BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Transportasi darat menjadi sistem transportasi terbesar dan paling mendapat perhatian karena aktivitas manusia pada umumnya dilakukan di darat. Transportasi darat memerlukan prasarana sebagai penunjang, salah satunya adalah jalan. Jalan memerlukan pemeliharaan untuk melayani kebutuhan transportasi. Kegiatan pemeliharaan jalan memiliki tujuan untuk mempertahankan kondisi jalan setelah selesai dibangun dan dioperasikan. Salah satu upaya dalam melakukan pemeliharaan jalan menurut Departemen Pekerjaan Umum dalam buku Pedoman Studi Kelayakan Proyek Jalan dan Jembatan adalah dengan menganalisis bentuk geometri dari jalan tersebut. Geometri jalan yang layak akan memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi pengguna. Superelevasi merupakan salah satu bagian dari geometri jalan. Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada lengkung horizontal (tikungan) yang bertujuan agar saat kendaraan melewati lengkung jalan tersebut bisa mengimbangi gaya sentrifugal (Saoudang, 2010). Jalan layang Jombor terletak di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jalan layang Jombor dibangun untuk mengurangi kepadatan dan kemacetan di perempatan Jombor. Selain itu, kawasan Jombor merupakan jalan nasional yang menjadi penghubung antar provinsi, yaitu Yogyakarta dan Jawa Tengah. Geometri jalan layang Jombor memiliki superelevasi dari arah Yogyakarta menuju ke arah Magelang. Volume kendaraan yang melintasi jalan tersebut terbilang ramai. As-built merupakan gambar hasil pelaksanaan pekerjaan yang telah selesai dikerjakan dari suatu proyek. Kesesuaian superelevasi di lapangan dengan superelevasi hasil pengerjaan (as-built) sangat penting karena menyangkut keselamatan saat berkendara melewati lengkung jalan tersebut. Superelevasi di lapangan bisa didapatkan dengan melakukan pengukuran jalan secara langsung. Ada dua metode pengukuran yaitu metode terrestrial dan ekstraterrestrial. Salah satu
1
2
pengukuran metode ekstrateristrial adalah pengukuran dengan GNSS. Prinsip pengukuran GNSS adalah menentukan posisi dengan menggunakan satelit. Teknologi GNSS dapat dioperasikan lebih mudah dan cepat. Hasil pengukuran GNSS langsung terikat dalam sistem koordinat global. Proses pengukuran dapat dilakukan siang maupun malam hari, dan dalam segala kondisi cuaca (Abidin, 2000). Teknologi GNSS kemudian dikembangkan agar bisa mendapatkan data setiap saat (real time) yang dikenal dengan metode Real Time Kinematik (RTK). Penentuan posisi dengan metode RTK menawarkan hasil yang lebih cepat karena perhitungan dilakukan sesaat pada saat pengukuran. Metode Real Time Kinematik (RTK) Radio memerlukan gelombang radio sebagai media pengiriman data koreksi. Proses koreksi akan memberikan solusi pengukuran yang lebih baik. Pengukuran menggunakan metode ekstraterrestrial lebih unggul dibandingkan dengan metode terrestrial. Menurut Kizil (2011) pengukuran metode ekstraterrestrial dengan RTK-GPS tidak hanya praktis dan cepat, tetapi juga menghasilkan peta yang lebih akurat dibanding pengukuran metode terrestrial dengan Total Station. Keselamatan dalam berkendara menjadi hal yang perlu diperhatikan. Superelevasi merupakan salah satu hal penting dalam menunjang keselamatan berkendara. Geometri jalan layang Jombor dari arah Yogyakarta menuju ke arah Magelang memiliki aspek superelevasi. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian untuk mengevaluasi kondisi superelevasi jalan layang Jombor jika dibandingkan dengan superelevasi hasil pengerjaan (as-built). Superelevasi jalan layang Jombor bisa ditentukan dengan pengukuran menggunakan GNSS RTK-Radio yang melakukan pengukuran secara praktis, cepat dan akurat.
I.2. Identifikasi Masalah Superelevasi merupakan salah satu aspek yang penting dari jalan. Superelevasi memberikan kenyamaan dan keamaan bagi pengendara saat melewati lengkung horizontal. Evaluasi kondisi superelevasi dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran di lapangan. GNSS RTK-Radio yang bisa melakukan pengukuran secara praktis, cepat dan akurat dapat digunakan sebagai media pengukuran. Pengevaluasian kondisi superelevasi dilakukan dengan membandingkan kesesuaian terhadap data hasil pengerjaan. Gambar as-built merepresentasikan data hasil pekerjaan.
3
I.3. Pertanyaan Penilitian Berdasarkan perumusan masalah, pertanyaan pada penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana pengukuran superelevasi jalan menggunakan GNSS RTK-Radio?
2.
Berapa nilai superelevasi hasil pengukuran menggunakan GNSS RTK-Radio?
3.
Bagaimana nilai jari-jari lengkung jalan hasil pengukuran menggunakan GNSS RTK-Radio jika dibandingkan nilai jari-jari dari gambar as-built?
4.
Bagaimana superelevasi hasil pengukuran menggunakan GNSS RTK-Radio jika dibandingankan dengan superelevasi dari gambar as-built?
I.4. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1.
Pengukuran yang dilakukan bukan proses stake out gambar as-built. Sehingga titik hasil pengukuran tidak tepat dengan titik yang ada di gambar as-built.
2.
Superelevasi yang diukur hanya komponen horizontal dari jalan.
3.
Pengukuran gambar as-built superelevasi jalan dilakukan pada malam hari.
4.
Superelevasi yang akan dievaluasi adalah superelevasi dari gambar as-built pada proyek jalan layang Jombor Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga DIY.
I.5. Tujuan Penelitian Kegiatan penelitian yang dikerjakan ini bertujuan untuk : 1.
Penerapan teknologi GNSS RTK-Radio dalam pengukuran dan evaluasi superelevasi dari gambar as-built.
2.
Pembuatan peta penampang superelevasi jalan layang Jombor menggunakan GNSS RTK-Radio.
3.
Pengevaluasian nilai jari-jari lengkung jalan hasil pengukuran GNSS RTKRadio jika dibandingkan dengan superelevasi dari gambar as-built
4.
Pengevaluasian kondisi superelevasi di lapangan hasil pengukuran GNSS RTKRadio jika dibandingkan dengan superelevasi dari gambar as-built.
4
I.6. Manfaat Manfaat dari kegiatan penelitian adalah agar dapat diketahui tahapan akuisisi, pengolahan dan pemrosesan data hasil pengukuran superelevasi jalan dengan GNSS RTK-Radio. Hasil pengukuran digunakan untuk mengevaluasi superelevasi dari gambar as-built. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu lembaga terkait untuk mengevaluasi, mengelola dan mengembangkan jalan layang Jombor, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
I.7. Tinjauan Pustaka Taşçi (2004) mengaplikasikan GPS RTK-Radio dalam stake out jalan. Titik yang distake out merupakan titik-titik yang merepresentasikan cross section dari jalan. Koordinat titik didapatkan dari peta topografi skala 1/1000 via software CAD. Hasil yang didapatkan ada perbedaan antar titik H yang cukup besar. Berbeda dengan komponen horizontal (ΔX, ΔY) yang hampir tidak memiliki perbedaan. Perbedaan dari H disebabkan datum peta topografi dan GPS yang berbeda. Semua poin dapat di stake out dengan ketelitian 2 cm untuk horizontal dan 3 hingga 4 cm untuk vertikal. Pirti (2008) melakukan evaluasi GPS RTK dalam mengontrol geometri jalan. Ada 230 titik yang diuji. Terlebih dahulu 230 titik tersebut diukur menggunakan Total Station Topcon GTS-701 dan Waterpas Topcon DL 102. Selanjutnya pengukuran dibandingkan Ashtech Z Max GPS receiver dengan modem radio UHF 2 watt. Hasil uji didapatkan perbedaan horizontal dan vertikal masing-masing titik pada kisaran 0 hingga 5 cm dengan standar deviasi easting (Y), northing (X), dan Tinggi (H) adalah ± (6 hingga 7) mm. Ketelitian vertikal RTK GPS umumnya lebih rendah dari ketelitian horizontal. Oleh karena itu, apabila suatu proyek pembangunan jalan raya yang sangat mempertimbangkan ketelitian vertikalnya maka alat yang disarankan untuk mengukur komponen vertikal adalah waterpas. Abbasghorbani (2015) melakukan evaluasi kondisi superelevasi dengan metode Road Surface Profiler (RSP). GPS memang memberikan hasil keakuratan yang tinggi namun susah jika penelitian dilakukan jalan perkotaan yang memiliki volume kendaraan banyak. Sistem kerja RSP adalah sebuah kotak yang akan memancarkan tujuh buah laser kebawah dan dua accelerometer. Kotak tersebut diletakkan di depan mobil dan akan mengukur profile dari jalan yang dilewati mobil tersebut. RSP
5
dilengkapi dengan GPS untuk menentukan posisi. Hasil pengukuran RSP menunjukkan keakurasian RSP dalam menghitung jari-jari kurva dengan nilai radius hasil hitung 1.515 m dan radius desain 1.500 m. Perbandingan superelevasi yang dihasilkan dari RSP dengan nilai yang dirancang pun tidak ada perbedaan dengan nilainya 3,5%. Fahlifie (2007) melakukan evaluasi pada perencanaan geometrik jalan alternatif Waduk Darma Kabupaten Kuningan. Data yang digunakan untuk analisis adalah data dari PT INDEX & Associates Limited selaku konsultan proyek perencanaa jalan alternatif Waduk Darma. Data dari konsultan digunakan untuk perhitungan rencana parameter lengkung. Hasil analisis menunjukkan tiga lengkung horizontal yang didesain konsultan dalam bentuk Full Circle tidak memenuhi peraturan Bina Marga karena superelevasi menunjukkan nilai lebih dari 4%. Superelevasi lengkung Full Circle harus kurang dari 3%. Sementara lengkung vertikal yang direncanakan konsultan sudah sesuai dengan peraturan Bina Marga. Arbaiyah (2013) melakukan analisis geometrik tikungan padangluhong di kelurahan Pasir Pengairan, kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, provinsi Riau. Analisis yang dilakukan menggunakan data hasil pengukuran menggunakan teodolit dan peta rawan kecelakaan dari Polsek Pasir Pengairan. Hasil pengukuran teodolit digunakan untuk visualisasi keadaan sekarang dalam Autocad 2007 dan menghitung parameter-parameter tikungan. Pada wilayah tersebut memiliki dua tikungan. Hasil pengukuran menunjukkan superelevasi pada tikungan satu sebesar 14,7% sedangakan pada tikungan dua sebesar 11,11%. Nilai superelevasi hasil pengukuran menunjukkan tikungan padangluhong belum memenuhi kriteria perencanaan yang ditetapkan oleh Bina Marga. Nilai superelevasi hasil pengukuran melebihi standar. Bolla (2014) melakukan analisis geometrik ruas jalan Batuputih – batas kota Soe KM 96+100 – 98+600. Data primer yang digunakan berupa data topografi dan elemen geometrik jalan eksisting hasil pengukuran menggunakan rollmeter, digital theodolite, GPS dan waterpas. Sedangkan data sekunder berupa Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga, September 1997. Hasil pengukuran diproses menggunakan aplikasi Autocad Civil 3D 2013. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis, kondisi geometrik ruas jalan Batuputih –
6
batas kota Soe km. 96+400 s/d km. 98+600 tidak sesuai standar Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota. Elemen alinemen horizontal hanya 27.317% bagian yang memenuhi syarat. Elemen alinemen vertikal hanya 49.084% bagian yang memenuhi syarat. Banyak bagian ruas yang memiliki superelevasi di atas 10 %. Ananda (2014) melakukan evaluasi terhadap perencanaan geometri untuk ruas jalan Lubuk Sakat – Teluk Petai, Kabupaten Kampar. Lokasi evaluasi pada KM 2 hingga KM 4,8. Data yang digunakan adalah data sekunder dari konsultan perencana. Data tersebut berupa gambar rencana pelaksanaan dan data hasil perhitungan perencanaan. Data tersebut akan dibandingkan dengan buku petunjuk perancaan geometrik antar kota yang dikeluarkan Dirjen Bina Marga DPU (1997). Hasil analisis membuktikan, PI20, PI21, PI29, dan PI33 yang pada perencanaan berbentuk Full Circle ternyata tidak sesuai dengan buku petunjukan dari Dirjen Bina Marga DPU. Bentuk lengkung seharusnya adalah Spiral Circle Spiral (SCS). Alinemen vertikal yang telah dievaluasi menunjukkan kecepatan rencana sebesar 50 Km/jam dan kelandaian maksimum 8 %.
I.8. Landasan Teori I.8.1. Gambar As-built As-built didefinisikan sebagai gambar hasil pelaksanaan pekerjaan yang telah dikerjakan dari suatu proyek (Anonim, 2008). Gambar yang dihasilkan dapat berupa hardcopy dan digital dengan menggunakan skala sesuai ketentuan. Tujuan dari as-built adalah untuk memperoleh satu bentuk standar gambaran otentik mengenai proyek yang telah dikerjakan kepada pihak tekait. Hasil gambaran pelaksanaan nantinya digunakan sebagai bahan pemeliharaan, evaluasi dan penanganan masalah yang terjadi jika hasil yang telah dikerjakan tidak sesuai dengan rencana. Perubahan cakupan pekerjaan bisa terjadi pada proyek konstruksi dikarenakan beberapa hal seperti desain yang dimodifikasi, ketersedian material, kondisi tempat yang berbeda, permintaan perubahan dari kontraktor, dll. Perubahan-perubahan yang terjadi biasanya tercantum dalam kontrak dokumen tak terkecuali perubahan desain dari desain awal yang sudah dibuat. Dokumen hasil perubahan desain dinamakan gambar as-built (Pettee, 2005).
7
Gambar as-built memiliki peran penting dalam bidang pekerjaan kontraktor. Gambar as-built merepresentasikan hasil akhir dari proyek yang telah dikerjakan. Gambar as-built sangat dibutuhkan apabila akan ada pekerjaan lain di tempat yang sama (Pettee, 2005). Pekerjaan as-built bertujuan untuk mendokumentasi setiap perubahan dari desain asli/awal. Menurut Peeta (2005) gambar as-built memiliki empat peran penting: 1.
Gambar as-built menjadi sumber informasi yang menggambarkan keadaan terkini dan perubahan yang terjadi selama pekerjaan berlangsung. Gambar asbuilt tidak hanya catatan tentang apa yang telah dilakukan, tetapi juga rencana dari kontraktor untuk tahap pekerjaan selanjutnya. Sehingga tidak ada pekerjaan yang akan tertinggal.
2.
Gambar as-built menjadi catatan resmi dari kontraktor untuk membuktikan konstruksi yang telah dibangun. Setelah itu gambar dapat digunakan oleh pemilik sebagai referensi selama masa kerja perbaikan. Gambar as-built dapat digunakan pemillik untuk merencanakan perubahan atau perluasan.
3.
Gambar as-built menjadi demolition drawings ketika perbaikan tidak lagi diperlukan. Apabila suatu konstruksi akan dihancurkan maka gambar as-built dibuat sebagai acuan proses pembongkaran konstruksi tersebut. Gambar as-built digunakan untuk menentukan bagian mana yang harus dihancurkan dan tidak dihancurkan.
4.
Gambar as-built memberikan informasi penggunaan tanah. Misalnya, selama pekerjaan konstruksi ada sebuah objek tak terduga dijumpai, didalam gambar asbuilt tidak terdapat objek tersebut, maka objek tersebut dianggap tidak digunakan dan harus dihancurkan. Gambar as-built jalan terdiri atas beberapa aspek, mulai alinyemen horizontal,
alinyemen vertikal, penampang melintang dan struktur perkerasan. Penelitian penulis berfokus pada penentuan kondisi superelevasi yang termasuk dalam aspek penampang melintang. Perkembangan teknologi GNSS memungkinkan surveyor untuk melakukan pengukuran gambar as-built dengan biaya yang terjangkau. GNSS metode RTK (Real Time Kinematic) akan efektif apabila digunakan untuk pengukuran gambar as-built
8
jalan layang karena visibilitas dari satelit tidak akan terganggu oleh bangunan ataupun pohon (Jeyapalan dan Bhagawati, 2000).
I.8.2. Geometri Jalan Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 19/PRT/M/2011, jalan adalah prasarana transportasi darat meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas. Jalan umum yang selanjutnya disebut jalan adalah jalan yang diperuntukan bagi lalu lintas umum. Bentuk geometri dari jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga jalan tersebut dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pengguna jalan. Fungsi geometri jalan yang baik adalah untuk menciptakan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas serta memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan (Anonim, 1997). Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-batasan dan metode perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi persyaratan. Standar perencanaan geometri untuk ruas jalan di Indonesia biasanya menggunakan peraturan resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tentang perencanaan geometri jalan raya. I.8.2.1. Perencanaan bentuk geometri jalan. Perencanaan geometri jalan merupakan salah satu bagian dari perencanaan jalan yang dititikberatkan pada perencanaan bentuk fisiknya. Desain fisik jalan raya terdiri atas garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri atas busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan atau busur peralihan saja ataupun busur lingkatan saja (Saodang, 2010). Peralihan antara garis lurus ke bagian lengkung lalu ke garis lurus lagi didesain sesuai kecepatan terencana (VR) agar memberi keamanan dan kenyamanan bagi pengendara (Kavanagh, 2010). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR.
9
Gambar I.1 Geometri lengkung jalan (Kavanagh, 2010) dalam hal ini: BC
= Beginning curve (titik awal lengkung)
EC
= End curve (titik akhir lengkung)
T
= Tangent (jarak BC ke PI)
PI
= Point of interest (titik pertemuan antara dua garis lurus)
L
= Length (panjang garis lengkung)
Δ
= Sudut defleksi
R
= Jari-jari lengkung Pada gambar I.1 menunjukkan dua garis lurus bergabung yang dihubungkan
dengan garis lengkung. Titik dimulainya perubahan dari garis lurus menjadi lengkung dinamankan beginning of curve (BC). BC berjarak sejauh subtangent (T) ke titik point of intersect (PI). PI adalah titik pertemuan antara dua garis lurus. Panjang garis lengkung (L) bergantung pada sudut defleksi (Δ) dan besarnya jari-jari lengkung (R). Titik O merupakan titik pust lengkungan. Titik bergantinya dari garis lengkung ke garis lurus lagi dinamakan end of curve (EC). Sudut lengkungan BC (PI-BC-EC) merupakan setengah sudut defleksi (Δ/2) dan sudut pusat O sebesar sudut defleksi (Δ). Banyak istilah untuk merepresentasikan titik BC dan EC mulai dengan nama point of curve (PC) dan point of tangency (PT), lalu ada tangent to curve (TC) dan curve to
10
tangent (CT). Pada pengukuran di lapangan besaran yang diketahui biasanya hanya nilai sudut defleksi (Δ) dan yang bergantung pada kecepatan terencana (VR). Suatu jalan memang terdiri atas garis lurus yang dihubungkan dengan lengkungan. Namun, sebuah lengkungan tidak sepenuhnya memiliki R yang seragam sehingga menciptakan lengkung lingkaran yang menyerupai garis busur (lingkaran). Terkadang dibutuhkan lengkung yang mempunyai R tak hingga sehingga akan menghasilkan garis busur yang tidak terlalu tajam. Hal semacam ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan arah dari jalan lurus ke lengkungan yang terlalu mendadak. Lengkung jenis ini dinamakan lengkung peralihan (spiral). Lengkung peralihan (spiral) adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari jari tetap R. Lengkung spiral berfungsi untuk mengantisipasi perubahan geometri jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap (R). Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di lengkungan berubah secara berangsur-angsur akibat adanya lengkung spiral. Kondisi ini terjadi baik ketika kendaraan mendekati lengkungan maupun meninggalkan lengkungan (Anonim, 1997). Bentuk lengkungan ini dinamakan juga lengkung SCS (Spiral-Circle-Spiral).
Gambar I.2 Lengkung spiral-cirlce-spiral (Kavanagh, 2010) Pada gambar I.2 terlihat bahwa lengkung spiral disisipkan antara garis lurus dengan lengkung lingkaran. Pada awal lengkung spiral (T.S.) jari-jari lengkungannya sebesar tak hingga seperti garis lurus. Jari-jari ini berkurang secara linier hingga tepat
11
pada titik akhir lengkung spiral (S.C.). Lengkung spiral memiliki penurunan jari-jari yang seragam sehingga bentuk perubahan dari lurus ke lengkungan tidak terlalu mendadak. Hal ini memungkinkan pengguna jalan bisa meninggalkan jalan lurus dan masuk ke lengkungan dengan kecepatan yang relatif sama saat berkendara tanpa terkendala keamanan dan kenyamanan.
Es
Gambar I.3 Geometri lengkung spiral (Kavanagh, 2010) dalam hal ini: T.S = Tangent to spiral (titik perpindahan dari garis lurus ke lengkung spiral) S.C = Spiral to curve (titik perpindahan dari lengkung spiral ke lingkaran) C.S = Curve to spiral (titik perpindahan dari lengkung lingkaran ke spiral) S.T = Spiral to tangent (titik perpindahan dari lengkung spiral ke garis lurus) TS = Spiral tangent (jarak T.S ke PI) X
= jarak lurus T.S ke S.C
Y
= jarak dari titik di garis lurus yang tegak lurus ke titik S.C
LT = Long tangent (jarak T.S le SPI) ST = Short tangent (jarak lurus dari titik SPI ke S.C) LS = Length of spiral (panjang lengkung spiral) LC = Length of curve (panjang lengkung lingkaran) q
= absis dari T.S pada garis lurus spiral
12
p
= pergeseran garis lurus terhadap lengkung spiral
TC = jarak CPI ke SPI CPI = circular curve tangent PI = titik pertemuan antara dua garis lurus L
= panjang T.S ke S.T (panjang lengkungan) Menurut Kavanagh (2010) empat parameter penting untuk perhitungan spiral
dapat diproleh dari hal berikut: 1.
Δ ditentukan di lapangan
2.
R atau D ditentukan berdasarkan desain (mengacu pada kecepatan terencana)
3.
Penempatan PI ditentukan di lapangan
4.
LS ditentukan berdasarkan kecepatan terencana dan jalur yang dipakai
Sementara untuk parameter-parameter penyusun lengkung spiral lainnya dapat dicari berdasarkan empat parameter penting tersebut: 𝐿 2
𝑆 𝑋 = 𝐿𝑆 (1 − 40𝑅 2 ) ……………………………………………………………..
𝑌=
𝐿𝑆 2 6𝑅
…………………………………………………………………………
𝐿
∆𝑆 = 2𝑅𝑆 𝑟𝑎𝑑, atau ∆𝑆 =
90𝐿𝑆
(I.1) (I.2)
𝑑𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 …………………………………………..
(I.3)
𝑝 = 𝑌 − 𝑅(1 − cos ∆𝑆 ) ………..………………………………………………
(I.4)
𝜋𝑅
𝐿 3
𝑆 𝑞 = 𝐿𝑆 − 40𝑅 2 − 𝑅 sin ∆𝑆 ……..………………………………………………
1
𝑇𝑆 = (𝑅 + 𝑝) tan(2 ∆) + 𝑞 ………………………………………………….... 𝐿𝐶 =
(∆−2∆𝑆 )
(I.5) (I.6)
𝜋 𝑅 ………………………………………………………………
(I.7)
𝐿 = 𝐿𝐶 + 2𝐿𝑆 ………………………………………………………………….
(I.8)
180
1
𝐸𝑆 = (𝑅 + 𝑝) sec(2 ∆) − 𝑅 …………………………………………………….
(I.9)
I.8.2.2. Pemberian nomor rencana jalan (stationing). Penomoran (stationing) panjang jalan adalah memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Stationing seting disingkat dengan STA. STA jalan dibutuhkan agar mengenali lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk lokasi suatu tempat. Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan perencanaan. Nomor STA ditulis dengan aturan STA.XXX+YYY, di mana XXX adalah satuan kilometer dan YYY satuan meter. STA jalan dimulai dari 0+000 m yang
13
berarti 0 km dan 0 meter dari awal pekerjaan. STA 10+550 berarti lokasi jalan terletak pada jarak 10 km dan 250 meter dari awal pekerjaan. Pada lengkungan, penomoran dilakukan pada setiap titik penting seperti titik BC dan EC (Sukirman, 1999). Penomoran STA menururt Anonim (1997) ditetapkan sebagai berikut: 1.
Pada bagian jalan yang lurus STA dibubuhkan untuk setiap 50 meter.
2.
Pada bagian jalan yang lengkung STA dibubuhkan untuk setiap 20 meter.
3.
Penulisan STA pada gambar dilakukan disebelah kiri dari arah kilometer kecil ke kilometer besar. I.8.2.3. Penampang memanjang dan melintang jalan. Penampang memanjang
adalah irisan tegak pada lapangan dengan mengukur jarak dan beda tinggi titik-titik di atas permukaan bumi (Bagus, 2015). Profil memanjang digunakan untuk melakukan pengukuran yang memiliki jarak antar titik-titik yang jauh, sehingga dikerjakan secara bertahap beberapa kali. Karena panjang yang jauh, skala vertikal yang digunakan dibuat berbeda dengan skala horizontalnya. Penampang memanjang digunakan untuk pekerjaan membuat trace jalan kereta api, jalan raya, saluran air, pipa air minum, dan sebagainya. Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan secara melintang tegak lurus sumbu jalan (Sukirman, 1999). Arah profil melintang di setiap stasiun umumnya diambil tegak lurus terhadap sumbu proyek, dalam lengkung jalan sumbu proyek adalah titik pusat dari lengkung tersebut.
I.8.3. Superelevasi Jalan Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di lengkungan jalan yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui lengkungan tersebut (Sukirman, 1999). Superelevasi dari penampang melintang jalan lurus dan faktor gesekan saat mobil melintas adalah dua komponen penting dalam mendesain suatu jalan. Superelevasi biasanya berkaitan dengan kenaikan elevasi dari tepi dalam menuju tepi luar. Sebagai contoh nilai superelevasi 10% berarti elevasi suatu jalan meningkat setinggi 1 ft untuk setiap 10 ft lebar jalan. Sedangkan faktor gesekan berkaitan dengan nilai koefisien gesekan antara ban dengan jalan raya (Anonim, 2001).
14
Gambar I.4 Gaya yang terjadi pada lengkung jalan (Sukirman, 1999) dalam hal ini: 𝐺
= Berat kendaraan yang melintas (kg)
𝛼
= Sudut kemiringan lengkung jalan
𝐹𝑠
= Gaya gesekan antara ban dan permukaan jalan
𝑔
= Gaya gravitasi (9,81 m/det2)
𝑉
= Kecepatan kendaraan (km/h)
𝑅
= Jari-jari lengkung jalan (m)
𝑓
= Koefisian gesek perkerasan aspal (0,012 sampai 0,017)
𝑒
= Superelevasi (%) Apabila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tetap pada lintasan
berbentuk lengkung, maka pada kendaraan bekerja gaya kecepatan dan gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal mendorong kendaraan secara radial keluar dari jalur jalannya, berarah tegak lurus terhadap gaya kecepatan. Gaya ini menimbulkan rasa tidak nyaman kepada pengemudi. Agar dapat mempertahankan kendaraan pada sumbu lajur jalan yang tetap, maka perlu adanya gaya lain yang mengimbangi yaitu kemiringan melintang permukaan jalan. Pada gambar I.4 menggambarkan gaya-gaya yang terjadi pada lengkung jalan tersebut. Persamaan gaya-gaya yang terjadi tersebut adalah: 𝐺 𝑉2
𝐺 sin 𝛼 + 𝐹𝑠 = 𝑔
𝑅
cos 𝛼 …………………………………………………… (I.10) 𝐺 𝑉2
𝐺 sin 𝛼 + 𝑓 (𝐺 cos 𝛼 + 𝑔
𝑅
𝐺 𝑉2
𝐺 sin 𝛼 + 𝑓 𝐺 cos 𝛼 = 𝑔 sin 𝛼
𝐺 𝑉2
𝐺 cos 𝛼 + f G = 𝑔 𝑒 = tan 𝛼
𝑅
𝑅
𝐺 𝑉2
sin 𝛼 ) = 𝑔
𝑅
cos 𝛼
…………………………… (I.11)
(cos 𝛼 − 𝑓 sin 𝛼) ………………………………… (I.12)
(1 − 𝑓 tan 𝛼) …………………………………………… (I.13)
15
𝐺 𝑉2
𝐺(𝑒 + 𝑓) = 𝑔 𝑒+𝑓
𝑉2
= 𝑔𝑅 1−𝑒𝑓
𝑅
(1 − 𝑒𝑓) ……………………………………………………. (I.14)
…………………………………………………………………… (I.15)
Karena nilai 𝑒𝑓 kecil, maka diabaikan, sehingga: 𝑒+𝑓 =
𝑉2 𝑔𝑅
…………………………………………………………………. (I.16)
bagian lurus bagian lengkung peralihan
bagian lingkaran penuh
bagian lengkung bagian lurus peralihan
sisi luar tikungan
emax
TS
e = 0%
SC
CS
ST
enormal sisi dalam tikungan
Gambar I.5 Pencapaian superelevasi pada tikungan SCS (Anonim, 1997) dalam hal ini emax
= Superelevasi maksimum
enormal
= Superelevasi normal Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada
bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian lengkung. Pada gambar I.5 pencapaian superelevasi dilakukan secara linear diawali bentuk normal pada bagian lurus sampai awal lengkung peralihan penampang stasiun TS lalu dilanjutkan sampai elevasi penuh pada akhir bagian lengkung penampang melintang stasiun SC. Perubahan elevasi yang signifikan berubah baik pada sisi dalam tikungan maupun sisi luar tikungan. Hal ini dimaksudkan agar kendaraan bisa melewati lengkungan itu dengan aman dan mengimbangi gaya sentrifugal yang terjadi. Superelevasi sering digambarkan dengan sebuah diagram yang disebut diagram superelevasi. Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi dari lereng normal ke superelevasi penuh, sehingga dapat ditentukan bentuk penampang melintang pada setiap titik lengkung yang direncanakan. Diagram superelevasi digambar berdasarkan elevasi sumbu jalan sebagai garis nol. Diagram superelevasi ini
16
mewakilkan nilai-nilai yang terdapat pada gambar tikungan sesungguhnya. Seperti awal dan akhir lengkung, panjang lengkung (Ls), kemiringan sisi jalan (e), dan sumbu utama jalan. emaks
Sumbu jalan e = (+)
Beda tinggi
e = (-) emin
Gambar I.6 Kemiringan melintang pada lengkungan belok kanan Pada gambar I.6 menjelaskan bahwa nilai superelevasi diberi tanda (+) jika elevasi sumbu jalan lebih rendah daripada elevasi tepi perkerasan. Sebaliknya Nilai superelevasi diberi tanda (-) jika elevasi sumbu jalan lebih tinggi daripada elevasi tepi perkerasan (Sukirman, 1999) Sumbu jalan
emaks e = (+) Beda tinggi
e = (-) emin
Gambar I.7 Kemiringan melintang pada lengkungan belok kiri Nilai superelevasi dapat dicari dengan data elevasi tepi perkerasan dan elevasi sumbu jalan. Arbaiyah (2013) menuliskan rumus perhitungan nilai superelevasi hasil pengukuran elevasi di lapangan: e=
(elevasi bahu luar − elevasi bahu dalam) lebar jalan
x 100 % ……………………………. (I.17)
Lebar jalan dapat dihitung menggunakan koordinat dengan rumus: 𝐷 = √(𝑥2 − 𝑥1 )2 + (𝑦2 − 𝑦1 )2 + (𝑧2 − 𝑧1 )2 ………………………………. (I.18) dalam hal ini: e
= Nilai superelevasi
𝐷
= Jarak
𝑥1
= Posisi X titik 1
𝑥2
= Posisi X titik 2
𝑦1
= Posisi Y titik 1
17
𝑦2
= Posisi Y titik 2
𝑧1
= Posisi Z titik 1
𝑧2
= Posisi Z titik 2
Nilai e (+) pada gambar I.6 dapat dicari dengan menggunakan elevasi sumbu jalan dan tepi perkerasan kanan. Nilai e (-) dapat dicari menggunakan elevasi sumbu jalan dan tepi perkerasan kiri. Gambar I.7 bisa dicari dengan cara yang sama seperti gambar I.6. Penggambaran diagram superelevasi menurut Saodang (2010) ada tiga cara: 1.
Sumbu jalan sebagai sumbu putar. BAGIAN JALAN SEPANJANG LENGKUNG PERALIHAN
BAGIAN JALAN YANG LURUS
BAGIAN JALAN PADA BUSUR LENGKUNG SC
IV III
II
I
+e = SUPERELEVASI TEPI LUAR
}
TS
SUMBU JALAN SUMBU PUTAR
2e
LERENG NORMAL = en I
II
en
0
POT I - I
III
en
en
POT II – II
POT III – III
-e
TEPI DALAM
IV
e POT IV – IV
Gambar I.8 Diagram superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar (Sukirman, 1999) dalam hal ini: I
= Potongan penampang melintang bagian I (jalan lurus)
II
= Potongan penampang melintang bagian II (peralihan jalan lurus ke lengkung spiral)
III
= Potongan penampang melintang bagian III (lengkung spiral)
IV
= Potongan penampang melintang bagian IV (peralihan lengkung spiral ke lengkung lingkaran)
Bentuk diagram ini digunakan pada jalan tanpa median (pemisah jalur pada jalan) seperti gambar I.8. Metode ini tidak mengganggu perencanaan penampang memanjang jalan yang bersangkutan. Ada 4 tipe penampang melintang dalam diagram superelevasi tersebut:
18
en POT I - I Gambar I.9 Penampang melintang potongan I Pertama, seperti ditunjukan pada gambar I.9 penampang melintang ini berada pada bagian jalan yang lurus. Superelevasi yang terbentuk hanya superelevasi (-) dengan nilai superelevasi normal (en). 0
en POT II - II
Gambar I.10 Penampang melintang potongan II Tipe kedua seperti gambar I.10. Pernampang melintang ini berada pada perpotongan antara jalan lurus dengan lengkung spiral. Nilai superelevasi pada bagian salah satu sisi bernilai 0% sedangkan pada sisi yang lain bernilai superelevasi normal (en). en POT III - III Gambar I.11 Penampang melintang potongan III Ketiga, tergambarkan seperti gambar I.11. Penampang melintang ini menggambarkan bentuk irisan dari bagian jalan yang berada pada lengkung spiral. Superelevasi baik (+) dan (-) bernilai superelvasi normal (en). e POT IV - IV Gambar I.12 Penampang melintang potongan IV Keempat, bentuk penampang melintang seperti gambar I.12. Penampang melintang ini menggambarkan profil perpotongan antara lengkung spiral dengan lengkung lingkaran. Superelevasi yang terbentuk baik (+) maupun (-) bernilai superelevasi maksimum.
19
2.
Tepi perkerasan jalan sebelah dalam sebagai sumbu putar. ELEVASI SUMBU JALAN IV II
I
III0
III
TEPI LUAR SUMBU JALAN SEBENARNYA SUMBU JALAN PADA BAGIAN LURUS
I
III0
III
II
e1
e2
TEPI DALAM = SUMBU PUTAR
e
Gambar I.13 Diagram superelevasi dengan tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar (Sukirman, 1999). Metode ini memberikan keuntungan dalam keperluan drainase jalan dan estetis jalan yang bersangkutan. Elevasi sumbu jalan berubah kedudukannya dilihat dari kondisi jalan lurus. 3.
Tepi perkerasan jalan sebelah luar sebagai sumbu putar.
I
ELEVASI SUMBU JALAN II
III
IV
}
2e
I II III
IV
SUMBU JALAN BAGIAN LURUS TEPI LUAR SUMBU JALAN TEPI DALAM
e
Gambar I.14 Diagram superelevasi dengan tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar (Sukirman, 1999). Metode ini jarang digunakan karena tidak memberikan keuntungan seperti dua metode lainnya kecuali untuk penyesuaian keadaan medan.
I.8.4. GNSS (Global Navigation Satellite Sistem) GNSS merupakan singkatan dari Global Navigation Satellite Sistem. GNSS merupakan teknologi gabungan dari beberapa sistem satelit navigasi untuk menentukan posisi tiga dimensi untuk titik yang ada di permukaan bumi (Abidin, 2000). Menurut Bakara (2011) sistem GNSS yang telah menyediakan layanan global secara efektif pada saat ini adalah GPS milik Amerika Serikat dan GLONASS milik
20
Rusia (Uni Soviet). Sedangkan sistem GNSS yang masih dikembangkan diantaranya GALILEO milik Eropa yang dikembangkan Union Europe (UE) dan bekerjasama dengan ESA, Beidou yang dikembangkan negara Cina, IRNSS dikembangkan India dan QZSS dikembangkan oleh Jepang.
Gambar I.15 GPS segmen (Anonim, 2002) Masing-masing satelit memiliki tiga segmen seperti tergambarkan pada gambar I.15 antara lain segmen angkasa (space segment) terdiri atas satelit-satelit yang dimiliki GNSS, segmen sistem kontrol (control sistem segment) terdiri atas stasiun kontrol yang ada di bumi dan segmen pengguna (user segment). Segmen angkasa (satelit) memancarkan sinyal navigasi kepada segmen pengguna, yang dikendalikan segmen sistem kontrol yang ada di bumi. Selain itu satelit tersebut juga dilengkapi peralatan yang digunakan untuk mengatur tingkah laku satelit saat mengorbit bumi (Abidin, 2000). Menurut Abidin (2000) setiap satelit secara terus menerus mengirimkan sinyal yang terdiri atas tiga komponen yaitu: 1.
Penginformasi jarak (kode) berupa kope-P dank kode-C/A
2.
Penginformasi posisi satelit (navigation message)
3.
Gelombang pembawa (carier wave) L1 dan L2 untuk membawa informasi dua hal di atas.
Sekali receiver dinyalakan akan menerima sinyal yang dikirimkan satelit. Dua kode yang diterima membantu pengukuran jarak antara receiver dengan satelit dan
21
dilakukan secara simultan. Pengukuran jarak dilakukan ke beberapa satelit yang koordinatnya telah diketahui dari navigation message yang didapatkan receiver. Beda jarak antara satelit dengan receiver didapatkan dari pengukuran perbedaan waktu atau fase dengan menggunakan kode yang dikirimkan oleh satelit. GNSS membutuhkan tiga sistem waktu untuk menghitung jarak yaitu waktu receiver, waktu satelit, dan waktu GNSS (Xiuqiang, 2013). Sistem tiga waktu tersebut menyebabkan jarak bisa terbiaskan, sehingga jarak yang didapatkan bukanlah jarak yang sesungguhnya. Kejadian ini dinamakan pseudorange (Wellenhof, 2001). 𝜌(t) = c 𝑥 [ t u (t) − t s (t − 𝜏)] …………………………………………..…… (I.19) dalam hal ini: t
= waktu sinyal diterima, pada sistem waktu GPS
𝜏
= waktu sinyal dipancarkan, pada sistem waktu GPS
t u (t)
= waktu sinyal diterima receiver
t s (t − 𝜏) = waktu sinyal dipancarkan satelit 𝜌(t)
= pseudorange pada waktu GPS
C
= cepat rambat cahaya Pengukuran jarak fase bisa dilakukan untuk mencari jarak antara receiver
dengan satelit. Hasil yang diperoleh lebih presisi dibandingkan pengukuran pseudorange (Xiuqiang, 2013)
Gambar I.16 Prinsip pengukuran menggunakan carrier phase (Xiuqiang, 2013) dalam hal ini: [𝜙𝑢 (𝑡)]
: sinyal pembawa (carrier) yang dihasilkan receiver
[𝜙 𝑠 (𝑡 − 𝜏)] : sinyal pembawa (carrier) yang diterima satelit
22
Diagram yang memiliki nilai amplitudo kecil pada gambar I.16 melambangkan sinyal pembawa (carrier) yang dihasilkan receiver [𝜙𝑢 (𝑡)] sedangkan diagram yang amplitudonya besar melambangkan sinyal pembawa (carrier) yang diterima satelit [𝜙 𝑠 (𝑡 − 𝜏)]. Dua sinyal pembawa ini memiliki frekuensi yang sama. Pada pengukuran epoch 𝑡 fase yang dihasilkan receiver adalah: 𝜙𝑢 (𝑡) = 𝑓 𝑥 𝑡𝑢 (𝑡)………………………………………………………………. (I.20) sedangkan fase yang diterima satelit 𝜙 𝑠 (𝑡 − 𝜏) = 𝑓 𝑥 𝑡 𝑠 (𝑡 − 𝜏)……………………………………………………… (I.21) dalam hal ini 𝑓 menandakan frekuensi. Waktu dari receiver dan satelit dihasilkan dari perhitungan fase masing-masing oleh karena itu tidak ada bias antara kedua fase tersebut. Akan tetapi receiver tidak bisa menghitung fase dari epoch 0, hanya bisa didapatkan dari sinyal pembawa (carrier) yang dihasilkan receiver 𝜙̃𝑢 (𝑡) = 𝜙𝑢 −𝑁𝑢 yang ditunjukan tanda bulat pada gambar I.16, dan sinyal pembawa (carrier) yang ̃ 𝑠 (𝑡 − 𝜏) = 𝜙 𝑠 (𝑡 − 𝜏) − 𝑁 𝑠 yang ditunjukan dengan tanda kotak diterima satelit Φ pada gambar I.16. 𝑁𝑢 dan 𝑁 𝑠 mewakili jumlah fase penuh. Selanjutnya receiver akan menghitung selisih dari dua fase di atas. ̃ 𝑠 (𝑡 − 𝜏) ………..…………………………………………… (I.22) 𝜙(𝑡) = 𝜙̃𝑢 (𝑡) − Φ Jarak fase memang memberikan hasil yang lebih presisi namun masih memiliki ambiguitas fase yaitu nilai fase yang tidak lengkap. Nilai ini akan mempengaruhi perhitungan jarak antara receiver dengan satelit. Ambiguitas fase bisa dipengaruhi beberapa hal diantaranya; kesalahan dan bias pada sinyal satelit, geometri dari satelit, hingga metode pengamatan. Pengamatan satelit dapat dilakukan differencing untuk mereduksi kesalahan dan bias yang mempengaruhi kepresisian suatu posisi. Proses differencing ini dilakukan antar data pengamtan. Berdasarkan banyaknya proses pengurangan yang dilakukan, differencing dibagi menjadi single difference (SD), double difference (DD) dan triple difference (TD). Menurut Abidin (2000) dampak dari differencing ini adalah: 1.
Mengeleminisi atau mereduksi efek dari sebagian kesalahan dan bias
2.
Mengurangi kuantitas dari data pengamatan
3.
Membuat hasil pngamatan berkorelasi secara matematis
4.
Meningkatkan level noise dari data pengamaran
23
Gambar I.17 Pengamatan GNSS dalam hal ini: φ, λ, h
= koordinat geodetik titik pengamat
X1, Y1, Z1 = koordinat kartesian tiga dimensi receiver 1 X2, Y2, Z2 = koordinat kartesian tiga dimensi receiver 2 N
= jari-jari kelengkungan vertikal Pengamatan single difference menurut Abidin (2000) adalah selisih antara dua
pengamatan one way. One way merupakan istilah pengamatan yang dilakukan oleh satu receiver ke satu satelit. Proses pengamatan single difference melibatkan dua receiver dan satu satelit dalam satu epoch. Jika pada gambar I.17 maka pengamatan dilakukan oleh receiver 1 dan receiver 2 pada satelit A epoch t1. Persamaan pengamat untuk kedua receiver tersebut menurut Wellenhof (2001) adalah: 𝜙1𝐴 (𝑡1 ) =
1 𝜆
𝐴
𝑐𝐴
[𝑟(𝑡1 , 𝑡1 −𝜏1 ) + 𝐼𝜙 (𝑡1 ) + 𝑇𝜙 (𝑡1 )] + 𝜆 [𝛿𝑡𝑢 (𝑡1 ) − 𝛿𝑡 𝑠 (𝑡1 − 𝜏1 )]1 + 1
𝑁1𝐴 + 𝜀𝜙 (𝑡1) ..……….……………………………………………… (I.23)
24
𝜙2𝐴 (𝑡1 ) =
1 𝜆
𝐴
𝑐𝐴
[𝑟(𝑡1 , 𝑡1 −𝜏1 ) + 𝐼𝜙 (𝑡1 ) + 𝑇𝜙 (𝑡1 )] + 𝜆 [𝛿𝑡𝑢 (𝑡1 ) − 𝛿𝑡 𝑠 (𝑡1 − 𝜏1 )]2 +
𝑁2𝐴
2
+ 𝜀𝜙 (𝑡1) ……..…………………………………………………. (I.24)
difference antara persamaan (I.23) dengan persamaan (I.24) adalah: 𝐴
1
𝜙2𝐴 (𝑡1 ) − 𝜙1𝐴 (𝑡1 ) = 𝜆 {[𝑟(𝑡1 , 𝑡1 −𝜏1 ) + 𝐼𝜙 (𝑡1 ) + 𝑇𝜙 (𝑡1 )] − [𝑟(𝑡1 , 𝑡1 −𝜏1 ) + 𝐼𝜙 (𝑡1 ) + 2
𝐴
𝑐𝐴
𝑇𝜙 (𝑡1 )] } + 𝜆 {[𝛿𝑡𝑢 (𝑡1 ) − 𝛿𝑡 𝑠 (𝑡1 − 𝜏1 )]2 − [𝛿𝑡𝑢 (𝑡1 ) − 1
𝛿𝑡 𝑠 (𝑡1 − 𝜏1 )]1 } + 𝑁2𝐴 − 𝑁1𝐴 …….……………………….. (I.25) Jika jarak antara posisi receiver pada waktu 𝑡 dengan posisi satelit pada waktu 𝑡 − 𝜏 dilambangkan dengan ϱ maka: 𝐴
𝜚1𝐴 = [𝑟(𝑡1 , 𝑡1 −𝜏1) + 𝐼𝜙 (𝑡1 ) + 𝑇𝜙 (𝑡1 )] ………………………………………. (I.26) 1
𝐴
𝜚2𝐴 = [𝑟(𝑡1 , 𝑡1 −𝜏1) + 𝐼𝜙 (𝑡1 ) + 𝑇𝜙 (𝑡1 )] ………………………………………. (I.27) 2
Sedangkan bias waktu antara receiver dengan satelit dilambangkan dengan δ, maka: 𝛿1 = [𝛿𝑡𝑢 (𝑡1 ) − 𝛿𝑡 𝑠 (𝑡1 − 𝜏1 )]1 ……………………………………………… (I.28) 𝛿2 = [𝛿𝑡𝑢 (𝑡1 ) − 𝛿𝑡 𝑠 (𝑡1 − 𝜏1 )]2 ……………………………………………… (I.29) Subtitusi persamaan (I.26), (I.27), (I.28), (I.29) ke persamaan (I.25) maka di dapatkan persamaan single difference menjadi: 𝑐𝐴
1
𝜙2𝐴 (𝑡1 ) − 𝜙1𝐴 (𝑡1 ) = 𝜆 [𝜚2𝐴 (𝑡1 ) − 𝜚1𝐴 (𝑡1 )] + 𝜆 [𝛿2 (𝑡1 ) − 𝛿1 (𝑡1 )] + 𝑁2𝐴 − 𝑁1𝐴 …(I.30) 1
𝑐𝐴
𝐴 (𝑡 ) 𝐴 𝐴 𝜙12 1 = 𝜆 𝜚12 (𝑡1 ) + 𝜆 𝛿12 (𝑡1 ) + 𝑁12 ………………….………………….. (I.31)
dalam hal ini: 𝜙1𝐴 (𝑡1 ) = fase (gelombang tidak penuh) receiver 1 ke satelit A pada epoch t1 𝜙2𝐴 (𝑡1 ) = fase (gelombang tidak penuh) receiver 2 ke satelit A pada epoch t1 𝜚1𝐴
= jarak antar receiver 1 ke satelit A
𝜚2𝐴
= jarak antar receiver 2 ke satelit A
𝛿1 (𝑡1 ) = waktu tempuh gelombang receiver 1 𝛿2 (𝑡1 ) = waktu tempuh gelombang receiver 2 𝑁1𝐴
= ambiguitas fase (gelombang penuh) antara receiver 1 ke satelit A
𝑁2𝐴
= ambiguitas fase (gelombang penuh) antara receiver 2 ke satelit A
Persamaan (I.31) merupakan persamaan umum untuk single difference. Secara umum hasil pengurangan single difference ini mengeliminasi kesalahan jam satelit,
25
mereduksi efek kesalahan orbit dan bias ionosfer, dan seandainya kondisi meteorologis pada kedua receiver sama, maka efek bias ionosfer akan tereduksi (Abdidin, 2000). Pengamatan double difference menurut Abidin (2000) adalah selisih antara dua pengamatan single difference. Pengamatan ini menggunakan empat data one way yang ditransformasikan kedalam satu pengamatan double difference. Pada gambar I.17 pengamtan double difference dilakukan jika receiver 1 dan receiver 2 mengamati satelit A dan B dalam epoch t1. Persamaan pengamatan 2 single difference menurut Wellenhof (2001) adalah: 1
𝑐𝐴
1
𝑐𝐵
𝐴 (𝑡 ) 𝐴 𝐴 𝜙12 1 = 𝜆 𝜚12 (𝑡1 ) + 𝜆 𝛿12 (𝑡1 ) + 𝑁12 ……………………………………… (I.32) 𝐵 (𝑡 ) 𝐵 𝐵 𝜙12 1 = 𝜆 𝜚12 (𝑡1 ) + 𝜆 𝛿12 (𝑡1 ) + 𝑁12 ……………….…………………….. (I.33)
Untuk mendapatkan pengamatan double difference maka kedua pengamatan (I.32) dan (I.33) diselisihkan dan diasumsikan kedua satelit memiliki frekuensi yang sama maka 1
𝐵 (𝑡 ) 𝐴 𝐵 𝐴 𝐵 𝐴 𝜙12 1 − 𝜙12 (𝑡1 ) = 𝜆 [𝜚12 (𝑡1 ) − 𝜚12 (𝑡1 )] + 𝑁12 − 𝑁12 …………………… (I.34) 1
𝐴𝐵 (𝑡 ) 𝐴𝐵 𝐴𝐵 𝜙12 1 = 𝜆 𝜚12 (𝑡1 ) + 𝑁12 …………………………………………………. (I.35)
dalam hal ini: 𝐴 (𝑡 ) 𝜙12 1 = data pengamatan single difference satelit A pada epoch t1 𝐵 (𝑡 ) 𝜙12 1 = data pengamatan single difference satelit B pada epoch t1 𝐴 (𝑡 ) 𝜚12 1 = jarak antara receiver 1 dan receiver 2 ke satelit A pada epoch t1 𝐵 (𝑡 ) 𝜚12 1 = jarak antara receiver 1 dan receiver 2 ke satelit B pada epoch t1 𝐴 𝑁12
= ambigutas fase antara receiver 1 dan receiver 2 ke satelit A
𝐵 𝑁12
= ambigutas fase antara receiver 1 dan receiver 2 ke satelit B
Persamaan (I.35) merupakan persamaan umum untuk pengamatan double difference. Hasil pemgamatan ini akan mengeliminisi kesalahan jam receiver dan satelit, mereduksi efek bias ionosfer, jika kondisi meteorologis kedua receiver sama maka efek troposfer akan direduksi, ambiguitas fase asih tetap harus diestimasi, dan data ini yang secara umum digunakan untuk survei GNSS (Abdin, 2000). Pengamatan triple difference menurut Abidin (2000) adalah selisih antara dua pengamatan double difference. Jadi data one way yang digunakan sebanyak delapan data. Pada gambar I.17 pengamatan triple difference dilakuakn jika receiver 1 dan
26
receiver 2 mengamati satelit A dan B pada epoch t1 dan t2. Persamaan dua epoch tersebut menurut Wellenhof (2001) sebagai berikut: 1
𝐴𝐵 (𝑡 ) 𝐴𝐵 𝐴𝐵 𝜙12 1 = 𝜆 𝜚12 (𝑡1 ) + 𝑁12 …………………………………………………. (I.36) 1
𝐴𝐵 (𝑡 ) 𝐴𝐵 𝐴𝐵 𝜙12 2 = 𝜆 𝜚12 (𝑡2 ) + 𝑁12 …………………………………………………. (I.37)
Persamaan triple difference dapat dirumuskan sebagai: 1
𝐴𝐵 (𝑡 ) 𝐴𝐵 𝐴𝐵 𝐴𝐵 𝜙12 2 − 𝜙12 (𝑡1 ) = 𝜆 [𝜚12 (𝑡2 ) − 𝜚12 (𝑡1 )] …………..……………………. (I.38)
dalam hal ini: 𝐴𝐵 (𝑡 ) 𝜙12 1 = data pengamatan double difference pada epoch t1 𝐴𝐵 (𝑡 ) 𝜙12 2 = data pengamatan double difference pada epoch t2 𝐴𝐵 (𝑡 ) 𝜚12 1 = jarak antara receiver 1 dan receiver 2 ke satelit A dan B pada epoch t1 𝐴𝐵 (𝑡 ) 𝜚12 2 = jarak antara receiver 1 dan receiver 2 ke satelit A dan B pada epoch t2
Persamaan I.38 dapat menunjukkan bahwa hasil pengamatan triple difference akan mengeliminasi kesalahan jam receiver dan satelit, mengeliminasi ambiguitas fase, mereduksi efek kesalahan ionosfer, jika kondisi meteorologis kedua receiver sama maka efek troposfer akan direduksi (Abidin, 2000).
I.8.5. RTK (Real Time Kinematic) RTK (Real Time Kinematic) merupakan sistem penentuan posisi real time secara diferensial menggunakan data fase (Abidin, 2000). Posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Hasil diferensial akan menghasilkan data yang lebih akurat dan presisi karena kesalahan dan bias pada pengamatan sudah tereleminasi dan tereduksi. Efektivitas dari proses diferensial bergantung pada jarak antar titik yang sudah diketahui koordinatnya dengan koordinat yang akan ditentukan koordinatnya. Semakin pendek jarak antar titik maka semakin efektif hasil dari diferensial sehingga ketelitian posisi yang dipeleh semakin baik. Disamping itu juga semakin banyak satelit yang digunakan maka ketelitian posisi yang diperoleh akan semakin baik.
27
A
B
C D
Base (Receiver 1)
Koreksi Rover (Receiver 2)
Gambar I.18 Sistem pengukuran metode RTK (Kavanagh, 2010) Metode RTK (real time kinematic) menentukan posisi dengan menggunakan data fase. Receiver yang menjadi referensi dengan sudah diketahui koordinatnya akan mengirimkan data fasenya ke receiver lainnya yang dicari koordinatnya. Receiver yang berdiri di atas koordinat yang diketahui dinamakan base sedangkan receiver yang digunakan untuk mencari koordinat dinamakan rover seperti ditunjukan pada gambar I.18. Penggunaan rover bisa diam bisa juga bergerak sesuai kebutuhan. Tahun 1985, Radio Technical Comission for Maritime Service (RCTM) mengusulkan suatu format data untuk mengirimkan format data koreksi dari base ke rover. Penelitian tahun 1990an membuktikan bahwa RTCM dapat meningkatkan kepresisian dan keakurasian walaupun kondisi rover bergerak (Langley, 1998). Base dan rover dalam metode RTK ini masing-masing memiliki single atau dual frekuensi antena receiver dan data radio. Base harus diposisikan di lokasi yang bebas dari obstruksi dan gangguan multipathnya seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Penghubung data diferensial dan koreksi fase dari base ke rover dikirimkan melalui radio modem. Data RTK biasanya dikirimkan pada nilai baud rate 9600 Kbps berbeda dengan metode DGPS yang hanya berada pada nilai 200 Kbps. Dari nilai baud rate tersebut dapat dilihat bahwa proses pengiriman data metode RTK lebih cepat dibandingkan DGPS. Jenis band frekuensi yang memiliki kemampuan baud rate 9600 adalah low/medium frequency (LF/MF) yang bekerja pada frekuensi 30 kHz sampai 3 MHz, High Frequency (HF) yang bekerja pada frekuensi 3 MHz hingga 30 MHz, Very
28
High Frequency (VHF) yang bekerja pada frekuensi 30 MHz hingga 300 MHz dan Ultra High Frequency (UHF) yang bekerja pada frekuensi 300 MHz hingga 3 GHz (El-Rabbany, 2002). Sistem komunikasi untuk mengirimkan data koreksi metode RTK-Radio biasanya menggunakan pita frekuensi VHF/UHF. Untuk itu dituntut adanya visibilitas langsung antara receiver stasiun dengan receiver yang akan ditentukan koordinatnya. Jarak maksimum antar kedua receiver tersebut menurut Wellenhof (2001) dapat drumuskan sebagai berikut: 𝑑 = 3,57 √𝑘 (√ℎ𝑡 + √ℎ𝑟 ) ……………………………………………………. (I.39) dalam hal ini: d = jarak maksimum antar receiver dalam satuan km k = faktor efektif jari-jari bumi, nilainya berkisar 1,2 – 1,6, umumnya 1,33 ht = tinggi receiver yang memancarkan data fase hr = tinggi receiver yang menerima data fase Base berdiri di atas titik yang sudah diketahui koordinatnya menghitung pseudorange corrections (PRC) yang akan dikirimkan ke rover. Rover akan menerima koreksi untuk menghitung pseudorange dan menentukan koordinat titik rover berdiri. Adanya koreksi pseudorange yang dikirimkan oleh base meningkatkan keakurasian posisi rover. Sesuai gambar I.18, menurut Wellenhof (2001) base (receiver 1) mengamati satelit A pada epoch t0 dengan persamaan pseudorange fase: 𝜆𝜙1𝐴 (𝑡0 ) = 𝜚1𝐴 (𝑡0 ) + ∆𝜚1𝐴 (𝑡0 ) + ∆𝜚 𝐴 (𝑡0 ) + ∆𝜚1 (𝑡0 ) + 𝜆𝑁1𝐴 ..……………….. (I.40) dalam hal ini: 𝜚1𝐴 (𝑡0 )
= jarak geometri
∆𝜚1𝐴 (𝑡0 ) = bias jarak antara posisi receiver 1 dengan satelit A (kesalahan orbit, efek refraksi) ∆𝜚 𝐴 (𝑡0 ) = bias jarak karena kesalahan satelit A (efek kesalahan jam satelit) ∆𝜚1 (𝑡0) = bias jarak karena kesalahan receiver 1 (efek kesalahan jam receiver, multipath) 𝑁1𝐴
= ambigutas fase
Koreksi jarak fase untuk untuk base pada epoch t0 didefinisikan sebagai berikut: 𝑃𝑅𝐶 𝐴 (𝑡0 ) = 𝜚1𝐴 (𝑡0 ) − 𝜆𝜙1𝐴 (𝑡0 ) …………………………………………….. (I.41)
29
𝑃𝑅𝐶 𝐴 (𝑡0 ) = −∆𝜚1𝐴 (𝑡0 ) − ∆𝜚 𝐴 (𝑡0 ) − ∆𝜚1 (𝑡0 ) − 𝜆𝑁1𝐴 ……..……………….. (I.42) Kemudian koreksi pada persamaan I.42 dikirimkan ke rover (receiver 2) secara real time yang sedang mengamati satelit yang sama yaitu satelit A 𝐴 𝜆𝜙1𝐴 (𝑡)𝑐𝑜𝑟𝑟 = 𝜚2𝐴 (𝑡) + ∆𝜚12 (𝑡) + 𝜆𝑁12 ……………………………………… (I.43)
dalam hal ini: ∆𝜚12 (𝑡) = ∆𝜚2 (𝑡) − ∆𝜚1 (𝑡) 𝐴 𝑁12
= 𝑁2𝐴 − 𝑁1𝐴 merupakan single difference ambiguitas fase
jika efek multipath diabaikan maka ∆𝜚12 (𝑡) = 𝑐 𝛿𝐴𝐵 (𝑡) = 𝑐 𝛿𝐵 (𝑡) − 𝑐 𝛿𝐴 (𝑡) On-the-fly (OTF) perlu di gunakan untuk menghilangkan efek ambiguitas fase yaitu paling tidak harus ada 5 satelit yang sama harus diamati baik base maupun rover. Jika tidak menggunakan OTF, pada saat terjadi cycle clips atau pada saat satelit yang teramat berkurang, rover akan melakukan inisialisasi ulang dan waktu pengukuran akan bertambah lama. Menurut Hall (2010) ada 3 jenis solusi pengukuran menggunakan metode Real Time Kinematic: 1.
Autonomous, yaitu rover tidak menerima koreksi dari base dikarenakan beberapa hal seperti kesalahan pada base, jarak base ke rover, hingga topografi. Ketelitian posisi yang didapatkan > 1 m.
2.
Float, yaitu rover menerima koreksi dari base namun jumlah satelit sama yang tertangkap oleh base dan rover terlalu sedikit. Ketelitian posisi yang di dapatkan > 5 cm.
3.
Fix, yaitu rover menerima koreksi dari base dan mengamati paling sedikit lima satelit yang sama. Ketelitian posisi yang didapatkan 1 cm hingga 5 cm.
30
I.9. Hipotesis Kecepatan kendaraan perlu direncanakan untuk bagian jalan raya termasuk bagian lengkung jalan. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi agar kendaraan dapat berjalan dengan aman saat melewati lengkung jalan. Nilai kecepatan rencana menentukan nilai superelevasi maksimal yang diperbolehkan. Nilai superelevasi dari lengkung jalan layang Jombor berdasarkan gambar as-built dari Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga DIY sebesar 4%. Dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan adalah superelevasi hasil pengukuran menggunakan GNSS RTK-Radio tidak lebih besar dari 4%. Nilai superelevasi hasil pengukuran menunjukkan kondisi lengkung jalan layang Jombor masih sesuai dengan perencanaan. Sehingga kendaraan saat melewati lengkung jalan masih bisa berjalan dengan aman sesuai kecepatan yang direncanakan. Nilai jari-jari dari lengkung horisontal jalan dipengaruhi nilai superelevasi dan kecepatan rencana. Nilai jari-jari minimum menunjukan lengkung tertajam yang dapat direncanakan untuk nilai superelevasi maksimum dalam kecepatan yang direncanakan. Nilai jari-jari minimum yang didapatkan dari gambar as-built Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga DIY sebesar 87 meter. Hasil pengukuran menggunakan menggunakan GNSS RTK-Radio diduga mempunyai jari-jari minimum lebih dari atau sama dengan 87 meter. Hal ini dikarenakan perlu dihindari nilai jarijari minimum yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada pengemudi yang bergerak dengan kecepatan lebih tinggi dari kecepatan rencana.