BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan sebuah struktur. Struktur dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antar unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling terikat, saling berkaitan, saling bergantung, dan saling menentukan (Pradopo, 1987: 118). Lebih lanjut Nurgiyantoro (2013: 57) menjelaskan sturuktur dalam karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Adapun menurut Luxemburg (1989: 5) karya sastra bercirikan koherensi yang ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam, bentuk dan isinya saling kait-mengait secara erat sehingga saling menerangkan. Di dalam karya sastra terdapat dua genre, yaitu puisi, dan prosa (Pradopo, 2013: 122). Salah satu genre sastra adalah prosa. Prosa merupakan salah satu jenis karya sastra yang imajinatif dan estetis. Istilah prosa dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (cerkan) atau cerita khayalan, tetapi biasanya masuk akal dan kebanyakan isi dari cerita tersebut mengandung kebenaran dengan kehidupan manusia (Nurgiyantoro, 2013: 2). Sebagai karya imajinatif, prosa menyajikan pengalaman dan permasalahan hidup manusia melalui fakta-fakta cerita, tema, sarana-sarana yang diungkapkan dalam sebuah tulisan kreatif (Stanton, 1965: 7). Diungkapkan dalam sebuah tulisan kreatif, penulisan dalam sebuah prosa menggunakan bahasa tulisan yang biasa, bukan berbentuk dan terikat oleh kaidah
1
2
prosodi serta kesesuaian akhir baris yang sama. Definisi ini menarik garis pembeda antara genre sastra puisi, yang mengikuti aturan prosodi atau ritme gaya, dan rima (Kamil, 2009: 10). Salah satu jenis prosa adalah cerpen. Cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Pendek diartikan sebagai cerita yang dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan pendek juga karena cerpen memiliki kesatuan ‘padat’, artinya pengarang menciptakan dan mengemukakan karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus secara bersamaan dengan tidak panjang lebar sampai mendetail, tetapi difokuskan pada satu permasalahan (Stanton, 1965: 38). Cerpen dalam dunia kesusastraan Arab dikenal dengan istilah al-qiṣṣah alqaṣīrah. Al-qiṣṣah al-qaṣīrah merupakan cerita yang terdiri dari satu gagasan atau satu peristiwa yang memperkuat pemaparan sebuah cerita dengan jelas dan sempurna (as-Syayyib, 1964: 343). Cerpen Arab mulai berkembang dan muncul pada awal abad ke-19, ditandai dengan persinggungan antara pemikiran Barat dan Arab. Cerpen dalam sastra Arab modern pertama kali muncul pada tahun 1870 di harian al-Jinan Mesir. Cerpen ini adalah tanda lahirnya sebuah genre baru yang kemudian disusul oleh cerpen-cerpen lainnya. Cerpen-cerpen yang muncul pada periode awal sastra Arab modern tersebut kebanyakan merupakan terjemahan dari bahasa Prancis (Aziz dan Meguid, tt: 77-78). Cerpen dalam kesusastraan Arab mengalami kemajuan pesat ketika Mesir menjadi kiblat dunia jurnalistik, yang mengakibatkan bertambahnya surat kabar dan koran dalam jumlah yang besar. Peningkatan jumlah tersebut berdampak pada bertambahnya pula jumlah cerpen
3
yang dipublikasikan (Aziz dan Meguid, tt: 80). Salah satu dari sekian banyak sastrawan Arab, yaitu Gassān Kanafānī. Gassān Kanafānī merupakan seorang sastrawan Arab asal Palestina yang menciptakan karya sastranya dari tragedi-tragedi yang terjadi dalam kisah hidupnya. Gassān Kanafānī termasuk sastrawan yang produktif dalam menciptakan dan menerbitkan karya sastra. Salah satu karya Gassān Kanafānī adalah cerpen “Waraqatun min aṭ-Ṭīrah” dalam Antologi Cerpen Arḍu AlBurtuqāli Al-Ḥazīni yang diterbitkan di Damaskus pada tahun 1957. Cerpen ini menyajikan rangkaian peristiwa perjuangan hidup tokoh Aku beserta penduduk Palestina dalam melakukan peperangan melawan kesewenang-wenagan dan kekejian yang dilakukan oleh orang-orang Israel. Kerja keras atas jasa-jasa mereka dalam melakukan peperangan dan membunuh Zionis Israel tidak mendapatkan imbalan apa pun dari para petinggi negara. Mereka merupakan prajurit yang benar-benar ikhlas dan rela mati dalam berperang. Cerita dalam cerpen “Waraqatun min aṭ-Ṭīrah” ini tidak dapat dimaknai secara utuh tanpa melihat unsur-unsurnya secara mendetail. Oleh karena itu, cerpen “Waraqatun min aṭ-Ṭīrah” ini akan dianalisis dengan menggunakan teori struktural untuk mengetahui unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dan mencari keterkaitan antar unsurnya sehingga cerpen ini dapat dimaknai secara utuh.
4
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah apa saja unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen “Waraqatun min aṭ-Ṭīrah” serta bagaimana keterkaitan antarunsurnya. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen “Waraqatun min aṭ-Ṭīrah” dan menjelaskan keterkaitan antar unsurnya, sehingga menghasilkan makna yang utuh. 1.4 Tinjauan Pustaka Antologi cerpen
Arḍu Al-Burtuqāli Al-Ḥazīni karya Gassān Kanafānī
terdiri atas sebelas judul cerita pendek, empat di antara cerpen tersebut pernah diteliti. Di antaranya adalah cerpen “Arḍu al-Burtuqāli al-Hazīni” diteliti oleh Juliani (2011) dengan menggunakan analisis struktural. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa semua unsur dalam cerpen tersebut memiliki keterkaitan unsur yang kuat, dengan tema utamanya adalah peperangan dan pendudukan terhadap suatu wilayah akan menghancurkan wilayah itu dan menghilangkan sumber kehidupan masyarakatnya. Cerpen lain yang sudah diteliti adalah “Ab’adu min al-Ḥudūdi”. Cerpen ini diteliti dengan analisis struktural oleh Ulum (2012). Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga unsur yang ada dalam cerpen tersebut memiliki keterjalinan dan keterkaitan yang erat antara satu dengan yang lainnya dalam
5
menghasilkan makna yang menyeluruh dan padu. Tema utama dari cerpen tersebut adalah pemimpin yang tidak pro-rakyat dalam memimpin sebuah negara akan mengakibatkan kesengsaraan hidup bagi masyarakat yang dipimpinnya. Selanjutnya adalah cerpen “as-Silāḥu al-Muḥarramu” diteliti oleh Swastika (2012) dengan menggunakan analisis struktural. Penelitian ini mengungkapkan bahwa unsur-unsur dalam cerpen tersebut saling berkaitan satu sama lain yang membuktikan adanya hubungan struktural antar unsurnya, dengan tema utamanya adalah senjata selain bermanfaat bagi manusia, juga dapat menjadi sumber masalah. Senjata yang dimaksud dalam cerita tersebut adalah senjata api yang dibawa oleh seorang tentara asing ke sebuah desa yang telah sering didatangi oleh tentara. Kehadiran senjata tersebut telah menyebabkan terjadinya berbagai masalah. Selanjutnya cerpen adalah “al-Ufuqu warā’a al-Bawwabati” diteliti oleh Fahmi (2014) dengan dengan menggunakan analisis Struktural Stanton. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa unsur-unsur dalam cerpen ini saling berkaitan erat satu sama lainnya yang membuktikan adanya hubungan struktural di antara unsur-unsrunya, dengan tema utamanya adalah kejujuran untuk mengakui kebohongan dapat mengakhiri beban penderitaan dalam diri seseorang. Berdasarkan tinjauan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen “Waraqatun min aṭ-Ṭīrah” Dalam antologi cerpen Arḍu Al-Burtuqāli karya Gassān Kanafānī belum pernah diteliti dan layak diteliti untuk menambah khazanah keilmuan kesusastraan Arab dengan menggunakan analisis struktural.
6
1.5 Landasan Teori Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori struktural. Teori struktural merupakan teori yang memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang terdiri atas beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut dapat dibongkar dan dipaparkan secermat dan sedetail mungkin serta dapat dicari keterjalinan antar unsurnya yang dipandang dapat menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam diri karya sastra merupakan suatu struktur yang berdiri sendiri yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsurunsur pembangunnya yang saling berkaitan (Pradopo, 1985: 6). Terkait dengan penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori struktural Robert Stanton. Stanton (1965: 11-36) membagi unsur pembangun fiksi menjadi tiga bagian, yaitu fakta cerita (Fact), tema (theme), dan sarana cerita (literary devices). Fakta cerita menurut Stanton (1965: 12) meliputi karakter, alur, dan latar. Ketiga unsur ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Fakta cerita yang pertama yaitu karakter (charakter). Menurut Stanton (1965: 17) karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu. Fakta cerita selanjutnya berupa alur (plot). Alur merupakan tulang punggung cerita yang dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam
7
sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur. (Stanton, 1965: 14-15). Fakta cerita yang terakhir adalah latar atau setting. Latar merupakan lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita, Latar dapat berupa dekor, pegunungan, dan bahkan jalan buntu sekalipun. Latar juga dapat berwujud berupa waktu-waktu, seperti hari, bulan, tahun, cuaca, dan satu periode sejarah (Stanton, 1965: 18). Tema merupakan makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema (Stanton, 1965: 19-21). Sarana cerita merupakan metode pengarang dalam memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Sarana cerita terdiri atas judul (titile), sudut pandang (point of view), gaya bahasa dan nada (style and tone), simbolisme (symbolism), dan ironi (irony) (Stanton, 1965: 2336). Akan tetapi, sarana cerita yang akan diteliti dalam penelitian ini hanya judul (title) dan sudut pandang (point of view) saja karena hal tersebut yang dominan dalam cerpen ini. Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk suatu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu. Akan tetapi, penting untuk selalu waspada bila judul tersebut menagacu pada satu detail yang tidak menonjol. Judul semacam ini acap sekali menjadi petunjuk cerita bersangkutan. Sebuah judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna (Stanton, 1965: 25).
8
Adapun sarana cerita yang kedua, yaitu sudut pandang. Sudut pandang yaitu posisi pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita (Stanton, 1965:26). Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Pengarang harus memilih sudut pandangnya dengan hati-hati agar cerita yang diutarakannya menimbulkan efek yang pas (Stanton, 1965: 26). Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama, yaitu pada orang pertama utama, pada orang pertama sampingan, pada orang ketiga terbatas, dan pada orang ketiga tidak terbatas (Stanton, 1965: 26-27). 1.6 Metode Penelitan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode struktural. Metode struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir sehingga menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan: Tahap pertama berupa pengumpulan data. Data dikumpulkan dengan cara dicatat di dalam kartu data. Data-data tersebut berupa unsur-unsur intrinsik yang terdiri dari fakta cerita yang meliputi karakter, alur, dan latar, tema, dan sarana cerita yang terdiri dari judul dan sudut pandang. Tahap kedua berupa analisis data. Data yang sudah terkumpul di kartu data, kemudian dianalisis secara keseluruhan dengan menentukan fungsi setiap unsur dari cerpen “Waraqatun min aṭ-Ṭīrah” dan menentukan hubungan antarunsur cepen tersebut. Setelah analisis data selesai, tahap terakhir atau tahap ketiga berupa pelaporan hasil analisis data, yaitu pelaporan dalam bentuk tertulis.
9
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan dalam empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi. Bab II berisi biografi Gassān Kanafānī serta sinopsis cerpen ”Waraqatun min aṭ-Ṭīrah”. Bab III berisi analisis struktural terhadap unsur-unsur intrinsik cerpen “Waraqatun min aṭ-Ṭīrah”. Bab IV berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin Transliterasi Huruf Arab ke Latin yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari buku pedoman transliterasi Arab-Latin yang diterbitkan berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no: 158 th.1987 dan nomor 0543/b/u/1987. 1.
Konsonan Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab dan transliterasinya ke huruf latin.
10
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
ا
Alif
ب
Bā`
Tidak dilambangkan B
ت
Tā`
T
Te
ث
Ṡā`
Ṡ
Es (dengan titik di atas)
ج
Jīm
J
ح
Hā`
خ
Khā`
Kh
د
Ḥ
Je Ha (dengan titik di bawah) Ka dan ha
Dal
D
De
ذ
Żal
Ż
Zet (dengan titik di atas)
ر
Rā`
R
Er
ز
Zai
Z
Zet
س
Sīn
S
Es
ش
Syīn
Sy
Es dan ye
ص
Ṣād
Ṣ
ض
Dād
ط
Ṭāˋ
Ḍ
ظ
Ẓāˋ
Ẓ
ع
‘ain
‘
Es (dengan titik di bawah) De (dengan titik di bawah) Te (dengan titik di bawah) Zet (dengan titik di bawah) Koma terbalik (di atas)
غ
Gain
G
Ge
ف
Fāˋ
F
Ef
ق
Qāf
Q
Ki
ك
Kāf
K
Ka
ل
Lām
L
El
م
Mīm
M
Em
ن
Nūn
N
En
و
Wāwu
W
We
ه
Hāˋ
H
Ha
ء
Hamzah
′
Apostrof
ي
Yā`
Y
Ye
Ṭ
Keterangan Tidak dilambangkan Be
11
2. Vokal
Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal tunggal atau monoftong, vokal rangkap atau diftong, dan vokal panjang. Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat. Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan harakat dan huruf. Vokal panjang lambangnya berupa harakat dan huruf. Berikut transliterasinya. Vokal tunggal Tanda Latin
Vokal rangkap Tanda Latin
Vokal panjang Tanda Latin
ﹷ
A
ي...ﹶ
Ai
ا...ﹷ
Ā
ﹻ
I
و...ﹶ
Au
ي...ﹻ
Ī
ﹹ
U
و... ﹹ
Ū
3. Tā` Marbūṭah Transliterasi untuk tā` marbūṭah ada dua. Pertama, tā` marbūṭah hidup
atau
mendapat
harakat
fatḥah,
kasrah,
atau
ḍammah,
transliterasinya adalah /t/. Kalau pada kata yang terakhir dengan tā` marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā` marbūṭah itu ditransliterasikan dengan/h/. Contoh:
اﳌﺪﻳﻨﺔ اﳌﻨﻮرة: al-Madīnah al-Munawwarah atau al-Madīnatul-Munawwarah
12
4. Syaddah (Tasydīd) Syaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Contoh:
ﻧﺰّل:
nazzala
5. Kata Sandang Transliterasi kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /I/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Contoh: اﻟﺸّﻤﺲ: asy-syamsu Kata sandang yang diikuti huruf qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /I/ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Contoh: اﻟﻘﻤﺮ: al-qamaru
13
6. Hamzah Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah dan akhir kata. Bila terletak di awal kata, tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab berupa alif. Contoh: إ ّن: inna, ﻳﺄﺧﺬ: ya`khużu,
ﺷﻲء: syai`un
7. Penulisan Kata Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh:
وإن ﷲ ﳍﻮ ﺧﲑ اﻟﺮّازﻗﲔ:
Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn atau
Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn 8. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya, huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contoh:
و ﻣﺎ ﳏﻤﺪ إﻻّ رﺳﻮل: Wa
mā Muḥammadun illā rasūl