BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab
taeniasis
yaitu
karena
adanya
cacing
pita
Taenia
solium
(T.solium)/Taenia saginata (T.saginata)/Taenia asiatica (T.asiatica) di dalam tubuh manusia (Chaterjee, 2009). Taeniasis merupakan salah satu penyakit terabaikan (neglected disease) dan merupakan masalah di dunia yang belum terpecahkan karena berhubungan dengan perilaku serta gaya hidup manusia (WHO, 2011; CDC, 2013). Kasus taeniasis dijumpai hampir di seluruh dunia.Prevalensi taeniasis di dunia sekitar 50 juta orang, baik itu terinfeksi T.saginata, T.solium maupun T.asiatica.Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi cacing T. solium (WHO, 2011; CDC, 2013).Prevalensi tertinggi taeniasis ditemukan pada daerah Amerika Latin, Afrika dan Asia (CDC, 2013).Taeniasis merupakan infeksi yang endemik termasuk di beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand (Wandra et al., 2007), Kamboja, Laos (WHO, 2011), Filipina dan Indonesia (CDC, 2013). Prevalensi kejadian taeniasis di Indonesia antara 1,1% - 45,8% (Suroso et al., 2005; Wandra et al., 2006). Empat Propinsi yang masih endemis taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia yaitu Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara (Depkes RI, 2012).Propinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi taeniasis tertinggi sebesar 15% (Subahar et al., 2005).
1
2
Propinsi Bali memiliki prevalensi taeniasis saginata terutama di Kabupaten Gianyar 84% yang penduduknya mengkonsumsi daging sapi (Wandra et al., 2006) dan taeniasis solium di Kabupaten Karangasem 6,4% yang mayoritas penduduknya mengkonsumsi daging babi (Ito et al., 2013), sedangkan di Sumatera Utara prevalensi taeniasis yaitu taeniasis asiatica yang dilaporkan 2,2% (Wandra et al., 2006). Beberapa daerah, seperti Bali dan Papua masih mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging terutama daging babi yang mentah atau yang tidak di masak sempurna/kurang matang (Margono et al., 2006; Suroso et al., 2006). Propinsi Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu memiliki 9 Kabupaten/Kota, dari 9 Kabupaten/Kota tersebut kejadian taeniasis tertinggi di 4 Kabupaten yaitu Kabupaten Gianyar, Karangasem, Badung dan Denpasar. Kabupaten Gianyar mempunyai kejadian tertinggi untuk kasus taeniasis saginata dan Kabupaten Karangasem tertinggi untuk taeniasis solium (Wandra et al., 2007).Kasus taeniasis relatif sedikit, namun penderita taeniasis (carrier taeniasis solium) merupakan salah satu sumber penularan terjadinya sistiserkosis terutama neurosistiserkosis pada diri penderita, anggota keluarga atau orang terdekat (Salim et al., 2009). Penemuan penderita taeniasis baik yang simptomatis atau asimptomatis
terutama
taeniasis
solium,
akan
mencegah
terjadinya
sistiserkosis/neurosistiserkosis yang gejala klinisnya lebih berat dibandingkan taeniasis (Chaterjee, 2009). Dekade ini, penelitian taeniasis jarang dilakukan karena daerah yang berisiko terkena taeniasis hanya daerah yang penduduknya makan daging mentah atau kurang matang yang merupakan faktor risiko utama
3
serta karena gejala klinis asimptomatis sehingga sulit di deteksi (Ito et al., 2004).Diagnosis taeniasis yang paling sering dilakukan yaitu dengan pemeriksaan tinja secara mikroskopis.Pemeriksaan ini sederhana dan juga hasil yang didapatkan cukup cepat meskipun perlu ketelitian dalam pemeriksaan. Metode pemeriksaan yang paling sering digunakan dan hasilnya cukup baik yaitu dengan metode pengapungan, meskipun pemeriksaan serologi atau molekular yang paling sensitif (Sah et al., 2013). Data taeniasis terbaru dari seminar internasional taeniasis/sistiserkosis yang diadakan di Bali menunjukkan sebanyak 110 kasus taeniasis solium (6,4%) di Kabupaten Karangasem tepatnya di Kecamatan Kubu ditemukan dari tahun 2002-2010 (Ito et al., 2013). Pada tahun 2011-2013, 11 kasus taeniasis juga ditemukan di Kecamatan Kubu, Karangasem, dimana 7 diantaranya langsung mengeluarkan cacing T. solium. Penelitian lain, pada ternak babi di Kabupaten Karangasem pada tahun 2013 didapatkan 64 babi (9,37%) terinfeksi kista atau larva sistiserkus selulosa, hal tersebut merupakan faktor risiko utama terjadinya taeniasis apabila daging yang terinfeksi tersebut dimakan dan diolah tidak sempurna (Dharmawan et al., 2014). Daerah Kubu dari penelitian taeniasis terdahulu tersebut terletak di sebelah timur Gunung Agung. Penelitian taeniasis terutama untuk mendapatkan carrier taeniasis dilakukan di daerah tersebut awalnya karena didapatkan 1 orang anak usia 9 tahun dengan ocular cysticercosis (Ito et al.,2013). Penemuan kasus sistiserkosis pada mata tersebut tentu erat kaitannya dengan taeniasis.Penelitian mengenai taeniasis yang dilakukan belum mencakup seluruh wilayah terutama
4
wilayah di sebelah timur Gunung Agung yang terkenal dengan lahannya yang gersang dan sulit untuk mendapatkan air saat musim kemarau serta masih adanya beberapa ternak babi ataupun sapi yang tidak dikandangkan atau liar saat musim tersebut (Ito et al., 2013). Pemilihan tempat penelitian di Desa Datah, karena Datah merupakan daerah berdekatan dan mempunyai kemiripan dengan daerah Kubu, juga berada di sebelah timur Gunung Agung dan termasuk daerah lahan gersang. Penduduk di daerah ini juga sulit mendapatkan air saat musim kemarau.Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah peternak. Kepemilikan ternak babi yaitu 9.800 ekor dan ternak sapi 3.600 ekor dari seluruh penduduk Datah.Ternak tersebut biasanya dilepas terutama pada musim kemarau sehingga untuk pakan ternak tersebut menyesuaikan dengan lingkungan. Sanitasi lingkungan tiap penduduk bervariasi ada yang cukup baik namun masih ada yang kurang (Pemkab Karangasem, 2013). Survei tahun 2011-2013 yang pernah dilakukan dengan pemeriksaan feses didapatkan 10 kasus tetapi hanya di 1 dusun yaitu Bingin, namun belum mencakup 14 dusun di desa tersebut (Dinkes Kabupaten Karangasem, 2013). Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi daging mentah atau setengah matang, terutama lawar babi (campuran sayur nangka berisi parutan kelapa, daging/kulit babi setengah matang bahkan ada yang berisi darah babi mentah) dan babi guling (babi yang di masak di atas bara api dengan cara diguling) masih banyak terutama di daerah pedesaan/pedalaman Karangasem termasuk juga di daerah Datah. Lawar babi dan babi guling yang dikonsumsi merupakan suatu tradisi serta kebiasaan masyarakat/adat-istiadat setempat, yang dari dulu tidak
5
pernah ditinggalkan. Kebiasaan memotong ternak babi dari hasil ternak untuk upacara keagamaan dan hajatan secara bersama-sama di Banjar ataupun ternak lain sering tanpa melalui tempat pemotongan hewan (TPH) yang legal dan juga masih adatanpa melalui pemeriksaan kesehatan pada ternak tersebut. Beberapa masyarakat di perkotaan yang masih dekat dengan Desa Datah juga mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging yaitu Kelurahan Karangasem, di daerah tersebut untuk mendapatkan daging yang di konsumsi dengan cara membeli daging di pasar, dimana daging yang di beli dari pasar pada umumnya berasal dari tempat pemotongan hewan yang legal dan secara berkala satu kali seminggu dilakukan pemeriksaan kesehatan pada hewan ternak tersebut. Selain itu masyarakat di daerah tersebut mata pencaharian bukan peternak melainkan pedagang (Pemkab Karangasem, 2013). Persamaan dan perbedaan dua daerah tersebut menyebabkan peneliti ingin mengetahui faktor risiko taeniasis pada 2 populasi tersebut yaitu masyarakat yang mengkonsumsi daging dari hasil ternak sendiri dengan masyarakat yang mengkonsumsi daging dari hasil membeli di pasar.
I.2 Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah hubungan antara konsumsi daging (jenis daging, cara pengolahannya, frekuensi mengkonsumsinya serta cara memperoleh daging hasil ternak pribadi dan membeli di pasar/TPH) dengan kejadian taeniasis?
2.
Bagaimanakah hubungan antara karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian taeniasis?
3.
Bagaimanakah hubungan antara faktor lingkungan (kepemilikan jamban, tempat defekasi/buang air besar, kepemilikan SPAL (sistem pembuangan air
6
limbah), kepemilikan ternak dan kandang untuk ternak serta pakan ternak) dengan kejadian taeniasis?
I.3 Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko taeniasis baik pada masyarakat yang mengkonsumsi daging dari hasil ternak pribadi dengan masyarakat yang mengkonsumsi daging dari membeli di pasar/TPH. I.3.2
Tujuan Khusus 1.
Untuk
mengetahui
hubungan
antara
konsumsi
daging
(cara
pengolahan, frekuensi mengkonsumsinya serta konsumsi daging hasil ternak pribadi dan membeli) dengan kejadian taeniasis. 2.
Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian taeniasis.
3.
Untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan (kepemilikan jamban, tempat defekasi/BAB, kepemilikan SPAL, kepemilikan kandang untuk ternak dan pakan ternak) dengan kejadian taeniasis.
I.4 Manfaat Penelitian I.4.1
Manfaat bagi peneliti dan klinisi Memberi informasi mengenai faktor risiko terjadinya taeniasis sehingga bisa dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
7
I.4.2
Manfaat bagi masyarakat 1.
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hubungan antara taeniasis dengan faktor-faktor risikonya baik faktor risiko langsung maupun tidak langsung.
2.
Memberikan gambaran taeniasis di masyarakat serta kompensasi kepada masyarakat berupa pengobatan sebagai tindak lanjutnya.
I.4.3
Manfaat bagi ilmu pengetahuan Memberikan informasi tentang hubungan faktor risiko baik langsung dan tidak langsung dengan kejadian taeniasis.
I.4.4
Manfaat bagi pemerintah 1.
Sebagai acuan untuk penentuan prioritas masalah kesehatan di Kabupaten Karangasem, Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
2.
Untuk memberikan masukan pada pemerintah daerah setempat dan instansi terkait untuk program kesehatan khususnya Taeniasis.
I.5 Keaslian Penelitian Penelitian serupa yang pernah dilakukan yaitu survei seroepidemiologi taeniasis-sistiserkosis di 4 daerah di Papua (Salim et al., 2009), Desain yang digunakan cross sectional.Metode diagnosis yang digunakan yaitu pemeriksaan feses, coproantigen dan seroantibodi. Hasil penelitian taeniasis di 4 daerah tersebut masing-masing di Jayawijaya 7%, Paniai 9,6%, Pegunungan Bintang 10,7% dan Puncak Jaya 1,7%. Pada penelitian ini, dilakukan studi faktor risiko taeniasis dengan desain case control pada daerah yang berbeda, dengan
8
pemeriksaan feses secara mikroskopis menggunakan metode langsung dan pengapungan. Penelitian lain di Kubu, Karangasem tahun 2002-2010 yaitu situasi terkini taeniasis di Bali (Ito et al., 2013). Desain yang digunakan cross sectional. Metode diagnosis dengan pemeriksaan feses langsung secara mikroskopis, serologi (ELISA) dan molekular (PCR). Hasil penelitian menunjukkan terdapat 110 kasus (6,4%). Berbeda dengan penelitian tersebut, pada penelitian ini daerah yang diteliti yaitu Desa Datah dan Kelurahan Karangasem, desain yang digunakan yaitu case control dan metode diagnosisnya yaitu dengan pemeriksaan feses metode langsung dan pengapungan, tanpa pemeriksaan serologi dan molekular. Selain itu juga dicari hubungan faktor risiko dengan kejadian taeniasis.