BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia masih merupakan negara konsumen terhadap teknologi yang dilindungi oleh Paten, karena mayoritas hak Paten itu dimiliki oleh warga negara dan Badah Hukum asing. Salah satu lembaga yang menjembatani produk Paten dengan konsumen Paten adalah lisensi. Dengan demikian, perkembangan lisensi Paten diperkirakan terus meningkat pada masa yang akan datang. Hal ini terlihat dari masih minimnya permohonan Paten oleh Warga Negara Indonesia/Badan Hukum Indonesia ke Kantor Paten. 1 Dalam praktiknya di Indonesia secara kuantitatif permohonan paten hanya sedikit yang berasal dari dalam negeri, selainnya jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Data menunjukkan permohonan Paten domestik selama 16 tahun terakhir dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2007 dari sebanyak 30.201 permintaan Paten yang diajukan ke Kantor Paten hanya terdapat 2.407 atau sekitar 3,96% yang berasal dari Penemu Indonesia. Suatu angka yang tidak cukup signifikan dibandingkan dengan persentase jumlah permohonan Paten asing yang jumlahnya mencapai 96,04% . 2
1
Kantor Paten maksutnya adalah Direktorat Paten yang berada di bawah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) 2 Mercy Marvel, http://www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, Tinjauan kritis terhadap Periodisasi Undang-undang Paten di Indonesia dan Hubungannya dengan Peningkatan Jumlah Paten Domestik, diakses tanggal 28 Februari 2011.
Universitas Sumatera Utara
Untuk lebih jelasnya, perbandingan antara permohonan Paten dari dalam negeri dan permohonan Paten dari luar negeri selama kurun waktu tahun 1991 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Perbandingan Permohonan Paten dari Dalam dan Luar Negeri dari Tahun 1991 sampai Tahun 2007 PATEN Tahun DALAM
LUAR
1991-1999
593
22.889
2000
156
983
2001
208
813
2002
228
633
2003
201
479
2004
226
452
2005
234
533
2006
282
519
2007
279
493
JUMLAH
2.407
27.794
%
3, 96
96, 04
Sumber: Mercy Marvel, http://www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, Tinjauan kritis terhadap Periodisasi Undang-undang Paten di Indonesia dan Hubungannya dengan Peningkatan Jumlah Paten Domestik, diakses tanggal 28 Februari 2011. Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa persentase jumlah permohonan paten domestik dibandingkan dengan permohonan Paten dari luar negeri secara statistik Universitas Sumatera Utara
belum memperlihatkan perolehan persentase angka yang signifikan setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa kemampuan bangsa Indonesia untuk menghasilkan invensi baru yang dapat memperoleh hak Paten belum memperlihatkan angka yang menggebirakan. Dalam keadan seperti ini, untuk menunjang dan mempercepat laju industrialisasi, perjanjian lisensi sangat penting artinya. Masuknya Paten dan lahirnya berbagai perjanjian
lisensi merupakan konsekuensi logis dari diundangkannya
Undang-Undang Paten. 3 Lisensi diperlukan karena kebutuhan akan teknologi harus menggunakan ide atau hasil pemikiran pihak lain dalam pelaksanaan kegiatannya. Dengan menggunakan lisensi ini diharapkan akan membantu industri dalam negeri untuk mencapai tujuannya. Selain itu, perjanjian lisensi Paten juga diperlukan sebagai sarana alih teknologi dari negara-negara maju yang menguasai teknologi tinggi, kemampuan dan fasilitas lain kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memerlukan pengembangan teknologi. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, dalam upaya agar pembangunan berhasil, tidak harus menemukan ataupun menciptakan teknologi sendiri, tetapi akan lebih efisien bila mengambil alih teknologi dari negara lain yang
3
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 263.
Universitas Sumatera Utara
sudah maju teknologinya, karena alih teknologi merupakan cara yang paling efisien ditinjau dari segi waktu dan biaya. 4 Untuk pengalihan teknologi yang baik maka diperlukan suatu Perjanjian Lisensi yang baik yang dengan jelas memberikan kebebasan maupun batasan yang diperlukan oleh pemilik ide maupun teknologi atas hal-hal apa saja yang dapat dan tidak dapat dilakukan sehubungan dengan alih teknologi tersebut. Dengan memperhatikan arah dan sasaran pembangunan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk membangun kekuatan industri, faktor yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan akan teknologi. Faktor ini penting, karena pada dasarnya merupakan salah satu kunci yang sifatnya menentukan kehidupan industri. Bahkan lebih dari itu teknologi adalah faktor penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan industri. Apakah teknologi itu berasal dari negara lain, ataukah hasil penemuan dan pengembangan bangsa Indonesia sendiri, memiliki arti yang sama pentingnya. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dinyatakan bahwa pemegang paten wajib melaksanakan Patennya di wilayah Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, pemegang paten berhak mengalihkan kepemilikan patennya melalui lisensi. 5 Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, lisensi didefinisikan sebagai izin yang diberikan oleh pemegang paten 4
Dewi Astuty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, (Bandung: PT. Alumni), 2001, hal. 2. 5 Tim Lindsey, et.all, Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 200.
Universitas Sumatera Utara
kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, sebagaimana halnya dengan Undang-Undang Paten lainnya di dunia, UndangUndang Paten Indonesia mengatur mengenai peralihan kepemilikan Paten melalui perjanjian lisensi sebagaimana diatur dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Namun proses alih teknologi melalui lisensi Paten tidak bisa terlalu diharapkan
secara
signifikan
mempengaruhi
perkembangan
dan
kemajuan
penguasaan teknologi di indonesia. Hal ini disebabkan karena ketidak seimbangan kedudukan antara pihak pemberi lisensi dengan penerima lisensi. Perjanjian lisensi Paten merupakan urusan swasta murni tanpa campur tangan pemerintah. Tidak ada kewajiban para pihak untuk melapor atau mengumumkan isi kontrak lisensi itu kepada pemerintah. Akibat kurangnya informasi, karena tidak adanya kewajiban untuk melaporkan kepada pemerintah apalagi kepada umum, serta adanya kelemahan-kelemahan dalam beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, ditambah lagi dengan minimnya pengetahuan pihak penerima lisensi mengenai kntrak-kontrak internasional yang berkaitan dengan lisensi Paten, maka bisa saja dalam praktik kontrak-kontrak ini mencantumkan klausula-
Universitas Sumatera Utara
klausula yang merugikan penerima lisensi dan bahkan merugikan perekonomian nasional dan kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai teknologi. Untuk mendukung motif profit, pemberi lisensi (licensor) dalam kontrak lisensi, dan untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerugian bagi pemberi lisensi, pemberi lisensi akan berusaha mengamankan kepentingannya itu. Hal itu dilakukan dengan menambahkan ketentuan-ketentuan yang membatasi gerak penerima lisensi. Pembatasan-pembatasan yang ada dalam perjanjian lisensi tersebut dinamakan klausal restrictive business practices (RBP) atau praktik perdagangan restriktif. 6 Hal seperti ini pernah dipraktekkan oleh perusahaan Microsoft sebagai pihak lisensor terhadap semua penerima lisensinya (lisensee) dengan memaksakan klausula-klausula dalam perjanjian lisensinya yang melarang semua penerima lisensinya (lisensee) untuk membeli program yang dapat digunakan untuk menghubungkan situs di internet dari perusahaan lain. Netscape menuntut Microsoft, karena keberatan bahwa microsft telah menyalahgunakan posisi dominan di dalam pasar sistem operasi. Dalam kasus ini, sejumlah perusahaan komputer seperti IBM menyediakan bukti bahwa Microsoft mengirimkan surat bahwa mereka mengingatkan para pengusaha komputer untuk mendapatkan lisensi windows mewajibkan mereka untuk memasang internet exploler. Compaq juga meberikan bukti bahwa pada tahun 1996 6
Insan Budi Maulana, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UI, 2000), hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
perusahaannya
mengganti
internet
explorer
dari
beberapa
modelnya
dan
menggantinya dengan Netscape navigator. Microsoft merespon tindakan tersebut dengan mengancam akan menghentikan lisensi windowsnya. Karena ancaman penghentian lisensi tersebut, Compaq mengganti kembali netscape navigator dan memasang kembali internet explorer. Di sisi lain, Microsoft tidak menyangkal bahwa perusahaannya mewajibkan pembuat komputer untuk memasang internet explorer bersama-sama dengan windows. Microsoft kalah dalam kasus ini. 7 Demikian juga halnya dengan penerima lisensi di Indonesia, karena lemahnya posisi tawar pihak penerima lisensi di Indonesia menyebabkan pihak penerima lisensi ini mau tidak mau bersikap take it or leave it terhadap perjanjian lisensi Paten yang berisi pembatasan-pembatasan yang menghambat upaya penerima lisensi untuk menguasai teknologi yang dilisensikan tersebut. Pada akhirnya, harus diterima kenyataan bahwa sampai saat ini pihak dalam negeri penerima lisensi belum memperoleh perlindungan hukum yang memadai dalam perjanjian lisensi Paten. 8 Dengan melihat berbagai persoalan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis tertarik meneliti dan mengkaji dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia”.
7
H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hal. 530 s/d 532. 8 EdyWibowo, Peranan Hakim dalam Menyikapi Ketidak Seimbangan Posisi Tawar antara Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi dalam Perjanjian Lisensi Paten: Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun ke XXII No. 255, Februari 2007, hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Berdasarkan pemikiran yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah perlidungan hukum terhadap penerima lisensi Paten di Indonesia?
2.
Apakah yang menjadi hambatan-hambatan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap penerima lisensi Paten di Indonesia?
3.
Bagaimanakah penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa dalam perjanjian lisensi paten di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui perlidungan hukum yang diterima oleh penerima lisensi Paten di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap penerima lisensi Paten di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa dalam perjanjian lisensi paten di Indonesia?
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara
1. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum, khususnya mengenai hukum lisensi Paten di Indonesia. 2. Secara praktis sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum, khususnya bagi pihak yang berkepentingan tentang lisensi Paten.
E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada dan yang sedang dilaksanakan pada Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Tesis mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia”, belum pernah dilakukan hingga tesis ini ditulis dengan topik dan permasalahan yang sama.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah keseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling berkaitan. 9 Sedangkan kerangka teori merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui. 10
9
M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, (Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009), hal. 3. 10 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia, maka teori yang akan dipergunakan untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah teori itikat baik.
a.
Pembatasan Prinsip Kebebasan Berkontrak Dalam pandangan teori klasik, sesuai dengan konsep otonomi kehendak dan
kesucian kontrak, para pihak tetap terikat pada isi kontrak, sekalipun isi kontrak itu tidak patut. Maksim caveat emptor digunakan sebagai doktrin yang menyatakan bahwa suatu pihak dalam kontrak harus melindungi kepentingannya sendiri sebab hukum tidak memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan pihak itu. Hukum kontrak berjalan pada pijakan bahwa para pihak (sebagai individu) menjadi hakim yang terbaik bagi kepentingan dirinya. Dengan demikian, suatu pihak dalam kontrak dalam melaksanakan kehendak bebasnya harus menerima semua konsekuensi yang berkaitan dengan kontrak itu. 11 Berbicara mengenai asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh paham uitilitarianisme Jeremy Bentham, bahwa ukuran yang menjadi patokan dalam hubungannya dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa tidak seorangpun yang dapat bertindak bebas dapat dihalangi hanya karena memiliki bargaining position untuk dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhannya. Juga tidak seorangpun sebagai para pihak dalam suatu perjanjian dapat dihalangi 11
Ridwan Khairandy, Iktikat Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 111.
Universitas Sumatera Utara
untuk dapat bertindak bebas memenuhi hal tersebut, asalkan pihak yang lain dapat menyetujui syarat-syarat perjanjian itu sebagai hal yang patut diterima. 12 Namun Bentham lupa bahwa kekuatan posisi tawar (bargaining power) yang tidak sama antara para pihak dalam suatu perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengakibatkan ketidak seimbangan kedudukan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, sehingga pihak yang mempunyai posisi tawar yang kuat dapat menyalahgunakan kedudukannya dengan memaksakan kehendak melalui klausula-klausula dalam perjanjian yang cenderung merugikan pihak yang lemah kedudukannya. 13 Oleh karena itu, sering kali dikatakan bahwa di sana tidak ada persyaratan umum iktikat baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban kontraktual. Dalam perkembangannya saat ini, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Dengan adanya pergeseran tersebut, maka beberapa doktrin dalam hukum kontrak yang memiliki esensi keadilan, seperti iktikat baik yang sempat dikesampingkan teori hukum kontrak klasik mulai berkembang kembali. 14 Asas iktikat baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikat baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH
12
EdyWibowo, Ibid., hal. 76. Ibid. 14 Ridwan Khairandy, Ibid., hal. 126. 13
Universitas Sumatera Utara
Perdata yang mengharuskan perjanjian dilaksanakan dengan iktikat baik. 15 Dalam hubungannya dengan kebebasan berkontrak, Prinsip International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) bertujuan untuk mengharmonisasikan hukum kontrak komersial di negara-negara yang mau menerapkannya, sehingga materinya difokuskan pada persoalan yang dianggap netral. Dengan demikian, ruang lingkup yang diatur oleh prinsip International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) adalah kebebasan berkontrak. Dasar pemikirannya adalah bahwa apabila kebebasan berkontrak ini tidak diatur, maka dapat terjadi distorsi, tetapi sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat, maka akan kehilangan makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri. Oleh karena itu, International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROID) berusaha untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang diharapkan dapat memberikan solusi persoalan perbedaan sistem hukum dan kepentingan ekonomi lainnya. 16 Kebebasan berkontrak diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum, yaitu: 17 a. Kebebasan menentukan isi kontrak; b. Kebebasan menentukan bentuk kontrak; c. Kontrak mengikat sebagai undang-undang; d. Aturan memaksa (mandatory rules) sebagai perkecualian; e. Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) yang harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak. 15
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 5. 16 Mariam Darus badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Prikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 159. 17 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Peranan Iktikat Baik dalam Kebebasan Berkontrak Lisensi Paten merupakan perjanjian antara pemilik paten atau pemegang Paten sebagai pihak pemberi lisensi (licensor) dengan pihak lain penerima lisensi (licensee). Perjanjian ini berisi kesepakatan yang intinya bahwa licensor
memberikan
persetujuannya kepada licensee untuk melaksanakan sebagian atau seluruh haknya yang dilindungi Paten dengan imbalan sejumlah uang yang disebut royalti. 18 Suatu perjanjian melahirkan hubungan untuk para pihak agar mematuhinya. Isi perjanjian berupa suatu janji mengenai pengaturan tentang hak dan kewajiban. Hal itu terjadi karena adanya kesepakatan yang mengawali berlakunya asas keterikatan kepada jannji (pacta sunt servanda). Begitu juga dalam hal hubungan hukum kontrak lisensi paten. Sudah barang tentu prosesnya sama dengan apa yang terjadi pada hubungan hukum pada umumnya, yaitu dalam arti hak dan kewajiban yang mengikat para pihak. 19 Sistem lisensi ini tumbuh dalam praktek sesuai dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak sendiri serta mengikat mereka sebagai undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). 20 Karena perjanjian lisensi ini tidak dilarang, maka sesuai dengan sistem terbuka (open sijsteem) dari KUH Perdata, diperbolehkan adanya perjanjianperjanjian yang dibuat para pihak ini sekalipun tidak diatur dalam KUH Perdata, 18
Edy Wibowo, Ibid., hal. 75. Dewi Astutty Mochtar, Op. Cit., hal. 15. 20 Sudargo Gautama, Op. Cit., hal. 37. 19
Universitas Sumatera Utara
namun dalam praktek hukum hal tersebut berkembang dengan baik, misalnya perjanjian tentang beli sewa (huurkoop, hire purchase), leasing dan perjanjian trust. 21 Pada dasarnya perjanjian lisensi Paten dimungkinkan keberadaannya oleh hukum dengan adanya asas kebebasan berkontrak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (1). 22 Terlebih sebelum adanya Undang-undang Paten, asas ini menjadi pranata hukum utama yang menjadi rambu-rambu eksistensi perjanjian lisensi Paten. Secara umum, hukum perjanjian atau hukum kontrak di Indonesia, setidak-tidaknya sebagaimana terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undangundang Hukum Perdata dibangun di atas fondasi asas kebebasan berkontrak. 23 Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidak adilan. Kebebaan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah. 24 Bentham percaya kepada kebebasan berkontrak, dimana para pihak akan merundingkan apa yang terbaik baginya, keduanya berusaha memaksimalkan kesejahteraan di satu pihak dan kebahagiaan di pihak yang lain. Seperti Adam Smith, 21
Ibid. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 23 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Penerbit Alumni, 19992), hal. 179. 24 Ridwan Khairandy, Ibid., hal. 1. 22
Universitas Sumatera Utara
Jeremy Bentham sadar betul, bahwa para pihak tidak selalu mempunyai bargaining power yang sama dalam perundingan penyusunan kontrak. Pihak yang mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dapat saja mendikte isi kontrak untuk kepentingannya sendiri. 25 Beberapa teoritisi, seperti Grant Gilmore dan Brian Coote mendesak atau menuntut arus utama hukum kontrak yang secara radikal sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan praktik terakhir. 26 Sekarang, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yakni: 27 1. makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik, 28 dimana iktikat baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak; 2. makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence) 29 Pada abad dua puluh, seiring dengan terjadinya pergeseran kebebasan berkontrak kearah fairness, terjadi peningkatan perhatian para akademisi dan pengadilan kepada doktrin iktikat baik. 30
25
Ibid., hal. Xii. Ibid., hal. 111. 27 Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 2. 28 Iktikat baik adalah suatu tindakan atau perilaku yang diharapkan dari seorang yang terhormat atau jujur yang diminta dalam setiap bentuk transaksi. 29 Penyalahgunaan keadaan adalah bujukan, tekanan atau pengaruh tanpa kekuatan fisik atau nyata, yang lebih dari nasihat biasa, yang mempengaruhi pendapat atau kemauan pihak lain yang dikuasai sehingga tidak dapat bertindak secara bebas dan arif, tetapi bertindak sesuai dengan kemauan atau maksud pihak yang mempengaruhinya. 30 Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 3. 26
Universitas Sumatera Utara
Prinsip iktikat baik merupakan landasan utama dari setiap transaksi komersial. Prinsip ini harus melandasi seluruh proses kontrak mulai dari negoisasi sampai pelaksanaan dan berakhirnya kontrak. Pasal 1.7 Unidroit Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) menyatakan : 31 (1) “Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade; (2) The parties may not exclude or limit this duty”. Menurut “restatement” dari pasal tersebut ada 3 (tiga) unsur prinsip itikad baik dan transaksi jujur, yaitu : a.
Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak; b. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam Unidroit Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) ditekankan pada praktek perdagangan internasional; dan c. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa. 32 Seluruh Bab dari Unidroit Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) mengandung prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing). Yang berarti bahwa prinsip tersebut merupakan landasan utama dari hukum kontrak. Setiap pihak wajib menjunjung tinggi prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam keseluruhan jalannya kontrak mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai pada berakhirnya kontrak. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam kaitan dengan Unidroit Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) lebih ditekankan pada 31 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Prikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti;2001), hal. 167. 32 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
transaksi perdagangan internasional. Penekanan pada perdagangan internasional dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Institute International pour I’ Unification du Droit atau UNIDROIT ingin mengatur hubungan-hubungan hukum yang netral dan tidak dimaksudkan untuk menentukan standar yang dipakai dalam hukum nasional. Namun demikian, aturan itu dapat menjadi standar domestik jika negara-negara secara umum telah menerimanya. Aturan praktek bisnis dapat berbeda-beda untuk setiap sektor perdagangan tertentu. 33 Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Akan tetapi, Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 34 Konsep terbaru itikad baik dalam sistem common law Inggris dikemukan oleh Sir Anthony Mason dalam suatu kuliah di Universitas Cambridge pada 1993 yang menyatakan bahwa konsep itikad baik mencakup tiga doktrin yang berkaitan dengan: 1. Suatu kewajiban bagi para pihak untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan kontrak (kejujuran terhadap janji itu sendiri); 2. Pemenuhan standar perilaku terhormat; dan 3. Pemenuhan standard of contract yang masuk akal yang berkaitan dengan kepentingan para pihak. 35
33
Ibid., hal. 169.
34
Suharnako, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana Prenada,
2009), hal. 4. 35 Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal. 162.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya menurut Prof. R. Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya. Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam kontrak tersebut. 36 Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian. 37 Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi di mana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu. Menurut
teori
klasik
asas
itikad
baik
hanya
berlaku
pada
saat
penandatanganan dan pelaksanaan kontrak. Sebaliknya, menurut pandangan teori kontrak yang modern janji prakontrak harus didasarkan pada itikad baik. 38 Dalam hukum kontrak, iktikad baik memiliki tiga fungsi. Iktikad baik dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah (aanvuellende werking 36
Ibid.
37
Suharnaka, Ibid., hal. 4.
38
Ibid., hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
van de geode trouw). Fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van de geode trouw). 39 a.
Penafsiran Kontrak Harus Didasarkan pada Iktikad Baik Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk
menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Menurut Corbin, penafsiran atau interpretasi kontrak adalah proses di mana seseorang memberikan makna terhadap suatu simbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain. Simbol yang lazim digunakan adalah kata-kata baik satu persatu maupun kelompok, oral atau tertulis. Suatu perbuatan dapat juga menjadi simbol yang dapat dilakukan interpretasi. Menurut A. Joanne Kellermann, penafsiran kontrak adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya. Asas iktikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak. 40 Pada waktu yang lalu dianut pendapat baik di kalangan sarjana maupun peraturan perundang-undangan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan untuk sesuatu yang tidak jelas. Jika si kontrak telah jelas, maka tidak ada atau tidak diperlukan penafsiran. 41
39
Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 216. Ibid.,hal. 217. 41 Ibid. 40
Universitas Sumatera Utara
Sekarang ini dianut paham bahwa dalam penafsiran kontrak tidak lagi dibedakan antara isi kontrak yang jelas dan yang tidak jelas, bahkan terhadap katakata yang tampak jelas, dapat dilakukan penafsiran dengan mengarahkannya kepada kehendak para pihak atau keadaan khusus yang relevan untuk menentukan makna yang mereka maksud. 42 Selain ketentuan di atas, BW (lama) dan KUHPerdata Indonesia masih memberikan beberapa pedoman lagi dalam menafsirkan suatu kontrak. Dengan demikian, kontrak harus diberikan penafsiran yang paling sesuai dengan kehendak atau maksud para pihak, walaupun artinya harus menyimpang kata-kata dalam kontrak. Di sini terlihat bahwa teori kehendak (historis-psikologis) dijadikan dasar penafsiran kontrak. Penafsiran kontrak menurut ajaran ini tidak lain daripada menetapkan kehendak dari orang yang melakukan tindakan hukum. 43 Oleh karena itu, sangat logis jika kontrak-kontrak tertentu ditafsirkan sesuai dengan
ciri-ciri
khas
perjanjian
itu.
Kesemuanya
itu
dilakukan
dengan
memperhatikan kaitan janji satu dengan semua bagian perjanjian lainnya. Tanpa adanya ketentuan ini pun orang akan melakukan cara kerja seperti itu, karena katakata atau suatu tanda baru kelihatan maksudnya kalau ia dikaitkan dengan kata-kata atau tanda yang lain, bahkan dengan keseluruhan isi kontrak yang bersangkutan. Suatu kata yang berdiri sendiri dapat memiliki makna yang sangat berbeda dibanding
42 43
Ibid. Ibid., hal. 218
Universitas Sumatera Utara
jika ia merupakan bagian dari suatu rangkaian kata atau tanda. Penafsiran kontrak juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan setempat. 44 b.
Fungsi Iktikad Baik yang Menambah Dengan fungsinya yang kedua, iktikad baik dapat menambah isi suatu
perjanjian tertentu dan juga dapat menamba h kata-kata ketentuan undang-undang mengenai perjanjian itu. Fungsi yang demikian ini dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak. 45 c.
Fungsi Iktikad Baik yang Membatasi dan meniadakan Dalam fungsi iktikad baik yang ketiga adalah fungsi membatasi dan
meniadakan. Beberapa para pakar hukum sebelum perang dunia kedua berpendapat bahwa iktikad baik juga memiliki fungsi ini. Mereka mengajarkan bahwa suatu perjanjian tertentu atau syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar iktikad baik. 46 Sekarang masih ada pakar hukum yang menolak fungsi yang ketiga ini. Pihak yang menolak fungsi iktikad baik semacam ini menyatakan bahwa BW dan KUHP Perdata Indonesia tidak menganut iustum pretium. Dengan demikian ketentuan Pasal 44
Ibid., hal. 219. Ibid., hal. 229. 46 Ibid., hal. 231. 45
Universitas Sumatera Utara
1338 ayat (3) KUH Perdata (atau Pasal 1374 ayat (3) BW (lama) Belanda tidak dapat dipakai hakim untuk mengubah atau menghapus kewajiban yang muncul dari suatu perjanjian yang sejak semula mengandung prestasi dan kontra prestasi yang tidak seimbang. Jika hakim menggunakan pasal tersebut, maka sama dengan menyatakan bahwa KUH Perdata menuntut keseimbangan prestasi dan kontra prestasi untuk sahnya suatu perjanjian. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 jo. 1338 ayat (1) KUH Perdata. Memang harus diingat apa yang ditentukan Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa apa yang telah disepakati mengikat para pihak sebagai undang-undang pasal Pasal 1338 ayat (3) diterapkan pada pelaksanaann perjanjian. Jadi, pelaksanaan perjanjian telah dibuat secara sah. 47
2. Konsepsi Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. 48 Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum dan disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hokum. Konsep 47 48
Ibid., hal. 232. Soerjono Soekanto, , Op. Cit., hal. 132.
Universitas Sumatera Utara
adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 49 Di sini terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsep atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian. 50 Sebagai acuan dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini, perlu didefinisikan beberapa konsep dasar sebagai berikut: 1) Yang dimaksud dengan perlindungan hukum di sini merupakan penegakan hak yang diberikan oleh hukum kepada penerima lisensi Paten apabila kepentingan/haknya dilanggar oleh orang lain yang tidak berhak. 2) Lisensi merupakan pemberian kebebasan atau izin kepada orang lain untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya tidak boleh digunakan yang bersangkutan, misalnya untuk menggunakan penemuan yang dilindungi oleh Paten. Tanpa linensi orang lain itu tidak bebas dalam menggunakan penemuan tersebut, oleh karena penggunaannya semata-mata oleh pemegang oktroi yang diakui oleh undang-undang.
49 50
Sacipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 307. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 133.
Universitas Sumatera Utara
3) Pengertian Paten adalah hak istimewa yang diberikan oleh negara kepada inventor atas invensinya di bidang teknologi, yang selama jangka waktu tertentu berhak melaksanakan sendiri invensinya dan juga berhak untuk mengalihkan haknya tersebut kepada pihak lain. 4) Kontrak adalah suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih atau dimana keduanya saling mengikatkan diri untuk suatu objek tertentu. 5) Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan pihak mana mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan klausula perjanjian, dan kebebasan untuk menentukan jenis perjanjian. 6) Pacta sunt servanda adalah kesepakatan para pihak dalam suatu kontrak berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 7) Penyalahgunaan keadaan merupakan pengaruh dari salah satu pihak yang mempunyai posisi dominan tanpa kekuatan fisik, yang mempengaruhi pandangan atau kemauan pihak lain yang dikuasai sehingga tidak dapat bertindak secara bebas dan arif, tetapi bertindak sesuai dengan kemauan atau maksud pihak yang mempengaruhinya. 8) Iktikat baik adalah suatu tindakan jujur yang diharapkan dari para pihak dalam suatu transaksi.
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah yuridis normatif. Metode Penelitian hukum normatif
berdasarkan data sekunder dan menekankan pada
langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. 51 Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hu kum yang tertulis dalam buku (law as written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as is decided by the judge through judicial process). 52 1. Sifat Penelitian Adapun sifat penelitian ini, ialah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggabarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi pada suatu analisis terhadap perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia. 2. Sumber Data Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang didasarkan pada penelitian
kepustakaan
(library
research),
yang
dilakukan
dengan
menghimpun data-data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari: a. Bahan Hukum Primer, terdiri dari: 51
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003),
hal. 3. 52
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum Pada Majalah Akreditasi”, (Medan: Tanggal 18 Februari, 2003), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
1) Norma atau kaedah dasar 2) Peraturan dasar 3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Paten, lisensi, perjanjian dan peraturan-peraturan terkait lainnya. b. Bahan Hukum sekunder, antara lain: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan penelitian, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 53 3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), yaitu meneliti sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hhukum, artikelartikel, peraturan-perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya. Situs web juga menjadi bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
53
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Rajawali Pers, 1990), hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisa Data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung yang diperoleh, yaitu berupa data-data sekunder melalui penelitian kepustakaan (library research). Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif.
Universitas Sumatera Utara