BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang I.1.1 Transportasi Publik Perkotaan Seiring bertumbuhnya kota, bertambah juga kepadatan penduduk di dalamnya. Arus urbanisasi melaju pesat dengan adanya paradigma bahwa kota adalah pusat dari kegiatan ekonomi dimana di situlah terdapat peluang untuk bekerja dan berkembang. Tokyo, ibukota Jepang adalah kota dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, dengan populasi sebanyak 37.126.000 jiwa, diikuti oleh Jakarta, ibukota Indonesia dengan 26.063.000 jiwa, dan Seoul, Korea Selatan sebanyak 22.547.000 jiwa. Kota besar lain di dunia yang masuk dalam daftar 10 besar kota terpadat di dunia adalah Delhi (India), Shanghai (China), Manila (Filipina), Karachi (Pakistan), New York (USA), Sao Paulo (Brazil), dan Mexico City (Mexico), (www.worldatlas.com,2014).
Tokyo
Seoul Gambar 1.1 Kota-kota padat di dunia Sumber : www.wikipedia.org, 2014
Jakarta
Salah satu permasalahan umum yang dihadapi oleh kota-kota negara berkembang di dunia termasuk di Indonesia adalah mengenai transportasi. Dalam menjalankan berbagai aktivitasnya, penduduk kota dituntut untuk melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Besarnya
populasi penduduk dalam satu kawasan dengan kebutuhan untuk melakukan pergerakan dalam waktu yang bersamaan membutuhkan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Keterbatasan ruang jalan dalam kota yang belum memiliki tata kelola baik menyebabkan tingginya penggunaan kendaraan
1
pribadi sehingga menimbulkan permasalahan berupa kemacetan jalan dan tingkat polusi lingkungan yang tinggi. Perkembangan kota-kota maju dan modern dunia, dilatarbelakangi oleh konsep kota berkelanjutan, dengan konsep mewujudkan kota yang dapat memberikan fasilitas dan kenyamanan bagi warganya. Kota direncanakan dengan pendekatan sustainable yang berdasarkan pada kualitas lingkungan, kualitas hubungan sosial, dan kemampuan daya dukung ekonomi yang memadai. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dilakukan perancangan kota yang terpadu dan berkesinambungan, termasuk di dalamnya perencanaan spasial sebagai wadah berbagai aktivitas dan pergerakan masyarakat perkotaan dalam sebuah sistem yang terintegrasi. Sistem transportasi yang mendukung pergerakan publik yang efektif dan telah diterapkan pada kota-kota modern dunia dengan tingkat kepadatan yang tinggi adalah sistem pergerakan massal berbasis moda transportasi kereta api. Kereta api memiliki kelebihan antara lain memiliki kapasitas angkut yang relatif besar dan memiliki jalur rel khusus, sehingga waktu tempuhnya lebih cepat daripada moda transportasi darat lain. Selain itu dari sisi lingkungan, akumulasi konsumsi dan emisi bahan bakar operasional kereta api juga relatif rendah. Tabel 1.1 Perbandingan Kapasitas dan Konsumsi Bahan Bakar Antar Moda Transportasi :
Moda Transportasi
Kereta Api Bus Pesawat Terbang Kapal Sepeda Motor
Kapasitas Angkut (orang)
Konsumsi Bahan Bakar (Liter/km)
Konsumsi Bahan Bakar (Liter/orang)
1500 40 500 500 2
3 0,5 40 10 0,08
0,002 0,125 0,05 0,006 0,04
Sumber : Dirjen Perkereta-apian, Kementrian Perhubungan RI 2011, dalam Widyastuti, 2014
2
I.1.2 Jaringan Kereta Api di Yogyakarta dan Kota-Kota di Sekitarnya Kota Yogyakarta adalah salah satu magnet penarik bagi dua kota besar yang yang mengapitnya, yaitu Kota Kutoarjo dan Kota Solo. Menurut Munawar (2000), setiap tata guna lahan atau sistem kegiatan, termasuk pada kawasan berbasis transit di sekitar stasiun, mempunyai jenis kegiatan tertentu yang akan membangkitkan pergerakan (zona bangkitan) dan atau akan menarik pergerakan (zona tarikan) dalam proses pemenuhan kebutuhan. Potensi pariwisata, pendidikan, dan ekonomi-perdagangan menjadi beberapa faktor penarik bagi masyarakat dari kota-kota di sekitarnya untuk datang ke Yogyakarta. Dengan keberadaan jalur rel beserta dua stasiun kereta api besar di pusat kota, yaitu Stasiun Tugu dan Lempuyangan, maka moda transportasi kereta api telah menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat dari Kutoarjo dan Solo untuk beraktivitas dari dan menuju kota ini.
Gambar 1.2 Stasiun aktif dan jaringan rel kereta api Kutoarjo-Jogja-Solo Sumber : Analisis Studio ROD JUTAP UGM, digambar ulang oleh penulis, 2014
PT. Kereta Api Indonesia (PT.KAI) telah menyediakan 4 unit kereta api komuter yaitu KA. Prambanan Ekspres (Prameks) yang melayani rute ulang alik
3
Kutoarjo – Yogya - Solo, KA. Sriwedari yang melayani rute Yogya – Solo Yogya, KA. Sidomukti yang melayani Yogya – Solo – Yogya, dan Madiun Jaya yang melayani Yogya – Solo – Madiun – Solo - Yogya. Stasiun kereta api lokal yang saat ini aktif beroperasi dan menjadi tempat transit/pemberhentian kereta api komuter tersebut adalah Stasiun Kutoarjo, Stasiun Jenar, Stasiun Wates, Stasiun Tugu, Stasiun Lempuyangan, Stasiun Maguwo, Stasiun Klaten, Stasiun Purwosari, dan Solo Balapan.
Gambar 1.3 Jadwal Kereta Komuter Kutoarjo-Yogyakarta-Solo Sumber : www.kereta-api.com, 2014
I.1.3 Potensi dan Wacana Pengembangan Kawasan Stasiun Tugu Yogyakarta Stasiun Tugu adalah stasiun yang awalnya dibangun oleh Belanda untuk kepentingan transportasi penumpang dan hasil bumi dari perkebunan di Jawa,
4
Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Langgam arsitekturnya sangat kental dengan nuansa Eropa. Stasiun Tugu mulai melayani kebutuhan transportasi sejak tahun 1887, 15 tahun setelah Stasiun Lempuyangan beroperasi. Awalnya stasiun ini hanya digunakan melayani kereta barang, baru kemudian tahun 1905 mulai digunakan untuk transit kereta penumpang. Jalur luar kota pertama dibangun tahun 1899, menghubungkan Yogyakarta dan Surakarta.
Gambar 1.4 Stasiun Tugu Yogyakarta Sumber : Dokumentasi studio DKB 1, 2014
Secara geografis, Stasiun Tugu terletak di pusat Kota Yogyakarta, yaitu antara Jalan Malioboro yang menghubungkannya dengan Komplek Kraton, dan Jalan Margo Utomo yang berujung pada Tugu Pal Putih. Posisi ini menyebabkan Stasiun Tugu memiliki akses yang strategis dari sisi jarak terhadap berbagai potensi yang ada di kawasan. Potensi-potensi tersebut berada dalam jarak antara 200 meter sampai 2 km dari stasiun, dengan pola persebaran mayoritas ke arah selatan dan utara, serta beberapa ke arah timur. Potensi aktivitas yang menjadi daya tarik di kawasan ini dapat dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu : Perkantoran/Bisnis-Komersial, Fasilitas/Ruang Publik, dan Wisata//Hiburan.
Keberadaan potensi-potensi tersebut telah menarik
masyarakat dari area-area di sekitarnya untuk datang dan beraktivitas di kawasan Stasiun Tugu dalam berbagai rentang waktu yang berbeda-beda, dari pagi-siangsore (pendidikan, fasilitas publik) sampai malam hari (wisata, komersial) , serta di hari kerja (bisnis-perkantoran) atau hari libur (wisata).
5
Gambar 1.5 Potensi Aktivitas Tarikan di kawasan Stasiun Tugu Sumber : Analisa, 2014
6
Gambar 1.6 Tata Guna Lahan Kawasan Stasiun Tugu Sumber : Studio 1 MDKB 30, Kelompok III, 2013
Berdasarkan pemetaan tata guna lahan kawasan, dapat diidentifikasi bahwa Kawasan Stasiun Tugu didominasi oleh fungsi komersial, fasilitas publik dan mixed use. Hal ini menjadi indikasi bahwa kawasan lebih cenderung menjadi magnet penarik daripada pembangkit. Keberadaan berbagai fungsi tersebut tidak hanya mnejadi penarik masyarakat skala kota, namun telah menjadi penarik skala regional. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Supriyono, selaku Manager Pelayanan PT. KAI DAOP VI, jumlah penumpang kereta lebih banyak yang turun di Stasiun Tugu, yang mana mendukung fakta bahwa Kawasan Stasiun Tugu Yogyakarta adalah kawasan tarikan. Kawasan ini berkembang dengan pesat dari hari ke hari, dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang semakin tinggi. Ruas Jalan Margo Utomo dan Jalan Malioboro selalu penuh dengan kendaraan, terutama pada jam sibuk di hari kerja dengan mayoritas penggunanya adalah pelaku bisnis, pekerja, pelajar, wisatawan, dan juga pengendara yang hanya sekedar lewat saja. Untuk mengurangi kemacetan dan mengurangi kesesakan jalur kendaraan, pemerintah telah
7
melakukan beberapa upaya penataan, seperti pengaturan jalur lalu lintas kendaraan searah dan pengalihan jalur akses untuk pengendara yang hanya lewat. Beberapa rencana yang telah disiapkan oleh pemerintah setempat adalah penataan kawasan Malioboro yang terintegrasi dengan penataan kawasan Stasiun Tugu. Pengembangan kawasan Malioboro dan Stasiun Tugu merupakan proyek mixed-use dalam rangka menyediakan prasarana bagi masyarakat yang berfungsi sebagai tempat hunian, perkantoran, bisnis, pertemuan, pusat belanja, pusat pendidikan, pusat hiburan serta pusat pelayanan publik. Pengembangan Malioboro bertujuan untuk memberikan akses lebih leluasa kepada pejalan kaki, meningkatkan peluang transaksi komersial, serta menata infrastruktur kawasan termasuk parkir dan aksesnya. Sedangkan pengembangan kawasan Stasiun Tugu bertujuan untuk menciptakan kawasan dengan tata guna lahan bercampur yaitu permukiman, komersial, yang terintegrasi dengan sistem transportasi publik yang baik (www.jogjainvest.jogjaprov.go.id). Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY, telah menandatangani nota kesepahaman dengan pihak PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI), Walikota Yogyakarta, dan Pihak Kraton Yogyakarta Hadiningrat terkait rencana pelaksanaan Revitalisasi Stasiun Tugu Yogyakarta dan Penataan Pedestrian Malioboro pada tanggal 10 Januari 2014 (www.thepresidentpost.com, 11 Januari 2014). Rencana program ini dilakukan untuk memecahkan kepadatan, mengantisipasi kemacetan di Malioboro, sekaligus mengoptimalkan potensi tanah kawasan stasiun agar dapat lebih bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ignasius Jonan, saat masih menjabat sebagai Direktur Utama PT. KAI, melihat bahwa kultur masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya telah memiliki kesadaran untuk turut serta menjaga kereta api sebagai fasilitas transportasi umum bersama. Stasiun Tugu sebagai stasiun besar di Yogyakarta juga telah berkembang dengan pesat. Jumlah penumpang yang naik dan turun di stasiun
8
Tugu
semakin
meningkat
dari
waktu
ke
waktu
secara
signifikan
(www.bumn.go.id, 12 Juli 2014). Kesepahaman pihak-pihak penentu kebijakan dalam rencana penataan kawasan Malioboro terintegrasi dengan Stasiun Tugu telah memberikan peluang yang baik untuk pengembangan kawasan Stasiun Tugu dengan menerapkan prinsip-prinsip Transit Oriented Development (TOD).
I.1.4 Transit Oriented Development dan Aksesibilitas Kawasan berbasis Transit Oriented Development (TOD) adalah kawasan dengan tata guna lahan bercampur (mixed-use) dalam jarak tempuh rata-rata berjalan kaki sejauh ±500meter menuju fasilitas transit dan pusat komersial kawasan. Tata guna lahan pada kawasan TOD (transit) terdiri dari area permukiman campuran, pertokoan, perkantoran, ruang terbuka, dan fasilitas publik dalam lingkungan yang walkable, dan nyaman untuk bergerak baik dengan fasilitas transit, sepeda, berjalan kaki, maupun mobil (Calthorpe, 1993). Kawasan Stasiun Tugu memiliki potensi yang besar untuk pengembangan kawasan berbasis transit. Terdapat titik-titik pusat aktivitas dengan berbagai jenis fungsi : Perkantoran/Komersial, Fasilitas Publik, serta Wisata yang terletak dalam jarak kurang dari 2 km dari stasiun. Titik-titik ini merupakan potensi tarikan yang kuat bagi masyarakat sekitar, baik lokal maupun regional, termasuk masyarakat komuter Kutoarjo – Yogya – Solo, yang memanfaatkan kereta api komuter lokal sebagai sarana pendukung aktivitas rutin mereka yang mengharuskan berpindah antar kota tersebut. Falcone dan Richardson (2010), menyatakan bahwa salah satu prinsip pengembangan kawasan berbasis transit adalah perencanaan transportasi publik dengan interkoneksi antar moda yang baik, dari pusat (stasiun) menuju ke rute lain di sekitarnya. Hal ini akan menghidupkan kawasan sebagai pusat aktivitas dengan pengguna sebagian besar pejalan kaki dan penumpang angkutan umum. Fasilitas sistem transportasi publik kawasan stasiun Tugu saat ini belum ideal, dimana majunya pelayanan dan jaringan kereta api belum didukung oleh
9
interkoneksi antarmoda transportasi lokal penghubung dalam kota yang memadai. Saat ini telah terdapat jaringan bus Trans Jogja sebagai feeder, meskipun belum terintegrasi dengan stasiun dan belum memiliki kualitas pelayanan yang optimal. Beberapa alternatif transportasi yang digunakan oleh masyarakat komuter sebagai penghubung stasiun dengan tempat aktivitas tarikan adalah taksi, ojek, becak, serta kendaraan pribadi (motor) yang diparkir di stasiun untuk keperluan pergerakan yang lebih praktis.
Gambar 1.7 Peta titik-titik moda transportasi Stasiun Tugu yang ada saat ini Sumber : Analisa, 2015
10
Gambar 1.8 Moda transportasi penghubung Stasiun Tugu yang ada saat ini belum optimal Sumber : Dokumentasi studio DKB 1, 2014
Fasilitas jalur pejalan kaki kawasan stasiun pun belum tersedia dengan baik. Beberapa jalur saat ini rusak, dan banyak digunakan untuk aktivitas perdagangan kaki lima, sehingga menyebabkan masyarakat yang akan mengakses titik aktivitas tarikan dalam jangkauan berjalan kaki tidak nyaman.
Gambar 1.9 Jalur pejalan kaki belum tertata baik Sumber : Dokumentasi studio DKB 1, 2014
Moda transportasi umum kendaraan tidak bermotor, yang terdapat pada kawasan adalah andong, dokar, dan becak. Andong dan dokar memiliki kapasitas penumpang yang lebih besar dan ditarik oleh kuda. Berdasarkan pengamatan, kedua moda tersebut hampir seluruhnya digunakan responden dengan tujuan wisata, dimana dengan besarnya kapasitas dan biaya operasionalnya, harga yang ditetapkan bagi penumpang menjadi relatif lebih mahal dibanding becak jika.
11
Selain itu dengan dimensi yang besar dengan penarik kuda, fleksibilitas pergerakan pun menjadi kurang, yang menyebabkan andong dan dokar hanya dapat menjangkau jalur-jalur tertentu, tidak mampu menjangkau jalan-jalan kecil di dalam kota.
Gambar 1.10 Andong dengan penarik kuda, dimensi dan kapasitas lebih besar Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015
Becak memiliki dimensi yang lebih kecil, dengan kapasitas penumpang hanya 2 (dua) orang, dan digerakkan oleh tenaga manusia (penarik becak). Berdasarkan pengamatan, becak tidak hanya digunakan oleh wisatawan, namun juga menjadi pilihan penumpang komuter secara reguler, dengan alasan tarif yang lebih murah dan dapat langsung berangkat pada saat diperlukan, tidak seperti andong atau dokar yang cenderung untuk menunggu penumpang penuh, terkecuali penumpang mau membayar lebih mahal. Dimensinya yang kecil membuat becak lebih fleksibel untuk bergerak menjangkau seluruh jalur-jalur perkotaan, masuk ke jalan-jalan kecil, dan membutuhkan ruang parkir yang lebih kecil. Becak merupakan jenis transportasi umum berkapasitas kecil yang ramah lingkungan, atraktif, dan mencerminkan unsur tradisional setempat.
12
Gambar 1.11 Becak menjadi pilihan dengan kapasitas dan dimensi lebih kecil, tarif yang lebih murah, serta dapat menjangkau jalan-jalan kecil dengan pergerakan yang lebih fleksibel Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan dan kemudahan dalam pencapaian transportasi terhadap fungsi dalam tata guna lahan kawasan (Black, 1981). Pada kasus kawasan stasiun Tugu yang akan dikembangkan oleh seluruh pihak pemangku kebijakan sebagai sebuah kawasan terintegrasi dengan prinsip kawasan berbasis transit, maka aksesibilitas antara stasiun transit sebagai pusat kawasan terhadap titik-titik aktivitas di kawasan dalam jangkauan radius TOD tersebut perlu mendapatkan perhatian yang serius.
13
Gambar 1.12 Alur Penarikan Masalah Sumber : Analisa, 2014
I.2 Rumusan Permasalahan Terkait rencana pengembangan kawasan berbasis transit pada kawasan stasiun Tugu, maka diperlukan penelitian spasial, termasuk dalam hal aksesibilitas stasiun terhadap titik-titik tarikan di kawasan.
14
I.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apa saja titik-titik tarikan kawasan Stasiun Tugu? 2. Bagaimana tingkat aksesibilitas Stasiun Tugu terhadap titik-titik tarikan kawasan?
I.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan permasalahan, dan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui titik-titik tarikan kawasan Stasiun Tugu. 2. Mengetahui tingkat aksesibilitas Stasiun Tugu terhadap titik-titik tarikan kawasan.
I.5 Sasaran Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan permasalahan, pertanyaan, dan tujuan penelitian di atas, maka sasaran dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memetakan titik-titik aktivitas di kawasan yang memiliki daya tarik bagi masyarakat dalam jangkauan kawasan berbasis transit. 2. Mengidentifikasi tingkat aksesibilitas Stasiun Tugu terhadap titik-titik tarikan kawasan.
I.6 Manfaat Penelitian Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dengan menjadi sebuah referensi pengidentifikasian permasalahan yang bertujuan untuk menentukan rekomendasi/alternatif-alternatif solusi, dengan menerapkan teori-teori perencanaan dan desain kawasan khususnya terkait pengembangan kawasan berbasis transit melalui pendekatan aksesibilitas. Bagi pengelola, pemerintah, dan pihak pihak praktisi yang terkait lainnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah referensi untuk perencanaan dan pengembangan kawasan lebih lannjut, khususnya pada kawasan stasiun Tugu Yogyakarta, dengan mengimplementasikan teori-teori perencanaan kawasan
15
dalam pengembangan kawasan stasiun Tugu Yogyakarta berbasis transit dengan pendekatan aksesibilitas kawasan. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya aksesibilitas kawasan terkait pengembangan kawasan berbasis transit.
I.7 Keaslian Penelitian Berikut ini adalah tabel data penelitian dengan tema sejenis yang pernah dilakukan : Tabel 1.2 Data Penelitian mengenai aksesibilitas kawasan terkait TOD : (Sumber : kompilasi data tesis, Oktober 2014) No
Peneliti
Judul
Fokus
Lokus
Metode
Temuan
1
Lukluk Zuraida Jamal (UGM 2013)
Walkability Pada Kawasan Berbasis Transit Oriented Development
Besaran Walkarea, Tingkat Walkability, dan Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi Walkability
Kawasan Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta
Kualitatifkuantitaf rasionalistik
Walkarea inti kawasan stasiun lempuyangan berada ada radius 400m dari stasiun degan perluasan walkarea di luar radus 500m. Tingkat walkability kawasan berbasis TOD sebesar 7,98 dari 15 poin dengan pengertian sebagian area merupakan area yang walkable dengan tingkat walkability cukup baik, namun sebagian lain masih merupakan area non walkable dengan tingkat walkability buruk. Faktor yang mempengaruhi walkability kawasan adalah jarak tempuh, waktu tempuh, akses menuju fasilitas parkir, area drop off dan pick up, serta fasilitas paratransit lebih dekat dibanding jika harus berjalan kaki menuju titik pemberhentian bus dan shelter BRT. Faktor kualitas desain dan jaringan jalur pejalan kaki yang buruk dan tidak berfungsi optimal bagi pejalan kaki juga sangat berpengaruh.
2
Christian Oktarino (UGM, 2013)
Pengembangan Kawasan Sekitar Stasiun Yang Berbasis Jalur Kereta Api (ROD)
Studi kelayakan untuk pengembangan kawasan ROD, dengan komparasi elemen mobilitas, densitas, diversitas, linkage, dan intermoda kawasan
Stasiun Pasar Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah
Kuantitatif rasionalistik
Kawasan Stasiun Pasar Nguter masih cukup jauh dari kondisi ideal sebuah kawasan yang berbasis ROD. Armada kereta yang belum beroperasi menyebabkan pilihan transportasi publik bagi penghuni kawasan menjadi minim. Elemen kawasan yang dikaji berdasarkan variabek masih belum mencapai kondisi ideal. Diperlukan strategi pengembangan dengan penekanan pada integrasi yang kuat pada tata guna lahan dan sistem transportasi.
16
3
Angling Randhiko Putro (UGM, 2013)
Aksesibilitas Halte Trans Jogja Terhadap Potensi Kawasan
(Improvement) Sistem Aksesibilitas Pengguna Halte Trans Jogja, dengan mengoptimalkan tempat transit dan kemudahan transit antar moda menuju destinasi
1. Halte Condongcatur -RS JIH 2. Halte Sudirman 2 & Sudirman 3 & Diponegoro 3. Halte Sudirman Ahmad Yani – Senopati 1 & Senopati 2
Pendekatan deduktif, mengolah data secara kualitatif
Aksesibilitas kawasan ke halte TJ atau sebaliknya yang paling utama adalah dengan memberikan kemudahan bagian masyarakat untuk memilih moda transportasi umum dan pribadi atau dengan berjalan kaki. Terdapat beberapa beberapa halte yang letaknya tidak sesuai dengan jangkauan penggunanya. Rekomendasi diarahkan pada : kemudahan dan kenyamanan pencapaian pejalan kaki, petunjuk arah menuju halte, jalur pejalan kaki dengan teduhan yang cukup, tidak ada konflik dan sedikit crossing dengan kendaraan bermotor, menyediakan tempat parkir untuk moda transportasi umum dan pribadi.
4. Halte Tegal Turi 1 & 2 – Tegal Gendu 1&2
4
Hayati Sari Hasibuan (UI, 2013)
The Role of Transit Oriented Development in Constructing Urban Environment Sustainability
Potensi penerapan TOD di Jabodetabek dengan konsep pengaturan pertumbuhan kawasan pada koridor transit
Jabodetabek, Indonesia
Kualitatifkuantitaf rasionalistik
Penerapan konsep TOD sangat penting tidak hanya untuk merestrukturisasi perkembangan tata guna lahan secara efektif atau mendapatkan kembali investasi sektor transportasi massal, namun juga untuk meningkatkan kualitas lingkungan kawasan.
5
Farjana Mostafiz Shatu
Investigating the Link between TOD and Sustainable Travel Behavior
Pengujian empiris pandangan umum bahwa TOD lebih meningkatkan penggunaan moda transportasi yang berkelanjutan
Brisbane, Australia
Kuantitatif komparatif
Pada kasus kota Brisbane, ketersediaan berbagai fasilitas dan pelayanan publik yang berada dalam kawasan TOD mengurangi penggunaan mobil sebesar 5% dan meningkatkan penggunaan transport publik aktif sebesar 4%.
Measuring Perceived Neighbourhood Walkability in Hongkong
Pengujian realibilitas dna validitas instrumen penilaian walkability : Neigbourhood Environment Walkability Scale (NEWS-A)
Sam Shui Po, Baguio Villa, Lin Fa Tei (Hong Kong)
Kuantitatif komparatif
Sistem penilaian walkability pejalan kaki NEWS-A memiliki realibilitas test-retest yang baik, dan dapat disimpulkan bahwa instrumen ini dapat digunakan pada studi lintas negara perihal efek dari lingkungan binaan terhadap minat berjalan kaki pengguna.
(Queensland University of Technology, 2014) 6
Ester Cerin, (The University of Hongkong, 2006)
17