BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan
sangat
penting
untuk
dilakukan
yaitu
untuk
memperoleh keturunan dalam kehidupan manusia baik perorangan maupun kelompok, dengan jalan perkawinan yang sah. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan penuh rasa kasih sayang antara suami-isteri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat. Perkawinan dapat menjadi wadah pertemuan dari sekian banyak gejala keislaman. Di dalam perkawinan terdapat prosedur yang mengikat, seperti syarat, rukun, dan larangan yang berada pada skala hukum serta lahir dengan cara perspektif. Aktivitas perkawinan menurut hukum melibatkan beberapa pihak yang bersangkutan seperti calon suami-isteri, wali nikah, dan saksi. Keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah merupakan suasana yang diinginkan setiap perkawinan (Abdul Gani Abdullah, 1994: 39). Suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang
1
2
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan, sehingga perkawinan ini akan mempunyai akibat hukum yaitu akibat yang mempunyai hak mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah menurut hukum apabila perkawinan itu dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya dan ayat (2) menentukan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan dalam pasal-pasal tersebut di atas bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi kaum wanita dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masingmasing suami-isteri mendapat salinannya, sehingga apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka sebagai akibat dari ketidak konsistenan salah satu pihak untuk mewujudkan tujuan perkawinan membentuk keluarga sakinah, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut suami-isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
3
Akta nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Selain itu, akta nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan (Zainuddin Ali, 2006: 29). Maka jelaslah bahwa pencatatan nikah untuk mendapatkan akta nikah tersebut adalah sangat penting. Sebagaimana disinyalir dalam Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam : “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Konsekuensi dari dijadikannya akta nikah sebagai satu-satunya alat bukti perkawinan bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya, maka segala macam akibat hukum yang terkait dengan peristiwa perkawinan tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum, seperti pengajuan perceraian ke Pengadilan, pembagian harta bersama, pembagian warisan, status anak dan lain-lain. Di
satu
sisi
peraturan
perundang-undangan
di
Indonesia
mewajibkan pencatatan perkawinan dan menjadikannya sebagai satusatunya alat bukti bagi adanya perkawinan yang berarti secara logis tidak ada jalan keluar bagi yang melanggar ketentuan ini untuk menyelesaikan persoalannya secara hukum di belakang hari. Namun, di sisi lain perundang-undangan membuka pintu bagi mereka yang tidak dapat membuktikan adanya perkawinan mereka dengan alat bukti akta nikah untuk menyelesaikan persoalan mereka melalui Instansi Pemerintah yang
4
resmi yaitu Pengadilan Agama dengan dibukanya jalan bagi penetapan nikah mereka (itsbat nikah). Hal ini sesuai dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 Ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi absolut Pengadilan Agama di antaranya adalah tentang perkawinan dan termasuk di dalamnya yaitu tentang itsbat nikah. Membicarakan itsbat nikah akan terkait dengan sesuatu yang negatif terhadap suatu peristiwa hukum yang mendahuluinya dan terkadang terkesan jika hal itu dirasakan suatu kelalaian mengapa pada waktu itu tidak mendaftarkan perkawinan yang telah dilaksanakan tersebut. Namun, kenyataan dalam masyarakat sering seperti itu, seolah ada anggapan jika sudah sah secara agama maka dirasakan cukup, tetapi di sisi lain ketika berhadapan dengan institusi Negara maka dirasakan ada sesuatu yang mengharuskan mereka untuk mau tidak mau harus mentaatinya. Fenomena itsbat nikah telah banyak terjadi di beberapa daerah di negara Indonesia, seperti yang terjadi di Jakarta pada hari Minggu tanggal 15 Mei 2013 tepatnya di daerah Tugu Monas Jakarta telah dilaksanakan itsbat nikah massal. Perhelatan tersebut diikuti oleh 349 pasangan pengantin. Pasangan pengantin ini adalah peserta nikah massal yang
5
diselenggarakan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Lembaga zakat ini menyelenggarakan acara berjudul Wedding On The Street, Pelaminan Nusantara untuk memecahkan rekor MURI sebagai pelaminan terpanjang (Jawa Pos, 2013). Acara ini penting untuk mereka yang selama ini tidak punya cukup uang untuk melaksanakan pernikahan, atau yang belum sampai nikah secara resmi di KUA. Dengan ini mereka bisa mendapatkan buku nikah setelah mengikuti sidang itsbat nikah. Selain di Jakarta, itsbat nikah juga terjadi di Surabaya yaitu sebanyak 154 pasangan suami-isteri di Kota Surabaya, Jawa Timur, mengikuti nikah dan itsbat massal yang digelar Baitul Muslimin Indonesia Surabaya di Balai Pemuda, pada hari Sabtu tanggal 19 Januari 2013. “Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Kota Surabaya Muklish Amal mengatakan pasutri yang ikut nikah dan itsbat massal berasal dari beberapa kecamatan di Surabaya, seperti Kenjeran, Semampir, Simokerto, Sukomanunggal dan lainnya. "Yang paling banyak pesertanya dari Pasuruan. Ini khusus warga Surabaya saja," katanya. Menurut dia, kegiatan sosial ini bertujuan memberikan kemudahan kepada warga yang tidak mampu dalam kepengurusan nikah” (KBRN, 2013). Dari kedua berita di atas jelas terlihat masih banyaknya pasangan suami-isteri di Indonesia yang pernikahannya belum sah secara hukum Negara. Hal tersebut sungguh sangat memprihatinkan. Perkawinan yang belum sah secara hukum sangat berpengaruh terhadap status anak (nasab). Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak sah (yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam sebagai Instruksi Presiden Tahun 1991, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah anak
6
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah: 1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah. 2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi. 3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami. Pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan kabul, wali nikah, 2 orang saksi dan pengantin sudah cukup umur. Namun, perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibu yang melahirkannya, karenanya anak di luar kawin tidak mempunyai hak mewaris atas harta kekayaan ayah dan keluarga ayahnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan akan merugikan kepentingan dan mengancam pemenuhan, perlindungan, dan penegakan hak anak. Sebagai peristiwa hukum, perkawinan tentu berkorelasi langsung dengan anak-
7
anak yang dilahirkan, baik menyangkut hukum keluarga maupun hak-hak anak yang dijamin sebagai hak asasi manusia (child’s rights are human rights). Adanya perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan hambatan dan mengandung resiko bagi pengakuan dan pemenuhan hak-hak anak dalam hukum keluarga, yatu berdampak pada hubungan perdata, pengakuan
nasab
atau
garis
keturunan
(formal),
hak
mewaris,
pemeliharaan dan biaya hidup. Bahkan kasih sayang dan tanggung jawab orang tuanya untuk tumbuh dan kembang anak secara bersamaan berdampak pula bagi pemenuhan hak-hak anak sebagai HAM dan sebagai subjek warga negara, seperti hak atas identitas (akta kelahiran, relasi kekerabatan, kewarganegaraan). Anak berhak mengetahui asal usul orang tuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya sendiri [Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak]. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dengan demikian tidak tercatatkan ke dalam sistem pencatatan, dan karenanya tidak memiliki dokumen formal yang diterbitkan Pemerintah. Hal ini menjadi hambatan yuridis dalam pemenuhan hak atas identitas, yakni hak atas akta kelahiran. Alih-alih untuk anak yang dari perkawinan tidak dicatatkan, pemenuhan hak identitas yakni akta kelahiran atas anak dari perkawinan yang sah (dicatatkan) saja masih belum memadai atau cenderung gagal dilaksanakan (Tim KPAI, 2013). “Anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut 14,57 persen tidak dapat menunjukkan
8
akta kelahiran, sedangkan jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran 44,09 persen (Susenas 2010, BPS). Jika dibanding dengan data kependudukan tahun 2005, pencatatan kelahiran setelah disahkannya UU Nomor 23 Tahun 2006 bisa dikatakan gagal. Karena tidak ada kenaikan signifikan dalam pencatatan kelahiran anak yang menggunakan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”, sebagaimana data berikut ini. Data Penduduk Usia 0-4 Tahun yang Memiliki Akta Kelahiran menurut Provinsi (Sensus BPS, 2005), sebelum UU No. 23 Tahun 2006 disahkan, sebanyak 42,82%. Sedangkan data Penduduk Usia 0-4 Tahun yang memiliki Akta Kelahiran, (BPS, Susenas 2011), setelah UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan disahkan sebanyak 59%” (Tim KPAI, 2013). Oleh karena akta kelahiran adalah yang pertama, maka ketiadaan akta kelahiran berimplikasi luas kepada pemenuhan hak-hak anak lain, terutama hak atas jaminan sosial dan
pendidikan. Dalam hal
perkembangan regulasi dan kebijakan jaminan sosial yang cenderung mengarah kepada dokumen formal, maka anak-anak yang tidak memperoleh akta kelahiran karena tiadanya perkawinan tidak dicatatkan akan semakin tersingkirkan dari akses jaminan sosial. Mengenai hak-hak seorang anak secara rinci dan khusus telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Dicantumkannya hak-hak seorang anak dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak sebagai upaya untuk menjamin tewujudnya kesejahteraan anak, yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun
9
sosial, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak membedakan hak-hak seorang anak secara umum dan hak-hak seorang anak secara khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, sosial, dan memerlukan pelayanan khusus. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdapat 15 Pasal, yakni Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 yang mengatur mengenai hak-hak anak. Demikian pula hak-hak seorang anak diatur pula dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan maksud memberikan perlindungan dan memberikan jaminan pemenuhan hak-hak anak tersebut dan tidak adanya perlakuan diskriminasi terhadap anak-anak (Rachmadi Usman, 2006: 352-357). Fenomena tentang itsbat nikah juga terjadi di Kabupaten Kulon Progo. Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta
dimana
masih
banyak
pasangan
suami
isteri
yang
pernikahannya belum dicatatkan atau sah secara hukum Negara. Hal ini terlihat dari banyaknya permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama Wates. Sebagai contoh jumlah permohonan itsbat nikah dari tahun 2011 hingga Juli 2013 masih tergolong tinggi. Data lengkapnya sebagai berikut:
10
Tabel 1. Jumlah Permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Wates Periode Tahun 2011-Juli 2013 No
Tahun
Jumlah Permohonan Itsbat Nikah
1
2011
22
2
2012
15
3
Januari-Juli 2013
3
Sumber: Dokumen Pengadilan Agama Wates, diolah pada tanggal 20 Juli 2013
Jika melihat data tersebut di atas bukanlah jumlah yang sedikit perkara permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama Wates. Terdapat berbagai alasan pemohon dalam mengajukan permohonan itsbat nikah. Salah satu dari alasan tersebut yaitu untuk membuat akta kelahiran guna mengurus pembagian warisan. Sebagai contoh yaitu Penetapan Pengadilan Agama Wates dengan Nomor: 0005/Pdt.P/2011/PA.Wt. Dalam penetapan tersebut
hakim
telah
mengabulkan
permohonan
pemohon
untuk
mengitsbatkan pernikahan ayah dan ibu pemohon. Itsbat nikah tersebut bertujuan untuk mengurus pembuatan akta kelahiran yang memerlukan bukti pernikahan ayah dan ibu pemohon, sedangkan pemohon tidak mempunyai bukti tersebut dikarenakan pernikahan terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan belum dicatatkan ke Petugas Pencatat Nikah. Namun, karena pertimbangan hukum, alat bukti yang diajukan, dan keterangan saksi-saksi akhirnya
11
hakim
mengabulkan
permohonan
pemohon
untuk
mengitsbatkan
pernikahan ayah dan ibu pemohon. Menurut Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu “Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon”. Akan tetapi, dalam penyelesaian beberapa perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates,
salah
satunya
penyelesaian
perkara
Nomor:
0005/Pdt.P/2011/PA.Wt sebagai contoh di atas, dikategorikan sebagai perkara voluntair yang produknya berupa penetapan. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis bermaksud mengkaji secara mendalam melalui sebuah penelitian yang berjudul: “PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA WATES”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
uraian
latar
belakang
di
atas,
maka
dapat
diidentifikasikan beberapa permasalahan yang dapat diteliti, antara lain : 1. Adanya pasangan suami isteri yang tidak mempunyai akta nikah atau perkawinannya belum dicatatkan.
12
2. Banyaknya anak yang tidak memiliki akta kelahiran karena perkawinan orang tuanya tidak dicatatkan. 3. Adanya hak-hak anak yang tidak terpenuhi disebabkan karena tidak adanya akta kelahiran. 4. Adanya permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates. 5. Masih adanya pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates yang kurang sesuai dengan ketentuan Mahkamah Agung.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, maka peneliti perlu untuk melakukan pembatasan masalah. Untuk pengkajian selanjutnya peneliti membatasi penelitian ini pada dua pembatasan pokok yaitu: 1.
Adanya permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates.
2.
Masih adanya pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates yang kurang sesuai dengan ketentuan Mahkamah Agung.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka peneliti mengambil rumusan masalah yaitu: 1. Apa alasan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates? 2. Bagaimana pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates?
13
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui alasan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates.
F. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan (ilmu) dan wawasan di bidang hukum serta khususnya hukum perdata dan hukum Islam yang menjadi bagian dari objek kajian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan salah satu rujukan bagi penelitian yang sejenis di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Penelitian
ini
diharapkan
dapat
digunakan
untuk
mengembangkan wawasan, ilmu-ilmu, serta penerapannya di
14
bidang PKn, khususnya dalam objek kajian hukum perdata dan hukum Islam.
b. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan serta menambah wawasan masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berpikir kritis tentang pentingnya pencatatan perkawinan.
G. Batasan Istilah Untuk mencegah adanya kesalah pahaman terhadap permasalahan yang akan diteliti, maka peneliti akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang maksud dari judul penelitian, yaitu: 1. Pelaksanaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan, usaha, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dsb) (Tim Penyusun, 2008: 774). 2. Itsbat Nikah Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab yang terdiri isbat dan nikah. Itsbat berasal dari bahasa Arab yang berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan itsbat nikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, itsbat nikah
15
adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah (Tim Penyusun, 2008: 549). Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang. 3. Pengadilan Agama Pengadilan Agama (PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan b. warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam c. wakaf dan shadaqah d. ekonomi syari'ah Dari batasan pengertian di atas, penelitian ini akan membahas mengenai proses penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah di Pengadilan Agama Wates.