BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugerah terindah yang diberikan kepada setiap orang tua. Orang tua pasti menginginkan anak lahir dengan sehat, tanpa kekurangan apapun. Setiap orang tua menginginkan anak yang normal, memiliki ciri standar hampir sama dengan anak kebanyakan. Namun takdir berkata lain anak yang dilahirkan memiliki kekhususan yang membedakannya dengan anak-anak pada umumnya. Tak dipungkiri ada orang tua yang menolak kehadiran anak tersebut, walaupun ternyata masih banyak orang tua yang menerima dengan ikhlas, lapang dada serta mengasuh dengan penuh kasih dan sayang karena pada dasarnya setiap anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebutuhan jasmani maupun rohani. Orang tua memiliki kewajiban menjaga dan merawat anak sampai tumbuh dewasa dan memiliki kemandirian untuk melangsungkan kehidupan. Indonesia pada saat ini mengalami masalah beban gizi ganda, dimana ketika permasalahan gizi kurang belum terselesaikan, muncul permasalahan gizi lebih. Gizi kurang banyak dihubungkan dengan penyakit-penyakit infeksi, maka gizi lebih dan obesitas dianggap sebagai sinyal awal, dan munculnya kelompok penyakit-penyakit degeneratif atau non infeksi yang sekarang ini banyak terjadi di seluruh pelosok Indonesia (Simatupang, 2008). Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, secara nasional prevalensi kurus pada anak umur 5-12 tahun adalah 11,2%, terdiri dari 7,2% kurus dan 4,0% sangat kurus. Prevalensi gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8%, terdiri 1
2
dari gemuk 10,8% dan sangat gemuk atau obesitas 8,0%. Anak usia sekolah merupakan kelompok yang rentan gizi, kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi. Pada umumnya kelompok ini berhubungan dengan proses pertumbuhan yang relatif pesat, yang memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar (Sediaoetama, 2004). Pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan zat gizi pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan yang diharapkan. Banyak masalah yang ditimbulkan dalam pemberian makanan yang tidak benar dan menyimpang. Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto yang dikutip oleh Damanik, 2011). Secara langsung keadaan zat gizi dipengaruhi oleh kecukupan asupan makanan dan keadaan individu. Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya. Menurut Efendi yang dikutip oleh Abdullah (2013), istilah berkebutuhan khusus secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap mempunyai kelainan atau penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya. Menurut Sularyo & Kadim yang dikutip oleh Rahmawati (2013), saat ini jumlah masyarakat berkebutuhan khusus tunagrahita diperkirakan lebih banyak di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Menurut catatan UNESCAP (2009), di Indonesia tercatat 1,38% penduduk dengan disability atau sekitar 3.063.000 jiwa. Berdasarkan Kementerian
3
Sosial Republik Indonesia tahun 2010 dari 14 propinsi di Indonesia yang menjadi sasaran survei tercatat 1.167.111 jiwa penyandang disability (Irwanto, et al, 2010). Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 24,45% atau 361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan 21,42% atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610 anak usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ini berarti masih ada 295.250 anak penyandang cacat (85,6%) ada di masyarakat di bawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga dan pada umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Data Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat tahun 2009 menunjukkan jumlah anak penyandang cacat yang ada di sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Pertama sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak. Data siswa penyandang cacat yang terdaftar di SLB menurut Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2009 adalah sebagai berikut: siswa tunanetra 1.105 orang, siswa tunarungu atau tunawicara 5.610 orang, siswa tunagrahita 4.253 orang, siswa tunadaksa 229 orang, siswa tunalaras 487 orang, siswa autis 638 orang, siswa tunaganda 171 orang, dan siswa campuran 58.008 orang.
4
Anak berkebutuhan khusus memiliki masalah dalam perilaku sehari-hari misalnya yang mengarah pada kesehatan. Anak tunagrahita tidak bisa menentukan bagaimana mereka harus menjaga kesehatan, mengatur pola makan, dan mencegah mereka dari penyakit yang mengancam kesehatannya. Anak tunagrahita sedang sampai berat bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya, sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi. Menurut Mathur (2007), terdapat perbedaan status gizi anak dengan disabilitas intelektual (tunagrahita) dengan status gizi anak normal. Studi Physical Growth of Deaf Mute Boys of Punjab yang dilakukan pada anak-anak tunarungu yang berusia antara 6 sampai 17 tahun menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan yang berusia antara 6 sampai 10 tahun memiliki tinggi badan dibawah standar (Singh yang dikutip oleh Putra, 2014). Menurut data yang diperoleh Center for Diseases Control and Prevention (CDC) tahun 2010 anak penyandang cacat yang berumur antara 10 sampai 17 tahun sebanyak 20% menderita obesitas sedangkan anak dengan umur yang sama tanpa menderita cacat fisik maupun mental sebesar 15% menderita obesitas (Strecker, 2011). Penelitian lain juga menemukan bahwa anak tunagrahita sebagian besar menderita obesitas daripada anak tunarungu, hal ini dikarenakan pada umumnya karakteristik mereka lebih suka makan lebih banyak, serta kebiasaan hidup yang senang berdiam diri dari pada anak disability lainnya sedangkan anak tunarungu cenderung lebih kurus dari anak tunagrahita karena aktivitas mereka yang lebih besar daripada asupan makanan yang diterima (Suzuki, et al. 1991). Hasil
5
penelitian yang dilakukan di SLBN Pembina Tingkat Nasional Kabupaten Bandung juga menunjukkan siswa tunagrahita cenderung gemuk sedangkan siswa tunarungu cenderung kurus (Putra, 2014). Aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak tunagrahita juga lebih rendah dibandingkan dengan anak normal karena penurunan fungsi motorik. Menurut penelitian Foley dan Llyod yang dikutip oleh Rahmawati (2013), aktivitas anak dengan disabilitas intelektual lebih rendah dibandingkan dengan anak normal, terutama anak usia sekolah. Menurut Sugiarto (2012) yang mengutip hasil penelitian Chatoor, kenyataannya, 25% anak-anak normal dan 80% anak-anak dengan gangguan perkembangan (berkebutuhan khusus) dilaporkan mempunyai masalah kesulitan makan yang dapat memengaruhi tumbuh kembang anak. Berdasarkan pendapat Rahmawati (2013) yang mengutip penelitian Ha, gangguan makan pada anak berkebutuhan khusus tunagrahita berupa makan berlebihan atau terlalu sedikit, menghindari makanan tertentu, maupun memilih makanan tertentu. Masalah status gizi kurang maupun gizi lebih tentu dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga anak akan lebih mudah terserang penyakit, khususnya anak dengan disability yang lebih membutuhkan perhatian khusus (Putra, 2014). Status gizi yang baik dapat memudahkan anak tunagrahita melakukan aktivitas fisik yang dapat menunjang kesehatan (Suprasetyo, 2015). Status gizi yang kurang dan berlebih dapat menimbulkan risiko penyakit yang berbahaya. Menurut Depkes RI yang dikutip oleh Supariasa (2001), kerugian berat badan kurang yaitu: 1) penampilan cenderung kurang baik, 2) mudah letih, 3) risiko sakit tinggi, antara lain: penyakit infeksi, depresi, anemia, dan diare, 4) wanita kurus
6
yang hamil mempunyai risiko tinggi melahirkan bayi dengan BBLR, 5) kurang mampu bekerja keras. Sedangkan kelebihan berat badan berlebih yaitu: 1) penampilan kurang menarik, 2) gerakan tidak gesit dan lamban, 3) mempunyai risiko penyakit antara lain; jantung dan pembuluh darah, diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, gangguan sendi, gangguan tulang, gangguan ginjal, gangguan kandungan empedu, dan kanker, 4) pada wanita dapat mengakibatkan gangguan haid dan faktor penyakit pada persalinan. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai merupakan sekolah yang diperuntukan bagi anak berkebutuhan khusus di jenjang sekolah dasar yang didirikan pada bulan Juni tahun 1982 dan merupakan sekolah luar biasa satu-satunya di Kabupaten Langkat. Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri 057704 memiliki siswa terdaftar tahun ajaran 2015/2016 sebanyak 162 orang yang terbagi dalam 15 kelas. Siswa yang bersekolah di SDLB ini adalah siswa yang memiliki kebutuhan khusus yaitu siswa autisme sebanyak 25 orang, siswa tunadaksa 2 orang, siswa tunagrahita 91 orang, siswa tunanetra 1 orang dan siswa tunarungu 43 orang, dengan rentang umur 7-26 tahun. Pengamatan survei awal pada tanggal 28 Januari terdapat beberapa siswa tunagrahita aktif selama belajar dan suka berlari. Menurut perbincangan dengan 2 ibu siswa tunarungu, anak mereka makan seperti anak biasanya 3 kali dalam sehari namun dengan jumlah yang sedikit. Hasil penimbangan BB dan pengukuran TB 20 siswa dari beberapa tingkatan kelas dengan rentang umur 8-12 tahun diperoleh status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) adalah sebagai berikut: 11 siswa normal (55%), 4 siswa kurus (20%), 4
7
siswa gemuk (20%), dan 1 siswa obesitas (5%). Dua dari 4 siswa kurus memiliki status gizi TB/U kategori pendek, dan 1 siswa gemuk kategori sangat pendek. Survei kedua dilakukan pada tanggal 14 Maret dengan melakukan wawancara food recall dan food frequency dengan responden 7 ibu siswa tunarungu dan tunagrahita. Berdasarkan informasi dari ibu siswa yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, anak mereka kurang memiliki selera makan, diantaranya ada 1 anak makan dua kali dalam satu hari dengan waktu yang tidak menentu. Asupan makanan yang dikonsumsi 6 siswa kurang dari angka kecukupan energi yang dianjurkan. Tingkat konsumsi energi keenam siswa di bawah 80% AKG. Tiga dari 7 siswa tersebut pada survei sebelumnya telah diukur status gizinya dengan kategori 2 siswa normal dan 1 siswa kurus. Jenis makanan yang dikonsumsi yaitu 4 siswa kurang lengkap terdiri dari makanan pokok, laukpauk, dan sayur; 3 siswa tidak lengkap terdiri dari makanan pokok, dan lauk-pauk atau sayur. Berdasarkan wawancara, aktivitas anak di sekolah yaitu belajar dan bermain, setelah pulang sekolah anak lebih suka berada di rumah untuk menonton televisi dan terkadang bermain sepeda.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran pola makan, aktivitas fisik, dan status gizi siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat Tahun 2016.
8
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola makan, aktivitas fisik, dan status gizi siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 Kwala Bingai Kecamatan Stabat tahun 2016.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi bagi pihak sekolah maupun guru Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 mengenai status gizi siswa. 2. Memberikan informasi bagi orang tua siswa khususnya Ibu mengenai kebutuhan gizi dan status gizi anak serta memberi masukan dalam pemberian makan pada anak. 3. Memberikan informasi bagi Puskesmas Stabat mengenai status gizi siswa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 057704 serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan guna meningkatkan pemantauan status gizi anak sekolah di wilayah kerja puskesmas.