BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kehidupan manusia merupakan proses dari kelangsungan hidup yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Pada dasarnya manusia selalu berjuang dengan cara bekerja guna mendapatkan uang yang digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka akan kebutuhan hidup yang layak tersebut. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama dimata hukum dalam menikmati manfaat dan kemakmuran secara ekonomis dimana negara menjamin kepada warga negaranya untuk berusaha dan mendapatkan penghidupan yang layak. Artinya bahwa negara akan memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk menikmati dan merasakan kemakmuran bagi hidupnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Perwujudan dari bekerja dapat dilakukan secara individual maupun secara kolektif. Bekerja secara individual berarti bahwa individu menjalankan pekerjaannya tidak terkait dan terikat oleh kondisi luar yang
1
2
dapat mempengaruhi hak dan kewajibannya. Sedangkan menjalankan pekerjaan secara kolektif berarti bahwa dalam melakukan pekerjaannya terkait dan terikat oleh hal-hal yang dapat mempengaruhi hak dan kewajiban dalam menjalankan pekerjaannya. Pelaksanaan pekerjaan kolektif sudah barang tentu membutuhkan orang lain dimana antara satu dengan yang lain saling mengikatkan diri, tunduk kepada ketentuan yang telah disepakati bersama yang pada akhirnya menciptakan suatu hubungan kerja dengan kepentingan yang berbeda antara pihak pertama, yakni pekerja dengan pihak kedua yang disebut pengusaha sehingga diperlukan suatu aturan yang dapat menjembatani para pihak yang terlibat dan terkait didalamnya. Tahun 2003 Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi tenaga kerja. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mencabut Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 definisi pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Selain pekerja, disisi lain ada pemberi kerja yang disebut dengan pengusaha. Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pemberi kerja adalah organisasi perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lain yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3
Perpaduan antara pihak pekerja dengan pihak pengusaha menciptakan sebuah hubungan kerja dimana dalam Pasal 1 butir (15) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mendefinisikan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional karena dapat menciptakan rasa kebersamaan antara pengusaha dan pekerja. Hubungan kerja diantara kedua belah pihak yakni pengusaha dan pekerja biasanya diawali terlebih dahulu oleh suatu perjanjian kerja. Perjanjian kerja ini berisikan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak dan masa berlaku dari perjanjian kerja tersebut. Prinsipnya baik pengusaha maupun pekerja sama-sama menginginkan terciptanya suatu hubungan industrial yang terjalin dengan baik dan harmonis. Oleh sebab itu, para pelaku utama hubungan industrial ini semestinya harus mampu dan cerdas menyikapi setiap dinamika yang terjadi dan berpotensi menimbulkan gesekan diantara para pihak demi terciptanya situasi dan kondisi yang kondusif diantara para pihak. Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja nyatanya tidak selalu berjalan dengan baik dan harmonis. Banyak hal yang memungkinkan
4
terjadinya perselisihan hubungan industrial karena manusia sebagai mahluk sosial yang saling berinteraksi memiliki pandangan, interpretasi serta kepentingannya masing-masing yang dapat menimbulkan perbedaan dan pertentangan pendapat yang tidak jarang meruncing dan menjadi sebuah perselisihan atau sengketa antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja yang tidak jarang berujung kepada pengadilan, khususnya mengenai perselisihan PHK.5 Faktor yang mempengaruhi baik tidaknya hubungan industrial terbagi dalam 2 (dua) faktor, yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah dalam terciptanya hubungan industrial yang baik antara pihak pekerja, serikat pekerja dengan pengusaha. Sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah terciptanya hubungan yang baik dengan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan dengan institusi atau lembaga lain diluar perusahaan. Salah satu pemicu konflik dari faktor internal adalah adanya gesekan antara pengusaha dengan pekerja dan serikat pekerja yang berkaitan dengan perselisihan hak, dalam hal ini hubungan kerja dimana terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara pengusaha dengan pekerja. Konsekuensi PHK pada dasarnya sangat besar dan merugikan kedua belah pihak terutama bagi pekerja. Dikatakan demikian karena dengan adanya PHK maka dampak yang dirasakan tidak hanya dirasakan oleh 5
Libertus Jehani, 2006, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, Visi Media, Jakarta, hlm. 11
5
pekerja semata tetapi juga oleh pihak keluarga dari pekerja, terlebih jika memang kehidupan pekerja beserta keluarga hanya bergantung dari upah yang diterima dari perusahaan
tempat dia bekerja. Terkait dengan
besarnya dampak tersebut maka pada prinsipnya para pihak yang terlibat dalam hubungan industrial seperti: pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah dengan segala upaya harus menghindari terjadinya PHK. Namun apabila segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tidak dapat dihindarkan, maka PHK tersebut wajib dirundingkan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Dalam hal perundingan tidak mendapat persetujuan maka PHK hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa salah satu perselisihan hubungan industrial adalah Pemutusan Hubungan Kerja yang untuk selanjutnya disebut PHK. PHK menurut Pasal 1 butir (4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. PHK juga diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 170 UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ruang lingkup Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 disebutkan
6
sebagai berikut : ”Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”. PHK pada dasarnya dapat terjadi atas inisiatif dari kedua belah pihak, yakni pengusaha maupun pekerja, walaupun pada kenyataannya bahwa pihak pengusaha lebih sering melakukan PHK dengan berbagai alasan atau pertimbangan, seperti: pengunduran diri, pekerja mangkir, perubahan status perusahaan, perusahaan pailit, perusahaan tutup, pekerja meninggal dunia, pekerja pensiun, pekerja melakukan kesalahan berat ataupun karena jangka
waktu
yang
diperjanjikan
telah
berakhir
karena
tidak
diperpanjangnya perjanjian kerja sehingga hubungan kerja diantara kedua belah pihak berakhir. PHK sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat juga terjadi ketika perjanjian kerja berakhir, yaitu apabila: pekerja meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
7
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Pengusaha juga dapat melakukan PHK secara sepihak terhadap pekerja atau buruh dengan beberapa kondisi tertentu tanpa perlu didahului oleh terbitnya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana tertuang dalam Pasal 154 UndangUndang No. 13 Tahun 2003, yakni dalam hal: 1. Pekerja/buruh masih
dalam percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; 2. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis
atas
kemauan
sendiri
tanpa
ada
indikasi
adanya
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; 3. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau 4.
Pekerja/buruh meninggal dunia. PHK yang dilakukan oleh pemberi kerja atau pengusaha karena
alasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 154 khususnya Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sering menimbulkan konflik yang tidak jarang berujung pada sengketa atau perselisihan hubungan industrial. Permasalahan timbul ketika pengusaha melakukan PHK dengan cara tidak
8
memperpanjang durasi perjanjian kerja atau membiarkan kontrak kerja habis dengan sendirinya namun pekerja atau serikat pekerja menilai bahwa tindakan PHK yang dilakukan oleh pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Permasalahan lain yang timbul sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh pengusaha adalah pekerja melalui serikat pekerja meminta pengusaha memberikan segala hak yang dimiliki oleh pekerja seperti uang pesangon sebagai konsekuensi dari PHK tersebut. Persoalan yang dituangkan penulis dalam tesis ini adalah persoalan PHK sebagai akibat tidak dilanjutkannya kembali perjanjian kerja antara kedua belah pihak namun salah satu pihak menilai bahwa perjanjian kerja serta prosedur pelaksanaannya cacat hukum karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan PHK yang dilakukan oleh pihak pengusaha atau perusahaan dianggap tidak sah. Salah satu kasus yang dijadikan pembahasan adalah Putusan Pengadilan yang terjadi di Pengadilan Negeri KL IA Bandung yang berawal dari adanya hubungan kerja antara seorang pekerja bernama Ahmad Apandi yang berkedudukan sebagai penggugat dengan perusahaan bernama PT. Bangunperkasa Adhitamasentra yang pada kasus ini berkedudukan sebagai tergugat.
9
Penggugat dan tergugat memiliki hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan jumlah 4 (empat) kali kontrak dan durasi kerja selama 3 (tiga) tahun 3 (tiga) bulan diantara keduanya, tetapi pada kontrak terakhir atau keempat pihak tergugat tidak memperpanjang perjanjian kerjanya sehingga mengakibatkan putusnya hubungan kerja diantara kedua belah pihak. Namun tindakan PHK yang dilakukan oleh pihak tergugat menjadi awal perselisihan diantara kedua belah pihak. Masalah yang timbul akibat tindakan tergugat untuk tidak memperpanjang durasi kontrak kerja adalah suatu masalah yang menarik untuk penulis bahas serta dituangkan dalam suatu tulisan (tesis). Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan, maka judul yang penulis kaji pada penelitian karya tulis dalam tesis ini adalah “Analisa Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Mengenai Perkara Pemutusan Hubungan Kerja Karena Berakhirnya Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Studi Kasus
Putusan
Pengadilan
35/G/2013/PHI.PN.BDG)”.
Hubungan
Industrial
Nomor:
10
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam membuat putusan
mengenai
sengketa
PHK
dalam
perkara
Nomor
35/G/2013/PHI.PN.BDG di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri KL 1A Bandung? 2. Apakah putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
KL 1A Bandung dalam perkara Nomor
35/G/2013/PHI.PN.BDG sudah sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dijelaskan diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan dan mencari jawaban atas masalah-masalah tersebut dengan upaya sebagai berikut: 1. Mengetahui pertimbangan hukum dari Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri KL 1A Bandung dalam memutus perkara Nomor 35/G/2013/PHI.PN.BDG; 2. Mengetahui kesesuaian antara putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri KL 1A Bandung terhadap perkara
11
Nomor 35/G/2013/PHI.PN.BDG dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil meliputi manfaat dari segi teoritis maupun manfaat dari segi praktis, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan digunakan untuk pengembangan ilmu
hukum,
dengan memberi masukan dan
sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum bisnis dan perdata, khususnya hukum ketenagakerjaan. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pelaku bisnis dan pelaku hubungan industrial, termasuk Hakim Pengadilan
Hubungan
Industrial
dalam
menghadapi
dan
menyelesaikan masalah perjanjian kerja dan PHK.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan di beberapa lingkungan universitas, menunjukkan bahwa penelitian mengenai PHK dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) bukan yang pertama kali dilakukan. Ada
12
beberapa penelitian dengan tema yang sama, yakni: 1. Penelitian oleh Dewi Sartika Sinaga, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2012. Penelitian dengan judul
“
Tinjauan
Perselisihan
Yuridis
Pemutusan
Proses
Hubungan
Penyelesaian Kerja
Pada
Sengketa Pengadilan
Hubungan Industrial (Analisa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial No. 4/ G/ 2010/ PHI.YK)” mengambil permasalahan mengenai alasan PT Indo Merapi (dahulu CV Indo Antik) tidak melaksanakan ketentuan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Pasal 156 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. Penelitian oleh Neni Vesna Madjid, mahasiswa
Magister Ilmu
Hukum Universitas Andalas tahun 2011. Penelitian dengan judul “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Kelas 1-A Padang” tersebut mengambil permasalahan mengenai praktik Pemutusan Hubungan Kerja oleh pengusaha yang diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas 1-A Padang dan efektivitas Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas 1-A Padang dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di Sumatera Barat.
13
Penelitian ini apabila dibandingkan dengan penelitian terdahulu, maka baik judul dan permasalahan maupun substansi pembahasannya sangat berbeda. Ada beberapa penelitian yang sepintas permasalahannya hampir sama, seperti yang diteliti oleh saudari Dewi Sartika Sinaga dan saudari Neni Vesna Madjid. Akan tetapi jika dilihat kembali secara cermat permasalahannya sangatlah berbeda. Saudari Dewi Sartika Sinaga membahas dan menganalisa mengenai Putusan Pengadilan Hubungan Industrial No. 4/G/2010/PHI.YK sebagai akibat yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (perusahaan) dengan alasan rasionalisasi sebagai akibat perusahaan yang terus merugi terhadap salah satu karyawannya yang bernama Priyono sehingga hak-hak karyawan sebagai akibat PHK tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan. Saudari Neni Vesna Madjid memfokuskan penelitian terhadap berbagai penyebab yang menjadikan alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas 1-A Padang serta tingkat efektivitas dari proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan. Penelitian ini difokuskan mengenai pertimbangan dari Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri KL 1A Bandung dalam memutus perkara Nomor 35/G/2013/PHI.PN.BDG serta melakukan
14
perbandingan terhadap putusan tersebut dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan memenuhi kaedah keaslian penelitian.