1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Narasi sebagai ranah disiplin ilmu bidang sastra menjadi mungkin dan menarik untuk disandingkan dan masuk dalam ranah kajian seni rupa. Narasi yang merupakan sebuah cerita bersifat abstraksi formalistik dalam karya sastra, masuk ke dalam ranah seni rupa melebur dan terintegrasi yang direfleksikan melalui tanda-tanda atau simbol-simbol hasil imajinasi yang diciptakan oleh seniman ke dalam karya seni, sehingga bisa diapresiasi oleh penikmat seni, dan dikritisi oleh kritikus seni. Tak jarang kemudian seniman kembali memaparkan relasi kodekode/simbol-simbol yang dimunculkan dalam karyanya hingga menjadi sebuah narasi verbalistik. Simbol merupakan kesepakan atau konvensi. Setiap kebudayaan cenderung dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan konsep-konsep yang mempunyai arti tetap dalam jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol, seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturanaturan untuk membentuk, mengkombinasi bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi. Seperti yang disebutkan oleh Cobley dan Jansz (2002: 33): ―simbol adalah tanda terhubung dengan objek tertentu semata-mata karena kesepakatan, misalnya kata bendera‖. Secara historis, jejak narasi yang melekat dengan karya seni rupa di Indonesia dapat kita lihat pada seni tradisi, di antaranya, yaitu: pertunjukan ―wayang beber‖ di Jawa, yang kemudian berangkat dari figur-figur simbolik pada
Universitas Sumatera Utara
2
wayang beber. Sunan Kalijaga memunculkan ―wayang kulit‖ sebagai wujud integrasi dalam seni pertunjukan yang di dalamnya ada unsur narasi historik dan narasi simbolik. Dalam seni lukis dapat kita lihat pada ―seni lukis tradisional Bali gaya Kamasan‖ yang kemudian berkembang memunculkan gaya baru ―seni lukis gaya Batuan‖ yang mendapat pengaruh gaya melukis aliran Barat (seni rupa modern), yang kemudian kita kenal sebagai ―gaya tradisional Ubud‖ dan ―gaya tradisional Pengosekan‖ sampai munculnya gaya-gaya baru dalam seni lukis dengan berusaha keluar dari tradisi, berusaha mencari kebaruan dalam berkarya seni. Karya seni rupa yang mengandung karya narasi simbolik selalu menjadi amat menarik bagi pencintanya, baik bagi kalangan awam maupun profesional karena terdapat cerita dan pemaknaan di dalamnya. Simbol-simbol yang digambarkan menjadi misteri serta menarik untuk dikaji dan diteliti guna diperoleh kesimpulan terhadap makna yang terkandung pada karya dan gagasan apa yang ada pada si senimannya. Raden Saleh sebagai pelopor seni rupa modern Indonesia adalah pelukis realis yang pertama sekali mendapatkan pengaruh Barat dan Eropa dalam karya seni lukisnya. Tema mengkritik kondisi Indonesia pada masa itu memiliki narasi simbolik yang kuat pada karyanya, seperti lukisannya yang terkenal berjudul ―Banjir di Jawa‖, ―Pertarungan Antara Banteng dan Singa‖ dan ―Penangkapan Diponegoro‖. Dalam lukisannya, ―Banteng‖ ditafsirkan sebagai simbol bangsa Nusantara dan ‗singa‘ ditafsirkan sebagai simbol dari bangsa Belanda. Latar belakang munculnya narasi simbolik kritik Raden Saleh pada karya lukisannya
Universitas Sumatera Utara
3
dimulai karena dari diskriminasi yang dialaminya, menyebabkan perceraiannya dengan istrinya (seorang janda Jerman), yang dalam perjalanannya kemudian menghantarkannya ke dalam jeruji penjara. Raden Saleh disebut-sebut sebagai pelukis pertama di Indonesia yang Nasionalis. Banyak seniman besar di Indonesia yang namanya melambung sampai ke mancanegara dengan memunculkan gagasan narasi simbolik pada karya seni rupa kontemporer. Sebut saja; Heri Dono, Krisna Murti, Tisna Sanjaya, Agus Suwage, S. Teddy, Nyoman Nuarta, Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma dan masih banyak lagi yang selain menjadi kebanggaan Indonesia khususnya dalam bidang seni rupa murni, dan menjadi inspirasi bagi seniman-seniman muda untuk berkompetisi dalam skala Nasional dan International. Di Medan, banyak ditemukan seniman seni murni yang gagasan kreatifnya memiliki narasi simbolik dalam karya seninya. Sebut saja karya Endra Kong, perupa muda yang mengangkat sebuah kritik sosial terhadap kondisi Indonesia dengan menarasikan dan memunculkan simbol singkong atau tela dalam lukisannya yang berjudul ―Telo Budur‖, hingga berlanjut pada tema yang sama berjudul ―Haji Ubi‖. Ada lagi Rasinta Tarigan yang selalu menonjolkan figur dan ikon tradisi budaya Karo serta segitiga-segitiga sebagai simbol spiritual kebudayaan Karo dalam lukisannya, yang bagi masyarakat awam terkesan seperti lukisan abstraksi geometris (kubistis)
yang dipadu dengan objek dan figur-figur
yang
dilukiskannya. Ternyata, setelah dilakukan apresiasi dan wawancara singkat, karya Rasinta merupakan simbol-simbol dari latar belakang budaya Karo yang
Universitas Sumatera Utara
4
melekat dalam dirinya, yaitu kreativitas seni sebagai responsi budaya (art for culture device). Di Medan, terdapat seniman realis terkenal yaitu M. Yatim Mustafa, bersuku Jawa. Dia sangat produktif sebagai pelukis realis, naturalis serta still life. Dalam setiap lukisannya, tidak hanya menonjolkan teknik tinggi dengan menonjolkan kreativitas seni sebagai responsi artistik (art for art sake), namun juga untuk memenuhi hasratnya dalam art for art. Yatim terkadang menghadirkan narasi-narasi simbolik dalam lukisannya dan menggambarkan kehidupan sosial yang sebenarnya terjadi pada kehidupan seseorang dalam karya realisnya sekaligus sebagai kritik sosial. Seniman lain, dari akademisi sekaligus dosen di jurusan seni rupa Unimed adalah Mangatas Pasaribu yang selalu mengangkat tema Batak Toba dengan mengangkat ikon karakter warna hitam, merah dan putih dalam karya seninya, baik itu seni lukis di kanvas ataupun pada performance art dan dalam karya seni instalasinya. Dalam karyanya, warna hitam, merah, dan putih dikonotasikan sebagai simbol warna orang Batak Toba. Selain berkarya dengan gaya surealis yang berada dalam estetika modern, Mangatas juga kerap tampil dengan gaya seni rupa kontemporer pada karya Performance art dan seni instalasinya. Ada juga seniman yang berkarya berpola narasi simbolik yang memiliki kecenderungan bergaya abstraksi dengan penyusunan estetika elementer kesenirupaan modern art dalam karyanya, yaitu Syahruddin Harahap seorang dosen seni rupa Unimed, dan masih banyak lagi seniman-seniman Medan yang didukung dengan teknik baik dan berkarakter, dalam berkarya memiliki
Universitas Sumatera Utara
5
kecenderungan menuangkan gagasannya dengan berkreativitas seni sebagai responsi budaya (art for culture device) dan responsi seni (art for art) juga mempunyai konsep berpola narasi simbolik, sebut saja diantaranya Cecep Priyono, Budi Siagian, Alwan Sanrio, Jonson Pasaribu, Soehandono Hadi, dan masih banyak lagi. Dari kecenderungan seniman-seniman (perupa) Medan yang menuangkan ide/gagasannya dengan berkreativitas seni sebagai responsi budaya (art for culture device) berpola narasi simbolik ini perlu teliti dan dikaji, karena di Medan, beberapa buku yang membahas tentang seniman-seniman Medan sudah ada, namun yang mengkaji seni rupa dari aspek narasi simbolik dengan metode semiotika dan hermeneutika belum ada. Subjek penelitian dalam tesis ini bersifat penciptaan dan pengkajian seni rupa dalam ruang lingkup seni murni, yang mana penciptaan dalam arti kajian tentang penciptaan seni tetapi konteksnya riset dengan menempatkan tiga seniman Medan dan karyanya sebagai subjek kajian dalam kategori: ―seniman yang memiliki kecenderungan tema narasi simbolik dalam karyanya yang memiliki keberagaman ideologi kebudayaan Sumatera Utara‖. Dengan harapan, karya seniman yang dikaji representatif disatu sisi dan di sisi lain, pembahasannya menjadi lebih mendalam. Dalam penelitian ini, dipilih seniman-seniman yang memiliki eksistensi dalam berkarya seni rupa berpola narasi simbolik, memiliki profesionalitas dan produktivitas dalam berkarya, dan karya-karya mereka diakui oleh masyarakat sebagai karya yang memiliki nilai-nilai yang menyiratkan kehidupan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
6
setempat. Tentunya banyak pihak-pihak yang dimintai argumentnya mengapa seniman dan karya tertentu yang dipilih, sementara yang lain tidak. Berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa pakar seni rupa di Medan, akhirnya seniman-seniman yang diteliti adalah: Rasinta Tarigan, Mangatas Pasaribu, dan M. Yatim Mustafa, mewakili karakteristik keberagaman idiologi Sumatera Utara, yaitu etnisitas kesukuan yang melekat dalam diri mereka. Rasinta dengan simbol-simbol ideologi budaya Karo, Mangatas dengan simbol-simbol budaya Batak-nya, dan Yatim seorang suku Jawa dengan ideologinya. Ketiganya, sama-sama memberikan peranan penting dalam perkembangan seni rupa di Medan. Beragamnya budaya native yang ada di Sumatera Utara, khususnya seniman-seniman seni rupa yang memiliki latar belakang budaya beragam, di antaranya seperti seniman yang berlatar belakang budaya etnik Melayu yang juga memiliki peranan penting dalam pertumbuhan kota Medan, tetapi tidak masuk dalam seniman yang diteliti. Hal tersebut sebelumnya, sudah melalui tahap pencarian jejak seniman-seniman seni rupa Medan dan karyanya, sekaligus melalui pertimbangan yang cukup panjang. Tetapi yang utama adalah: seniman yang berlatar belakang etnik Melayu yang memiliki eksistensi dalam berkarya seni rupa, sangatlah sedikit, khususnya seni lukis dengan gagasan berpola narasi simbolik, apalagi yang bertemakan budaya etnik tertentu (art for culture device). Malah ditemukan, seniman-seniman yang eksis berkarya dengan gagasan narasi simbolik dan aktif berpameran adalah seniman-seniman yang berlatar belakang budaya Batak Toba, Karo, Mandailing, Padang dan Jawa. Malah, untuk karya-
Universitas Sumatera Utara
7
karya yang berpola narasi simbolik dengan tampilan visual beraliran realis dan naturalis banyak dilakoni oleh seniman-seniman kelahiran Jawa Deli, seperti M. Yatim Mustafa, Cecep Prihadi, Bambang Triyogo, Didi Prihadi, Bambang Soekarno, Suhendra Hamid, Marwan, Pujio, Achy Askwana, Herdy, Endy Pribadi, Endra Kong, Soenoto HS, almarhum Panji Sutrisno, dan masih banyak lagi. Untuk yang berpola narasi simbolik khaligrafi adalah Soehandono Hadi, dan untuk lukisan abstrak adalah Anang Sutoto. Tentunya, masih banyak lagi seniman-seniman yang belum terdata oleh peneliti. Mengapa karya seni murni dengan gagasan berpola narasi simbolik dalam bentuk narasi budaya (art for culture devise) menarik untuk dikaji dan dianalisis makna yang terkandung di dalamnya? Cocok dengan ungkapan Cobley dan Jansz (2002: 136-137) yang menyatakan: Kebudayaan adalah sebuah totalitas informasi yang tidak bersifat turun temurun, yang diperoleh, dipertahankan dan ditransmisikan di antara berbagai kelompok sosial manusia. Karena kebudayaan dibangun di atas bahasa alami. Lotman dalam Cobley dan Jansz menyarankan bahwa salah satu cara untuk mengklasifikasikan budaya adalah berdasarkan konseptualisasinya tentang tanda. Kim, Yang dan Hwang (2010: 18), menyatakan dalam buku yang dieditori oleh mereka, yang berjudul ―Indegenous and Culture Psycology: Memahami orang dalam Konteksnya‖, menyatakan: ―Bagi seseorang yang lahir dan dibesarkan dalam budaya tertentu, budayanya terasa sangat alamiah‖. Hal tersebut, menjadikan daya tarik oleh peneliti untuk meneliti karya seni rupa yang bertemakan budaya. Apalagi, dilatar belakangi oleh budaya yang sama
Universitas Sumatera Utara
8
oleh pelukisnya. Sekaligus untuk mencari keterkaitan pola gagasan dari si senimannya dengan latar belakang budayanya yang memiliki nilai-nilai hingga membangun konsep pemikiran simbolis dalam bahasa rupa yang dapat dapat diungkapkan dengan bahasa verbal. Metode yang digunakan dalam menganalisis karya, adalah menggunakan metode studi kualitatif bersifat faktual dengan mendeskripsikan konsep, gagasan dan proses penciptaan karya tiga seniman Medan yang diteliti. Kemudian aspek narasi simbolik dari karya-karya, diteliti dan dikaji dengan metode semiotik dan hermeneutik agar diperoleh penafsiran yang holistik. Narasi simbolik dalam penelitian ini dimaksudkan seperti mencari cerita dalam karya seni rupa. Karena narasi simbolik yang dipancarkan dalam karya seni terkait dengan berbagai persoalan di luar ranah seni. Peneliti juga menggunakan disiplin ilmu lain untuk melengkapi penafsiran antara lain; sejarah, budaya, sosiologi, antropologi seni dan psikologi sesuai dengan konteks penelitian, terutama yang berkaitan tentang konsep, gagasan dalam karya sekaligus kehidupan si seniman yang diteliti. Karena kepribadian yang meliputi kondisi psikologis, latar belakang kebudayaan dan spiritualitas seniman yang diteliti perlu untuk diketahui, maka tulisan ini juga menggunakan teori etnografi1 agar bisa
1
Etnografi adalah sebuah deskripsi yang diungkapkan dalam bentuk bahasa dalam hal mendeskripsikan manusia dan produk-produknya. Bentuknya merupakan hasil dari kebudayaan ekspresif manusia berupa: seni kerajinan (craf), patung, tenun, arsitektur, seni lukis dan lain sebagainya sampai seni pertunjukan (seni tari, musik, teater dan drama). Untuk lebih jelasnya lihat di bab II.
Universitas Sumatera Utara
9
tarik garis keterkaitannnya tentang tema narasi simbolik yang direfleksikan dalam karyanya dan ideologi2 senimannya. Dalam penulisan penelitian ini bukan saja hanya bersifat analisis dalam penciptaan dan pengkajian seni semata, tetapi juga sekaligus sebagai wacana kritik bagi yang diteliti.
1.2 Rumusan Masalah Bagian terpenting dalam sebuah karya tulis adalah rumusan masalah, yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa yang menjadi masalah dalam penelitian, sehingga hasil dari penelitian diharapkan mampu menjawab dari pertanyaan yang dirumuskan. Dengan melihat latar belakang masalah yang diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penulisan tesis ini dinyatakan sebagai berikut: (1). Bagaimanakah
struktur
estetika
elementer
kesenirupaan
yang
terepresentasikan pada karya tiga perupa Medan yang diteliti? (2). Makna dan narasi apa sajakah yang diperoleh dari menganalisis simbolsimbol yang terepresentasi pada karya seni rupa yang diteliti? (3). Bagaimanakah keterkaitan seniman dengan gagasan pola narasi simbolik pada karya seni rupa yang dihasilkannya?
2
ideologi adalah: 1) Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidupnya. 2) Cara berpikir seseorang atau suatu golongan. 3) Paham, teori, tujuan yang merupakan suatu program sosial politik. (Lihat KBBI, 2007, hlm. 417). Ideologi adalah tafsiran mutlak pada kenyataan yang berdampak pada tindakan. Misalnya, Nazisme yang memutlakkan takdir yang meminggirkan etnis Yahudi. Orde baru yang memutlakkan tafsir tentang demokrasi (lihat Adian, 2003, hlm. 102). Dalam Umberto Eco yang menyebutkan ideologi sebagai kategori semiosis, menjelaskan bahwa ideologi adalah pesan yang dimulai dari deskripsi faktual, dan mencoba menjustifikasi deskripsi tersebut secara teoritis, kemudian lama kelamaan diterima oleh masyarakat lewat proses peng-overcode-an (Lihat Umberto Eco, yang dieditori oleh Inyiak Ridwan Muzir, 2009, hlm. 432-433).
Universitas Sumatera Utara
10
1.3 Tujuan Penelitian Sebuah penelitian diharapkan mempunyai tujuan, baik secara umum maupun khusus. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1). Untuk mendeskripsikan bagaimana estetika elementer kesenirupaan yang terepresentasikan pada karya tiga seniman Medan yang diteliti. (2). Untuk menemukan makna dan narasi yang terkandung dengan menganalisis simbol-simbol pada karya yang diteliti. (3). Untuk menganalisis keterkaitan seniman dengan gagasan pola narasi simbolik pada karya seni rupa yang dihasilkannya.
1.4 Manfaat Penelitian Dalam bidang penciptaan dan pengkajian seni, penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yang baik secara langsung kepada siapa saja (masyarakat) yang tertarik kepada dunia seni rupa khususnya seni murni. Mengingat banyaknya ragam pola yang ditemukan dalam gagasan penciptaan karya seni rupa, terkhusus dalam pola karya narasi simbolik. Penelitian ini juga didedikasikan sebagai sumbangsih kepada akademisi dan diharapkan bisa menjadi bahan referensi yang bermanfaat bagi para mahasiswa seni rupa, juga menjadi sumber inspirasi bagi mahasiswa untuk memulai penulisan dan sebagai bahan masukan untuk tim pengajar, guru dan dosen seni rupa.
Universitas Sumatera Utara
11
Penilitian ini bermanfaat bagi seniman yang diteliti sebagai wacana kritik yang membangun dalam berkarya, juga kepada seniman-seniman lainnya agar bisa menginspirasi dalam menuangkan gagasan ke dalam sebuah karya seni rupa. Sekaligus menambah wawasan dan sebagai bahan referensi sesuai dalam penciptaan dan pengkajian seni rupa berpola narasi simbolik. Secara khusus dapat menambah wawasan peneliti dalam melihat karya seni rupa yang berpola/berunsur narasi simbolik, dan menjadi masukan bagi peneliti dalam metodologi penulisan karya ilmiah bertajuk penciptaan dan pengkajian seni, juga sebagai masukan untuk lanjutan penelitian berikutnya sesuai dengan konteks penulisan yang dibutuhkan.
1.5
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dibutuhkan untuk memperoleh rujukan yang mendukung
dalam penulisan tesis ini. Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu: ―Narasi Simbolik Karya Seni Rupa Tiga Seniman Medan‖, maka buku-buku rujukan yang dibutuhkan adalah buku-buku yang berkaitan dengan narasi simbolik, teori etnografi yang menuntun dalam meneliti tiga seniman Medan, teori estetika sebagai wacana apresiasi dan kritik seni, teori semiotika dan hermeneutika sebagai metode membaca tanda dan simbol-simbol serta yang berkaitan dengan ideologi dan nilai-nilai. Dalam penulisan penelitian yang bertajuk ―narasi simbolik‖ sebelumnya sudah pernah ditulis oleh Acep Iwan Saidi dalam penelitian disertasinya yang berjudul ―Narasi Simbolik Seni Rupa Kontemporer Indonesia‖ (2008), yang
Universitas Sumatera Utara
12
menfokuskan pada karya seni rupa kontemporer di Indonesia terhadap sembilan perupa Indonesia. Dalam penelitian etnografi peneliti merujuk kepada buku yang ditulis oleh Kenneth M. George (2012) yang berjudul ―Melukis Islam, Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia”, yang menyajikan potret etnografis seniman Muslim pascakolonial, pelukis Indonesia terkemuka: Abdul Djalil Pirous. Buku lainnya adalah karya Patrick Suraci, Ph. D., (2015) yang berjudul ―Menyingkap Kisah Kepribadian Majemuk dan Kisah di Balik Lukisan-lukisan Shirley Mason‖. Untuk pemilihan seniman yang diteliti, tulisan R. Triyanto, Nelson Tarigan, dan Dermawan Sembiring (2015) yang berjudul ―Seni Lukis Medan Potensi dan Perkembangannya‖ dan buku Agus Priyatno (2012) yang berjudul ―Memahami Seni Rupa‖, dirasakan cukup membantu karena berupa pemetaan seniman-seniman seni rupa Medan yang berisi deskripsi karya seniman dan kritik yang membangun. Selain itu, dari katalog-katalog atau buku yang diedarkan ketika pameran seni rupa berlangsung, juga sangat diperlukan untuk sejarah seni rupa Medan sekaligus pemetaan seniman Medan guna melihat eksistensi dan gagasan seniman pada karya-karyanya yang dipamerkannya dari waktu ke waktu. Buku kumpulan tulisan tentang Prof. Rasinta Tarigan. Drg., Sp. KG (K) (2011), berjudul ―Gigi dan Lukisan‖ sangat membantu dalam melihat pendapat penulis-penulis dalam buku tentangnya, sekaligus melihat perjalanan dan sebagian karyanya yang didokumentasikan dalam buku tersebut. Ada beberapa buku pendukung dalam wacana apresiasi dan kritik seni rupa, yang sangat membantu dalam menuntun peneliti dengan dijabarkannya
Universitas Sumatera Utara
13
metode-metode dalam penulisan karya ilmiah kritik seni, diantaranya: buku Nooryan Bahari (2008) yang berjudul ―Kritik Seni; Wacana Apresiasi dan Kreasi‖, Kemudian buku Darsono Sony Kartika (2004) yang berjudul ―Seni Rupa Modern‖ dan ―Pengantar Estetika‖, buku A.A.M. Djelantik (2004) yang berjudul ―Estetika; Sebuah Pengantar‖, dan buku M. Dwi Marianto (2006) yang berjudul ―Quantum Seni‖. Untuk melihat metode semiotika dan hermeneutika buku-buku yang membantu adalah buku Benny H. Hoed (2008) ―Semiotik dan Sosial Budaya‖, buku Agus Sachari (2003) yang berjudul ―Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa; Desain, Arsitektur, Seni Rupa dan Kriya‖, buku Alex Sobur (2003) berjudul ―Semiotika Komunikasi‖, buku Paul Cobley dan Litza Jansz yang dieditori oleh Richard Appignanesi (2002) berjudul ―Mengenal Semiotika; For Beginnes‖. Buku-buku tersebut di atas sangat membantu peneliti dalam menentukan teori yang tepat dalam metodelogi penelitian ini. Pada pembahasan yang lebih spesifik dalam kajian nilai-nilai dan ideologi dalam karya seni, buku karangan Dominic Strinati (2016) berjudul ―Popular Culture; Pengantar Menuju Teori Budaya Populer‖, cukup membantu membuka cakrawala peneliti untuk arah penelitian kedepannya. Kemudian buku karangan Jannes Alexander Uhi (2016) yang berjudul ―Filsafat Kebudayaan‖ tentang kaitan kebudayaan dalam karya seniman-seniman yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara
14
1.6
Konsep dan Landasan Teori
1.6.1 Konsep Konsep sangat dibutuhkan untuk dapat membantu melengkapi data-data dan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan keperluan penulisan karya ilmiah (tesis). Konsep dalam penulisan ini adalah: narasi, simbol, narasi simbolik, seni rupa, seniman seni rupa.
1.6.1.1
Narasi Pengertian narasi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 774)
disebutkan sebagai: (1) pengisahan suatu cerita atau kejadian, (2) cerita atau deskripsi suatu kejadian atau peristiwa, (3) berupa kisahan, (4) tema suatu karya seni yang penyajiannya disusun berdasarkan urutan waktu. Sedangkan pengertian naratif adalah: (1) bersifat narasi, bersifat menguraikan dengan menjelaskan dan sebagainya, (2) prosa yang subjeknya merupakan suatu rangkaian kejadian. Narasi yang secara akademik masuk dalam bidang kesusastraan dijelaskan oleh Saidi (2008: 22) meliputi unsur seni rupa yang dibagi kedalam dua kategori, yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, cerita terdiri atas beberapa aspek yakni peristiwa, tokoh dan penokohan, setting (lattar), dan alur (plot). Hakikatnya, dalam sebuah cerita adalah suatu peristiwa dan tokoh selalu menjadi pusat. Kemudian narasi secara ekstrinsik, merupakan cerita terbangun atas aspek tematik, dimana tema adalah gagasan dasar pengarang yang ingin disampaikan dalam cerita. Di dalam aspek tematik terkandung pesan, amanat, kritik, dan nilainilai yang disampaikan pengarang.
Universitas Sumatera Utara
15
Nafiah (1981: 66-67) menjelaskan tentang narasi, bahwa: Karangan narasi adalah yang menceritakan satu atau beberapa kejadian dan bagaimana berlangsungnya peristiwa-peristiwa tersebut, yang biasanya disusun menurut urutan waktu (kronologis). Isi karangan narasi boleh bersifat faktual dan khayali. Outobiografi (biografi) seorang tokoh terkenal termasuk dalam karangan narasi bersifat faktual, sedangkan novel, cerpen, hikayat, drama, dongeng, dan lain-lain merupakan karangan narasi yang bersifat fiksi (khayali). Menurut peneliti, narasi merupakan suatu karangan yang disampaikan dalam bentuk bahasa, dimaksudkan untuk disampaikan kepada orang lain dalam bentuk cerita (kisah, dongeng, legenda, mitos) baik yang diutarakan secara langsung (lisan/verbal) maupun tak langsung (non verbal/tulisan/simbol-simbol). Pada narasi, mengandung maksud atau makna pesan kebajikan, penanaman pola berprilaku dalam bermasyarakat yang berbudaya, baik bersifat deskripsi (lukisan), eksposisi (paparan), atau persuasi (argumentasi).
1.6.1.2 Simbol Pengertian secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani, ―symballein” yang berarti melemparkan bersama suatu benda atau perbuatan yang dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko & Rahmanto, 1998: 133). Ada juga yang menyebutkan ―symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada orang lain (Herusatoto, 2000: 10). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1066) dinyatakan bahwa: simbol berarti ―lambang‖, simbolisme yang berarti ―perihal‖ memakai simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide. Menurut Sachari (2002: 126) bahwa setiap atau objek pada hakekatnya merupakan simbol, penuh dengan makna ―tersembunyi‖, dimana aktivitas
Universitas Sumatera Utara
16
manusia dalam berbuat sesuatu merupakan usaha untuk membentuk makna. Hal ini juga diungkapkan oleh Syaifuddin (2006: 291) bahwa simbol dinyatakan sebagi objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap sebagai pengkhasan sesuatu yang mengandung kualitas analisis logis melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta. Dalam wilayah semiotika, simbol menurut Charles Sander Peirce (peletak dasar disiplin semiotika modern), mengidentifikasi sebagai salah satu dari tiga tipe tanda: (1) Tanda ―ikonik‖ yang mencerminkan objek dalam hal tertentu. Misalnya foto diri merupakan ikon seseorang yang menyampaikan gagasan dan makna dari orang tersebut. (2) Tanda ―indeks‖ yang secara fisik terkait dengan objeknya. Misalnya selembar bendera dipasang setengah tiang, berarti ada petinggi negara yang meninggal. (3) ―Simbol‖ seperti halnya bahasa, antara benda dan objeknya merupakan tanda yang ditentukan oleh sebuah aturan yang berlaku umum berdasarkan perjanjian dan konvensional. Teori Peirce yang diulas Sachari (2002: 65) menyatakan bahwa simbol merupakan suatu tanda yang ditentukan oleh suatu aturan yang berlaku umum, kesepakatan bersama atau konvensi, seperti: gerakan tubuh atau anggukan kepala sebagai tanda setuju. Bahari (2008: 104) mengungkapkan bahwa: Simbol bersifat kreatif, walaupun pada awalnya merupakan kreasi spontan individu berdasarkan pengalaman subjektif, mencapai eksistensi objektif ketika diterima oleh orang lain melalui interaksi sosial. Pada dasarnya merupakan cara manusia berinteraksi dengan alam. Oleh karena itu dunia simbol hanya diciptakan oleh makhluk yang bernama manusia untuk menggambarkan perbedaan antara dunia
Universitas Sumatera Utara
17
dirinya dengan dan dunia alamiahnya. Seperti pendapat yang menyatakan bahwa manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis, yang membedakan manusia dengan hewan. Kuntjara (2006: 16) menyebutkan dalam bukunya tentang simbol-simbol dan bahasa, yakni: Setiap masyarakat mempunyai dan menggunakan simbol-simbol tertentu yang dipakai sebagai tanda. Simbol-simbol tersebut bisa berupa suatu yang konkrit seperti benda atau gambar, atau suatu ide yang abstrak. Makna sebuah simbol tidak bisa serta merta diketahui, tetapi dibutuhkan suatu penafsiran. Salah satu simbol yang paling kuat dalam kehidupan manusia adalah bahasa. Baik secara lisan maupun tertulis, bahasa menjadi alat manusia untuk memahami dunia ini. Memahami makna suatu bahasa pun membutuhkan interpretasi. Menurut peneliti, identifikasi simbol sebagai sesuatu yang non fiksi (dunia substansial) diciptakan memiliki nilai fungsional. Simbol merupakan suatu tanda yang ditentukan oleh sebuah aturan berlaku umum dan dipahami bersama atau bersifat teka-teki (maksud yang tersembunyi) untuk dimengerti atau dipecahkan maksud yang terkandung di dalamnya.
1.6.1.3 Narasi simbolik Di atas sudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan narasi dan simbol secara terpisah. Menurut Saidi (2008 :32): ―Penerapannya pada karya rupa sebagai objek kajian, narasi simbolik diartikan sebagai cerita tersembunyi di balik karya rupa yang diungkapkan melalui berbagai simbol atau secara simbol (simbolik).‖ Kuntjara (2006: 17) juga menjelaskan kaitannya simbol dan bahasa, sebaagai berikut: Bahasa merupakan salah satu simbol yang digunakan manusia untuk memungkinkannya menyampaikan makna dan memaknai simbol secara
Universitas Sumatera Utara
18
aktif. Manusia menafsirkan makna dari suatu kata atau ungkapan kejadian, dan meresponnya tergantung pada makna yang ditafsirkan. Berbeda dengan narasi pada karya sastra yang tampil dalam bentuk bahasa atau teks yang terstruktur (verbal), narasi simbolik merupakan sebuah narasi yang dapat dipahami melalui relasi simbol-simbol visual (non verbal) yang ditampilkan dengan cara menganalisisnya atau mengonstruksi makna dari simbol-simbol yang ditampilkan. Dalam karya seni rupa misalnya, ditemukan banyak lukisan, reliefrelief pada candi-candi ataupun patung-patung yang memunculkan figur-figur mitologi, seperti putri duyung (mermaid), dewa-dewa dalam kepercayaan Yunani, Hindu dan sebagainya, bahkan dalam karya-karya seni rupa pada etnik-etnik budaya yang ada di Indonesia. Pemaparan figur-figur mitologi sebagai simbol memunculkan ranah narasi yaitu mitos3 yang perlu dikaji dan dijelaskan. Di luar dari konteks figur-figur mitologi, paparan gambar-gambar sebagai wujud simbolik dan representasi teknik yang digunakan dalam karya, mampu membuat orang lain yang melihat berupaya memahami maknanya, dan cerita apa yang ada dibalik karya tersebut, dan siapa yang membuatnya. Apakah karya tersebut mengandung narasi mitos, legenda, kritik sosial dan keagamaan, atau hanya menarasikan keindahan alam. Sebagai contoh, seperti lukisan Ratu Pantai Selatan yang dilukiskan oleh Basuki Abdullah dan seniman-seniman lainnya. Bagi rakyat Indonesia khususnya pulau Jawa yang sudah mengenal sosok wanita yang selalu disimbolkan berbaju hijau pupus 3
Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Mitos bukanlah konsep/gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk yang tidak ditentukan oleh objek ataupun materi (bahan), melainkan oleh cara mitos disampaikan. Mitos bukan hanya disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan atau tulisan), namun bisa dalam bentuk campuran antara verbal dan non verbal, misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan dan komik. Semuanya dapat digunakan dalam menyampaikan pesan (lihat Sobur, 2003, hlm. 224).
Universitas Sumatera Utara
19
tersebut, mampu menimbulkan rasa mistis oleh para penikmat karya seni atau apresiator. Namun, bagi orang yang belum melihat dan mengerti sosok legendaris tersebut, hanya bisa melihat sosok tersebut dari sisi kecantikan, kemolekan dan unsur tradisi yang melekat pada baju yang dikenakan. Dalam kajian semiologi, Barthes menjabarkan pemahamannya akan hubungan antara mitos, penanda, dan petanda dengan cara menarik perbedaan antara denotasi dan konotasi. Tugas Semiologi melampaui denotasi-denotasi tersebut untuk mendapatkan berbagai konotasi tanda, melakukannya berarti akan mengungkap bagaimana mitos bekerja melalui tanda-tanda tertentu. Dengan cara seperti ini, lokasi mitos yang dikonstruksikan, dibuat dan bersifat historis dapat ditemukan. Maka, konotasi-konotasi mitos dapat diidentifikasi. Mitos berfungsi sebagai ideologi juga memiliki fungsi mentransformasikan sejarah menjadi alam. Fungsi mitos sebagai ideologi dapat dilihat dari bagaimana mitos itu dapat dikonstruksikan dan mempertahankan maknanya sebagai kekuatan sistematis, yang menjadi makna-makna yang berakar pada berbagai situasi historis maupun kepentingan golongan, pergeseran, sebagaimana yang dikatakan Barthes dari semiologi menuju ideologi (Strinati, 2016: 142-143). Barthes juga menyebutkan tentang unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional adalah ―kode teka-teki‖ (kode hermeneutik) yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran. Didalam narasi, ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2003: 65).
Universitas Sumatera Utara
20
Jadi, narasi simbolik dimaksudkan seperti berusaha menemukan cerita di dalam karya seni rupa (visual art). Selain narasi dan ciri kebudayaan (cultural trait) yang disimbolkan dalam sebuah karya seni rupa, maka dapat ditemukan dan dikenali daerah kebudayaan-nya (culture area) narasi itu berasal.
1.6.1.4 Seni rupa Seni pada hakekatnya adalah curahan rasa dan ekspresi manusia yang bersifat artistik. Menyunting tulisan S. Sudjojono di dalam buku Siregar dan Supriyanto yang mengumpulkan tulisan-tulisan dalam bentuk artikel pada era awal seni rupa modern di Indonesia, bahwa secara eksplisit ungkapan yang dinyatakannya oleh Sudjojono adalah seni sebagai ―jiwa ketok‖ atau jiwa yang nampak, dipahami sebagai ekspresi (Siregar dan Supriyanto, 2006: 18). Seni rupa (visual arts) didefinisikan sebagai karya seni yang dirasakan oleh penglihatan (arts that are perceived by sight) (Priyatno, 2012: 11). Seni rupa adalah suatu wujud hasil karya manusia yang diterima dengan indra penglihatan, dan secara garis besar dibagi menjadi seni rupa murni dan seni rupa terapan (Bahari, 2008: 51). Seni rupa merupakan sebuah bentuk kesenian yang menggunakan medium seni rupa sebagai medium ungkapnya (Kartika, 2004: 8). Seni rupa Indonesia dapat kita bagi dalam empat jenisnya yang pokok, yaitu: Seni lukis, seni patung, seni arsitektur/bangunan, seni kerajinan/kriya (Soedarso SP, 1978: 61). Seni rupa menurut fungsinya oleh Soedarso SP (1978: 61) dibagi dua, yaitu: (1) Untuk membantu kepercayaan animistis dengan ekspresi seni yang magis dan selanjutnya seni untuk membantu agama dengan ekspresi yang religius
Universitas Sumatera Utara
21
dan agung. (2) Untuk mengembangkan imajinasi yang filosofis simbolis. Menurut jiwa dan fungsinya seni rupa yang lain, Soedarso SP juga membaginya dalam dua golongan, yaitu: Bersifat murni (fine art) dan bersifat terapan (applied art). Kehadiran performance art memang belum banyak dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Tetapi keberadaannya diterima sebagai bentuk kebebasan berkreasi dan medium komunikasi yang memiliki genre tersendiri dari seni lainnya. Kehadirannya sering sekali menampilkan gagasan-gagasan yang simbolik. Tak jarang, dalam performance art sering sekali merangkul seni musik dan seni tari sebagai medium komunikasi sekaligus untuk mendukung estetikanya. Listyowati (2006: 12) menyebutkan tentang performance art sebagai berikut: Performance art adalah conceptual art atau idea art. Penggagasnya adalah Sol LeWitt yang terkenal dengan minimal art-nya, yang kemudian menjadi gerakan pertengahan tahun 1960-an, meskipun Duchamp di tahun 1910-an dan 1920-an terlebih dahulu telah memulainya dengan karya-karya instannya yang diambil dari bendabenda ready mades, yang hadir sebagai karya baru yang sangat konseptual (art object), sekaligus awal mula kelahiran seni instalasi. Dharsono Sony Kartika dalam bukunya yang berjudul ―Seni Rupa Modern‖ (2004: 122-124), membagi seni konseptual (conceptual art) meliputi: (a) performance art, (b) seni proses (proses art), (c) seni bumi (Earth atau Land art) dan (d) happening art. Conseptual art atau seni konseptual merupakan gerakan dalam seni rupa yang menempatkan ide, gagasan/konsep menjadi yang terpenting dalam seni, sedangkan bentuk materiil dan objek seninya hanyalah merupakan akibat dari konsep seniman. Mereka menggunakan terminologi-terminologi dematerial dan
Universitas Sumatera Utara
22
anti form (Wheller1992; dalam Kartika, 2004: 122). (a) Performance art4 sebagai bagian dari seni konseptual (conseptual art) yang membebaskan dari serta mencari alternatif baru yang merupakan transformasi narasi (teks tertulis) ke dalam bentuk-bentuk teatrikal, personal maupun kolektif. (b) Seni Proses merupakan seni jenis yang memanfaat material-material seperti: minyak, kayu, karet, rumput, es, debu, daging, dan sebagainya, serta memanfaatkan kekuatan alam, gravitasi, temperatur, atmosfir yang membuat karya berproses seperti mengembang, menyusut, membusuk, dan sebagainya. Seni ini lebih menekankan kepada substansi organisnya. (c) Seni bumi, adalah seni yang memanfaatkan kekayaan alam, berupa bentuk amorf, bentuk abstraknya, kerucut, ketahanan alam, geologi, cuaca, dan berbagai ilusi yang ditimbulkan untuk kepentingan seninya. (d) Seni lingkungan, yang disebut juga dengan seni ansamble art, merupakan karya seni yang memanfaatkan berbagai material bekas untuk berkesenian, yang para artis punya misi tertentu terhadap lingkungan. (e) Happening art mengacu pada action painting, yang mengutamakan spontanitas dengan berbagai gerakan improvisasi seperti pada seni pertunjukan. Bedanya, Happening art ditampilkan dalam ruang dan waktu yang sebenarnya (Kartika, 2004: 124) Seni rupa menurut penulis merupakan sebuah karya seni yang di dalamnya memiliki ide, konsep, gagasan yang tampak dari struktur estetika kesenirupaannya yang berwujud titik, garis, bentuk, warna, dan pendukung lainnya seperti komposisi, ritme balance dan seterusnya sehingga menghasilkan sebuah benda 4
Performance art, merupakan istilah yang berbeda dengan performing art adalah istilah yang digunakan dalamseni rupa, sedangkan performing art adalah istilah yang digunakan untuk pertunjukan seni tari dan pertunjukan seni musik (Kartika, ―seni Rupa Moder‖, 2004, hlm. 124).
Universitas Sumatera Utara
23
seni sesuai dengan fungsinya, baik sebagai fungsi estetika maupun benda pakai atau terapan (fungsional).
1.6.1.5
Seniman seni rupa Sudjojono pernah menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul ―Kesenian,
Seniman dan Masyarakat‖, yang dimuat kembali di dalam buku yang dieditori oleh Siregar dan Suprayitno, yang menyatakan: ―Kalau seseorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari buah jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian dalah jiwa ketok‖ (Siregar dan Supriyatno, 2006: 13). Sudjojono juga menyatakan dalam tulisan lainnya yang berjudul ―Seni Lukis Indonesia Sekarang dan Akan Datang‖ bahwa: ―seorang seniman mesti pula berani dalam segala-galanya, terutama berani memberikan idenya kepada dunia, meskipun tidak mendapatkan tanggapan baik oleh publik sekalipun‖ (Siregar dan Supriyatno, 2006: 1). Dalam dunia seni rupa, seseorang yang disebut seniman memiliki posisi yang tinggi, seperti ungkapan Dermawan T (2004: 5), yang menyatakan: Seniman pada hakekatnya bekerja untuk menganyam kebenaran, meniti puncak-puncak kemanusiaan. Ia adalah orang merdeka yang semestinya melihat kebenaran dan kemanusiaan dengan spirit yang bebas. Walaupun tentu saja, tak ada yang bisa menjamin ―sang kebebasan‖ mampu melindungi sinar terang karya-karya seni. Banyak ditemukan tulisan autobiografi atau kumpulan autobiografi singkat dari seniman-seniman seni rupa di dunia lengkap dengan hasil karyanya yang bisa dijadikan inspirasi dan motivasi bagi para perupa untuk mengasah kreativitasnya
Universitas Sumatera Utara
24
dalam berkarya. Dalam konteks menciptakan karya seni, Priyatno (2012: 2) menyatakan sebagai berikut: Kebebasan seniman dalam menciptakan karya seni tidak berarti bebas dalam mempublikasikan. Seniman meskipun memiliki kebebasan dalam mencipta karya seni, ia tetap hidup dalam bingkai moralitas dan nilainilai yang berlaku pada masyarakatnya. Seorang seniman bagaimanapun harus menghormati ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masyarakatnya. ―Seniman sebagai pencipta/penyusun bentuk karya seni, juga sekaligus sebagai penghayat‖ (Kartika, 2004: 23). Menurut Plato, bahwa seniman sejati tidak membuat imitasi atas wujud yang sudah ada. Apa yang dilakukan seniman sejati adalah mengenali pengetahuan sejatinya dari setiap pokok cipta karyanya secara mendasar. Setelah pemahaman sejati ini utuh, barulah cakrawala nama rupa yang beragam dan variasi terbuka (Wiryomartono, 2001: 10). Masih menurut Plato, seniman sebagai manusia yang beradab (dalam kaitannya dengan polis = konsep takaran proporsional) menghasilkan karya-karya dalam sistem yang kualitasnya terukur (Wiryomartono, 2001: 7). Seniman juga bisa menunjukkan sebuah tingkat peradaban dalam dunia kesenian dengan teknik dan gagasan yang dituangkan dalam karya-karyanya, terlepas dari ekspresi pribadinya, seniman secara historis mampu mengangkat harkat dan martabat lingkungannya, seniman hidup mewakili dalam bingkai moralitas dan nilai-nilai di dalam dirinya juga pada mewakili nilai-nilai zamannya.
Universitas Sumatera Utara
25
1.6.2 Landasan teori Beberapa teori yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini adalah teori-teori yang dipakai sebagai alat untuk mengkaji dan mengukur tiap-tiap rumusan masalah seperti teori estetika dan keindahan, teori etnografi, dan teori semiotika.
1.6.2.1 Teori estetika dan keindahan dalam seni rupa Estetika (aesthesis; dari kata Yunani) adalah ilmu yang membahas tentang keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadap keindahannya. Persoalan estetika ini kemudian melahirkan berbagai pengertian yang sangat bervariatif, dalam arti memiliki banyak perspektif pendekatan, sehingga estetika bergantung pada situasi, kondisi dan posisi dimana ia berada (Susanto, 2002: 38). Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan (tentang keindahan; jasmani, rohani, alam dan seni), diselidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan dan sebagainya (Surajiyo, 2007:101). Disadur dari buku Diksi Rupa, karya Susanto, (2002: 38), bahwa Estetik itu adalah: (1) Indah; mengenai keindahan; tentang apresiasi keindahan; (2) Mempunyai penilaian terhadap keindahan. Jadi, Estetika adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya.
Universitas Sumatera Utara
26
Menurut Djelantik dari bukunya yang berjudul ―Estetika Sebuah Pengantar‖ (2004:7), bahwa: Ilmu Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut dengan keindahan. Misalnya: Apa itu indah? Apakah yang menumbuhkan rasa indah itu? Apa yang menyebabkan barang yang satu dirasakan indah dan yang lainnya tidak? Apa yang menyebabkan rasa indah yang dirasakan satu orang berlainan dengan yang dirasakan oleh orang lain? Apakah indah itu terletak pada barang atau benda yang indah itu sendiri ataukah hanya pada persepsi kita saja? Ilmu estetika baru bisa berkembang lebih maju setelah terjadi perkembangan pesat di Eropa pada sekitar abad ke-17 dan ke-18 dalam segala bidang ilmu pengetahuan (science). Ilmu estetika baru bisa memperoleh manfaat dari penggunaan hasil-hasil penyelidikan dan perkembangan ilmu yang ada (Djelantik, 2004: 7). Estetika dikenal memiliki 2 pendekatan, yaitu: (1) Langsung meneliti dalam objek atau benda-benda atau karya seni serta alam indah. (2) Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami subjek, yang kemudian melahirkan pengalaman estetik (Susanto, 2002: 38). Pengalaman estetis merupakan tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis, yang menjadi persoalan psikologi. Ciri-cirinya adalah sifat yang tidak mempunyai tujuan apapun selain pengamatan terhadap benda estetis tersebut (Surajiyo, 2007 :107). Dalam berkarya seni rupa kaitannya dengan teori keindahan, memiliki struktur seni yang berpedoman kepada ―elementer kesenirupaan‖ (estetika elementer) yang terdiri dari: ―Unsur-unsur seni rupa‖ serta ―azas/hukum penyusunan seni rupa‖ yang berguna untuk menghasilkan sebuah karya seni, baik dalam penerapan sebuah desain (interior ataupun eksterior) maupun karya seni
Universitas Sumatera Utara
27
murni, yang juga digunakan sebagai analisis formal dalam kajian kritik seni rupa modern. Lukisan sebagai karya seni berdasarkan strukturnya terdiri dari dua unsur, yaitu unsur visual (rupa) dan unsur ide. Unsur visual berupa garis, warna, tekstur, komposisi, dan unsur-unsur visual lainnya, yang di dalamnya dimasukkan pertimbangan desain (Feldman dalam Evita, 2009: 28). Aspek ide adalah unsurunsur yang dideskripsikan meliputi unsur intelektual, emosi, simbol, religi, dan unsur-unsur lainnya yang bersifat subjektif (Meyers dalam Evita, 2009: 28). Penilaian berdasarkan struktur estetika/unsur-unsur estetika pada suatu karya seni rupa, pertama sekali mencakup ―wujud‖ dari karya itu sendiri sebagai fakta benda itu ada. Kedua memuat ―bobot/isi‖ dari wujud, yang dapat dianalisis meliputi elementer kesenirupaannya beserta makna dan nilai-nilai yang diusungnya. Yang ketiga adalah kualitas penampilan dan penyajiannya. Berikut penjelasan dari unsur-unsur di dalam seni rupa: (1) ―Titik‖ adalah unsur pertama dalam seni rupa yang merupakan awal dari unsur rupa lainnya yang dikembangkan menjadi lebih kompleks. (2) ―Garis‖ adalah hasil dari beberapa titik yang dihubungkan memanjang menjadi satu, sesuai dengan arah, sifat dan ketebalannya. (3) ―Bidang‖ merupakan pertemuan dari berbagai garis yang bertemu di ujung pangkalnya. Garis yang saling memotong garis lainnya juga akan membentuk beberapa bidang. (4) ―Bentuk‖ dapat berarti bangun (shape), atau bentuk plastis (form). Bangun ialah bentuk benda seperti yang terlihat oleh mata, seperti bulat, persegi, segitiga, ornamental, tak teratur dan lain sebagainya. (5) ―Tekstur‖ adalah sesuatu yang diupayakan untuk dapat memvisualkan sifat
Universitas Sumatera Utara
28
permukaan bahan yang dapat dirasakan dari suatu benda/bidang (terlihat halus dan kasar). (6) ―Warna‖ merupakan suatu zat atau medium yang dalam seni rupa dapat bersifat sebagai pembeda, ciri, tanda dan simbol atau merupakan ekspresi dari si pembuat atau merupakan refleksi dari objek alam. Azas/hukum penyusunan seni rupa adalah: (1) ―Kesatuan/keutuhan‖ (unity) menjadikan unsur-unsur seni rupa dari suatu karya seni menjadi suatu kesatuan yang utuh dan selaras. Tiap-tiap bagian saling mengisi dan tidak ada yang tampak menonjol.
(2) ―Keseimbangan‖ (balance) terbagi dua, yaitu
keseimbangan formal (simetris) dan keseimbangan non formal (asimetris). Semua kesenian mempertimbangkan keseimbangan. (3) ―Irama‖ (ritme) merupakan pengulangan secara teratur dari unsur-unsur pendukung karya seni yang menimbulkan kesan berirama. (4) ―Keselarasan‖ (harmony), dimaksudkan antara bagian-bagian atau komponen yang disusun tampak selaras, tidak ada yang saling bertentangan, semua cocok, serasi dan terpadu. (5) ―Proporsi‖ yaitu perbandingan ukuran. Mengacu kepada hubungan antara suatu bagian desain/gambar yang berhubungan dengan keseluruhannya. Contoh: Suatu ruangan yang kecil dan sempit bila di isi dengan benda yang besar, tidak akan kelihatan baik, tidak bersifat fungsional dan terkesan dipaksakan. (6) ―Aksentuasi” (center of interest) merupakan sebuah karya seni yang memiliki cara dengan sebagian yang di ―titik beratkan‖, bertujuan untuk menarik perhatian mata yang memandang agar karya seni terlihat menarik. Selain asas yang populer digunakan dalam penyusunan benda-benda estetis, De Witt H. Paker memeras ciri-ciri umum dari bentuk estetis menjadi
Universitas Sumatera Utara
29
enam asas, yang dijelaskan oleh Surajiyo (2007: 105-106) juga oleh Bahari (2008: 95-98), sebagai berikut: Asas kesatuan utuh, asas tema, asas variasi menurut tema, asas keseimbangan, dan asas tata jenjang, yang diharapkan menjadi unsur tentang logika bentuk estetis. (1) ―Asas kesatuan utuh‖, maksudnya: bagi nilai karya itu, setiap unsur dianggap perlu dan tidak memuat unsur-unsur yang tidak dianggap perlu, tergantung pada hubungan timbal balik dari unsur-unsur tersebut, yakni setiap unsur memerlukan, menanggapi, dan menuntut setiap unsur lainnya. (2) ― Asas tema‖ yang merupakan kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang terhadap karya seni itu, karena terdapat satu atau beberapa ide induk atau peranan yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna). (3) ―Asas variasi menurut tema‖, tujuannya ialah agar tidak menimbulkan kebosanan pengungkapan, tema yang harus tetap sama itu perlu dilakukan berbagai variasi, harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus menerus mengumandangkannya. (4) ―Asas Keseimbangan‖ merupakan kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertentangan, yang sebenarnya saling memerlukan karena menciptakan kebulatan. Unsur yang saling berlawanan itu tidak memerlukan sesuatu yang sama, melainkan yang utama adalah kesamaan dalam nilai, sehingga terdapatlah keseimbangan secara estetis. (5) ―Asas perkembangan‖ dimaksudkan oleh Parker, bahwa kesatuan dari proses yang bagian awalnya menentukan bagian selanjutnya hingga menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Misalnya, dalam sebuah cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab akibat atau rantai tali temali yang perlu dengan ciri pokok berupa pertumbuhan (himpunan dari makna keseluruhan). (6) ―Asas tata jenjang‖, maksudnya, bahwa dalam karya seni yang
Universitas Sumatera Utara
30
rumit, kadang-kadang terdapat satu unsur yang memegang kedudukan penting yang mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai kepentingan yang jauh lebih besar dari pada unsur-unsur lainnya. Dijelaskan oleh The Liang Gie dalam Surajiyo (2007: 106) tentang teori lain yang dikemukakan oleh Monroe Beardsley, bahwa ada tiga ciri yang sifatsifat ―membuat baik (indah)‖ dari benda-benda estetis pada umumnya, yaitu: (1) ―Kesatuan (unity)‖ yang berfokus kepada kesempurnaan bentuk. (2) ―Kerumitan (kompleksitas)‖ yang kaya akan isi dan unsur yang saling berlawanan serta mengandung perbedaan-perbedaan yang halus. (3) ―Kesungguhan (intensity)‖ yang mengharapkan bahwa di dalam karya seni harus mempunyai kualitas yang baik secara insentif dan sungguh-sungguh. Jadi, setelah mengamati struktur estetika pada karya dengan mengamati dan menganalisis elementer kesenirupaan yang terpancar dalam karya seni rupa, kita dapat melihat aspek ideologi spisikoplastis seni rupa apa yang tersirat dalam karya itu.
1.6.2.2 Teori semiotika dalam seni rupa Semiotika adalah ―ilmu‖ yang digunakan dalam mengkaji tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Baik digunakan dalam kehidupan berbudaya maupun sosial bermasyarakat. Tanda-tanda yang dikaji kemudian diberi makna atau ditangkap maksudnya yang kemudian disepakati bersama oleh pemakainya. Plato (428-348 SM) adalah perintis awal semiotika yang memeriksa asal muasal bahasa dalam Catylus. Juga Aristoteles yang mencermati kata benda
Universitas Sumatera Utara
31
dalam bukunya Poetics dan On Interpretation. Kata “Semiotika‖ berasal dari bahasa Yunani yaitu semme, sama seperti Isemeitikos yang berarti penafsir tanda (Cobley dan Jansz, 2002: 4). ―Semiotika atau semiosis‖ dimunculkan pada abad ke-19, digunakan kaitannya dengan karya Charles Sander Peirce dan Charles Morris yang disampaikan dengan bahasa Inggris, yaitu Amerika yang menjadi disiplin psikologi sosial, juga merupakan doktrin formal tentang tanda-tanda. Sedangkan ―semiologi‖ digunakan kaitannya tentang tradisi Saussuran di Eropa. Para ahli menganggap keduanya sama saja dan kurang lebih dapat sama menggantikan, karena sama-sama mengacu kepada ilmu tentang tanda (Sobur, 2003: 12-13). Sesuai dengan ulasan Marianto bahwa: istilah semiotika pertama kali dikemukakan oleh Charles Sander Peirce. Peirce mengatakan bahwa tanda-tanda berkait dengan objek-objek dengan cara menyusun objek-objek atau kausal menghubungkannya dengan objek-objek (2006: 136). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan teori semiotika modern yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce yang merupakan dari penyempurnaan model semiotika pragmatis. Seperti yang disebutkan oleh Hoed (2008: 18) tentang cara kerja teori semiotika modern Peirce, yaitu: Semiosis mengikuti tiga tahap, yakni: ―representamen‖ (sesuatu) ―objek‖ (sesuatu di dalam kognisi manusia) ―interpretan‖ (proses penafsiran). Proses semiosis sebenarnya tidak terbatas, interpretan dapat berubah menjadi represantemen baru yang kemudian berproses mengikuti semiosis, secara tak terbatas. Dalam proses
Universitas Sumatera Utara
32
ini, represantemen berada di dalam kognisi, sedangkan kadar penafsiran semakin lama semakin tinggi. Berikut adalah bagan atau peta segitiga (tiga sisi tanda), dalam versi Peirce. Bagan 1.1 Tiga sisi tanda dalam versi Peirce, dikaitkan dengan kepertamaan, kekeduaan dan ketigaan (Paul dan Jansz, 2002: 28)
Keterangan bagan di atas, adalah: Dimana: R = Representamen O = Objek I = Interpretan (P) = Kepertamaan (D) = Kekeduaan (T) = Keketigaan Representamen/tanda adalah yang pertama; Objek adalah yang kedua; Dan interpretasi adalah yang ketiga (Cobley dan Jansz, 2002: 28) Peirce mengaitkan lahirnya tanda sebagai sebagai latar belakang terjadinya keberadaan, yang dibaginya atas tiga klasifikasi, yaitu: firstness, secondnes dan thirdnes. Wilayah ―kepertamaan (firstness)‖ agak sulit dimengerti karena lebih sering dipahami dalam bahasa ―perasaan‖, tidak memiliki relasi, dan hanyalah merupakan sebuah ―kemungkinan‖, contohnya seperti musik, rasa yang samarsamar atau warna. Kekeduaan (secondness)‖ adalah sensasi yang muncul seketika
Universitas Sumatera Utara
33
saat pintu yang hendak kita tutup (fakta nyata), misalnya, ternyata macet karena ada yang mengganjal. Sebuah relasi muncul, dan dunia menampakkan dirinya kumpulan benda dalam hubungannya dengan benda-benda yang lain. Namun, menurut Peirce, wujud yang paling masalah adalah ―keketigaan (thirdnes)‖ karena merupakan wilayah hukum atau aturan umum, yaitu unsur mental dari fakta tersebut. Ketigaan-lah yang menghubungkan yang pertama dan kedua (Coubley dan Jansz, 2002: 27-28). Kemudian,
Peirce
mengelompokkan
tanda-tanda
itu
berdasarkan
keberadaannya, menjadi tiga macam, yaitu: (a) Qualisign, yaitu tanda yang terjadi berdasarkan sifatnya (seperti warna merah yang dipakai sebagai tanda untuk sosialisme, cinta, bahaya, larangan, marah, dan sebagainya). (b) Signsign: tanda yang terjadi berdasarkan bentuk atau rupanya dalam kenyataan. (c) Legisign: tanda yang terjadi atas sesuatu yang berlaku umum, merupakan konvensi atau kode. Sedangkan ditinjau dari relasinya, Peirce membedakan tanda menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: (a) ―Ikon‖: suatu tanda yang terjadi berdasarkan adanya persamaan potensial dengan sesuatu yang ditandakannya (seperti peta dengan wilayah geografisnya, foto dengan objeknya, lukisan dengan gagasannya). (b) Indeks‖: suatu tanda tergantung dari adanya suatu denotasi, atau mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya (seperti: ada asap pasti ada api). (c) ―Simbol‖: suatu tanda yang ditentukan oleh suatu aturan yang berlaku umum, kesepakatan bersama atau konvensi (seperti: gerakan tubuh atau anggukan kepala sebagai tanda setuju), (Sachari, 2002: 65).
Universitas Sumatera Utara
34
Berdasarkan ungkapan Sachari di atas, dan berdasarkan pengelompokkan tanda-tanda oleh Peirce, dapat diperjelas dengan tabel pembangkit tanda, yang peneliti tambahkan dengan pengertian/penjelasan pada tabel, sebagai berikut:
Tabel. 1.1 Tabel Pembangkit Tanda Peirce. (Coubley dan Jansz, 2002: 31-34). Kualitas Kepertamaaan
Representemen Qualisign Kepertamaan (Repesentamen yang terbentuk oleh kualitas, misalnya warna hijau).
Objek Icon Kekeduaan (Tanda terhubung dengan objektertentu karena keserupaan, misalnya foto).
Interpretan Rheme Keketigaan (Tanda tampak bagi interpretan sebagai sebuah kemungkinan, misalnya konsep).
Fakta Nyata Kekeduaan
Hukum/Aturan Keketigaan
Sinsign
Legisign
(Representamen yang terbentuk dari realitas fisis yang nyata, misalnya rambu lalu lintas).
Representamen yang terbuat dari hukum atau aturan, misalnya suara peluit wasit dalam pertandingan sepak bola).
Index
Symbol
(Tanda terhubung dengan objek tertentu semata-mata karena kesepakatan, misalnya kata, bendera).
(Tanda terhubung dengan objek tertentu karena hubungan sebab akibat, misalnya asap sebagai tanda adany api).
Dicent
Argument
(Tanda tampak bagi interpretant sebagai sebuah fakta, misalnya sebagai pernyataan deskriptif).
(Tanda tampak bagi interpretant sebagai sebuah nalar, misalnya preposisi).
Teori analisis semiosis, untuk selanjutnya dapat dikembangkan menjadi ―teori rekonstruksi‖ dalam strategi bahasa rupa ―penanda‖. Tanda-tanda itu dikembangkan baik secara simbolik, lambang, makna, atau ―jejak tanda‖ yang
Universitas Sumatera Utara
35
mencerminkan ―Gaya Tradisional‖, ―Modernisme‖ maupun ―Posmodernisme‖ dengan fungsi ―unsur peranan‖ bahasa rupa yang diterapkan pada suatu jenis produk tertentu (Sachari, 2003: 72). Pendekatan semiotika merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan mengontrol karya-karya yang dibuat, karena karya seni merupakan suatu tanda yang dapat dibaca oleh penonton atau penerima tanda (Bahari, 2008: 112). Tanda-tanda sesuai dengan keberadaannya dalam karya seni rupa dapat kita lihat dalam penyusunan komposisi. Sesuai dengan pendapat Bahari (2008: 112-113), sebagai berikut. Komposisi merupakan salah satu aspek pertama yang dilihat penonton, yang dapat mengkomunikasikan visi seniman. Sebagai sebuah tanda, komposisi yang merupakan penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur seni rupa (garis, bidang, warna, tekstur) yang disusun dalam satu kesatuan (unity), akan memberikan kesan yang berbedabeda, seperti stabil atau dinamis. Garis merupakan tanda, secara qualisign: garis yang mendatar memperlihatkan ketenangan, kedamaian bahkan kematian. Garis vertikal secara qualisign memperlihatkan kekokohan, kestabilan, kekuatan ataupun kemegahan. Gerakan diagonal menggambarkan tidak dalam keadaan seimbang, hingga menunjukkan gerakan, hidup dan dinamis. Garis yang bengkok atau melengkung mengesankan sesuatu yang indah, lemas, lincah, dan meliuk.
Selain semiotika yang dipaparkan oleh Peirce, peneliti juga tidak bisa mengabaikan teori semiologi Roland Barthes yang pemikirannya bergaris lurus dengan Saussure, karena: salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Seperti yang dijelaskan dalam Sobur (2003: 68-69), ―konotasi‖ yang merupakan sifat asli tanda adalah sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang disebut Barthes dengan ―konotatif‖ membutuhkan keaktifan pembaca agar bisa berfungsi. Yang di dalam
Universitas Sumatera Utara
36
mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari ―denotatif‖ atau sistem pemaknaan pertama. Selanjutnya, bagaimana tanda itu bekerja, telah dipetakan oleh Barthes, sebagai berikut: Bagan 1.2 Peta yang diciptakan oleh Barthes tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley dan Jansz, 2002: 51).
Pada bagan 1.2, tanda denotatif (no. 3) terdiri dari penanda (no. 1) dan petanda (no.2), namun pada saat bersamaan tanda denotatif (no.3) adalah penanda konotatif (no. 4). Penanda konotatif (no.4) haruslah berkaitan dengan sebuah petanda konotatif (no. 5). Keduanya kemudian mengkonstruksi tanda konotatif (no. 6).
1.7
Metode Penelitian Metode, berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos, terdiri dari kata
meta yang berarti melalui atau setelah, dan hodos yang berarti jalan, cara atau arah (Kebung, 2008: 57). Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini adalah dengan metode penelitian kualitatif yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
37
penelitian lapangan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang sering digunakan dalam penelitian kebudayaan, yang lebih mementingkan relevansi beserta konteks penelitiannya. Seperti yang diuraikan oleh Kuntjara (2006: 3), berkaitan dengan penelitian kualitatif yang identik dengan penelitian kebudayaan. Karena sifat kebudayaan yang sering dimaknai dengan nilai-nilai, adat istiadat, norma-norma, ide-ide dan simbol-simbol yang berlaku dalam budaya masyarakat. Penelitian kebudayaan diungkapkan secara sederhana oleh Shwedar dalam buku yang dieditori oleh Kim, Yang dan Hwang (2010: 18), bahwa: ―Persis seperti kita memakai mata kita untuk melihat dunia, kita menggunakan budaya kita untuk memahami dunia kita. Oleh karena itu, kita berpikir melalui budaya kita, maka sulit bagi kita untuk mengenali budaya kita.‖
1.7.1
Metode hermeneutika dalam pembacaan karya seni rupa Hermeneutika sudah lama digunakan untuk mengkaji makna teks, yakni di
Eropa setidaknya sejak abad pertengahan. Semiotika lahir di Eropa, pada zaman modern melalui karya Ferdinand de Saussure di tahun 1916, yang waktu itu hermeneutika berkembang terus mencari makna teks, dan Hermeneutika melalui penafsiran yang didukung oleh ―konteks sosio historis‖ dan semiotika didukung oleh pemaknaan tanda sebagai ―unsur budaya‖ (Hoed , 2008: 75). Cara kerja hermeneutika adalah untuk menangkap deep structure yang terkandung dalam data. Hubungannya dengan analisis data dalam penelitian, cara kerja hermeneutika adalah memfokuskan pada objek yang berkaitan dengan simbol-simbol, bahasa, atau pada teks-teks serta karya budaya lainnya (Kaelan, 2005: 81).
Universitas Sumatera Utara
38
Serasa familiar dan sering disebut-sebutkan bahwa semiotika dan hermeneutika merupakan cabang ilmu yang diibaratkan seperti bertetangga atau seperti kakak adik. Karena, keduanya sama-sama bergerak dalam pemaknaan bahasa dan kemudian mencari pemaknaan bahasa rupa. Bahasa dan sastra dalam tinjauan semiotik dan hermeneutika dapat kita lihat dalam ungkapan Hoed (2008: 90), bahwa: Pendekatan semiotika mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi memberikan kesempatan yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu teks, teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses pemaknaan, manusia (dan lingkungan sosiokulturalnya) tidak secara khusus ditonjolkan dalam analisis semiotika. Pendekatan hermeneutika telah memperlihatkan bahwa kaitan makna teks dengan kebudayaan sangat erat dan dengan ini diperlihatkan secara terperinci dan eksplisit. Dalam pada itu, perangkat metodologi Ricouer telah menempatkan teks pada posisi sentral pula. Namun hermeneutika secara eksplisit memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi lingkungan teks itu, dan faktor diakronis (faktor-faktor sosiohistoriokultural) untuk mendukung proses penafsiran. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode hermeneutika Paul Recoeur, sesuai dengan yang dikatakan oleh Saidi (2008: 36) bahwa: ―sebab dasar interpretasi yang dikembangkan oleh Ricoeur adalah bahasa sebagai wacana yang didalamnya juga tercakup narasi‖. Ricoeur didalam Hoed (2008: 97) menyatakan: interpretasi mengandung dua aspek, yakni perkembangan ke arah self interpretation dan pergulatan melawan cultural distance, sehingga teks bukan lagi diluar pembaca melainkan milik pembaca. Jadi, menurut Hoed, konsep Ricouer tentang interpretasi merupakan konsep yang dinamis secara spasitemporal dan historisosiokultural, yang keduanya diakui sebagai proses apropriasi dalam pengertian filsafat.
Universitas Sumatera Utara
39
Menurut peneliti, selain semiotika Charles Sanders Peirce dan semiologi Roland Barthes yang bergaris lurus dengan strukturalisme Saussure memang sangat relevan bila disandingkan dengan hermeneutika Paul Ricouer, karena selain melihat tanda-tanda visual juga mengkaji teks-teks yang berkaitan dengan narasi dan budaya. Diharapkan, dapat memberikan jawaban atas pertanyaanpertanyaan peneliti terhadap karya yang di analisis. Untuk bisa melihat lebih jelas terhadap metodologi yang digunakan peneliti dalam menginterpretasi karya-karya yang akan diteliti, dapat dilihat pada bagan berikut: Bagan 1.3 Tangga metodologi menafsirkan karya (visualisasi dibuat oleh peneliti).
Pada bagan yang berupa ―visualisasi tangga menafsirkan karya‖ di atas, adalah sebagai alur dalam menemukan makna yang terkandung dalam karya, sekaligus menjawab beberapa pertanyaan pada rumusan penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
40
a). Pada permulaan adalah pengamatan karya seni sebagai objek yang diteliti, pada posisi ini, karya seni yang bersifat faktual. b). Melakukan pengamatan dengan menganalisis struktur estetika elementer kesenirupaan yang terepresentasi pada setiap karya seni rupa yang diteliti, yang akan dideskripsikan dalam bentuk tulisan. c). Membaca tanda-tanda dan simbol-simbol yang terepresentasikan pada karyakarya yang diteliti dengan menggunakan semiotika Peirce dan Semiologi Barthes. Sifatnya, masih menganalisis dan memberikan ―tanda‖ dan ―penanda‖ awal untuk memasuki tahap selanjutnya. d). Pada tahap ini, memasuki tahap penafsiran dengan metode hermeneutika Ricouer. Yang membutuhkan aspek reverensial historisosiokultural pada seniman-seniman yang diteliti. Kaitannya dengan simbol-simbol yang terepresentasikan pada karya. e). Tahap dimana makna dan narasi dapat diperoleh peneliti. Pada tahap ini, peneliti juga membutuhkan makna yang dipaparkan oleh seniman yang diteliti dan oleh para ahli. Maka akan diperoleh idiologi dan nilai-nilai di dalam diri tiga seniman yang diteliti. Jadi, setelah melalui tahapan tangga a-b-c-d-e, peneliti akhirnya bisa menemukan jawaban terhadap rumusan masalah dalam penelitian tesis ini. Peneliti dapat menemukan makna, nilai, dan pesan simbolik dari gagasan yang dipaparkan oleh tiga seniman Medan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara
41
1.7.2
Alur metodologi penelitian tesis Guna mengetahui alur metodologi dalam penelitian tesis ini, peneliti
menggambarkannya dalam bentuk bagan sebagai berikut: Bagan 1.4 Alur Metodelogi Penelitian (dibuat oleh peneliti).
Seperti yang telah dijelaskan di atas oleh bagan 1.3, bahwa penelitian ini merupakan
penelitian
lapangan
berupa
studi
kualitatif,
yaitu
dengan
mengumpulkan data karya dari tiga seniman yang diteliti berkaitan dengan tema narasi simbolik. Kemudian melakukan penelitian dengan kajian etnografi, berupa biografi seniman yang akan diulas secara emik dan etik, yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung, seperti: wawancara untuk mengetahui latar belakang seniman dan proses berkarya, dan secara tak langsung dari buku-buku, artikelartikel dan katalog-katalog pameran seniman yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
42
Setelah diperoleh data dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, maka peneliti akan melakukan analisis data dengan melihat estetika elementer kesenirupaan yang terkandung pada karya guna bisa mengelompokkan gaya dan aliran pada karya yang diteliti, kemudian mendeskripsikan tanda atau simbol pada karya pola narasi simbolik yang ditemukan pada karya seniman yang diteliti dengan metode semiotika Peirce dan semiologi Barthes yang dikaitkan dengan hasil penelitian etnografi si seniman, yang kemudian dilakukan penafsiran pada karya dengan menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur, hingga akhirnya akan diperoleh nilai-nilai dan ideologi dari seniman yang diteliti. Pada tiap-tiap seniman yang diteliti, akan dipilih lima karya (sebagai sampel) yang berstruktur narasi simbolik untuk dianalisis dan dikaji narasi-narasi apa saja yang ditemukan. Alasan mengapa hanya lima karya yang dipilih sebagai sampel dikarenakan jumlah karya para seniman yang cukup banyak dan tidak mungkin bisa dibahas satu-persatu oleh peneliti. Tujuannnya adalah untuk menemukan makna dari karya yang mewakili, yaitu berpola narasi simbolik. Kuntjara (2006: 55) menjelaskan bahwa tujuan sampel dalam penelitian kualitatif bukan mencari persamaan-persamaan yang ada sehingga bisa dibuat generalisasi, tetapi lebih untuk memperinci dan memperdalam setiap aspek yang terkait pada konteks permasalahan, juga untuk memperoleh informasi-informasi yang tak terduga.
Universitas Sumatera Utara
43
1.8
Sistematika Penulisan Secara garis besar, sistematika penulisan hasil penelitian ini diharapkan
mempunyai lima bagian atau lima bab, yaitu : Pada Bab I, adalah pendahuluan yang di dalamnya berisikan latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. Pada Bab II, berisikan latar belakang budaya dan biografi tiga seniman yang diteliti, yaitu budaya Karo, Batak dan Jawa Deli, kaitannya dengan bentuk gagasan dasar atau aspek tematik yang tercermin dalam karya seni rupa yang diteliti yang berpola narasi simbolik. Pada bab ini, kajian etnografi dari ketiga seniman banyak berperan penting. Pada Bab III, berisikan sejarah seni rupa di Medan dalam konteks penciptaan karya seni rupa dan latar historis aspek naratif dalam seni rupa di Medan. Pembahasannya meliputi aspek naratif seni rupa tradisi, modern dan kontemporer di Medan. Pada Bab IV berisi kajian narasi simbolik karya seni rupa tiga seniman Medan. Kajiannya meliputi (1) struktur estetika elementer kesenirupaan yang terepresentasikan dalam karya seni rupa tiga seniman yang diteliti, dan secara khusus mendeskripsikannya dan membuat pola narasi simbolik pada karya dalam bentuk bagan, kaitannya sesuai dengan konsep/gagasan seniman yang diteliti. Kemudian menuliskan hasil dari penelitian. (2) Narasi-narasi apa saja yang ditemukan atau diangkat dalam karya seni rupa yang diteliti, yang didalamnya terdapat gagasan, makna, pesan simbolik yang terkandung dalam simbol-simbol
Universitas Sumatera Utara
44
yang terepresentasi pada karya seni rupa yang diteliti dengan menggunakan metode semiotika dan hermeneutika. Setelah itu, (3) menuliskan hasil penelitian mengenai keterkaitan tiga seniman Medan dengan gagasan pola narasi simbolik pada karya seni rupa yang diteliti. Diharapkan akan diperoleh nilai-nilai dan ideologi dari ketiga seniman yang diteliti. Pada Bab V, adalah penutup. Berupa kesimpulan dari hasil penulisan tesis dan berisi kritik dan saran-saran baik secara keilmuan akademis peneliti maupun dari segi kekaryaan seni murninya, yang juga memuat perbedaan dan kesamaan dari kecenderungan berkarya, gaya, struktur estetika elementer kesenirupaannya, makna serta narasi dan nilai-nilai (ideologi) yang terkandung di dalam karya tiga seniman Medan.
Universitas Sumatera Utara