BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Salah satu faktor penting dalam lingkungan sosial masyarakat modern saat
ini adalan media massa (Milla, 2006). Salah satu jenis media massa yang diyakini memiliki pengaruh yang kuat adalah media audio visual. Media dengan jenis ini mampu mengoptimalkan pesan melalui pendengaran, penglihatan, dan gerakan sekaligus. Penggunaan media ini tidak hanya terbatas pada televisi semata, tetapi juga media-media lainnya, yaitu video game, internet, dan film bioskop. Menurut Robert, dkk (dalam Kirsh, 2006) ketika anak-anak dan remaja bertambah dewasa, pemilihan media yang digunakan juga ikut berubah. Anak remaja lebih suka memiliki radio, pemutar CD, dan tapes. Selain itu, 80% keluarga yang telah disurvey oleh mereka memiliki perangkat video game di rumah, dan sebanyak 50% remaja tetap menyimpan perangkat video game
di dalam kamar mereka.
Pada penelitian ini media yang akan digunakan lebih dikhususkan pada media video game. Sejak awal beredarnya video game di akhir tahun 1970, jenis permainan sudah mulai disukai dan digemari masyarakat dari berbagai kalangan. Sekarang ini video game semakin dikenal dan sudah banyak anak remaja dan dewasa yang juga memainkan permainan ini sehingga video game saat ini tidak hanya dianggap sebagai salah satu permainan yang hanya dimainkan oleh anak-anak kecil. Permainan video game
adalah jenis permainan yang menggunakan layar, bisa
melalui layar komputer, layar telepon genggam, televisi, atau mesin khusus yang
menggunakan koin (Collins, 2008). Beberapa merek video game antara lain: Playstation, Playstation2, GameCube, XBoX, DreamCast, Sega Genesis, Nintendo, Nintendo64, SuperNitendo, dan juga game yang berasal dari komputer. Beberapa dari video game ini mampu menampilkan gambar setajam dan sejelas yang ditampilkan oleh televisi (Stanza, 2008). Menurut Gentile dkk. (dalam Kirsh, 2006) anak laki-laki yang berada pada kelas 8 dan kelas 9, bermain video game dua kali lebih banyak dari pada anak perempuan seumurannya. Mereka rata-rata menghabiskan waktu bermain 9 jam per minggu.
Pada masa remaja pemilihan jenis permainan juga memiliki
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih menyukai media bertema kekerasan daripada anak perempuan. Pada tahun 1990 video game bertema kekerasan ini pertama kali muncul ke pasaran, dan di akhir abad ke 20 game bertema kekerasan ini telah disempurnakan dan dapat dimainkan oleh pemain dari berbagai usia (Walsh, dalam Anderson dan Bushman, 2001). Menurut The Cooperative Institutional Research Program (dalam Anderson dan Bushman, 2001) menemukan bahwa pada tahun 1998, 13.3% lelaki yang berada pada tingkat universitas dan SMA bermain video game paling tidak 6 jam per minggu, dan pada tahun 1999, hasil tersebut meningkat menjadi 14.8%. Bermain video game bagi kebanyakan anak remaja diartikan sebagai permainan yang menawarkan kesenangan, dan 80% tema yang paling populer untuk mereka mainkan adalah yang bertema kekerasan (Vessey & Lee, dalam Daane, 2003). Hal ini juga didukung oleh Dietz (dalam Kirsh, 2006) yang menemukan bahwa 80% permainan video game yang paling popular di pasaran bertema kekerasan.
Beberapa judul game yang menampilkan kekerasan, yaitu Quake, Doom, Mortal Kombat, dan Grand Theft Auto (GTA). Video game dengan tema kekerasan mengajarkan perilaku-perilaku yang berhubungan dengan kekerasan secara lebih jelas dan mudah untuk dilakukan, seperti
memukul,
menendang,
dan
menyikut.
Perilaku
ini diikuti dengan
diberikannya penghargaan baik secara langsung maupun tidak (Bandura, dalam Preiss, dkk., 2007). Tidak hanya karena segi alur cerita dengan tema kekerasan, video game ini juga menyebabkan remaja berperilaku agresif ketika mereka dihadapkan dengan situasi sulit. Mereka lebih cenderung memakai cara kekerasan dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi daripada berusaha menemukan cara lain yang lebih bijak untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini terjadi karena remaja dan anak-anak yang memainkan adegan kekerasan menjadi lebih terbiasa dan menganggap bahwa kekerasan yang mereka lakukan wajar-wajar saja (Stanza, 2008). Beberapa peneliti juga berpendapat bahwa para pemain yang melakukan tindak kekerasan dalam video game dan diberikan penghargaan atasnya, akan lebih mudah melakukan tindak kekerasan di dunia nyata (Preiss, dkk., 2007). Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maguire & Pastore (dalam Daane, 2003) remaja yang berusia 16-19 tahun menduduki peringkat tertinggi untuk perilaku tindak kekerasan dibandingkan dengan rentang usia lainnya. Sedangkan yang berusia 12-15 tahun berada di peringkat kedua tertinggi. Pada saat yang sama, menurut Monks, Knoers & Haditono (dalam Desmita, 2005) Anak-anak yang berada pada tahapan usia remaja awal sampai akhir yaitu usia 10-21 tahun berada pada masa tahap perkembangan antara masa kanak-kanak
dan masa dewasa. Pada masa ini anak-anak akan mengalami perubahan dan perkembangan dari segi fisik, kognitif, dan sosial. Masa remaja adalah periode kehidupan dimana remaja memiliki kapasitas secara maksimal untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki secara efisien (Mussen, Conger & Kagan, dalam Desmita, 2005). Masa remaja juga dikenal sebagai masa dimana terjadi krisis identitas dalam menemukan jati diri remaja tersebut. Menurut Burns (1993) para remaja ini mengalami
pergumulan dalam diri yang
dipengaruhi oleh pemikirannya sendiri untuk menentukan dan menemukan konsep dirinya, yaitu suatu gambaran berdasarkan dari apa yang mereka pikirkan tentang pendapat orang lain mengenai mereka, dan keinginan pribadi mengenai diri mereka. Setelah hal-hal tersebut dapat terjawab barulah kemudian mereka mampu menemukan jati dirinya. Dalam bermain video game, seorang anak terhisab ke dalam dunia video game dan ikut merasakan apa yang terjadi di dalam video game tersebut. Mulai dari jalan cerita, pemilihan tokoh, sampai kepada karakter dari tokoh yang dimainkan dapat ditentukan oleh si anak sebagai pemainnya. Keinginan-keinginan serta pemikiran dari si pemain dimanifestasikan ke dalam video game. Tokoh dalam permainan tersebut sering kali diidentifikasikan oleh pemain sesuai dengan persepsi yang ia miliki tentang peran dari tokoh yang ia mainkan tersebut. Menurut Hefner, Klimmt, dan Vorderer (2007) pengidentifikasian karakter dari permainan tersebut, dianggap sebagai bagian dari kesenangan yang ada pada game tersebut. Pada saat terjadi pengidentifikasian terhadap suatu karakter atau peran tertentu, maka anak akan segera menyesuaikan konsep diri mereka dengan mengadaptasi atribut dari tokoh tersebut. Ketika mereka mengidentifikasikan diri
mereka dengan seorang prajurit, maka mereka akan membayangkan bahwa diri mereka lebih kuat, gagah, dan berani. Berkowitz (dalam Praditya, Wimbarti, dan Helmi, 1999) mengatakan bahwa adegan kekerasan yang realistik atau nyata akan menghasilkan agresi apabila ditampilkan secara jelas dan hidup.
Sifat interaktif
dari video game yang melebihi televisi dan film inilah yang mempengaruhi agresivitas dan membentuk kebiasaan agresif (Anderson & Bushman, 2001, dalam Milla, 2006). Dengan beragamnya jenis game bertema kekerasan yang beredar dipasaran, peneliti menjatuhkan pilihan pada GTA. Terdapat data menarik yang mendasari pemilihan game ini yang akan digunakan oleh peneliti, yaitu game ini dikenal dengan game yang berisi kekerasan dan menampilkan seks bebas didalamnya. Menurut Walsh (dalam Wibowo, 2009) pendiri National Institute On Media and The Family, GTA merupakan game yang banyak menampilkan adegan kekerasan, pertumpahan darah, tokoh di dalamnya berbahasa kasar, dan sering memperlihatkan
perilaku
yang
mengarah
pada
seks,
dan
menampilkan
penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang secara jelas dan terbuka. Perilaku kekerasan dalam game ini dibuat seakan-akan sesuatu yang memberikan kesenangan dan membuat ketagihan. Semakin sering pemain berlaku kekerasan, semakin banyak tindak kekerasan lainnya yang bisa dimainkan. Jenis game ini, bukan hanya memperbolehkan pemain mencuri mobil, menabrak polisi, atau melanggar aturan lalu lintas, namun pemain juga akan mendapatkan wanita yang akan menghampirinya dan dapat melakukan seks bebas sebagai hadiah ketika pemain berhasil berada pada bagian bonus. Selain itu, Wibowo (2009) dalam artikelnya juga mengungkapkan bukti nyata bahwa GTA memiliki dampak terhadap perilaku remaja berdasarkan kasus yang terjadi di Thailand, dimana
terdapat seorang remaja berusia 18 tahun yang merampok dan mencuri mobil seorang supir taksi, serta menabrak pengemudi lainnya yang berusia 54 tahun. Remaja tersebut mengungkapkan dalam keterangannya pada pihak kepolisian, bahwa ia melakukan hal tersebut semata-mata hanya karena ingin mengetahui apakah merampok di dunia nyata akan semudah di dalam video game yang ia mainkan.
Mencermati dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh video game
yang mengandung atau menayangkan perilaku agresif dalam mempengaruhi pembentukan konsep diri anak laki-laki remaja pertengahan, maka perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap ke-2 hal ini. 1.2
Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka ingin
diketahui apakah terdapat efek tayangan perilaku agresi dalam video game bertema kekerasan pada pembentukan konsep diri remaja laki-laki usia 15-18 tahun. 1.3
Hipotesis
Dari rumusan permasalahan di atas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: Ho
: Tidak terdapat efek tayangan perilaku agresi dalam video game
bertema kekerasan pada pembentukan konsep diri remaja laki-laki usia 1518 tahun. H1
: Terdapat efek tayangan perilaku agresi dalam video game bertema
kekerasan pada pembentukan konsep diri remaja laki-laki usia 15-18 tahun.
1.4
Tujuan Penelitian Dengan melihat latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka
penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya efek tayangan perilaku agresi yang ditampilkan dalam permainan video game bertema kekerasan tersebut pada pembentukan konsep diri dari pemain itu sendiri. 1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis: a.
Penelitian ini dibuat untuk membantu menambah referensi bidang psikologi perkembangan agar dapat lebih memahami pembentukan konsep diri pada anak lelaki remaja pertengahan.
b.
Bagi peneliti selanjutnya,
penelitian
ini dapat digunakan untuk
menambah referensi bagi yang ingin meneliti topik yang berhubungan dengan video game bertema kekerasan maupun konsep diri remaja, dan agar peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian mereka lebih baik
dengan
mempertimbangkan
kekurangan
yang
ada
dalam
penelitian ini. Manfaat praktis: a.
Bagi subjek yang diteliti, penelitian ini untuk memberikan gambaran tentang
bagaimana
video
game
bertema
mempengaruhi pembentukan dari konsep dirinya.
kekerasan
tersebut
b.
Bagi orang tua subjek, penelitian ini untuk memberi gambaran apa akibat yang bisa ditimbulkan dengan bermain video game dengan tema kekerasan secara terus-menerus.
c.
Bagi peneliti selanjutnya, dapat memakai kuisioner ini untuk mengukur konsep
diri remaja,
karena kuisioner dalam penelitian ini telah
dilakukan uji test-retest yang berdasarkan pada ke enam subjek penelitian. 1.6
Definisi Terminologi Pada penelitian ini terdapat beberapa definisi yang akan digunakan yaitu: 1. Perilaku agresi dalam video game bertema kekerasan: Perilaku yang dilakukan oleh karakter dalam program komputer seperti memukul, menendang,
membanting,
menusuk,
menebas,
menembak,
dan
mengebom (Gagne, dalam Kumoro, 2002). 2. Konsep diri : Suatu gambaran berdasarkan dari apa yang mereka pikirkan tentang pendapat orang lain mengenai mereka, dan keinginan pribadi mengenai diri mereka (Burns, 1993). 3. Masa remaja : Periode kehidupan yang telah memiliki kapasitas secara maksimal untuk
memperoleh dan menggunakan pengetahuan yang
mereka miliki secara efisien (Mussen, Conger & Kagan, dalam Desmita, 2005). 1.7
Cakupan dan Batasan Pada penelitian ini terdapat batasan-batasan yang perlu diperhatikan.
Berdasarkan apa yang akan diteliti yaitu perilaku agresi dalam video game bertema kekerasan dengan pembentukan konsep diri anak remaja lelaki usia 15-18
tahun, maka sampel dalam penelitian ini hanya anak remaja lelaki yang berusia 15-18 tahun atau memasuki masa remaja pertengahan. Selain itu, anak lelaki yang diambil juga harus anak yang belum pernah bermain atau memainkan video game dengan tema kekerasan. Jenis video game
yang dimaksud disini pun hanya yang
menggunakan perangkat bantu layar televisi dan lebih di khususkan lagi judul game yang akan digunakan dalam penelitian ini hanya GTA (Grand Theft Auto) saja, karena game ini dinilai sebagai salah satu yang perlu diwaspadai dan banyak menimbulkan adegan-adegan yang tidak hanya menampilkan perilaku kekerasan, tetapi juga perilaku yang melanggar batas moral dan norma sosial, yaitu adanya adegan yang memperbolehkan penggunaan obat terlarang, minuman beralkohol, serta seks bebas. Selain itu, game ini juga menimbulkan banyak masalah di berbagai negara hingga banyak negara yang menarik game ini dari pasaran (Wibowo, 2009). Pengambilan sampel
juga ditujukan untuk yang berada di
kawasan Jakarta, yaitu Jakarta Timur dan Barat (Utomo, 2009). Hal ini dikarenakan dalam artikelnya, Utomo (2009) menjelaskan bahwa selain Jakarta Timur yang memiliki tingkat kriminalitas tertinggi, Jakarta Barat menduduki tempat kedua di bawah Jakarta Timur sebagai daerah yang memiliki tingkat kriminalitas tertinggi. Maka diluar dari kriteria-kriteria tersebut atau yang tidak memenuhi kriteria yang telah disebutkan di atas tidak dapat diambil sebagai sampel dalam penelitian ini.