1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra pada umumnya dipandang sebagai hasil imajinasi pengarang. Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah karya sastra merupakan sesuatu yang diadakan melalui daya imajinasi pengarang. Artinya, segala sesuatu yang ada di dalam sebuah karya sastra bukan merupakan sesuatu yang empirik sebagaimana kenyataan yang ada dalam kehidupan. Karya sastra tidaklah identik dengan kehidupan, tetapi merupakan imitasi kehidupan yang telah diolah oleh pengarang dengan memasukkan unsur imajinasi ke dalam karya tersebut sehingga menjadi karya sastra yang diciptakan, bukan semata-mata kisah kehidupan nyata sehari-hari. Imajinasi yang hidup dan mengalir dalam proses penciptaan bergantung pada kepekaan pengarang dalam menangkap fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Kepekaan pengarang tersebut biasanya berasal dari hal-hal yang ia lihat, dengar, dan rasakan sehingga dapat memengaruhi karyanya. Oleh karena itu, karya sastra sering dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat yang terdapat di sekitar pengarang, atau bahkan merupakan kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1993:109). Menurut Lowell dan Arnold (via Wellek dan Warren, 1993:276—277), karya sastra merupakan seleksi kehidupan yang direncanakan dengan tujuan tertentu. Dengan daya imajinasi yang dimilikinya pengarang mencoba memasukkan berbagai tema dalam karya sastranya. Adapun tema yang diciptakan pengarang
2
biasanya berupa tema-tema yang masih berhubungan dengan kehidupan manusia sehari-hari, misalnya ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Selain itu, permasalahan mengenai perempuan juga banyak diangkat ke dalam karya sastra seperti ketidakadilan gender, pelacuran, penganiayaan, prostitusi, dan prasangka gender. Ketidakadilan gender yang dialami perempuan termanifestasikan dalam berbagai bentuk, antara lain, marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe negatif, kekerasan dan, beban kerja yang berat. Hal tersebut didukung dengan adanya sistem patriarki dan ideologi seksual. Dalam sistem patriarki, hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat hierarkis, yakni kaum laki-laki berada pada kedudukan puncak dan mendominasi kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan berada pada kedudukan di bawahnya atau subordinat. Keadaan tersebut membuat perempuan tertindas oleh kaum laki-laki dalam segala hal. Ketidakadilan gender tersebut melahirkan gerakan feminisme yang berjuang melawan ketertindasan yang dialami perempuan oleh laki-laki. Karya sastra merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk memperjuangkan
hak-hak
perempuan.
Melalui
karya
sastra,
pengarang
menyosialisasikan ide-ide feminis yang diperjuangkan dengan menempatkan tokohtokoh perempuan (Sugihastuti, 1991:46). Dalam karya sastra Indonesia banyak sekali terkandung unsur feminisme, antara lain, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936), Belenggu karya Armijn Pane (1940), dan Saman karya Ayu Utami (1998).
3
Di antara banyak pengarang (laki-laki) Indonesia yang mengangkat ide-ide feminis dalam karya-karyanya terdapat nama Remy Sylado. Sastrawan Indonesia ini lahir pada 12 Juli 1945 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan. Pengarang yang terkenal dengan nama Remy Sylado ini mempunyai nama asli Jubal Anak Perang yang disingkat menjadi Yapi Tambayong. Nama Remy Sylado mempunyai beberapa nama samaran yaitu Dova Zila, Jubal Anak Perang Imanuel, Juliana C. Panda, dan Alif Dana Munsy. Kiprahnya dimulai pada saat berumur 18 tahun. Selain menulis novel, ia juga menulis cerpen, kritik, puisi, drama, kolom, esai, sajak, roman populer, dramaturgi, bahasa, dan buku-buku musikologi. Ia pernah menjadi redaktur pelaksana harian Tempo di Semarang pada tahun 1965. Sebelum bekerja di harian Tempo, ia memulai karir sebagai wartawan majalah harian Sinar Indonesia pada 1963—1965, kemudian menjadi redaktur majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970, dan menjadi dosen di Akademi Sinematografi Bandung sejak tahun 1971, bahkan pernah menjadi dosen di beberapa universitas di Jakarta. Remy yang kini tinggal di Bandung itu juga menjadi Ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung dan Pendiri Padepokan Teater Jakarta pada tahun 1980. Dalam karya-karyanya, Remy selalu memasukkan unsur budaya yang di luar budayanya sendiri, seperti dalam novel Ca Bau Kan, yaitu budaya Tionghoa. Remy juga terkenal dengan karyanya yang berupa puisi mbeling. Puisi mbeling merupakan hasil karyanya yang memberontak terhadap segala kemapanan yang telah ada. Puisi ini dipublikasikan di majalah Aktuil pada Agustus 1972 di
4
Bandung dan di majalah Pop. Puisi tersebut sangat terkenal di masyarakat dengan gaya bahasa yang nyentrik. Ia senang dipanggil penyair. Ia menganggap bakat seni yang ada pada dirinya adalah anugerah yang diberikan Tuhan padanya dan ia selalu mensyukuri hal yang diberikan Tuhan pada dirinya. Selain sebagai sastrawan, ia juga dikenal sebagai munsyi atau ahli bahasa. Pada tahun 2004 Remy Sylado mendapat Satya Lencana Kebudayaan karena sering mengenalkan istilah Indonesia yang jarang dipakai, bahkan lebih mengarah ke bahasa dengan nuansa sejarah dan budaya dalam karya-karya yang dihasilkan (Eneste, 2001:196). Selain penghargaan Satya Lencana Kebudayaan, novel karya Remy yang berjudul Kerudung Merah Kirmiji mendapat hadiah sastra Khatulistiwa Award. Sebagai sastrawan, Remy Sylado telah menghasilkan beberapa karya, di antaranya, ialah Gali Lobang Gila Lobang (1977), Kita Hidup Hanya Sekali (1977), Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) (1999), Kerudung Merah Kirmizi (2002), Kembang Jepun (2003), Paris Van Java (2003), Sam Po Kong (2004), Menunggu Matahari Melbourne (2004), Boulevard de Clicky: Agonia Cita Monyet (2006), Mimi lan Mintuna (2007), dan Pangeran Diponegoro (2008). Selain itu, Remy juga terkenal aktif menulis naskah drama. Beberapa karya drama Remy di antaranya adalah Melati Buat Rima (1968), Orexas (1969), Wei Tjong dan Siti Mudjenah (1969), Mesiah II (1970), Improptu I (1970), Genesis II (1972), Testamentum (1973), Improptu II (1976), Tiga Tikus (1980), Untung Suropati (1980), RW OI versus RW 02 (1980), Nabi Ibrahim (1982), Pinkan dan Marindas (1985),
5
Toar dan Lumimuut (1986), A.J.I (1989), Nabi Ayub (1996), Di Sebuah Sudut Taman (1999), dan 19 Oktober (2005). Selain menulis novel dan naskah drama, Remy juga sangat senang melukis. Karya Remy banyak mengandung unsur-unsur sejarah seperti Kembang Jepun yang berlatar penjajahan Jepang, Siau Ling yang berlatar belakang kehidupan kota Semarang abad ke-15, Kerudung Merah Kirmizi berlatar belakang awal masa reformasi, Paris Van Java berlatar belakang masyarakat Belanda di Indonesia ketika menjajah Indonesia, Boulevard De Clicky: Agonia Cinta Monyet berlatar belakang sosial masa pascaorde Baru (masa reformasi), dan Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa) berlatar belakang zaman kolonial di lingkungan pedagang Tionghoa. Salah satu karya Remy yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat adalah Ca-Bau-Kan. Novel tersebut berlatar belakang zaman kolonial di lingkungan pedagang Tionghoa dalam kurun waktu 1918—1951, yang ingin membantah pandangan stereotipe bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Novel yang diterbitkan pada tahun 1999 tersebut tidak hanya mengangkat masalah itu, tetapi Remy juga memberi sentuhan permasalahan ketidakadilan gender. Adapun keistimewaan lain dalam novel Ca-Bau-Kan yang selanjutnya akan disingkat CBK ini adalah pernah diangkat ke dalam layar lebar pada tahun 2002 dengan disutradarai perempuan muda Nia Dinata. Film drama romantis ini mendapat penghargaan Asia Pacific Film Festival ke-47, Seoul, Korea Selatan (2002) yaitu penata artistik terbaik (Iri Supit) dan sutradara pendatang baru terbaik
6
untuk Nia Dinata. Selain itu, film tersebut menjadi peserta resmi dari Indonesia untuk penghargaan Foreign Film (Film Berbahasa Asing Terbaik) dalam Academy Award tahun 2002, dan Official Selection (Film pilihan resmi) dalam 5Oth Sydney Film Festival tahun 2003, International Rotterdam Film Festival, dan Women in Cinema Film Festival.
Daya tarik lainnya yang ada pada CBK adalah novel ini difilmkan dan dibesut sutradara wanita yang masih jarang di perfilman Indonesia pada masa itu. Pertama, karena film ini adalah film Indonesia pertama yang menggunakan judul bahasa asing (Hokkian) yang tidak akan boleh digunakan pada era Orde Baru. Bahasa Hokkian adalah dialek Min Selatan (Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa Han. Dialek ini terutama digunakan secara luas di Provinsi Fujian (Hokkien). Bahasa Hokkian juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan. Kedekatan bahasa Hokkien dengan bahasa Indonesia dapat dimengerti karena mayoritas pendatang Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, umumnya adalah berasal dari Provinsi Fujian (Hokkien) yang tidak menggunakan bahasa Mandarin yang merupakan dialek Utara. Kedua, film ini adalah film Indonesia pertama yang sarat dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia yang kental pada zaman kolonial Belanda. Film ini juga merupakan film Indonesia pertama yang diperankan oleh orang berdarah Tionghoa dan menggambarkan peran mereka dalam perang kemerdekaan 1945—1949.
7
Adapun salah satu karya Remy Sylado yang dipilih sebagai objek penelitian ini ialah novel CBK. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1999 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Novel CBK bercerita mengenai kehidupan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia pada kurun waktu 1918—1951. Salah satu yang ditonjolkan adalah peranan dari beberapa anggota masyarakat keturunan Tionghoa dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Namun, dari segi judul novel Ca-Bau-Kan (Hanya sebuah dosa), terlihat jelas bahwa novel CBK berasal dari istilah ca-bau-kan yang dalam bahasa Hokkian berarti "perempuan", yang pada zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Pada zaman kolonial Belanda di Indonesia, banyak perempuan yang sebelumnya bekerja menjadi ca-bau-kan dan akhirnya diperistri oleh orang Tionghoa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ca-bau-kan atau cabo mempunyai arti wanita tunasusila; perempuan lacur; pelacur; sundal (2008:231). Selain kata ca-baukan, ada juga sebuah kalimat ‗hanya sebuah dosa‘ yang tertera pada judul. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‗hanya‘ mempunyai arti cuma; kecuali; tetapi; tidak lebih dari; tidak lain; saja (2008:481). Kata Sebuah yang berasal dari kata buah dan imbuhan se, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia buah mempunyai arti bagian bunga atau buah yang berasal dari bunga atau putik; kata penggolong bermacammacam benda; pokok; hasil (2008:211). Sedangkan kata ‗se‘ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti prefiks pembentuk adverbia (2008: 1235). Terakhir kata ‗dosa‘ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama; perbuatan salah (seperti
8
terhadap orang tua, adat, negara) (2008:342). Sehingga, kalimat hanya sebuah dosa mempunyai makna tidak lebih dari pokok perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama. Di dalam cerita istilah ca-bau-kan digunakan sebagai penyebutan sebuah profesi. Tinung si perempuan cabo, sebagai tokoh utama perempuan dalam novel ini mengalami berbagai ketidakadilan yang cenderung merendahkannya sebagai seorang perempuan miskin yang tidak bisa berbuat banyak sehingga ia harus menjadi seorang pelacur untuk mempertahankan hidup terutama dalam ekonomi meskipun harus melanggar larangan Tuhan. Kehidupan Tinung tidak pernah lepas dari eksploitasi seksual dan image buruk yang mengiringinya.
Adapun alasan pemilihan novel CBK sebagai objek kajian adalah sebagai berikut. Pertama, dari sudut judulnya novel Ca Bau Kan memiliki arti yang menarik yaitu dalam bahasa Hokkian berarti perempuan, atau pada saat masa tersebut dikenal dengan asosiasi pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Kedua, novel CBK diduga menampilkan ketidakadilan gender yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam relasinya dengan tokoh laki-laki. Ketiga, novel CBK merupakan salah satu novel Remy Sylado yang mengungkapkan gagasan ataupun tindakan tokoh perempuan yang mengandung ide-ide feminisme. Hal itu merupakan wujud perjuangan perempuan melawan ketidakadilan gender. Dengan demikian, penelitian ini akan memusatkan analisis novel CBK karya Remy Sylado dengan teori kritik sastra feminis perspektif feminisme sosialis. Alasan pemakaian kritik sastra feminis untuk menganalisis novel CBK adalah sebagai
9
berikut. Pertama, dalam novel ini tokoh utama perempuan diperlakukan tidak adil atau tersubordinasi. Kedua, terdapat ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan. Ketiga, terdapat ide-ide feminisme sebagai bentuk perjuangan perempuan melawan ketidakadilan gender. Teori kritik sastra femins sosialis dianggap mampu membongkar ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh perempuan dalam novel CBK.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut 1. Identifikasi tokoh perempuan dan tokoh laki-laki dalam CBK. 2. Ketidakadilan gender yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam CBK. 3. Ide-ide feminis dalam CBK.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian novel CBK karya Remy Sylado ini mempunyai dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah pertama, mengidentifikasi karakter tokoh perempuan dan laki-laki dalam novel CBK. Kedua, mengetahui ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh-tokoh perempuan novel CBK. Ketiga, menguraikan ide-ide feminis sebagai bentuk perjuangan perempuan melawan ketidakadilan gender dalam novel CBK.
10
Beranjak dari tujuan teoretis tersebut, secara praktis penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat yang berapresiasi sastra agar dapat meningkatkan mutu apresiasinya. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk membuka wacana masyarakat tentang adanya ketidakadilan gender antara lakilaki dan perempuan yang tercermin dalam karya sastra sehingga menghasilkan ideide feminis sebagai bentuk perlawanannya.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian novel CBK karya Remy Sylado ini menggunakan teori kritik sastra feminis perspektif feminisme sosialis dengan memfokuskan analisis pada ketidakadilan gender. Adapun Faruk pada tahun (2001: menulis bahwa novel CBK tidak hanya memasukkan motif-motif non-Balai Pustaka ke dalam dirinya, tetapi juga menggunakan bahasa dan cara bercerita yang masih sangat kuat memperlihatkan jejak dari tradisi non-Balai Pustaka, terutama varian Cinanya. Di dalamnya ditemukan kembali motif
―cerita nyai‖, ―kriminalitas terselubung‖, ―permainan
silat‖, dengan bahasa yang berirama ―Melayu Rendah‖, bahkan dengan cara bercerita yang melodramatik serta romantik-ironik. Novel tersebut memperkuat kesan kecinaan, membuatnya lebih banyak bersifat Cina daripada sastra non-Balai Pustaka sendiri, dengan banyak ungkapan pepatah, kutipan, bahkan gaya hidup yang berasal dari masyarakat dan kebudayaan Cina. Ada beberapa penelitian yang menggunakan novel CBK sebagai bahan penelitian ialah tesis di Program S2 Sastra, FIB Universitas Gadjah Mada yang
11
berjudul ―Konstruksi Tionghoa dalam Novel Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado: Analisis Wacana Foucauldian (Sainul Hermawan, 2002). Analisis difokuskan dengan adanya eksklusi dan inklusi tekstual dalam CBK. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi keduanya adalah dengan mendeskripsikan CBK secara etnografis. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa CBK di satu sisi melawan wacana dominan, tetapi di sisi lain ia masih tampak mendukung wacana dominan tentang Tionghoa yang dilawannya. Adapun penelitian lain yang menggunakan novel CBK sebagai bahan penelitian ialah skripsi jurusan Sastra Indonesia, FIB Universitas Gadjah Mada yang menggunakan teori hegemoni gramsci. Skripsi tersebut membahas formasi ideologi yang terdapat dalam CBK dan hubungan formasi ideolgi CBK dengan ideologi dalam diri pengarang. Penelitian tersebut menemukan adanya relasi ideologi dalam diri pengarang dengan formasi ideologi CBK (Ika Rahmati Hilal, 2004). Selanjutnya, penelitian lain yang menggunakan novel CBK sebagai bahan penelitian ialah skripsi Jurusan Sastra Indonesia, FIB Universitas Gadjah Mada yang berjudul ―Nasionalisme Peranakan Tionghoa dalam Novel Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado: Kritik Sastra Pascakolonial. Penelitian ini membongkar kuatnya prasangka rasial akibat kebijakan segregasi rasial penguasa kolonial yang terdapat dalam novel CBK (Muhammad Nur Wachid, 2011). Berdasarkan uraian di atas, penelitian novel CBK karya Remy Sylado dengan pendekatan kritik sastra feminis sosialis, yang memfokuskan permasalahan ketidakadilan
gender
belum
pernah
dilakukan.
Penelitian
ini
diharapkan
12
memperlihatkan salah satu sisi permasalahan tokoh perempuan dalam novel CBK yang belum pernah terungkap.
1.5 Landasan Teori Menurut Fakih (2008:79), feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada usaha untuk mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Selanjutnya Fakih (2008: 99—100) menambahkan bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan, baik di dalam maupun di luar rumah. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem struktur yang tidak adil bagi perempuan dan kaum lakilaki. Hakikat feminisme merupakan gerakan transformasi sosial dalam arti tidak memperjuangkan soal perempuan belaka. Strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak hanya merupakan upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya, seperti eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotipe, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan transformasi sosial ke arah penciptaan struktur yang fundamental baru dan lebih baik lagi. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (Soenarjati-Djajanegara, 2000:4) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:315) feminisme diartikan sebagai gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
13
perempuan dan laki-laki. Selanjutnya, feminisme menurut Geofe (via Sugihastuti dan Suharto, 2002:18) adalah teori tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Feminisme merupakan sebuah gerakan yang berusaha memperjuangkan dan merebut kembali kepentingan serta hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan karena ketimpangan gender yang terjadi pada dirinya. Dalam kajian terhadap feminisme dan yang berhubungan dengan perempuan, konsep utama yang harus diperhatikan adalah membedakan antara konsep patriarki, konsep seks, dan konsep gender. Menurut Bhasin (1996: 3—4) patriarki merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan, yang perempuan dikuasai. Dalam patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan; perempuan merupakan bagian dari milik laki-laki. Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dan perempuan sebagai subordinat. Konsep penting lainnya yang harus dipahami adalah konsep seks dan gender. Fakih (2008: 8) menyatakan bahwa pengertian seks dan jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks atau jenis kelamin secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Berbeda dengan seks, gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Konsep gender menyangkut semua hal yang dapat dipertukarkan antara
14
perempuan dan laki-laki, yang biasa berubah, baik dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lainnya, maupun dari suatu kelas ke kelas lainnya. Ketidakadilan gender yang ditimbulkan oleh perbedaan gender merupakan salah satu pendorong lahirnya feminisme. Fakih (2008:12—13) mengungkapkan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan berbagai ketidakadilan gender (gender inqualities). Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan gender telah menyebabkan beberapa masalah ketidakadilan gender yang terjadi, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang lebih
sering mengalaminya. Hal tersebut dapat dilihat dari manifestasi
ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Kritik sastra feminis adalah sebuah kritik yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia (Sugihastuti dan Suharto, 2002:20). Feminisme muncul akibat adanya prasangka gender yang selalu melihat perempuan sebagai kelas dua. Feminisme mempunyai beberapa aliran pemikiran, empat aliran feminisme yang utama adalah femisnisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, dan feminisme sosialis (Tong, 2008:2).
15
Feminisme liberal merupakan gerakan feminisme yang bergerak melalui kerangka berpikir berupa kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk kesempatan dan hak kaum perempuan (Fakih, 2000:81). Menurut Tong (2008:48), feminisme liberal bertujuan membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan, baik dalam bidang akademik, forum, maupun pasar. Menurut Fakih (2008:81—82) feminis liberal merupakan suatu pengaruh dari aliran fungsionalisme, yang mempunyai tujuan memperjuangkan persoalan masyarakat ―kesempatan yang sama dan hak yang sama‖ bagi setiap individu, bahkan kesempatan dan hak kaum perempuan. Pemecahan masalah tersebut adalah dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam persaingan bebas. Salah satu usahanya ialah dengan meningkatkan pendidikan dan kaum perempuan agar mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Feminisme radikal merupakan gerakan feminisme yang bergerak melalui pemahaman bahwa sistem seks atau gender yang dibentuk melalui ideologi patriarki adalah penyebab fundamental dari penindasan terhadap perempuan (Tong, 2008: 48). Para penganut feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Dalam melakukan analisis tentang penyebab
penindasan
terhadap
kaum
perempuan
oleh
laki-laki,
mereka
menganggapnya berakar dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian, kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah
16
bagian dari permasalahan (Fakih, 2008, 84—85). Eisentein (via Fakih, 2008:85) menyatakan bahwa bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual, yang kaum laki-laki merupakan kaum superior yang mempunyai hak istimewa ekonomi. Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Feminisme marxis bertujuan menjadikan kemandirian dan kesejahteraan ekonomi perempuan sebagai pusat perhatian, dan memfokuskan pada persilangan antara perempuan sebagai pekerja dan posisi perempuan di dalam keluarga (Tong, 2008:168). Menurut Fakih (2008:85—89) kelompok ini menolak keyakinan kaum radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Mereka tidak menganggap patriarki atau kaum laki-laki sebagai permasalahan, tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya. Dengan demikian, begitu penyelesaiannya pun harus bersifat struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka sebut sebagai proses revolusi. Bagi teori marxis klasik, perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga).
17
Banyak yang menganggap feminis sosialis merupakan pengembangan dari feminis marxis, bahkan diyakini sebagai suatu hal yang sama. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa feminis sosialis lebih menekankan perbedaan gender sebagai penyebab penindasan perempuan. Persoalan feminis marxis hanya terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan (Arivia, 2003:111). Feminis sosialis menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi pada kelas proletar, tetapi juga pada kelas borjuis. Tong (2008:145) menyatakan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi di kelas mana pun karena sebagian perempuan adalah istri, anak perempuan, teman, kekasih laki-laki kedua kelas tersebut. Hal itu disebabkan adanya hubungan antara kapitalisme dan patriarkat sehingga feminis sosialis berusaha mengawinkan analisis patriarkat dengan analisis kelas. Hal tersebut perlu dilakukan karena perempuan selalu menjadi korban dari sistem yang berlaku di masyarakat. Sistem patriarkat dan kapitalisme menjadi lakilaki sebagai makhluk yang berkuasa atas segalanya sehingga perempuan sering mengalami ketidakadilan. Menurut Fakih (2008:90) kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme dilakukan secara bersamaan dengan
kritik ketidakadilan
gender yang mengakibatkan subordinasi, dominisasi, dan marginalisasi atas perempuan. Adapun pandangan feminis sosialis tersebut kemudian dikenal sebagai teori patriarki kapitalis, yakni teori yang menyamakan dialektika struktur kelas dengan struktur hierarki kapitalis (Fakih, 2008:146).
18
Feminis sosialis juga menganggap bahwa sumber-sumber ketidakadilan terhadap perempuan adalah konstruksi sosial (Mufidah, 2004:44). Jadi, ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dan bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat, melainkan karena penilaian dan anggapan terhadap perbedaan itu (Sofia, 2009:14, Fakih, 2008:92—93). Konstruksi sosial dalam masyarakat menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Menurut Humm (1986:54), feminis sosialis tidak memandang suatu kebenaran dan sifat keperempuan, tetapi melihat gender sebagai perubahan yang dihasilkan oleh sosialis dan sejarah. Konstruksi sosial tersebut mengakibatkan kaum perempuan selalu identik dengan kaum yang lemah, tidak mandiri dan perlu dilindungi, dan sejenisnya. Teori sosialis dianggap dapat menjabarkan masalah tersebut. Humm (2002:448—449) menyatakan bahwa feminis sosialis dapat menjelaskan mengapa perempuan tampak berkolusi dengan subordinasi mereka sendiri dan mengabaikan peluang-peluang nyata untuk menolak secara individu atau penolakan kolektif. Hal itu disebabkan oleh cara patriarki mengonstruksi psikologi laki-laki dan perempuan, perempuan akan terus menjadi subordinat laki-laki hingga pemikiran perempuan dan pemikiran laki-laki terbebaskan dari pemikiran bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki (Tong, 2008:177). Budaya patriarki harus dibongkar agar kaum perempuan tidak tertindas oleh kaum laki-laki terus-menerus. Nugroho (2008:75) menyatakan bahwa feminis sosialis adalah gerakan untuk membebaskan
19
para perempuan melalui perubahan sistem patriarkat. Perubahan sistem patriarkat bertujuan agar kesetaraan gender dapat terwujud. Analisis mengenai ketidakadilan yang dialami perempuan dalam novel CBK karya Remy Sylado tidak terlepas dari konsep feminis sosialis sebagai pendekatan analisis. Analisis dengan menggunakan feminis sosialis tersebut bertujuan untuk membongkar ketidakadilan gender yang dialami tokoh-tokoh perempuannya akibat kungkungan budaya patriarki dan diharapkan dapat mengungkap fakta subordinasi, dominasi, inferioritas, kekerasan, dan stereotipe yang dialami perempuan dalam karya sastra serta perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan gender.
1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang bersifat ilmiah dan menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang, perilaku, atau data-data lain yang dapat diamati oleh peneliti (Moeleong, 1983:3). Langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Menentukan novel yang dijadikan objek penelitian yaitu novel CBK karya Remy Sylado. 2. Menetapkan masalah pokok, yaitu masalah perjuangan perempuan melawan ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam novel CBK. 3. Melakukan studi pustaka dengan mencari dan mengumpulkan bahan dari berbagai sumber yang mendukung objek penelitian.
20
4. Mengidentifikasi tokoh laki-laki dan perempuan dalam novel CBK karya Remy Sylado. 5. Menganalisis novel CBK dengan teori kritik sastra feminis perspektif feminis sosialis. Teori ini digunakan dalam rangka membongkar ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan akibat budaya patriarki dalam novel berikut usaha-usaha perempuan untuk mendapat kesetaraan dengan menentang konstruksi masyarakat yang menindas perempuan. 6. Menarik kesimpulan dan menyajikannya dalam bentuk laporan penelitian. Selain itu, untuk mempermudah melakukan analisis digunakan metode analisis reading as a women yang dikemukan oleh Culler (1983:44—47) dengan konsep penting sebagai berikut. 1.
Ketika membaca sebagai perempuan, maka yang perlu diperhatikan secara
substansial adalah melihat pengalaman yang sedang dilihat oleh perempuan dalam karya sastra, yaitu melihat sebagai seorang perempuan yang dibatasi dan dimarginalkan. Analisis terhadap novel CBK akan dilakukan berdasarkan pengalaman-pengalaman perempuan di masyarakat patriarki, yang disuarakan melalui tokoh-tokoh perempuan. 2. Konsep dari membaca sebagai pembaca perempuan adalah mempertegas hubungan yang berkelanjutan antara pengalaman perempuan dalam struktur sosial dan struktur familial dan pengalaman perempuan sebagai pembaca. Dalil kontiunitas dilakukan dengan memperhatikan situasi dan psikologi pada karakter perempuan dan memperlihatkan situasi dan psikologi pada karakter perempuan
21
dan memperlihatkan sikap dan imaji perempuan dalam kerangka kerja pengarang. Dengan demikian, penelitian ini akan menganalisis tokoh-tokoh perempuan untuk menentukan karakteristik dan pengalamannya, kemudian membawa tokoh dan pengalamannya tersebut ke dalam pemahaman perempuan dalam karya sastra. 3. Melakukan proses pembacaan untuk mengungkap ideologi ide-ide feminis yang terdapat di dalam karya sastra.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian Sistematika laporan penelitian ini terbagi dalam beberapa bab sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II berisi identifikasi para tokoh baik laki-laki dan perempuan dalam novel CBK. Tokoh perempuan, antara lain, adalah Tinung, Mpok Jene, Saodah, Nio Kat Nio dan lainnya. Tokoh laki-laki, antara lain, adalah Tan Peng Liang dari Semarang, Tan Peng Liang dari Bandung, Tan Kim San, Tan Kim Hok, dan Oey Eng Goen. Bab III memuat ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam novel CBK. Bab ini terdiri dari dua subbab, Pertama adalah stereotipe perempuan yang meliputi makhluk yang suka berhias diri, penuh daya tarik dan menggoda, pemegang urusan domestik, serta ketergantungan terhadap laki-laki. Kedua adalah
22
kekerasan terhadap perempuan yang meliputi kekerasan publik dan kekerasan domestik. Bab IV berisi ide-ide feminis yang muncul dalam novel CBK diantaranya ialah perempuan harus mandiri dan mampu menentukan nasibnya, dan perempuan harus berpandangan maju dan punya harga diri Bab V berupa kesimpulan.