampaikan informasi, menghindari kata-kata yang menimbulkan kepanikan, kejijikan
atau
trauma,
menuduh
atau
menyalahkan,
mengkritik,
dan
memperingatkan. Sedangkan fungsi disfemisme yang terdapat pada wacana
11
lingkungan dalam media massa di Indonesia sekurang-kurangnya ada 12 macam, yaitu: mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan,
mengkritik, menyindir,
menuduh atau menyalahkan, mengeluh, menyampaikan informasi, menghina, mengejek atau mempertajam penghinaan, memperingatkan, menunjukkan ketidaksetujuan,
menunjukkan
rasa
tidak
suka,
melebih-lebihkan,
dan
menunjukkan bukti. Epoge (2013) dalam penelitiannya berjudul Euphemism in Cameroon English: sweet talking or deception?. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan penggunaan eufemisme dalam bahasa Inggris Kamerun melalui dua prespektif yang berbeda, bicara manis dan tipuan. Sehingga dihasilkan keterangan bahwa dalam konteks bicara manis, eufemisme digunakan untuk menggantikan kata-kata yang tidak menyenangkan, tidak sopan, tidak senonoh, dan yang ditabukan dengan kata-kata yang manis untuk memelihara atau menyelamatkan muka dan menghindari sikap kasar dan menyinggung orang lain. Sedangkan sebagai tipuan, eufemisme sengaja menggunakan kata, ungkapan, atau frase yang tidak jujur dan berputar-putar untuk membuat sesuatu yang buruk menjadi baik atau paling tidak dapat ditoleransi. Hal tersebut merupakan cara menyembunyikan fakta yang ada menggunakan ungkapan atau kata-kata elakan untuk membuat ketidakpatutan tampak layak. Perbedaan yang jelas terlihat dari tiga penelitian yang sebelumnya dengan penelitian ini adalah dari segi sumber penelitian. Pada penelitian-penelitian sebelumnya sumber berupa bahasa atau budaya bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sedangkan untuk penelitian yang paling akhir diatas perbedaan
12
terdapat pada cakupan dan komponen yang akan diteliti. Pada penelitian ini adalah bahasa Inggris yang dipandang masih jarang diteliti oleh peneliti Indonesia berkaitan dengan tabu bahasa dan eufemismenya. Padahal masyarakat Indonesia saat ini sangat banyak yang mempelajari bahasa Inggris. Oleh karena itu diharapkan penelitian ini mampu memberi bantuan untuk dapat menggunakan bahasa Inggris dengan bahasa dan tuturan yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Eufemisme dalam Semantik Bahasa merupakan salah satu alat yang dapat digunakan sebagai media komunikasi antar manusia. Tidak terbatas pada kelompok antar suku, tetapi juga antar negara. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika dalam perkembangan bahasa, sebuah bahasa dapat mengalami perubahan makna kata. Hal tesebut diamini oleh Chaer (2012:311) menyatakan bahwa secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Dalam ilmu bahasa terdapat sebuah cabang ilmu yang khusus mempelajari makna kata, yaitu semantik. Di dalam semantik inilah dikaji perubahan makna dan pergeseran makna. Menurut Parera (2004:107) Pergeseran makna adalah sebuah
makna
kata
yang
mengalami
gejala
perluasan,
penyempitan,
pengkonotasian pensintesisan, pengasosiasian yang masih berada pada satu keterkaitan, sedangkan perubahan makna adalah pergantian suatu makna kata
13
dengan makna kata lain yang tidak memimiliki keterkaitan makna sama sekali dari sebelumnya. Namun Chaer (2009:140) mengemukakan pendapat lain mengenai fenomena tersebut, beliau dalam bukunya “Pengantar Semantik Bahasa Indonesia” tidak memberikan definisi yang berbeda antara perubahan makna dan pergeseran makna. Chaer berpendapat semua gejala yang disampaikan oleh Parera diatas adalah perubahan makna. Selanjutnya beliau menyebutkan macam-macam perubahan makna sebagai berikut: Perubahan yang bersifat menghalus (eufemisme), meluas, menyempit atau mengkhusus, mengkasar, dan perubahan sifat total. Dari dua pendapat yang berbeda diatas dapat disimpulkan bahwa istilah pergeseran dan perubahan makna sebenarnya memiliki konsep yang sama. Parera membuatnya berbeda karena Parera tidak memasukkan perubahan sifat total. Jadi perubahan sifat total mempunyai kesamaan definisi dengan pergantian suatu makna kata dengan makna kata lain yang tidak memiliki keterkaitan makna sama sekali sebelumnya. Oleh karena itu, jelas bahwa eufemisme atau disebut dengan perubahan yang bersifat menghalus dalam semantik adalah sebagai salah satu macam dari perubahan makna kata. Perubahan makna tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perbedaan bidang pemakaian, pertukaran tanggapn indera,
perbedaan
pengembangan istilah.
tanggapan,
adanya
proses
gramatikal,
dan
adanya
14
1.6.2 Eufemisme 1.6.2.1 Pengertian Harper (2013) memberikan penjelasan etimologis kata ‘eufemisme’ berasal dari bahasa Yunani, disusun dari kata ‘eu’ yang berarti baik, dan ‘pheme’ yang berarti bicara. Jadi secara etimologis berarti bicara dengan menggunakan kata-kata yang baik. Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Leech (1981:45) yang mengemukakan eufemisme adalah praktek penggunaan istilah yang lebih sopan untuk istilah yang kurang sopan. Pendapat lain diberikan oleh Wijana (2008: 96) bahwa eufemisme adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau bentuk yang ditabukan di dalam bahasa. Sejalan dengan pendapat ini, Kridalaksana (2008: 59) juga menyatakan bahwa eufemisme adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu. Tabu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dilarang dan dihindari dalam suatu tingkah laku kemasyarakatan karena dipercaya mengandung sesuatu yang berbahaya bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat. Sejalan dengan pendapat diatas Scott (1998:5) berpendapat bahwa eufemisme adalah kata-kata yang digunakan untuk memperhalus kenyataan atau apapun yang kita ungkapkan pada pembaca atau pendengar. Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapat Allan dan Burridge (1991: 11) yang mendefinisikan eufemisme adalah penggunaan istilah untuk mengganti ekspresi yang kurang pantas untuk menghindari kemungkinan kehilangan muka, baik orang yang diajak bicara, maupun pihak ketiga.
15
Dari banyak pendapat dari para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah kata, frasa, atau bentuk lainnya yang memiliki nilai rasa sopan dan baik, jauh dari hal-hal tabu dan kurang pantas sehingga dapat menghindarkan diri dari rasa malu atau kehilangan muka. Eufemisme selalu jauh dari ketakutan atau hal-hal yang dilarang yang mempunyai konotasi negatif. Dengan kata lain, ini adalah bentuk bahasa santun yang ada di dalam masyarakat.
1.6.2.2 Bentuk Eufemisme Bentuk-bentuk dari eufemisme sangatlah beragam. Beberapa peneliti membeberkan temuan mereka mengenai bentuk eufemisme dari penelitian mereka. dikemukakan bahwa bentuk-bentuk eufemisme dapat berupa kata, frase, klausa, kalimat, idiom, penyingkatan, angka, pengulangan, dan istilah asing (Liliwirdi, 2011). Sedangkan Laili (2012) menemukan bentuk eufimisme berupa kata, frase, klausa dan kalimat sebagai berikut: a) Bentuk Eufemisme Berupa Kata Bentuk eufemisme berupa kata terdapat tiga kategori yaitu kata dasar, kata turunan, dan kata majemuk. Kata dasar itu sendiri juga terbagi ke dalam tiga kategori yaitu kata dasar kategori nomina, verba dan adjektiva. Kemudian eufemisme berupa kata turunan juga terbagi ke dalam tiga kategori yaitu berupa kata turunan berkategori benda, verba dan adjektiva. Sedangkan eufemisme berupa kata majemuk berdiri sendiri. b) Bentuk Eufemisme berupa frase
16
Eufemisme yang berbentuk frase terbagi menjadi tiga kategori yaitu frase nomina, frase adjektiva dan frase verba. Frase nomina terdiri dari unsur inti dan unsur pemodifikasi dimana unsur intinya adalah kata nomina dengan pemodifikasi dapat berupa adjektiva, nomina atau yang lain baik asli maupun turunan. Contohnya adalah ‘lumpur sidoarjo’ dimana nomina ‘lumpur’ merupakan unsur inti yang dimodifikasi atau diperjelas oleh adjektiva ‘sidoarjo’. Demikian juga dengan frase adjektiva dan verba, masing-masing frase terdiri dari dua unsur yaitu inti dan pemodifikasi. Unsur inti frase adjektiva adalah adjektiva dan unsur inti frase verba adalah verba. c) Bentuk Eufemisme berupa klausa Eufemisme yang berbentuk klausa dapat menempati posisi sebagai klausa inti maupun klausa bawahan. Contoh: - Efek dari timbal ini ke anak menurut Jack Caravanos, ahli lingkungan dari universitas new York, dapat menurunkan kecerdasan anak dan cacat mental - Membiarkan kukang diekstraksi dari habitan alami sama artinya dengan mengantarkan ke gerbang maut. Huruf yang dicetak miring merupakan bentuk eufemisme yang berupa klausa. Contoh pertama merupakan sebuah contoh yang memperlihatkan bentuk eufemisme bentuk klausa yang menempati klausa inti. Sedangkan contoh kedua merupakan bentuk eufemisme yang menempati klausa bawahan. d) Bentuk Eufemisme berupa kalimat Bentuk eufemisme yang berupa kalimat terjadi dimana dalam satu kalimat utuh berisikan ungkapan eufemisme, contohnya ‘Walhasil, keadaan iklim bak jauh
17
panggang dari api’. Ungkapan dari contoh terbut merupakan bentuk eufemisme yang bermakna ‘keadaan iklim yang tidak sesuai yang diharapkan’. Penggunaan eufemisme ini bertujuan untuk menyembunyikan fakta yang ada.
1.6.2.3 Pembentukan Eufemisme Pembentukan eufemisme dapat dilakukan dengan cara yang beragam. Oleh karena
itu,
beberapa
ahli
mengemukakan
pendapatnya
mengenai
cara
pembentukan eufemisme tersebut. Pendapat pertama yang akan dikemukakan disini adalah pendapat atau teori dari Kristyna Sebkova (2012: 8) yang mengemukakan setidaknya terdapat tiga cara membentuk eufemisme yaitu: 1) Peminjaman kata-kata atau istilah dari bahasa lain, contohya dalam bahasa Inggris, istilah-istilah Latin dan Prancis sering digunakan misalnya: halitosis merujuk pada bad breath ‘bau mulut’, kemudian istilah Prancis au naturel untuk naked ‘telanjang dan sebagainya. 2) Perubahan semantic, dalam kategori ini meliputi: a) sirkumlokusi, contohnya little girl’s room menggantikan toilet ‘kamar kecil’, b) widening (perluasan), contohnya do it untuk have sex ‘bersenggama’, c) metaphorical transfer (transfer metaforis),
contohnya
the
cavalry’s
come
merupakan
eufemisme
dari
menstruation ‘haid’. Pendapat selanjutnya datang dari Beatrice Warren dalam tulisannya berjudul ‘What Eufemisme Tell Us About the Interpretation of Words (1992)’. Warren (1992:130-133) memberikan empat mekanisme dan metode pembentukan eufemisme. Adapun keempat cara tersebut adalah sebagai berikut.
18
1) Mekanisme dengan word formation device Dalam mekanisme digunakan lima cara pembentukan yaitu, a) compounding: mengkombinasikan dua kata yang tidak berbahaya untuk membentuk eufemisme guna menggantikan istilah yang kurang dapat diterima. Contoh: hand job
merupakan eufemisme dari masturbation ‘masturbasi’. b)
Derivation, Warren memberikan contoh kata fellatio sebagai bentuk eufemisme dari oral sex, dengan penjelasan bahwa kata itu adalah modifikasi dari istilah Latin fellare yang artinya menghisap. c) blends, dalam cara pembentukan jenis ini tidak ada contoh yang diberikan oleh Warren. d) Acronyms: SNAFU (Situation Normal All Fucked Up), merupakan sebuah eufemisme yang digunakan oleh militer untuk menggambarkan kemungkinan adanya kejadian bencana. e) onomatopoeia: bentuk kata yg menirukan sesuatu bunyi alam atau sekitar. Contoh: bonk eufemisme dari sexual intercourse ‘persengamaan’. Bonk merupakan suara dari ‘sesuatu’ yang saling membentur selama aktivitas seksual. 2) Modifikasi fonemis (phonemic modification) Bentuk yang merupakan kata kasar, menyinggung atau tidak sopan dimodifikasi atau diganti. Dalam pemodifikasian fonemis ini terdapat beberapa jenis atau cara antara lain: a) Black slang: membalik atau menjugkirbalikkan susunan katanya, contoh enob dari bone yang artinya penis yang tegang. b) Rhyming slang: Bristol cities menunjuk pada tities ‘payudara’. Rumus dasar dari pembentukan jenis ini adalah kata atau suku kata terakhir dari frase Rhyming slang menunjukkan rima untuk kata yang dieufemismekan seperti pada contoh. Seringkali tidak ada hubungan logis antara keduanya (Hughes, 2006:395). c)
19
penggantian fonemis (Phonemic Replacement): bentuk bunyi yang kasar, menyinggung atau tidak sopan diganti, cara ini disebut juga euphemistic mispronounciation ‘salah ucap eufemistis’ (Rawson, 1981:254), contohnya adalah shit berubah menjadi shoot dengan maksud mengumpat atau menunjuk buang air besar atau tahi. d) singkatan: contohnya eff singkatan dari eff off atau fuck off. 3) Loan words (kata pinjaman) Peminjaman kata dapat berasal dari bebagai macam bahasa. Misalnya lingerie adalah bahasa Prancis yang digunakan sebagai eufemisme dari underwear ‘pakaian dalam’. Kemudian bahasa Latin faeces adalah eufemisme dari excrement ‘kotoran atau tahi’. Sedangkan Cojones merupakan kata yang berasal dari dari bahasa Spanyol artinya adalah testicles ‘testis’. 4) Semantic Inovation (inovasi Semantik) Dalam hal ini rasa dibangun menggunakan kata atau kombinasi kata-kata. Terdapat tujuh kategori dalam mekanisme inovasi semantik ini sebagai berikut: a) Particularisation: digunakan istilah-istilah umum untuk menyebutkan sesuatu tertentu yang masuk akal dalam konteks. Contohnya, satisfaction untuk orgasm ‘orgasme’ dan innocent untuk virginal ‘keperwanan’, keduanya memerlukan konteks tertentu untuk pembaca atau pendengar memahami maknanya. b) Implication ‘implikasi’: dalam hal ini dibutuhkan beberapa langkah untuk mengetahui makna yang diinginkan, contoh loose ‘longgar’ yang menunjukkan unattached ‘belum terikat atau belum menikah’ sehingga menuntun kedalam pengertian sexually easy/available ‘lajang atau masih bisa berhungan seksual dengan siapapun’.
20
c) Metaphor (Metafora): Contoh yang diberikan dalam metafora adalah berbagai macam perbandingan warna merah dalam membentuk eufemisme metaforis menstruation, misalnya it’s a red letter day ‘ini adalah tanggal merah’ atau flying the red flag ‘mengibarkan bendera merah’ dan sebagainya. d) Metonym ‘metonimia’: disebut juga general for specific ‘umum ke khusus’ contohnya it ‘itu’ digunakan sebagai eufemisme dari sex ‘persetubuhan’ dan thing eufemisme dari male/female sexual organ ‘organ seksual lakilaki/perempuan’. e) Irony ‘ironi’: suatu hal yang buruk diungkapkan dengan menggunakan ungkapan yang berlawanan.
Contoh: enviable disease ‘penyakit yang
membuat iri’ merupakan eufemisme dari syphilis ‘sifilis’. f) Understement atau litotes: ungkapan yang merendah. Contoh: deed ‘perbuatan’ untuk act of murder/rape ‘aksi pembunuhan/pemerkosaan dan lain-lain. g) Overstatement atau hiperbola: pernyataan yang melebih-lebihkan. Contoh: visual engineer ‘insinyur visual’ untuk window cleaner ‘pembersih kaca’ dan lain-lain. Selain dua pendapat diatas masih terdapat pendapat ketiga mengenai pembentukan eufemisme. Menurut Allan dan Burridge (1991: 14) terdapat 16 cara pembentukan eufemisme sebagaimana yang ada dibawah ini: 1) Ekspresi figuratif (figurative expressions), Tipe ini bersifat perlambangan, ibarat atau kiasan. Dalam tipe ini eufemisme menggunakan majas-majas seperti simile, ironi, personifikasi, dan
21
lain-lain. Contoh: go to the happy hunting ground ‘pergi ke tempat perburuan yang menyenangkan’ untuk mengungkapkan die ‘meninggal’. 2) Flipansi (flippancy) Flipansi ini mempunyai makna diluar pernyataan yang ada. Contohnya adalah istilah bahasa Inggris kick the bucket untuk mengeufemismekan die 3) Pemodelan kembali (remodelling) Tipe pemodelan kembali ini memodelkan kembali ungkapan yang sudah ada, pemodelan kembali dapat terjadi pada tataran kata, frasa, maupun yang lainnya. Contoh: shoot, sheet adalam pemodelan ulang dari shit. 4) Sirkumlokusi (circumlocutions) Sirkumlokusi yaitu penggunaan beberapa kata yang lebih panjang dan bersifat tidak langsung. Contoh: categorial inaccuracy ‘ketidaktepatan kategoris’ untuk merujuk pada lie ‘bohong’. 5)Kliping (clipping) Kliping merupakan pemotongan, membuat menjadi pendek atau singkat. Contoh: bra mengkliping dari brassiere ‘BH/kutang perempuan’ 6) Akronim (acronym) Akronim adalah tipe eufemisme yang melakukan penyingkatan atas beberapa kata menjadi satu. Contoh: snafu yang merupakan akronim dari situation normal, all fucked up menunjukkan kemungkinan adanya kejadian bencana. 7) Singkatan (abbreviations)
22
Ini adalah tipe eufemisme yang merupakan singkatan kata-kata menjadi beberapa huruf. Contoh: Bowel Movement menjadi B.M yang artinya buang air besar. 8) Pelesapan (omission) Pelesapan adalah melakukan penghilangan pada sebagaian ungkapan, yang bertujuan untuk memperhalus dan yang mendengar sudah mengerti dari maksud ungkapan tersebut. Contoh: ‘F’ saja daripada menulis atau mengucap fuck. 9) Satu kata untuk menggantikan satu kata yang lain (one for one substution). Satu kata yang memiliki kesamaan makna, tetapi lebih halus dapat menggantikan satu kata lain yang lebih kasar. Contoh: bottom menggantikan arse ‘pantat’ 10) Umum ke khusus (general for specific) Kata yang umum menjadi kata yang khusus. Misalnya: Nether region yang menjadi eufemisme dari genitals ‘kemaluan’. 11) Sebagian untuk seluruh (part for whole euphemism) Kata yang khusus menjadi kata yang umum. contoh: spend a penny untuk go to bathroom (biasanya jika pergi ke kamar mandi membayar satu penny atau sen). Menurut Allan dan Burridge pembentukan eufemisme jenis ini sangat jarang. 12) Hiperbola (hyperbole) Ungkapan yang melebih-lebihkan. Misalnya: flight to glory untuk kemuliaan’ yang bermakna death ‘kematian’ 13) Understatement
‘terbang
23
Kebalikan dari hiperbola, Understatement adalah ungkapan yang merendah atau mengecilkan. Contoh: sleep ‘tidur’ yang bisa menjadi eufemisme dari die ‘meninggal’. 14) Penggunaan istilah teknis atau jargon Tipe ini menggunakan kata yang memiliki makna yang sama tetapi berbeda bentuk, istilah teknis atau terminologi pada bidang tertentu. Contoh: penggunaan kata feaces yang merupakan istilah pada kedokteran atau kesehatan untuk menggantikan kata shit ‘tahi’. 15) Penggunaan istilah yang umum atau kolokial (colloquial) Tipe ini mengunakan ungkapan yang dipakai sehari-hari untuk memperhalus dan membuat sopan. Contoh: kata period digunakan untuk menggantikan kata menstruate. 16) Penggunaan istilah pinjaman dari bahasa lain Peminjaman dari bahasa asing untuk mengungkapkan sesuatu agar terkesan halus. Contoh: penggunaan kata defecate yang merupakan pinjaman dari bahasa Latin untuk menggantikan shit. Dari ketiga ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pembentukan eufemisme dapat dilihat masing-masing ahli mempunyai persamaan dan juga perbedaan dalam menyusun metode atau mekanisme pembentukan eufemisme. Pendapat pertama dari Kristyna Sebkova (2012) dianggap masih terlalu singkat dalam merumuskan pembentukkan eufemisme, fenomena pembentukkannya kurang lengkap sehingga kurang luas teorinya. Kemudian Beatrice Warren (1992) dianggap sangat menyeluruh namun dalam beberapa butir penjelasan kurang jelas
24
dan tidak sama dengan pengertian dari ahli lain. Misalnya dalam blend tidak diberi contoh untuk memudahkan pemahan. Lalu penjelasan mengenai derivation yang merupakan modifikasi dari kata bahasa asing, Latin fellare menjadi Inggris Felatio. Hak tersebut tidak sama dengan yang diberikan Fromkin, Rodman dan Hyam (2011:88), dan Yule (2010:58) dimana ahli-ahli tersebut mengemukakan bahwa derivation adalah pembentukan kata yang dilakukan dengan penambahan afiks. Kemudian ada ganjalan pula dengan penjelasan mengenai metonym yang hanya menganggap kategori general for specific saja yang masuk dalam poin ini padahal dalam Lakoff dan Johnson (2003:36-37) menyatakan bahwa salah satu betuk metonym adalah part for whole, mereka juga memberikan contoh: There are a lot of good heads in the university ‘ada banyak orang pintar di universitas’. Good heads ‘kepala bagus’ pada dalam kalimat tersebut sama dengan intelligent people ‘orang-orang pandai’. Jadi hanya menunjuk sebagian head untuk seluruh people. Lakoff dan Johnson (2003:39) juga memberi contoh kalimat He bought a Ford ‘dia membeli (mobil) Ford’ sebagai salah satu bentuk part for whole metonymy. Sedangkan pendapat dari Allan dan Burridge (1991:14) dianggap sebagai teori yang lengkap dan penjelasannya tidak bertentangan dengan ahli-ahli yang lain. Selain itu, banyak peneliti, khususnya di Indonesia, yang mempelajari atau meneliti tentang eufmisme menggunakan pendapat dari Allan dan Burridge tersebut sebagai acuan. Sehingga teori tersebut dianggap sudah teruji dan layak. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan digunakan Teori pembentukan eufemisme yang diajukkan oleh Allan dan Burridge (1991:14) sebagai dasar dan
25
acuan penentuan cara pembentukkan eufemisme dari tabu bahasa dalam bahasa Inggris.
1.6.2.4 Fungsi Eufemisme Allan dan Burridge (1991: 11) mengungkapkan fungsi eufemisme secara garis besar adalah sebagai berikut: 1) Menghindari tabu (bagian tubuh, bagian tubuh khusus, seks, menstruasi, penyakit, cacat mental dan cacat tubuh, sesuatu yang dibuang atau dikeluarkan tubuh, kematian dan seni) 2) Mengungkapkan sesuatu yang dianggap menakutkan, seperti tentang perang, penyakit, hal-hal gaib, termasuk Tuhan, hal-hal yang berkaitan dengan kematian, termasuk tentang binatang. 3) Menunjukkan rasa hormat dan menghindari perasaan tidak nyaman lawan bicara, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan agama, politik, Tuhan, fisik manusia, penyakit, cacat fisik ataupun mental, atau aksi kriminal. Penjelasan diatas dilengkapi oleh Wijana dan Rohmadi (2008:104-109) yang mana menjelaskan bahwa terdapat 5 macam fungsi/manfaat eufemisme sebagai berikut: 1) Eufemisme sebagai alat menghaluskan ucapan Fungsi ini adalah fungsi paling umum dari eufemisme. Kata-kata yang memiliki makna yang tidak baik, vulgar, tidak menyenangkan, mengerikan, berkonotasi rendah dan sebagainya harus diungkapkan dengan cara-cara yang tidak langsung agar terhindar dari berbagai hambatan dan konflik sosial. Contoh:
26
pegawai diganti dengan karyawan, pembantu diganti dengan pramuwisma, menyeleweng dihaluskan dengan berselingkuh dan lain-lain. Dengan menggunkan ucapan-ucapan yang sopan dan halus terbeur penutur dapat menjaga citra diri dan dapat membina hubungan harmonis dengan lawan bicara. 2) Eufemisme sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu Dalam bidang kedokteran eufemisme dapat digunakan untuk merahasiakan sesuatu,
misalnya
penyakit
yang
akan
menimbulkan
sesuatu
yang
mengkhawatirkan bagi pasien atau yang mendengar. Mungkin juga karena penyakit-penyakit tersebut harus dirahasiakan dari orang lain yang tidak berhak karena sangat serius. Contoh kanker dan sipilis, dokter sering merahasiakan dengan menyebutkan singkatan saja CA dan GO. 3) Sebagai alat untuk berdiplomasi Pejabat sering mengemas ucapannya dalam bentuk-bentuk eufemisme guna memberikan jawaban yang memuaskan sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Contoh: ungkapan kenaikan harga dalam jumpa pers sering disebut dengan penyesuaian harga, dalam sering menyatakan usul ditampung atau dipertimbangkan padahal usul tersebut ditolak, polisi sering berujar diamankan, diinapkan, dimintai keterangan untuk mengganti ditahan, ditangkap, dimasukkan kd dalam tahanan. 4) Sebagai Alat Pendidikan Dalam hal ini anak-anak diajarkan menggunakan bahasa yang dihaluskan dengan menghindari penyebutan secara langsung kata-kata yang memiliki nilai kurang sopan. Penghindaran tersebut memunculkan kata-kata yang khas pada
27
anak kecil yang merupakan kata eufemistis. Contoh: buang air besar menjadi e’ek, buang air kecil menjadi pipis, tidur menjadi bubuk, mandi menjadi pak pung. Kemudian nama-nama binatang juga dihindari penyebutan langsungnya diganti dengan onomatopoeanya seperti anjing diganti guguk, kucing diganti pus, dan kambing diganti mbek. 5) Sebagai Alat Penolak Bahaya Pemakaian sejumlah eufemisme merupakan salah satu usaha manusia untuk memproleh ketentraman, keselamatan dan kesejahteraan. Dalam pemakaian bahasa Melayu kata harimau dan ular diganti dengan nenek dan akar oleh orang yang sedang berjalan dihutan agar memperoleh keselamatan. Kemudian di Jawa kata tikus diganti dengan Den Bagus, sedangkan di Bali diganti dengan Jero Ketut agar mereka tidak diganggu binatang-binatang tersebut. Dalam hal yang sama Laili (2012) dalam penelitiannya menemukan fungsi-fungsi
eufemisme
sekurang-kurangnya
ada
13
macam,
yaitu:
menyembunyikan fakta, menunjukkan rasa hormat, menghindari tabu, menyindir, menunjukkan kepedulian, memberi saran, melebih-lebihkan, menunjukkan bukti, menyampaikan informasi, menghindari kata-kata yang menimbulkan kepanikan, kejijikan
atau
trauma,
memperingatkan.
1.6.3 Tabu 1.6.3.1 Pengertian
menuduh
atau
menyalahkan,
mengkritik,
dan
28
Tabu adalah hal yang mengakibatkan lahirnya eufemisme. Kata ‘tabu’ itu sendiri berasal dari bahasa Tonga dari rumpun bahasa Polinesia yang artinya ‘dilarang atau dihindari’ (Fromkin, Rodman dan Hyams, 2011:472). Dijelaskan oleh Freud (1999:4 dalam Ningjue, 2010:4) bahwa awalnya kata tabu mengacu pada hal-hal atau benda suci yang tidak dapat dibicarakan atau disentuh. Pertama kali yang mencatat tentang fenomena ini adalah Kapten James Cook, seorang pelaut Inggris, selama kunjungannya ke Tonga tahun 1771. Ketika ia datang ke pulau-pulau di Pasifik Selatan, ia mengamati banyak fenomena sosial yang aneh. Sebagai contoh ada beberapa objek hanya dapat digunakan oleh pemimpin mereka atau hanya oleh Tuhan, tetapi beberapa benda lainnya hanya dapat digunakan oleh masyarakat umum, dan yang lainnya hanya dapat digunakan untuk tujuan khusus atau tertentu, tetapi beberapa hanya untuk tujuan umum. Masyarakat setempat menyebut fenomena ini sebagai tabu. Dengan menggunakan rumusan dan bahasa yang berbeda Wardaugh (2006:239) mendefinisikan tabu sebagai pelarangan atau penghindaran dalam suatu masyarakat terhadap perilaku yang dianggap berbahaya untuk anggota masyarakat tersebut, dalam hal ini yang akan menyebabkan kecemasan atau malu. Pendapat ini ditambahkan oleh Trudgil (2000:18), bahwa tabu dapat dicirikan sebagai suatu yang berkaitan dengan perilaku yang diyakini dilarang secara supranatural, atau dianggap sebagai tidak bermoral atau tidak layak, hal tersebut berhubungan dengan perilaku yang dilarang atau dicegah dengan cara yang tampak tidak rasional.
29
Lebih jauh lagi, Sumarsono (2012:106) berpendapat bahwa tabu tidak hanya menyangkut ketakutan akan roh gaib atau hal supranatural namun juga berkaitan dengan sopan santun dan tata krama pergaulan sosial. orang yang tidak ingin dianggap tidak sopan akan menghindarkan perkataan tertentu. Menyetujui pendapat tersebut Ohoiuwutun (2007: 94) mengemukan bahwa bila tindakannya saja dilarang, maka bahasa atau kata-kata yang merupakan simbol dari tindakan tersebut pun dilarang. Dengan demikian tabu sebagai kata-kata tidak boleh digunakan, setidak-tidakya tidak dipakai ditengah masyarakat beradab. Pendapat-pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa tabu merupakan pelarangan atau mencegahan terhadap tingkah laku dan bahasa/kata-kata tertentu dalam suatu masyarakat, yang dianggap mempunyai dampak tidak baik bagi masyakat atau anggota masyarakat tersebut baik dengan alasan-alasan supranatural ataupun norma-norma yang ada, berupa norma moral, sosial, agama dan kesopanan.
1.6.3.2 Tabu Bahasa Berkaitan dengan pengertian tabu diatas dapat dilihat bahwa tabu dua unsur yang dapat ditabukan, yaitu kata-kata atau bahasa dan juga unsur tingkah laku. Oleh karenanya Ningjue (2010:5) membagi tabu ke dalam dua kategori. Pertama disebut kategori verbal dan yang kedua disebut kategori non-verbal. Kategori verbal maksudnya adalah tabu yang berupa pelarangan secara keseluruhan atau sebagian dalam menggunakan kata-kata, ekspresi, dan topik tertentu dalam interaksi sosial. Sedangkan tabu non-verbal atau tabu tingkah laku
30
berkaitan dengan pola perilaku keseharian masyarakat yang tidak dapat dilakukan dengan alasan nilai tradisi atau norma sosial yang mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah tabu. Tabu verbal inilah yang disebut dengan tabu bahasa dan akan menjadi fokus penelitian ini. Tabu verbal tersebut sesuai dengan definisi tabu bahasa yang disampaikan oleh Laksana (2009:65) bahwa tabu bahasa adalah larangan menggunakan kata-kata atau ungkapan tertentu yang dianggap membahayakan jiwa atau mencemarkan nama baik seseorang. Selain itu, penghindaran atau pelarangan menyebutkan kata, frase dan lainnya atau memperbincangkan topik yang membuat orang lain tidak nyaman juga merupakan bagian dari tabu bahasa. kesopanan dan kesantunan adalah pokok dari tabu bahasa. Kata-kata yang diluar koridor kesopansantunan terlarang untuk diucapkan atau digunakan. Kata-kata yang ditabukan antara satu masyarakat dengan kelompok masyarakat lain akan berbeda. Hal ini dikarenakan tabu maupun tabu bahasa bersumber dari kebudayaan yang ada. Contohnya di Amerika sangat tabu untuk mengucapkan kata Nigger yang berkaitan dengan kebudayaan disana. Negara tersebut terdiri dari banyak suku bangsa yang hidup berdampingan dengan menyebutkan kata nigger berarti dianggap tidak menghormati etnis African American. Kata tersebut dinilai sangat kasar dan rasis. Namun, bagi penduduk Negara lain belum tentu dampak kata tersebut begitu kuat. Ohoiwutun (2007:94) menyampaikan bahwa apa yang ditabukan merupakan cerminan dari adat istiadat dan kebudayan masyarakat setempat.
31
Terkait dengan tabu bahasa yang merupakan bahasa atau kata-kata yang sangat dilarang untuk diucapkan karena dapat menyinggung perasaan, membahayakan jiwa atau mencemarkan nama seseorang maka terdapat beberapa cara untuk menghindarinya. Laksana (2009:65) menghimpun pendapat dari Elias (1992) dan Salzmann (1998) mengenai cara menghindari tersebut. Terdapat paling tidak tiga cara untuk menghindari mengucapan atau penyebutan tabu bahasa yaitu: 1) penutur dapat menghindar dengan diam, 2) penutur dapat menghindar dengan berbisik, dan 3) penutur dapat menghindar dengan menggantikan kata atau ungkapan tabu dengan kata atau ungkapan lain yang dilazimkan dalam masyarakat itu. Cara ketiga inilah yang lazim disebut dengan eufemisme. Cara menghindar nomor tiga juga membawa tabu memegang peranan penting dalam bahasa. Dimana menurut Sumarsono (2012:106) Tabu bahasa penting untuk dibahas dalam semantik karena tabu merupakan penyebab berubahnya makna kata. Beliau menambahkan, kata yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri. Hal tersebut berakibat kata yang tidak ditabukan itu memperoleh beban makna baru.
1.6.3.3 Ranah Tabu Bahasa Beberapa ahli membuat penggolongan atau pengkategorian tabu bahasa. penggolongan pertama datang dari Frazer (2000), beliau menggolongkan tabu kata-kata atau tabu bahasa ke dalam lima golongan yaitu 1) tabu nama orang, 2) tabu nama kerabat, 3) tabu nama kematian 4), tabu nama Raja dan orang suci lainnya, dan 5) tabu nama Tuhan. Selanjutnya Ningjue (2010:6) mengumpulkan
32
dan menyusun pendapat-pendapat ahli dan menyusun pengkategorian tabu bahasa sebagai berikut: 1) ephitet: merupakan sejenis penghinaan yang mengacu pada ras, etnis, gender atau seksualitas. 2) profanity: kata-kata kotor atau kasar terkait dengan istilah-istilah agama. 3) obscenity: kata-kata yang tidak senonoh yang mengacu pada hal-hal seksual dan ekskresi. 4) cursing: menyumpahi kerugian orang dimasa mendatang. 5) sexual harassment: kata-kata atau lelucon kotor yang berhubungan dengan perilaku seksual, preferensi seksual, mengacu bagian tubuh dan sebagainya. Berdasarkan penggolongan dan pengkategorian diatas dapat dilihat ruang lingkup atau ranah dari tabu bahasa. Beberapa jenis kategori atau golongan diatas dalam menggunakan kata-kata tabunya mengacu pada hal-hal tertentu yang dianggap tabu. Acuan-acuan tersebut itulah yang dapat dianggap sebagai ranah atau lingkup tabu bahasa. Adapun acuan-acuan tersebut tampak pada golongan tabu nama kematian mengacu pada kata-kata tentang kematian. Golongan tabu nama Tuhan, orang suci, dan lainnya dapat dimasukkan ke dalam golongan yang mengacu pada ajaran agama. Sedangkan kategori ephitet secara jelas mengacu pada beberapa hal yaitu ras, etnis, gender yang dapat dimasukkan ke dalam satu kelompok acuan yaitu politik. Kategori obscenity mengacu pada bidang seks dan juga bidang ekskresi atau cairan yang dikeluarkan tubuh. Untuk kategori cursing acuannya sangat luas, tidak spesifik, dapat masuk kedalam acuan mana saja. Kemudian kategori sexual harassment memiliki acuan bidang seks dan juga bagian-bagian tubuh.
33
Dengan demikian ranah tabu bahasa berdasar pada penjelasan diatas terdiri dari ranah politik, agama, seks, ekskresi, bagian tubuh dan kematian. Keenam ranah tabu bahasa tersebut memproduksi kata-kata yang tidak bisa sembarangan diujarkan secara langsung. Kesimpulan ranah tabu bahasa tersebut didukung oleh Wardhaugh (2006:239) yang mengemukakan pendapatnya dalam buku ‘An Introduction to Linguistic’ dengan memberikan enam ranah tabu bahasa yang dalam bahasanya adalah subyek yang ditabukan, antara lain: seks, kematian, ekskresi, fungsi tubuh, hal-hal keagamaan, dan politik.
1.6.3.4 Fungsi Tabu Bahasa Bahasa Tabu atau tabu bahasa sering dianggap sebagai bahasa yang penuh dengan keseraman. Sering memunculkan stigma negatif, tidak sopan, menyakiti, kasar dan sebagainya. Namun diluar hal tersebut penggunaan tabu bahasa mempunyai fungsi tersendiri bagi penuturnya. Menurut Jay (1999: 84 dalam Ningjue 2010:8), manusia, selayaknya jenis hewan emosional memiliki keinginan untuk mengekspresikan perasaan, mengurangi stres negatif, dan membangun identitas dan status mereka melalui ujaran yang mereka produksi. Menggunakan bahasa tabu dapat membantu mereka untuk mencapai tujuan ini secara efektif, sebagaiman bahasa adalah alat yang digunakan oleh semua orang. Fungsi katakata tabu adalah sebagai berikut: humor, katarsis, dan menunjukkan kekuatan. Dalam konteks tertentu, efek lucu dapat dicapai dengan menyebutkan sesuatu yang biasanya dilarang. Misalnya, kata-kata dan ekspresi yang berkaitan
34
dengan seks biasanya dianggap sebagai kata-kata tabu. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, lelucon atau guyonan tentang seks sangat banyak ditemui. Fungsi kedua dari kata-kata tabu adalah katarsis, yaitu prosea peluapan atau pelepasan emosi yang kuat melalui kegiatan atau pengalaman tertentu. Hayahawa (1990: 48 dalam Ningjue 2010:8) menjelaskan ketika kita sangat marah dan merasa perlu untuk mengekspresikan kemarahan kita dalam bentuk tindakan kekerasan, maka mengucapkan kata-kata yang terlarang dapat menjadi pengganti dan relatif tidak berbahaya dari pada mengamuk dan menghancurkan furniture. Mengucapkan kata-kata terlarang tersebut dapat menjadi sebuah pengaman di saat-saat kita krisis atau genting. Kadang mengucap apa yg dilarang menjadi baik untuk kesehatan fisik dan psikologis manusia karena emosi negatif seperti marah, ketidakpuasan dan depresi keluar atau terlampiaskan sehingga dapat menjadi sangat lega. Selanjutnya fungsi ketiga, bahasa tabu menunjukkan sisi kuat atau kuasa. Trudgill (2000: 18) mengatakan bahwa melanggar aturan sering memiliki konotasi kekuatan atau menemukan kebebasan yang diinginkan. Selanjutnya Trudgill, menjelaskan kata tabu sering digunakan untuk kata makian atau umpatan memperlihatkan bahwa penutur tersebut kuat. Sebagai seorang pria, berperilaku sopan kadang-kadang diartikan sebagai penakut dan ketika dalam konflik, bahasa tabu mungkin menunjukkan maskulinitas penutur atau laki-laki. Diluar dari ketiga fungsi tabu bahasa yang disampaikan oleh para ahli diatas, sebenarnya masih terdapat fungsi lain dari tabu bahasa. Jika dilihat dalam fenomena penggunaan kata tabu Jancok oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya
35
di Malang dan Surabaya maka fungsi keempat dari fungsi bahasa tabu akan lahir. Jancok atau disingkat cok dalam keseharian pemuda Malang atau Surabaya dapat menunjukkan keakraban antar teman. Di dalam percakapan santaiyang mereka lakukan sering disisipi kata tersebut. Misalnya, hey, cok nandi ae kon suwe gak ketok? ‘hai, kemana aja kamu lama tidak kelihatan’, lapo e cok takon-takon, kangen a kon? ‘kenapa sih tanya-tanya, kangen ya?’.
1.7. Metode Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif seperti yang dinyatakan oleh Crabtree and Miller (1999) Deskripsi kualitatif mengeksplorasi makna,
variasi,
persepsi
pengalaman
terhadap
fenomena-fenomena
dan
menangkap sifatnya secara menyeluruh ataupun yang saling berkaitan. Metode kualitatif digunakan dalam menganalisa dan mengekplorasi mengenai ranah bentuk, dan pembentukan dari eufemisme pada tabu bahasa dalam bahasa Inggris. Obyek penelitian yang ada dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk tabu dan eufemisme dalam bahasa Inggris. Sumber data dari penelitian ini adalah buku berjudul Dangerous English 2000!: An Indispensable Guide for Language Learners and Others (1998) karya Elizabeth Claire, Forbidden Words: taboo and censoring of language (2006) karya Keith Allan dann Kate Burridge, dan Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995) karya AS Hornby. Pemilihan tiga sumber data diatas didasarkan pada pertimbangan keterwakilan gaya bahasa Inggris. Buku pertama ‘Dangerous English’ merupakan buku yang ditulis dengan latar gaya bahasa Inggris Amerika . Selanjutnya ‘Oxford English Dictionary’ mewakili gaya
36
Bahasa Inggris British, walaupun buku ini adalah kamus yang memadukan semua semua jenis gaya dalam bahasa Inggris namun dari data yang ditemukan ternyata memang dominan bentuk-bentuk bahasa Inggris British. Buku terakhir ‘Forbidden Words’ merupakan buku yang ditulis oleh dua professor Australia, namun dalam buku tersebut mencakup semua fenomena taboo yang ada. Sehingga diharapkan data yang ada bersifat data bahasa Inggris yang universal. Metode Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data dan penyajian data. Tahap-tahap tersebut dijelaskan sabagai berikut:
1.7.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa langkah kerja sebagai berikut: a) membaca buku Membaca buku-buku tersebut berulang untuk menidentifikasi data tabu dan eufemismenya. Perlakuan berbeda dilakukan pada ‘oxford dictionary’, kamus tersebut tidak dibaca namun mencari simbol segitiga dengan tanda seru ditengahnya yang merupakan penanda kalau itu adalah data tabu. b) menandai data Saat membaca buku-buku tersebut data yang berupa eufemisme dan tabu yang ditemukan ditandai menggunakan stabilo. Khusus untuk ‘oxford dictionary’ data masih hanya berupa tabu. c) membuat tabel
37
No
Tabu
Eufemisme
Halaman
Data-data yang telah ditandai tadi di masukkan ke dalam tabel. Dalam bagian ini terdapat tiga tabel yang berbeda sesuai dengan sumber datanya. Dalam tahap ini data dari ‘Oxford dictionary’ masih hanya data tabu, belum ada data eufemismenya.
d) melengkapi data eufemisme Pada tahap ini data eufemisme dari ‘Oxford Dictionary’ dilengkapi. Pelengkapan data tersebut dilakukan dengan memberikan eufemisme pada datadata tabu yang ada yang bersumber pada dua buku yang lain. Juga dengan sumber buku yang baru yaitu ‘How Not To Say What You Mean: A Dictionary of Euphemism (2002)’ karya R.W. Holder. Selain itu juga menggunakan sedikit sumber dari internet. Setelah selesai maka selesai pula tahap pengumpulan data dan ketiga tabel sudah lengkap. Berikut contoh tabel pengumpulan data dari tiga sumber yang ada No Data 1 Arse 2
3
Definitions the part of the body one sits on 1. the female sex organs. 2. a person’s bottom
Source page 56
Euphemism behind, derriere (D, hal.82) fanny page 1. down there, private 420 part (D. 85) (British) 2. behind, derriere (D, hal.82) (US) arse hole the Anus page 56 back door (H, hal.17) bronze eye, second eye (H, hal. 43) Tabel 1.1 Contoh Pengumpulan Data ‘Oxford Dictionary’
38
1
Nigger
African American
54
2
boobs
bosom, front, chest
84
3
to shit
B.M (bowel Movement), Number 20 two
Tabel 1.2 Contoh Pengumpulan Data ‘Dangerous English’ No Tabu
Eufemisme
1
long-haired
Homosexual
Halaman men
and
short-haired 155
women, lisping boys and deep-voiced girls 2
Queer
LGBT atau GLBT (lesbians, gays, 156 bisexual, transsexual)
3
Menstrual Fluid
have an issue, flowers
163
Tabel 1.3 Contoh Pengumpulan Data ‘Forbidden Words’ Demikian contoh tabel pengumpulan data, untuk data secara utuh dapat dilihat dalam lampiran 1.
1.7.2 Analisis Data Dalam tahapan analisis ini dimulai dengan melakukan pengamatan pada tabel-tabel hasil pengumpulan data. Selanjutnya menganalisa data-data tersebut menggunakan pendapat dari ahli yang telah menyimpulkan terlebih dahulu mengenai ranah tabu. Dalam hal ini dipakai pendapat dari Wardaugh (2006:239) untuk mendapat menjawab rumusan masalah nomor satu mengenai ranah Tabu bahasa dalam bahasa Inggris. Setelah itu, data dari tiga tabel pengumpulan data tadi didistribusikan ke dalam beberapa tabel sesuai dengan ranahnya masingmasing. Hasil analisis Ranah Tabu Bahasa dapat dilihat pada sembilan tabel ranah
39
pada lampiran 2. Banyaknya tabel yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mempermudah pembacaan data-data yang ada. Selanjutnya menganalisa data-data sesuai dengan teori tingkat satuan kebahasaan untuk mendapatkan bentuk eufemisme dan menjawab rumusan masalah nomor 2. Pertama-tama dalam mengalisis bentuk, semua data dalam tiga tabel pengumpulan data dijadikan satu tabel besar guna menghindari adanya data ganda. Kemudian satu persatu data eufemisme tersebut diperhatikan dan diputus masuk dalam bentuk tertentu. Setelah semua data eufemisme diketahui bentuknya maka bentuk-bentuk tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa tabel sesuai dengan kategori bentuk masing-masing. Kemudian untuk menjawab rumusan masalah nomor 3, data dianalisa menggunakan teori dari Allan dan Burridge (1991: 14). Analisa tersebut dilakukan untuk melihat pembentukan eufemisme dari tabu bahasa dalam bahasa Inggris secara umum. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menghimpun semua data ke dalam satu tabel dan mulai memperhatikan satu persatu. Dipelajari gejala pembentukkannya dengan seksama sesuai teori yang ada. Setelah gejala pembentukan dari semua data eufemisme dicatat kemudian data-data tersebut dimasukkan ke dalam tabel-tabel sesuai dengan gejala atau cara pembentukan eufemisme tersebut. Keseluruhan data dapat dilihat pada lampiran 4 bagian pembentukan eufemisme. 1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data Data dari hasil analisis yang berupa ranah tabu, bentuk dan pembentukan eufemisme disajikan secara formal dan informal. Informal dengan menggunakan
40
uraian kata-kata biasa dari penulis dan secara formal menggunakan tanda atau lambang-lambang, termasuk tabel, bagan dan lain-lain (Kesuma, 2007:73) 1.8. Sistematika Penyajian Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab terstruktur sebagai berikut: a) Bab I Pendahuluan Dalam pendahuluan ini memuat antara lain, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, dan metode penelitian yang terdiri dari: teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan teknik penyajian hasil analisi data, serta sistematika penulisan b) Bab II Ranah Tabu Dalam bab ini peneliti menyajikan tentang ranah tabu yang terdapat pada tabu bahasa dalam bahasa Inggris. c) Bab III Bentuk Eufemisme Dalam Bab ini Peneliti menguraikan tentang tipe bentuk eufemisme yang terdapat pada tabu bahasa dalam bahasa Inggris. d) Bab IV Pembentukan Eufemisme Dalam Bab ini memuat tentang pembentukan eufemisme yang pada tabu bahasa dalam bahasa Inggris e) Bab V Penutup Dalam Bab ini peneliti mengemukakan tentang kesimpulan terhadap penelitian yang telah dilakukan mengenai hasil-hasil yang telah didapat. Dalam bab ini juga memuat saran-saran peneliti berkaitan dengan penelitian eufemisme ini.