BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola daerahnya masing – masing setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pemekaran daerah otonom baru terjadi secara besar – besaran di Indonesia dari tahun 1999 hingga tahun 2009 dengan jumlah daerah otonom baru sebesar 205 dengan rincian 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Pemekaran daerah dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang ada di daerahnya dengan sebaik – baiknya. Proses pemekaran batas daerah kemudian berlanjut dari tahap penetapan batas daerah menuju tahap penegasan batas daerah, yaitu menentukan batas daerah secara pasti di lapangan. Tahapan terkait penegasan batas daerah telah diatur oleh Kementrian Dalam Negeri ke dalam peraturan berupa Surat Edaran yaitu SE No. 126/2742/SJ terkait Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah yang disahkan tanggal 27 November 2002. Peraturan ini mulai berlaku efektif sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri terkait batas daerah untuk pertama kalinya di tahun 2004 dan kemudian berganti nama menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri di tahun 2005. Perubahan peraturan terjadi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang kemudian direvisi kembali menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 76 Tahun 2012. Peraturan menteri terkait penegasan batas daerah yang telah disahkan dari tahun 2004 hingga tahun 2013 berjumlah 125 dengan rincian 2 keputusan menteri dalam negeri dan 123 peraturan menteri dalam negeri. 125 peraturan terkait penegasan batas daerah mengatur tentang segmen batas daerah yang berjumlah 148 segmen dengan rincian 10 segmen batas provinsi dan 138 segmen batas kabupaten.
1
2
Setiap tahapan yang dilaksanakan sesuai teori Boundary Making selalu membutuhkan peta. Peta yang dijadikan sebagai masukan maupun keluaran ternyata memiliki banyak permasalahan sehingga menghambat berjalannya kegiatan penegasan batas di Indonesia sehingga perlu dilakukan evaluasi informasi geospasial terhadap tahap penegasan batas. Dalam prosesnya, beberapa kesalahan juga ditemukan di dalam tahapan penegasan batas daerah yang menyebabkan banyaknya kesalahan yang muncul pada hasil – hasil dari penegasan batas daerah yaitu peta batas daerah, laporan penegasan batas daerah, dan lainnya. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk mengetahui kesalahan – kesalahan yang terjadi di dalam tahapan penegasan batas daerah sehingga kesalahan yang ditemukan nantinya tidak terulang kembali dan hasil yang didapatkan lebih baik lagi.
I.2. Rumusan masalah Ketidaksesuaian dalam melaksanakan prosedur penegasan batas daerah serta kurangnya informasi geospasial menyebabkan banyaknya kesalahan yang terjadi pada peta batas daerah sehingga perlu dievaluasi mengenai standar informasi geospasial yang digunakan dan proses pelaksanaan dalam tahapan penegasan batas daerah.
I.3. Pertanyaan penelitian 1. Apakah proses penegasan batas daerah yang telah dilaksanakan sesuai dengan teori Boundary Making (Jones, 1945)?
I.4. Cakupan penelitian Cakupan penelitian yang dilakukan pada penelitian ini antara lain : 1. Evaluasi masukan dilakukan pada daerah dibentuk setelah tahun 1999 dan memiliki peta lampiran undang undang pembentukan daerah. 2. Evaluasi proses dilakukan pada salah satu daerah yang memiliki laporan penegasan batas daerah.
3
3. Evaluasi keluaran dilakukan pada batas daerah di darat yang telah dibuat Permendagrinya pada daerah yang dibentuk setelah tahun 1999.
I.5. Tujuan penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengevaluasi informasi geospasial yang terdapat di dalam tahapan penegasan batas daerah baik masukan, proses, dan keluaran.
I.6. Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1. Memberikan masukan kepada Kementrian Dalam Negeri selaku pembuat peraturan berupa hasil evaluasi yang dapat berguna bagi proses pembuatan peraturan penegasan batas daerah maupun proses pelaksanaan penegasan batas daerah di waktu yang akan datang. 2. Memberikan informasi kepada Pemerintah Daerah selaku pihak yang memiliki batas daerah mengenai kualitas informasi geospasial yang digunakan dalam proses penegasan batas daerah.
I.7. Tinjauan pustaka Tinjauan pustaka mengenai evaluasi informasi geospasial di dalam tahap penegasan batas daerah pada era otonomi daerah di indonesia diperoleh dari pelaksanaan penelitian sejenis yang terdahulu. Skripsi yang ditulis oleh Edi Wirawan (2008) dengan judul Evaluasi Kesesuaian Peta Batas Daerah Antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 2006 mengenai kesesuaian peta batas daerah antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui kesesuaian peta batas yang telah dihasilkan dengan aturan yang telah ditentukan yaitu tata cara pembuatan peta batas di dalam Permendagri No. 1 Tahun 2006. Tinjauan pustaka berikutnya adalah skripsi yang ditulis oleh Hafid Aji Prasetyo (2008) yang berjudul Penegasan 20 Pilar Batas Wilayah Kabupaten Sleman dan
4
Kabupaten Bantul. Penelitian ini membahas tentang bagaimana proses pelaksanaan penegasan batas daerah antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul yang dilaksanakan pada tahun 2007. Hasil penelitian yang telah dilaksanakan adalah terpasangnya 20 pilar batas antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, digunakannya data pengukuran koordinat menggunakan GPS geodetik sebagai data koordinat definitif pilar batas permanen, dan pembuatan peta batas daerah menggunakan data koordinat pilar batas yang telah diukur sebelumnya. Skripsi yang berjudul Evaluasi Produk Peta Lampiran Undang Undang Pembentukan Daerah yang ditulis oleh Ardian Aji Putra (2010) mengenai evaluasi peta lampiran undang undang pembentukan daerah menggunakan metode pengamatan dan daftar cocok dilihat berdasarkan aspek kartografi dan geomaterik. Hasil penelitian menyebutkan bahwa peta lampiran undang undang pembentukan daerah dilihat terhadap aspek kartografi untuk unsur penyajian/penyimpanan data/informasi memiliki kesesuaian 100% dan unsur sisboliasasi/legenda dan warna memiliki kesesuaian 25%. Peta lampiran undang undang pembentukan daerah dilihat terhadap aspek geometrik untuk unsur grid memiliki kesesuaian 40% dan datum, skala, dan sistem proyeksi peta memiliki kesesuaian 0%. Tinjauan pustaka berikutnya adalah skripsi yang ditulis oleh Nur Khairani Zulfah (2012) yang berjudul Tinjauan Kualitas Peta Batas Wilayah Pada Lampiran Undang Undang Pembentukan Daerah (UUPD) Untuk Keperluan Penegasan Batas Daerah mengenai kajian kualitas peta lampiran UUPD di Indonesia apabila digunakan untuk dasar kegiatan Penegasan Batas Daerah ditinjau dari aspek kartografi. Dari penelitian tersebut diketahui banyaknya UUPD yang belum mempunyai Peta Batas Daerah. Diantara UUPD yang terdapat Peta Batas Daerah, 64 peta tidak berskala, 78 peta berskala lebih kecil dari 1:100.000, dan 6 peta berskala lebih besar dari 1:100.000.
I.8. Landasan teori I.8.1. Teori Boundary Making Teori Boundary Making merupakan teori mengenai penentuan batas wilayah suatu negara yang dirumuskan oleh Stephen B Jones pada tahun 1945 melalui
5
bukunya yang berjudul Boundary-Making: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners. Jones mengemukakan empat tahapan hingga terbentuknya batas wilayah yaitu alocation, delimitation, demarkation, dan administration/management. Tahapan pelaksanaan teori Boundary Making juga tersaji seperti pada Gambar I.1.
Alocation
Delimitation
Keputusan untuk membagi wilayah
Memilih letak batas dan mendefinisikan ke dalam perjanjian dan dokumen
Demarcation
Deskripsi titik dan pilar batas Pengukuran dan pemetaan Penentukan koordinat Pembuatan peta batas
Admin/ Management
Pengelolaan kawasan perbatasan
Gambar I.1. Sistematika tahapan pada teori Boundary Making menurut Jones Alokasi. Alokasi adalah tahapan proses politik untuk menentukan pembagian atau alokasi wilayah teritorial yang dilakukan pada zaman kolonialisasi, yang dalam hal ini masing – masing negara kolonial yang akan menguasai wilayah mencapai kesepakatan terhadap pembagian wilayah secara umum. Delimitasi. Delimitasi adalah tahap setelah alokasi yaitu menetukan atau memilih letak garis batas secara presisi dan mendefinisikannya didalam perjanjian (treaty) atau dokumen forman lainnya seperti peta. Delimitasi batas daerah di Indonesia lebih bersifat pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan yang mempermudah dalam koordinasi pelaksanaan pembangunan, pembinaan kehidupan, dan pelayanan masyarakat di daerah. Demarkasi. Demarkasi adalah proses penegasan batas, yaitu menentukan posisi titik dan garis yang sesungguhnya di lapangan atas dasar hasil kesepakatan
6
pada proses delimitasi. Penegasan daerah bertujuan mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Administrasi. Administrasi adalah proses pengelolaan batas wilayah yang melibatkan aktivitas pemeliharaan titik – titik batas tersebut. Tahapan ini merupakan tahap awal pengelolaan batas daerah yang merupakan kegiatan mengurus dan memelihara keberadaan batas daerah. Sistem Otonomi Daerah menetapkan batas daerah kedalam produk hukum peraturan perundangan daerah (Sumaryo, 2012).
Keempat tahapan ini sebaiknya dilaksanakan secara berurutan untuk menghindari terjadinya kesalahan, baik kesalahan didalam proses pengerjaannya maupun dokumen – dokumen yang menyertainya. Kesalahan yang terjadi akan mengakibatkan timbulnya konflik yang sulit untuk diselesaikan. Teori Boundary Making juga dijadikan sebagai acuan dan sebagai pembanding dalam penentuan batas wilayah yang terjadi di berbagai negara salah satunya Indonesia. Demarkasi diterapkan di wilayah Indonesia dengan dibuatnya aturan yang mengatur tentang proses penegasan batas daerah. Hasil dari penerapan tahapan demarkasi di Indonesia berupa Permendagri No. 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Tahapan – tahapan yang dilakukan dalam demarkasi pada teori Boundary Making disajikan pada Gambar I.2.
masukan
proses
Peta Lampiran Perjanjian Dokumen /peta lain hasil kesepakatan sebelumnya
Pekerjaan lapangan: Monumentasi dan deskripsi titik batas Pembuatan peta: Memasukkan koordinat titik, Proses Kartografi
keluaran
Dokumentasi Statik: Peta Titik Koordinat Laporan Dinamik: Sistem Basis Data SIG
Gambar I.2. Tahapan demarkasi pada teori Boundary Making
7
Evaluasi perlu dilakukan di dalam tahapan penegasan batas daerah untuk mengetahui kesesuaiannya terhadap teori Boundary Making. Terdapat beberapa kriteria yang diperlukan dalam mengevaluasi informasi geospasial di dalam tahapan penegasan batas daerah sesuai dengan teori Bounday Making yang disajikan pada Tabel I.1.
Tabel I.1. Kriteria evaluasi informasi geospasial didalam tahap penegasan batas daerah sesuai teori Boundary Making No
Tahapan Evaluasi
1
Masukan Penegasan Batas Daerah
2
3
Proses Penegasan Batas Daerah
Keluaran Penegasan Batas Daerah
Parameter
Variabel Skala, datum geodesi, sistem Kualitas peta proyeksi peta dan hasil penetapan koordinat, arah (peta lampiran utara, kelengkapan UUPD) informasi dan toponimi Pekerjaan Monumentasi lapangan Deskripsi titik batas Memasukkan Pembuatan koordinat titik peta Proses Kartografi Skala, datum geodesi, sistem proyeksi peta dan Kualitas peta koordinat, arah batas daerah utara, kelengkapan informasi dan toponimi
Tolok ukur
Syarat peta (Adler, 1995)
Teori Jones pada tahap demarkasi
Syarat peta (Adler, 1995)
Jones menjelaskan tentang kegiatan yang dilakukan pada tahap demarkasi sesuai teori Boundary Making. Kegiatan tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Monumentasi dan deskripsi titik batas Monumentasi adalah pembuatan monumen batas negara secara fisik di lapangan. Monumen sebelumnya dibuat terlebih dahulu dan kemudian diletakkan di titik yang telah ditentukan dan disepakati di lapangan. Setelah dilakukan pemasangan monumen, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran posisi dari titik – titik batas yang kemudian dihasilkan koordinat – koordinat titik – titik batas. Deskripsi titik batas adalah mendeskripsikan titik titik batas yang terdapat di lapangan dan
8
disimpan ke dalam bentuk laporan deskripsi titik batas. Deskripsi titik batas meliputi informasi yang terkait atau berada di sekitar titik batas tersebut seperti nomor titik, tipe titik, foto sekitar, lokasi dari obyek penting, azimut, sketsa lokasi titik, dan koordinat. 2. Memasukkan koordinat titik Memasukkan koordinat titik ialah memasukkan koordinat yang telah ditulis berdasarkan deskripsi titik batas ke dalam sistem batas data dan ke dalam sistem informasi geografis yang kemudian digunakan untuk pembuatan peta batas. Proses kartografi adalah proses pembuatan peta batas berdasarkan informasi yang telah didapat sebelumnya yaitu deskripsi titik batas dan menggunakan peta topografi sebagai peta dasarnya.
Adler (1995) menjelaskan tentang syarat peta antara lain: 1. Skala Skala peta yang baik untuk peta masukan adalah 1:1.000.000 atau lebih besar dan untuk peta keluaran adalah 1:50.000 atau lebih besar. 2. Datum Datum yang baik digunakan sebagai masukan dan keluaran adalah GRS 80, WGS 84, dan Krassovsky 40. 3. Sistem proyeksi dan sistem koordinat Sistem proyeksi dan sistem koordinat yang baik untuk digunakan ialah yang memberikan distorsi yang kecil yaitu Transverse Mercator, Universal Transverse Mercator, dan Lambert Conformal. 4. Arah Utara Peta tidak diharuskan menampilkan arah utara. Arah utara ditampilkan pada setiap deskripsi titik – titik batas. 5. Kelengkapan informasi dan toponimi Peta demarkasi sebaiknya menampilkan informasi peta berupa judul, skala, legenda, indeks peta, dan diagram lokasi seperti yang ditampilkan pada Gambar I.3.
9
Syarat peta kemudian digunakan sebagai kriteria evaluasi terhadap masukan penegasan batas daerah yang berupa peta lampiran undang undang pembentukan daerah. Syarat peta ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi peta batas daerah yang merupakan keluaran dari tahapan penegasan batas daerah. Salah satu contoh peta demarkasi dapat dilihat pada Gambar 1.3.
Gambar 1.3. Contoh Peta Demarkasi China – Myanmar (Adler, 1995)
10
I.8.2. Dasar hukum Proses penegasan daerah yang telah dilakukan di Indonesia didasari oleh beberapa dasar hukum yang sifatnya mengikat. Dasar hukum tersebut antara lain : 1. Undang – Undang Undang Undang yang selanjutnya disingkat menjadi UU merupakan produk hukum yang sifatnya mengikat. UU yang melatarbelakangi terjadinya proses penegasanan batas daerah yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daeah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU membahas tentang pembentukan suatu daerah baru di Indonesia dan merupakan awal dari proses Boundary Making. Pasal yang terkait dengan batas daerah pada UU No. 32 Tahun 2004 adalah Pasal 4 Ayat 2 yaitu “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan,peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.” 2. Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah merupakan implementasi dari dibuatnya UU tentang Pemerintahan Daerah seperti yang terdapat pada UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 6 Ayat 3 yang berbunyi “Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” dan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 8 yang berbunyi “Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah.”. Peraturan pemerintah pada proses teori Boundary Making berperan di dalam proses alokasi dan delimitasi suatu daerah baru di Indonesia. 3. Pedoman Penegasan Batas Daerah Pedoman ini disahkan pertama kali tanggal 27 November 2002 dengan dibuatnya Surat Edaran yang kemudian disingkat menjadi SE yaitu SE No. 126/2742/SJ. Pedoman Penegasan Batas Daerah pada proses teori Boundary Making berperan di dalam proses demarkasi. Peraturan ini diberlakukan sejak tanggal disahkan
11
hingga dikeluarkannya peraturan pengganti pada tanggal 12 Januari 2006. Peraturan pengganti yang merupakan revisi dari SE No. 126/2742/SJ ialah Permendagri No. 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Terjadi beberapa perubahan yang terdapat antara SE No. 126/2742/SJ dan Permendagri No. 1 Tahun 2006.
I.8.3. Penegasan Batas Penegasan batas atau demarkasi yaitu pemasangan tanda – tanda batas wilayah di lapangan untuk batas wilayah yang sudah disepakati melalui proses penetapan batas. Kegiatan demarkasi atau penegasan merupakan kegiatan yang bersifat teknis (geodesi) yaitu pemasangan tanda batas di lapangan, pengukuran posisi titik – titik batas dan pemetaan batas wilayah. Penegasan batas daerah dilakukan berdasarkan dengan aturan – aturan tertentu. Demarkasi diterapkan di wilayah Indonesia dengan memperhatikan aspek – aspek ataupun aturan – aturan lain yang telah berlaku di wilayah Indonesia. Demarkasi diterapkan di wilayah Indonesia dengan dibuatnya aturan yang mengatur tentang proses penegasan batas daerah. Hasil dari penerapan tahapan demarkasi di Indonesia berupa Permendagri No. 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
I.8.3.1. Peta lampiran undang undang pembentukan daerah Lampiran undang undang pembentukan daerah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari undang undang pembentukan daerah yang berbentuk sebuah peta. Peta pembentukan daerah menggambarkan peta dari suatu daerah otonom baru yang di dalamnya juga berisi informasi mengenai batas kabupaten dengan kabupaten tetangga, kecamatan di dalam kabupaten, dan kecamatan dari kabupaten tetangga. Peta lampiran undang undang pembentukan daerah mulai dibuat tahun 2001. Tidak adanya peraturan terkait peta lampiran undang undang pembentukan daerah membuat peta pembentukan daerah dibuat tidak sesuai dengan kaidah kartografi. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 yang memcantumkan tentang peta wilayah calon provinsi pada Pasal 9 dan pasal 10.
12
Pasal 9 1. Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi. 2. Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi. 3. Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri. Pasal 10 1. Cakupan wilayah pembentukan kabupaten/kota digambarkan dalam peta wilayah calon kabupaten/kota. 2. Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kecamatan dan desa/kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota serta garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/ kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan di kabupaten/kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabupaten/kota. 3. Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh gubernur.
Peta wilayah calon provinsi pada pasal 9 atau peta wilayah calon kabupaten/kota pada pasal 10 merupakan peta yang dibuat sebelum undang undang pembentukan daerah disahkan dan dimungkinkan akan menjadi peta lampiran undang undang pembentukan daerah dari daerah otonom baru setelah undang undangnya disahkan.
13
I.8.3.2. Spesifikasi teknis penegasan batas daerah Penegasan batas daerah bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu daerah yang memenuhi aspek teknis dan yuridis. Tahapan proses penegasan batas daerah di darat telah diatur di dalam Permendagri No. 1 Tahun 2006 dan lampirannya, antara lain : 1. Penelitian dokumen Penelitian dokumen merupakan kegiatan mempersiapkan dan meneliti dokumen – dokumen yang digunakan selama proses penegasan batas daerah. Kegiatan ini meliputi pembentukan tim penegasan batas daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah, inventarisasi dan pengkajian terhadap dokumen yang terkait dengan batas daerah, penunjukan tim teknis untuk kegiatan lapangan, dan penentuan koordinat titik – titik pilar batas diatas peta kerja. Dokumen yang menjadi bahan penelitian antara lain dokumen terdahulu yang telah ada sebelumnya terkait batas daerah, peta batas daerah yang memuat tentang batas suatu daerah, dan dokumen kesepakatan penentuan batas daerah oleh dua daerah yang berbatasan. 2. Pelacakan batas Kegiatan pelacakan batas dibagi menjadi penentuan garis batas sementara dan pelacakan garis batas di lapangan. Penentuan garis batas sementara dilakukan dengan menentukan garis batas sementara di atas peta kerja yang merupakan turunan dari peta dasar. Penentuan garis batas sementara dapat ditentukan berdasar tanda/simbol batas secara administratif atau fisik yang terdapat pada peta atau koordinat titik batas sesuai dengan kesepakatan dari pihak – pihak yang berbatasan. Pelacakan garis batas di lapangan dilakukan dengan menentukan letak batas daerah di lapangan sepanjang garis batas daerah sementara dengan menyusuri sesuai dengan peta kerja yang telah ditentukan berdasar hasil kesepakatan sebelumnya. Tanda atau patok kayu sementara dapat dipasang untuk memudahkan pemasangan pilar – pilar batas selanjutnya. Hasil kegiatan pelacakan batas dituangkan ke dalam Berita Acara Pelacakan Batas Daerah dan menjadi dasar untuk melaksanakan kegiatan yang selanjutnya.
14
3. Pemasangan pilar batas Pemasangan pilar batas merupakan kegiatan memasang pilar batas pada titik – titik batas yang telah ditentukan sebelumnya. Pilar batas adalah bangunan berbentuk fisik di lapangan yang digunakan untuk menandai batas daerah. Pilar batas menurut jenisnya dibagi menjadi Pilar Batas Utama (PBU), Pilar Batas Antara (PBA), dan Pilar Kontrol Batas (PKB). Pilar batas berdasar fungsi dan bentuknya dibagi menjadi Pilar tipe A untuk batas provinsi, Pilar tipe B untuk batas kabupaten atau kota, Pilar tipe C untuk batas kecamatan, dan Pilar tipe D untuk perapatan PBA. Pemasangan pilar batas dilakukan secara berbeda beda dan harus sesuai aturan, baik berdasar jenis, fungsi dan bentuk atau ukuran pilar, kerapatan antar pilar. Hasil kegiatan pemasangan pilar batas dituangkan ke dalam Berita Acara Pemasangan Pilar Batas Daerah. 4. Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas Kegiatan pengukuran dan penentuan posisi pilar batas dibagi menjadi kegiatan pengukuran garis batas dan penentuan posisi pilar batas. Pengukuran garis batas dilakukan untuk mengetahui arah dan jarak antara dua titik batas yang kemudian membentuk garis batas pada daerah yang berbatasan. Selanjutnya dilakukan pengukuran situasi untuk menggambarkan situasi yang berada di sekitar garis batas daerah. Penentuan posisi pilar dilakukan dengan metode terestris atau melalui satelit menggunakan alat Global Positioning System (GPS). 5. Pembuatan peta batas Peta batas dibuat berdasarkan hasil pengukuran garis batas berupa peta situasi sepanjang garis batas beserta dengan koridornya 100 meter ke kanan dan kiri. Pembuatan peta batas dapat dilakukan dengan metode kompilasi atau penurunan peta yang telah ada, metode teristris, dan metode fotogrametris.
15
Alur dari proses penegasan batas menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2006 digambarkan pada Gambar I.4. Persiapan Penelitian Dokumen Batas Pelacakan Batas
Pemasangan Pilar Batas Daerah
Pengukuran dan Penentuan Posisi Pilar Batas Pembuatan Peta Batas Pelaporan dan Pengesahan Batas Daerah
Dokumen terkait batas daerah Lampiran UU Pembentukan Daerah Berita Acara Pelacakan Batas Pilar Batas di lapangan Berita Acara Pemasangan Pilar Batas Koordinat titik batas Berita Acara Pengukuran dan Penentuan Posisis Pilar Peta Batas Daerah
Laporan Penegasan Batas Daerah
Permendagri Batas Daerah
Gambar I.4. Alur Kegiatan Penegasan Batas Daerah (Kemendagri, 2006) I.8.3.3. Peta batas daerah Peta harus dapat menyajikan informasi dengan benar sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu setiap peta harus memenuhi spesifikasi yang sesuai dengan tema informasi yang disajikannya (Kemendagri, 2006). Aspek-aspek spesifikasi peta batas daerah yang harus dipenuhi dalam pembuatan peta batas daerah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2006, antara lain: 1. Aspek Kartografi: a. Jenis peta (penyajian) merupakan peta foto dan peta garis
16
b. Sistem simbolisasi/legenda dan warna yang digunakan dalam peta batas daerah tidak dijelaskan di dalam peraturan. c. Isi peta dan tema Isi peta meliputi 1) Muka Peta batas Daerah 2) Lambang Kementrian Dalam Negeri 3) Judul peta, skala peta, nomor lembar peta, nama daerah (Provinsi, kabupaten atau kota), edisi 4) Diagram lokasi 5) Informasi tentang datum, sistem proyeksi dan grid, satuan, selang kontur, zone Universal Transverse Mercator, serta informasi tentang sumber – sumber yang digunakan untuk penataan batas daerah 6) Keterangan Peta (simbol, singkatan dan riwayat peta) 7) Daftar Titik Koordinat Batas Daerah 8) Pengesahan d. Ukuran peta (muka peta) 1) Ukuran peta ditentukan dengan ukuran standar peta (A0); 2) Seluruh peta memuat seluruh daerah yang bersangkutan serta koridor perbatasan dengan daerah – daerah tetangganya; 3) Format peta atau tata letak peta dapat dilihat pada Gambar 1.5; B C D A
E F G H
Gambar I.5. Muka Peta Batas Daerah (Kemendagri, 2006)
17
Keterangan : A. Muka Peta batas Daerah B. Lambang Kementrian Dalam Negeri C. Judul peta, skala peta, nomor lembar peta, nama daerah (Provinsi, kabupaten atau kota), edisi D. Diagram lokasi E. Informasi tentang datum (geodetik dan vertikal), sistem proyeksi dan grid, satuan, selang kontur, zone Universal Transverse Mercator, serta informasi tentang sumber – sumber yang digunakan untuk penataan batas daerah F. Keterangan Peta (simbol, singkatan dan riwayat peta) G. Daftar Titik Koordinat Batas Daerah H. Pengesahan Apabila jumlah titik koordinat batas cukup banyak, penempatan titik – titik koordinat tersebut disesuaikan dengan memanfaatkan muka peta yang kosong. e. Bentuk penyajian/penyimpanan data/informasi Lembar Peta atau Digital 2. Aspek Geometrik: a. Skala/resolusi Batas Provinsi : 1 : 500.000 Batas Kabupaten : 1 : 100.000 Peta Batas Kota : 1 : 50.000 b. Sistem proyeksi 1) Datum : DGN 95 2) Ellipsoid Referensi : WGS-84 3) Sistem Proyeksi Peta : Tranverse Mercator 4) Sistem Grid : Universal Transverse Mercator dengan grid geografis dan metrik 5) Ketelitian Planimetris : 0.5 mm jika diukur di atas peta
18
I.8.4. Peta Dalam ilmu Geodesi, peta didefinisikan sebagai gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan digambarkan di atas bidang datar melalui sistem proyeksi (Prihandito, 2010). Peta memiliki beberapa fungsi dan beberapa jenis ditinjau dari fungsi dan skalanya. Menurut Prihandito (2010) fungsi peta antara lain : 1. Menunjukkan posisi relative suatu objek di permukaan bumi. 2. Memperlihatkan ukuran. 3. Memperlihatkan bentuk. 4. Mengumpulkan dan menyeleksi data-data dari suatu daerah dan menyajikannya di atas peta. Peta ditinjau dari fungsinya dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Peta umum, merupakan peta yang berisi jalan, bangunan, batas wilayah, garis pantai, elevasi, dsb. 2. Peta tematik, merupakan peta yang menunjukkan informasi berdasar tema-tema tertentu. Misalnya peta wisata, peta jalan, peta tata guna lahan, dll. 3. Chart merupaka peta yang didesain untuk keperluan navigasi, nautical dan aeronautical. Peta kelautan yang ekuivalen dengan peta topografi disebut peta Bathimetrik. Peta ditinjau dari skalanya dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Skala Besar, peta dengan skala 1:25000 atau lebih besar 2. Skala Sedang, peta dengan skala 1:25.000 hingga 1:500.000 3. Skala Kecil, peta dengan skala 1:500.000 atau lebih kecil Peta ditinjau dari produk yang dihasilkannya dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Peta Manuskrip adalah suatu produk pertama dari suatu peta yang akan direproduksi dalam keseluruhan proses pemetaan, seperti hasil penggambaran peta menggunakan tangan, dan hasil peta dari data survei lapangan (dalam skala besar).
19
2. Peta Dasar adalah peta yang dijadikan dasar untuk pembuatan peta lainnya seperti peta tematik, peta topografi atau peta turunan lainnya. Peta dasar untuk peta tematik disebut peta kerangka,yang biasanya dipakai pada peta topografi sebagai peta dasar. Peta dasar untuk peta topografi dan peta turunan disebut peta induk (basic map). 3. Peta Turunan (derived map) : adalah peta yang diturunkan dari peta induk dan skalanya lebih kecil dari peta induknya. Peta turunan umumnya sudah mengalami proses generalisasi (penyederhanaan).
I.8.5. Populasi dan sample Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam pengambilan dan pemilihan data yang digunakan dalam penelitian. I.8.5.1. Populasi data Populasi terdiri atas obyek yang memiliki sifat – sifat tertentu yang kemudian dijadikan oleh peneliti sebagai bahan penelitian untuk dapat dipelajari dan diteliti secara lebih mendalam (Sugiyono, 2010). Populasi dilihat sebagai bahan penelitian dari sisi keberagaman sifat atau karakteristik yang dimiliki sumber data bukan kepada jumlah atau banyaknya sumber data yang diambil atau digunakan. Peneliti biasanya menggunakan sumber data yang memiliki sifat yang sama untuk kemudian dijadikan sebagai populasi data. Proses pemilihan data selanjutnya dilakukan pada data yang terkumpul untuk memilih data yang digunakan dalam evaluasi penegasan batas daerah yang disebut sebagai populasi data. Populasi data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data penegasan batas daerah yang telah dikumpulkan sebelumnya dan kemudian dipilih berdasarkan tahun pembuatannya yaitu antara tahun 2004 hingga tahun 2009. Populasi data terpilih yang merupakan data penegasan batas daerah dari tahun 2004 hingga tahun 2009 I.8.5.2. Pengambilan sampel Sampel merupakan sebagian dari jumlah dan sifat yang dimiliki oleh populasi yang dapat menggambarkan suatu populasi secara keseluruhan. Teknik yang
20
digunakan dalam pengambilan sampel adalah purposive sampling yaitu teknik pengambilan sumber data dengan mempertimbangkan aspek tertentu (Sugiyono, 2010). Aspek tersebut ialah tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam melaksanakan penelitiannya. Sumber data dianggap memiliki informasi yang dibutuhkan dan diinginkan oleh peneliti. Kelebihan yang didapat dalam pemakaian teknik ini antara lain mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian karena memiliki informasi yang langsung dibutuhkan oleh peneliti, mempercepat proses penelitian karena dapat menghemat
waktu, dana, dan tenaga di dalam proses
pengambilan data, informasi yang didapat lebih beragam karena pengambilan informasi dititikberatkan pada beragamnya informasi yang dibutuhkan dan bukan kepada banyaknya data. Populasi data yang telah terpilih pada penelitian ini kemudian diklasifikasikan menjadi 3 kategori menggunakan teknik pengambilan sampel purposive sampling yaitu kategori A, B, dan C. Kategori A merupakan batas antar daerah dengan ketentuan kedua daerahnya terbentuk dari tahun 1999 hingga tahun 2009. Kategori B merupakan batas antar daerah dengan ketentuan daerah yang terbentuk dari tahun 1999 hingga tahun 2009 berbatasan dengan daerah yang terbentuk sebelum tahun 1999. Kategori C merupakan batas antar daerah dengan ketentuan kedua daerahnya terbentuk sebelum tahun 1999. Pemilihan kategori dilakukan berdasar pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang menandai awal dari kegiatan pemekaran daerah otonom baru di Indonesia. Data penegasan batas daerah yang kemudian digunakan sebagai sampel adalah kategori A dan kategori B. Kategori A dan kategori B dipilih karena kategori A merupakan batas daerah antara daerah yang terbentuk dari tahun 1999 hingga tahun 2009 dan kategori B merupakan batas daerah antara daerah yang terbentuk dari tahun 1999 hingga tahun 2009 dengan daerah yang terbentuk sebelum tahun 1999. Kategori C tidak digunakan karena kategori C merupakan batas daerah antara daerah yang terbentuk sebelum tahun 1999 dan tidak ada daerah otonom baru yang termasuk ke dalamnya.
21
I.8.6. Evaluasi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode evaluasi. I.8.6.1. Pengertian evaluasi Menurut asal katanya evaluasi berasal dari bahasa inggris yaitu evaluation yang memiliki arti menilai atau mengukur. Jadi secara pengertian evaluasi bisa didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang meliputi penilaian dan pengukuran suatu objek tertentu dengan metode atau teknik tertentu dan menghasilkan suatu informasi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif (Arikunto, 2006). I.8.6.2. Teknik evaluasi Teknik evaluasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tes dan bukan tes. Tes adalah alat atau prosedur yang digunakan untuk menilai atau menghitung sesuatu dengan cara atau aturan – aturan yang sudah ditentukan. Pada penelitian ini metode yang dipakai termasuk dalam teknik evaluasi bukan tes. Berikut merupakan teknik evaluasi yang digolongkan bukan tes. 1. Skala bertingkat (rating scale). Menggambarkan suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil penilaian, biasanya angka – angka yang digunakan diterakan pada suatu skala dengan jarak yang sama. 2. Kuisioner. Kuisioner sering juga dikenal dengan angket, yang pada dasarnya adalah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh obyek evaluasi. 3. Daftar cocok (check list). Daftar cocok adalah suatu daftar pertanyaan (biasanya singkat – singkat) yang harus diisi oleh obyek evaluasi dengan membubuhkan tanda cocok di tempat yang disediakan. 4. Pengamatan (observation). Pengamatan adalah suatu teknik evaluasi yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dengan teliti serta mencatat hasilnya secara sistematis. 5. Wawancara. Wawancara adalah suatu cara untuk mendapatkan jawaban atau informasi dari objek evaluasi dengan jalan tanya jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena responden tidak diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
22
Penelitian yang dilakukan menggunakan kombinasi metode evaluasi yaitu metode pengamatan dan metode daftar cocok. Metode pengamatan dilakukan dengan membandingkan laporan proses penegasan batas daerah dengan kriteria yang telah ditentukan sesuai teori Boundary Making. Metode daftar cocok dilakukan dengan mencocokkan antara syarat peta pada teori Boundary Making dengan data yang digunakan sebagai masukan dan keluaran penegasan batas daerah berupa peta lampiran undang undang pembentukan daerah dan peta batas daerah. Evaluasi juga dilakukan dengan mencocokkan antara narasi yang terdapat pada permendagri terkait penegasan batas daerah terhadap peta lampirannya yaitu peta batas daerah.
I.9. Hipotesis Informasi geospasial di dalam tahapan penegasan batas daerah berupa peta lampiran Undang-undang pembentukan daerah yang tidak memenuhi syarat sehingga menyulitkan dalam proses penegasan batas daerah.