BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 1. Anak Tunalaras Istilah tunalaras dalam dunia Pendidikan Luar Biasa (Astati, 2001) berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang, dan “laras” yang berarti sesuai. Anak tunalaras menurut pengertian istilah tersebut dapat dijabarkan menjadi anak yang berperilaku tidak sesuai dengan lingkungan. Anak tunalaras adalah anak dengan gangguan emosi dan/atau sosial yang diwujudkan melalui perilaku dalam kehidupan sosial. Ketidakmampuan emosi dan/atau sosial tersebut juga dijelaskan pada penggunaan istilahistilah lain seperti emotionally handicaped, behavioural disorder, emotional disturbance and behaviour problem/EDB, emotional and behavior disorder, social and emotional disturbance (Delphie, 2006; Astati, 2001; Eli M Bower, 1981). Istilah-istilah tersebut mengacu pada kesamaan makna, yaitu penyimpangan perilaku pada anak, baik berdampak pada perkembangan sosial, emosional, maupun keduanya. Penggunaan istilah tunalaras lebih tepat digunakan dikarenakan mencakup gangguan emosi dan sosial. Selain itu dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan No.2 tahun 1989, dan PP No.72 tahun 1991 mengenai pendidikan luar biasa, menggunakan istilah anak tunalaras. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah tunalaras lebih tepat untuk
1
menggambarkan kondisi psikologis mereka dalam permasalahan anak di Indonesia. 2. Faktor Penyebab Anak Tunalaras Anak tunalaras secara fisik normal tetapi memiliki gangguan psikologis berupa hambatan emosional dan/atau sosial yang menyebabkan gangguan perilaku. Dikatakan secara fisik normal karena gangguan tersebut tidak berasal dari faktor kesehatan jasmani maupun faktor genetik, walaupun ketunalarasan tersebut mempengaruhi kondisi fisik anak, misal dalam perkembangan motorik dan kemandirian (Astati, 2001; Quinn, et all., 2000). Faktor yang mempengaruhi munculnya gangguan psikologis tersebut meliputi kondisi keluarga, faktor ekonomi, dan pengaruh lingkungan (Somantri, 2007).Sebagian besar anak tunalaras berasal dari kelompok masyarakat marjinal. Kondisi ekonomi yang demikian mempengaruhi pola hidup, pola pikir, dan kesadaran pendidikan yang diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Keluarga yang tidak harmonis memberikan pengalaman buruk pada kondisi psikologis anak. Kondisi lingkungan juga berperan penting dalam proses pembelajaran anak khususnya secara psikologis. Tidak jarang ditemui anak tunalaras yang “berprofesi” sebagai anak jalanan dan akrab dengan permasalahan sosial. Kompleksitas faktor penyebab baik berupa kondisi internal (ekonomi dan keluarga), maupun kondisi eksternal (pengaruh lingkungan sekitar) memberikan kontribusi dalam perkembangan psikologis anak. Apabila kontribusi tersebut memberikan pengaruh negatif, maka psikologis dan perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari menjadi tidak wajar/normal. 2
3. Karakteristik Gangguan Perilaku Anak Tunalaras Gangguan
psikologis
anak
tunalaras(American
Psychiatric
Association, 1994) meliputi hiperaktif atau hipoaktif, agresif, melakukan perlawanan,
antisosial,
temperamental,
sensitif,
sering
berkelahi,
mempunyai permasalahan dengan orang tua/masyarakat/guru, hingga konsumsi alkohol, penyalahgunaan narkoba, dan kelainan seksual. Kompleksitas
permasalahan
penyebab
munculnya
gangguan
mempengaruhi tingkat keparahan gangguan perilaku yang dilakukan. Semakin kompleks maka semakin tinggi pula tingkat keparahan gangguan perilaku.
Tidak
jarang
pula
anak
tunalaras
memiliki
ketunaan
lainnya/tunaganda, misal tunarungu sekaligus tunalaras. Keadaan tersebut mempengaruhi tingkat keparahan psikologis anak. Sebagai contoh, pada anak tunaganda (tunalaras sekaligus rungu), gangguan tersebut tidak hanya secara emosional tetapi juga sensorik. Suparno dan Purwanto dalam bukunya Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (pada Bab 2) menjelaskan
bahwa
anak
dengan
tingkat
keparahan
berat
memerlukanlayanan yang lebih lama untuk menumbuhkan kemandirian mereka.Hal
ini
menunjukkan
bahwa
dengan
adanya
perbedaan
kompleksitas dan tingkat keparahan gangguan psikologis pada anak tunalaras menyebabkan perbedaan penanganan yang dilakukan. Perbedaan
kompleksitas
dan
tingkat
keparahan
psikologis
menyebabkan adanya klasifikasi anak tunalaras. Adapun klasifikasi tersebut berdasarkan gejala gangguan tingkah laku (Rusli Ibrahim, 2005), tingkatan resiko tingkah laku (Rosembera, dkk, 1992), dan tingkat 3
keparahan gangguan emosi perilaku (DSM-IV American Psychiatric Association, 1994). Klasifikasi tersebut dijelaskan pada Bab II. Adanya klasifikasi anak tunalaras mendukung pernyataan terkait dengan perbedaan penanganan yang dilakukan. 4. Edukasi Sekolah sebagai Penanganan Gangguan Psikologis Anak Tunalaras Sekolah,dalam aspek edukasi, berperan penting dalam penanganan gangguan
psikologis
anaktunalaras.
Banyak
penelitian
psikologi
menyatakan bahwa edukasi dapat berperan sebagai terapi dalam penanganan ketidakmampuan psikologis anak, salah satunya anak dengan gangguan
emosi
dan
sosial.
Vail
(1959)
dalam
penelitiannya
menyebutkaneducation as therapy. Hal ini berlaku baik edukasi formal maupun non-formal. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa terapi, edukasi, dan penanganan gangguan psikologis tidak dapat dipisahkan. Ketiganya bekerja bersama sehingga mempunyai kontribusi yang positif dan efektif bagi anak berkebutuhan khusus. Volkan dan Hawkins (1972) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa peran edukasi atau pembelajaran sekolah sebagai terapi penanganan gangguan psikologis. Hal ini dikarenakan edukasi berperan dalam pembentukan ego anak, pembentukan konsep hubungan interprestasi, pembentukan stimulus. Pembentukan konsep interprestasi tersebut meliputi pengarahan logika, penekanan hubungan sebab akibat, pelatihan komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi melalui prosesnya berperan sebagai terapi psikologis. Dalam beberapa penelitian psikologi disebutkan bahwa edukasi 4
berperan sebagai terapi psikologis karena di dalamnya meliputi terapi okupasi, terapi bicara dan komunikasi, terapi musik, terapi motorik, terapi emosi, serta terapi adaptasi sosial. Dari penjelasan tersebut dapat ditunjukkan
pentingnya
edukasi
dalam
perannya
sebagai
terapi
penanganan gangguan psikologis anak. Penanganan yang efektif bagi anak tunalaras tidak dapat disamakan dengan anak dengan gangguan psikologis lain. Misal, ADHD, autis, downsyndrom,
ataupun
gangguan
syaraf/genetik
lainnya
yang
memungkinkan untuk dilakukan penanganan terapi psikologis non formal. Terapi non formal tersebut dapat dilakukan di luar sekolah, oleh instansi khusus, dan tidak menyatu dengan kurikulum sekolah. Penanganan gangguan pada anak tunalaras yang efektif menuntut adanya wadah formal, baik tempat maupun kegiatan di dalamnya. Hal ini dikarenakan wadah non formal tidak dapat mengakomodir gangguan perilaku anak tunalaras. Sekolah (Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras/SLB E) dalam hal ini digunakan sebagai bentuk formal dalam penanganan gangguan anak tunalaras. Wadah formal tersebut dapat mendidik dan mengarahkan anak tunalaras dengan lebih tegas dan terkontrol. Adapun di dalamnya terdapat peraturan dan kurikulum sekolah yang mengarahkan anak untuk mematuhi dan mengenal nilai. Sekolah dalam hal ini berbeda dengan sekolah untuk anak normal. Pada penerapan kurikulumnya dapat mengontrol anak ketika merasa terdistraksi, yaitu dengan memberikan kebebasan sekaligus ketegasan dalam mengarahkan perilaku. Misal, ketika siswa tunalaras terdistraksi
pada
saat
kegiatan
pembelajaran
berlangsung,
guru 5
membiarkan siswa tersebut mencoret-coret buku, tidur di lantai, atau bernyanyi sekeras-kerasnya. Namun, siswa tersebut tidak diperbolehkan keluar kelas. Pada tahapan berikutnya, pengarahan perilaku siswa lebih tegas, sehingga pada akhirnya siswa tersebut dapat terkontrol dalam mengikuti kurikulum pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi dalam bentuk formal memberikan kontribusi positif dalam penanganan gangguan psikologis anak tunalaras. 5. Layout tempat duduk sebagai Penanganan Gangguan Psikologis Anak Tunalaras Lingkungan yang mendukung proses pembelajaran sekolah dapat membantu efektivitas penanganan terapi edukasi yang diberikan(Salend, 2007; Quinn, et all., 2000). Penanganan terapi tersebut disesuaikan dengan kondisi psikologis dan kompleksitas permasalahan anak.Hal ini ditunjang dengan aspek fisik dan non fisik. Adapun aspek fisik meliputi setting fisik ruang, termasuk di dalamnya penataan layout tempat duduk (Porteous, 1997). Aspek nonfisik meliputi durasi pendampingan guru, pengaturan jadwal pelajaran, dan kurikulum yang berlaku (Dunne, et all.,2007). Aspek fisik dan non fisik tersebut berpengaruh dalam pembentukan lingkungan pembelajaran yang kondusif dalam proses terapi edukasi. Aspek fisik berupa setting fisik ruang mempunyai kontribusi penting dalam pembentukan lingkungan pembelajaran(Kaser, 2007). Salah satunya melalui pengaturanlayout tempat duduk siswa, dalam hal ini siswa tunalaras. Hal ini diharapkan dapat membantu guru dalam memberikan
6
materi pembelajaran (edukasi) sebagai terapi psikologis.Porteous (1977) menjelaskan bahwalayout tempat duduk ditujukan untuk mendukung jalannya kegiatan pembelajaran dan meningkatkan partisipasi siswa agar konsentrasinya tetap terkontrol. Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan
Neuman
(2003),
Niemeyer
(2003),
Callahan
(2004),
mengemukakan bahwa penataan ruang kelas dengan layout tempat duduk klasik/tradisional dinilai kurang tepat dalam mengakomodir semua siswa. Penataan ruang kelas dengan layout klasik/tradisional tersebuthanya cocok untuk siswa-siswa tertentu yang memiliki intelegensi, tingkat kemandirian tinggi untuk tetap dapat berkonsentrasi, serta merupakan active learning children dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa layout klasik hanya cocok untuk siswa yang tidak memerlukan kontrol stimulus dalam penyerapan materi pembelajaran. Sementara layout dengan penataan open classroom dinilai cocok untuk mengakomodir siswa yang memerlukan kontrol stimulus sehingga dapat meminimalisir terjadinya distraksi. Open classroom juga dikatakan cocok untuk siswa yang tidak memerlukan kontrol stimulus. Penjelasan tersebut memberikan pengertian bahwa aspek fisik berupa layout tempat duduk mempunyai peran penting khususnya dalam memberikan porsi stimulus yang sesuai dengan kondisi psikologis siswa. Hal ini ditujukan dalam pembentukan lingkungan pembelajaran yang kondusif.
7
6. Layout tempat duduk pada SLB E Prayuwana Surakarta Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras/SLB E Prayuwana Surakarta merupakan salah satu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak tunalaras yang ada di Surakarta. Adapun karakteristik siswa tunalaras di dalamnya memiliki kompleksitas tinggi dikarenakan faktor internal dan eksternal siswa. Kompleksitas gangguan juga diikuti ketunaan lainnya, seperti tuna grahita, tuna daksa, dan tunarungu. Untuk mengatasi hal tersebut, idealnya dilakukan penanganan efektif dalam pembentukan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras/SLB E Prayuwana Surakarta terdiri dari 2 jenjang pendidikan dengan jumlah 9 kelas, terdiri dari SDLB (kelas 1-6) dan SMPLB (kelas 7-9). SLB E ini dalam kegiatan pembelajaran di ruang kelas mengadakan perbedaan dalam penataan layout tempat duduk siswa. Perbedaan tersebut ditunjukkan dengan layout tempat duduk statis berupa self arrangement pada kelas 1, 2, dan 3. Selain itu,
dilakukan
layout tempat
duduk
dinamis
berupa
klasik–pot
arrangement–klasik pada kelas 4 dan 5. Adapun perubahannya dilakukan dengan porsi yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi psikologis siswa. Sementara kelas 6, 7, 8, dan 9 dilakukan layout tempat duduk statis berupa klasik. Fenomena tersebut menunjukkan adanya perbedaan layout yaitu self arrangement statis, dinamis, dan klasik statis. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya penanganan gangguan psikologis dalam pembentukan
lingkungan
pembelajaran
yang
kondusif.
Apabila 8
dikembalikan pada teori Porteous (1977), fenomena tersebut merupakan serangkaian proses pembentukan lingkungan pembelajaran yang kondusif dari open classroom/self arrangement menuju klasik. Teori tersebut menjelaskan mengenai siswa yang memiliki ketidakmampuan intelegensi akan mempunyai resiko lebih banyak dalam terjadinya distraksi. Untuk mengontrol stimulus tersebut perlu dilakukan modifikasi ruang lebih banyak dalam pembentukan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Hal ini dicapai dengan bentukan layout open classroom. Sebaliknya, siswa dengan intelegensi tinggi mempunyai resiko terjadinya distraksi lebih kecil. Dalam mengontrol stimulus dilakukan modifikasi ruang yang sedikit untuk mencapai lingkungan pembelajaran yang kondusif. SLB E ini mempunyai tujuan untuk mengarahkan siswa menuju kondisi normal, yaitu perilaku menyimpangnya dapat
tereduksi
dan kemampuan
intelegensinya dapat meningkat. Dengan pengadaan layout klasik pada jenjang pendidikan yang tinggi, diharapkan siswa dapat diarahkan menuju kondisi yang membaik. Teori Porteous (1977) tersebut berkebalikan dengan hasil beberapa penelitian (Niemeyer, 2003; Lippman, 2010; Smawfield, 2006) yang dijelaskan pada Bab I.F.3, Bab II.D.2, dan Bab II.D.3. Penelitianpenelitian tersebut dalam temuannya menyimpulkan bahwa layout tempat duduk dengan modifikasi (open plan classroom/pod arrangement classroom) memberikan kontribusi yang positif baik bagi siswa yang memerlukan stimulus maupun yang tidak dalam menyerap materi pembelajaran.
Kontribusi
tersebut
berpengaruh
pada
peningkatan 9
kemampuan intelegensi dan kontrol perilaku. Adapun layout tempat duduk konvensional tidak dapat mengakomodir siswa yang memerlukan stimulus dalam menyerap materi pembelajaran. Apabila melihat pada fenomena layout tempat duduk siswa yang diterapkan pada SLB E Prayuwana Surakarta, maka berbeda dengan hasil penelitian terkait dengan efetivitas dan pembentukan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Pada SLB E Prayuwana Surakarta khususnya bagi siswa kelas atas (6SDLB dan SMPLB) yang tidak memerlukan stimulus, tidak diterapkan modifikasi layout tempat duduk. Hal ini melatarbelakangi untuk dieksplor dan dikaji lebih dalam mengenai layout tempat duduk siswa tunalaras yang diterapkan di SLB E Prayuwana Surakartadalam pengaruhnya terhadap penurunan gangguan psikologis dan peningkatan kemampuan intelegensi siswa.
B. RUMUSAN MASALAH Teori
Porteous
(1977)
yang
dijelaskan
dalam
Bab
II.C
berkebalikan dengan hasil temuan beberapa penelitian (Niemeyer, 2003; Lippman, 2010; Smawfield, 2006). Hal ini dikarenakan efektivitas penerapan layout tempat duduk, baik konvensional maupun modifikasi yang dilakukan beberapa penelitian tersebut tidak sama dengan teori Porteous (1977). Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa layout modifikasi memberikan kontribusi positif pada semua siswa, baik yang memerlukan stimulus dalam menyerap materi pembelajaran maupun tidak. Sementara menurut Porteous (1977), layout tersebut tidak memberikan kontribusi positif 10
bagi siswa yang tidak memerlukan stimulus.Fenomena yang terjadi pada SLB E Prayuwana Surakarta dalam penerapan layout tempat duduk mengikuti teori Porteous (1977), baik proses modifikasi layout tempat duduk maupun tujuan diadakannya. Adapun modifikasi yang dilakukan pada kelas 1-3 SDLB berupa statis-self arrangement, pada kelas 4-5 SDLB berupa dinamis (klasik-pot arrangement-klasik), pada kelas 6 SDLB dan 7-9 SMPLB berupa statis-klasik. Hal ini menunjukkan proses modifikasi dari self arrangement menuju ke klasik. Sementara tujuan pengadaan modifikasi layout tersebut sebagai upaya peningkatan intelegensi sekaligus penurunan gangguan perilaku. Adanya perbedaan hasil pengaruh dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut dengan teori Porteous (1977) menunjukkan bahwa dalam penentuan efektivitas layout tempat duduk siswa tunalaras di SLB E Prayuwana Surakarta tidak bisa dilihat secara langsung dari tingkatan kemampuan intelegensi maupun tingkatan gangguan perilaku. Perlu adanya eksplorasi dan kajian lebih dalam terkait dengankasus yang terjadi di SLB E Prayuwana Surakarta sehingga dapat diketahui efektivitas masing-masing layout tempat duduk yang diterapkan.Adapun hasil akhirnya dapat menunjukkan layout tempat duduk yang mana yang dinilai efektif pada masing-masing kelas. Adapun pertanyaan penelitian meliputi: 1. Layout tempat duduk siswa tunalaras yang mana yang efektif untuk penanganan gangguan psikologis pada kegiatan pembelajaran masingmasing kelas?
11
2. Mengapa layout tempat duduk siswa tunalaras tersebut dinilai efektif untuk penanganan gangguan psikologis pada kegiatan pembelajaran?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah menemukan layout tempat duduk siswa tunalaras yang efektif untuk penanganan gangguan psikologis pada kegiatan pembelajaran, sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Mengeksplorasilayout tempat duduk siswa tunalaras yang efektif untuk penanganan gangguan psikologis pada kegiatan pembelajaran masingmasing kelas. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor layout tempat duduk siswa tunalaras tersebut sehingga dinilai efektif untuk penanganan gangguan psikologis pada kegiatan pembelajaran.
D. LOKUS PENELITIAN Lokasi pengamatan terpilih adalah sekolah luar biasa bagian tunalaras/SLB E Prayuwana di Kadipiro, Surakarta. Adapun karakteristik siswa tunalaras di dalamnya memiliki kompleksitas tinggi dikarenakan faktor internal dan eksternal siswa. Kompleksitas gangguan juga diikuti ketunaan lainnya, seperti tuna grahita, tuna daksa, dan tunarungu. Semua karakteristik gangguan perilaku anak tunalaras dapat ditemukan di SLB E tersebut, baik tingkat keparahan rendah maupun tinggi. Kompleksitas tersebut mendasari 12
perlunya dilakukan penanganan efektif dalam pembentukan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras/SLB E Prayuwana terdiri dari jenjang SDLB dan SMPLB yang keduanya tanpa asrama. Kedua jenjang tersebut memiliki tingkat kompleksitas permasalahan dan gangguan psikologis yang berbeda. Hal ini mendasari penelitian untuk perlunya dilakukan pada kedua jenjang tersebut. Lokus penelitian meliputi ruang kelas sebagai ruang pembelajaran sekolah. Ruang pembelajaran dalam hal ini berperan sebagai media terapi edukasi terkait dengan penanganan gangguan psikologis. Ruang pembelajaran di SLB E Prayuwana Surakarta meliputi ruang kelas, ruang keterampilan, musholla, ruang perpustakaan, dan halaman sekolah (olah raga). Ruang pembelajaran terpilih adalah ruang kelas. Berdasar teori mengenai penataan layout tempat duduk berperan kuat dalam keberlangsungan proses terapi edukasi, maka ruang kelas dipilih sebagai lokus penelitian. Selain itu, pada ruang kelas diterapkan kurikulum umum dan khusus, sehingga semua siswa wajib mengikuti kurikulum tersebut. Sementara ruang pembelajaran lainnya tidak diterapkan kurikulum tersebut, tetapi hanya kurikulum pilihan, sehingga tidak semua siswa wajib mengikutinya. Adapun ruang kelas terdiri dari kelas 1-6 SDLB dan kelas 7-9 SMPLB. Seperti yang telah disinggung di latar belakang, dalam kegiatan pembelajaran di ruang kelas SLB E terpilih mengadakan 3 bentuk penataan layout tempat duduk di ruang kelas, yaitu statis self arrangement (kelas 1, 2,
13
dan 3), dinamis berupa klasik–pot arrangement–klasik (kelas 4 dan 5), serta statis klasik (kelas 6, 7, 8, 9). Adapun ketiga bentuk layout tersebut dilakukan di dalam ruangan (indoor classroom).
E. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu arsitektur, ilmu psikologi, dan ilmu pendidikan, khususnya dalam penerapan layout tempat duduk siswa tunalaras yang efektif. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif dan berkontribusi positif dalam peningkatan kemampuan intelegensi sekaligus penurunan gangguan psikologis anak tunalaras.
F. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan terfokus pada layout tempat duduk yang efektif dalam mengarahkan siswa agar dapat membaik dalam aspek intelegensi maupun gangguan psikologisnya pada kegiatan pembelajaran sekolah. Adapun efektivitas tersebut didapatkan padapembentukan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Lokus penelitian terpilih berada di ruang kelas SLB E Prayuwana Surakarta dengan kompleksitas permasalahan siswa tunalaras yang beragam. Untuk menunjukkan keaslian penelitian, dilakukan perbandingan dengan penelitian-penelitian terkait, baik dalam aspek arsitektural maupun non arsitektural. Adapun aspek arsitektural berhubungan dengan pemahaman 14
lingkungan pembelajaran yang efektif dicapai dari teknik mengajar; dari interaksi sosial dan lingkungan fisik; sertadari posisi guru pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung.Dalam pembahasannya ada yang terkait dengan anak berkebutuhan khusus, ada pula anak secara umum. 1. Pemahaman lingkungan pembelajaran yang efektif dicapai dari teknik mengajar. Dalam penelitian yang dilakukan olehIsmail Said (PhD) Associate Professor Department of Landscape Architecture Faculty of Built Environment, Universiti Teknologi Malaysia, berjudul Architecture for Children: Understanding Children Perception towards Built Environment. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai pemahaman arsitektur berbasis persepsi anak. Penelitian tersebut mengambil sampel anak dengan ketidakmampuan konsentrasi ketika pembelajaran berlangsung, sehingga membutuhkan kontrol sensorik maupun motorik. Adapun penekanan penelitian tersebut adalah dengan mengetahui teknik mengajardan pola perilakudi
dalamnya
maka
akan
ditemukan
pemahaman
arsitekturalnya.Misal, metode komunikasi, proksemik guru terhadap siswa. Teknik mengajar tersebut dapat mengarahkan perilaku, yang kemudian mengarahkan persepsi dalam memahami arsitektural.Adapun hasil yang didapat adalah sesuai-tidaknyapemahaman arsitektural yang terbentuk dikarenakan pengaruh oleh teknik mengajar dalam memenuhi kebutuhan sensorik dan motorik anak.
15
Pada penelitian ini tidak membahas mengenai penataan layout tetapi jarak proksemik guru terhadap siswa dan pengaruhnya terhadap pembentukan persepsi. Namun, pertimbangan proksemik guru terhadap siswa tersebut dapat digunakan sebagai referensi dalam menganalisa penelitian mengenai efektivitas layout tempat duduk siswa tunalaras ini. 2. Pemahaman lingkungan pembelajaran yang efektif dicapai dari posisi guru pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Dalam penelitian yang dilakukan olehAnnabelle Mers; Sofia Anderson (2010), dalam E-Journal of Student Research Volume 2 No.1, Department Of Teacher Education, Shippensburg University, berjudul How Teacher Positioning In The Classroom Affects The On-Task Behaviour Of Students. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai lingkungan pembelajaran yang kondusif dapat terbentuk dikarenakan posisi/proksemik guru yang dapat mengontrol siswa untuk tetap dapat berkonsentrasi ketika pembelajaran berlangsung. Adapun pengamatan yang dilakukan meliputi pola pergerakan guru, pengaruh yang terjadi pada perilaku siswa, dan kecenderungan guru untuk berpindah posisi. Hasilnya adalah posisi/proksemik guru terhadap siswa tersebut mempengaruhi partisipasi dan bentuk perilaku siswa sehingga dapat diarahkan. Selain itu dapat
mengantisipasi
terjadinya
distraksi
siswa
dalam
kegiatan
pembelajaran. Hal ini menunjukkan posisi/proksemik guru terhadap siswa menjadi fokus penelitian yang dilakukan.
16
Pembahasan mengenai proksemik guru terhadap siswa dalam penelitian yang dilakukan Mers dan Anderson ini lebih mendetail dibanding penelitian Ismail Said. Kedua penelitian ini digunakan sebagai pertimbangan dalam analisa hasil pengamatan kasus SLB E Prayuwana. Kasus terpilih tidak hanya meliputi proksemik guru terhadap siswa tetapi juga proksemik antar siswa. Hal ini diharapkan dapat memperkaya state of the art. 3. Pemahaman lingkungan pembelajaran yang efektif dicapai dari interaksi sosial dan lingkungan fisik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peter C. Lippman dalam JCJ Architecture, New York (2010), berjudul Can The Physical Environment Have An Impact On The Learning Environment. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai lingkungan pembelajaran yang kondusif dapat terbentuk dengan menyesuaikan aspek interaksi sosial dan lingkungan fisik, sehingga dapat berkontribusi dalam kegiatan pembelajaran. Penelitian tersebut bertujuan untuk memberikan pendekatan desain yang dapat merespon dan memberikan dampak yang positif bagi lingkungan pembelajaran.
Dalam
pembahasannya,
analisa
dilakukan
dengan
membandingkan model layout konvensional dengan model layout yang terintegrasi antar pengguna ruang. Sementara obyek amatan penelitian adalah siswa umum, tanpa berkebutuhan khusus. Adapun hasilnya adalah layout konvensional hanya sesuai untuk diaplikasikan bagi siswa yang aktif dalam kegiatan pembelajaran. Sementara model layout yang
17
terintegrasi dinilai lebih efektif dalam menangani siswa baik aktif maupun pasif dalam kegiatan pembelajaran. Hasil dari penelitian tersebut belum tentu dapat diaplikasikan pada obyek amatan lain yang berkebutuhan khusus. Hal ini dikarenakan efektivitas layout bagi anak berkebutuhan khusus didapat dengan menekankan kontrol stimulus untuk meminimalisir terjadinya distraksi. Adapun porsi kontrol stimulus siswa normal berbeda dengan siswa berkebutuhan khusus. Hal ini yang menjadi pertimbangan dari hasil penelitian tersebut bisa jadi tidak berlaku pada layout tempat duduk SLB E Prayuwana Surakarta. Sementara
aspek
non
arsitektural
berhubungan
dengan
ketunalarasan, model pembelajaran, adaptasi dan interaksi sosial anak tunalaras. 1. Pemahaman mengenai ketunalarasan Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr. Dedy Kurniadi, M.Pd (2009), S3 Universitas Pendidikan Indonesia dalam ringkasan seminar penelitian, berjudul Pengembangan Model Pelatihan Kecakapan Hidup Dalam Peningkatan Kemandirian Anak Tunalaras. Penelitian tersebut membahas mengenai profil pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras secara empirik; model konseptual pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras; implementasi model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang telah divalidasi dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras; serta model 18
pelatihan kecakapan hidup yang direkomendasikan dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras. Sementara lokus penelitian dilakukan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus, Jakarta Timur. 2. Pemahaman mengenai model pembelajaran Dalam penelitian yang dilakukan olehDavid Prior and Alison Paris(2005), Institute of Applied Social Studies, Department for Education and Skills, University of Birmingham, berjudulPreventing Children’s Involvementin Crime and Anti-Social Behaviour:A literature Review. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai klasifikasi pelayanan dalam mengatasi
perilaku
menyimpang;
memberikan
gagasan
mengenai
pelayanan psikologis yang dapat diberikan; evaluasi mengenai pelayanan psikologis yang telah berlangsung.Adapun fokus penelitian meliputi pelayanan dalam mengatasi permasalahan kriminal dan perilaku antisosial anak dengan batasan umur 5-13 tahun. 3. Pemahaman mengenai adaptasi dan interaksi sosial anak tunalaras Dalam penelitian yang dilakukan olehMestre,José M; Guil, Rocío; Lopes,Paulo N; Salovey,Peter; Olarte,Paloma Gil (2006) Faculty of Ciencias de la Educación, University of Cádiz. Puerto Real - Cádiz (Spain), berjudul Emotional Intelligence And Social And Academic Adaptation To School. Penelitian tersebut menunjukkan hubungan antara kemampuan
emosional-sosial
dengan
adaptasi
terhadap
kegiatan
pembelajaran di sekolah pada anak dengan gangguan perilaku. Selain itu, menunjukkan pengaruh yang terjadi pada interaksi sosial yang dilakukan 19
dan dampaknya terhadap prestasi akademik anak. Adapun fokus penelitian adalah kondisi emosional-sosial dalam pengaruhnya terhadap adaptasi kegiatan pembelajaran sekolah. Penelitian tersebut mengambil sampel 127 anak usia 14-17 tahun yang terdapat pada 4 kelas (jenjang SMA) Spanyoldengan metode penelitian kuantitatif. Ketiga penelitian non arsitektural tersebut digunakan untuk memperluas wawasan dalam memahami subyek penelitian terkait bidang psikologi dan pendidikan. Kemudian dapat dicari kesinambungan dalam menganalisa permasalahan arsitektural yang dituju terkait penataan layout tempat duduk siswa tunalaras. Dari penjabaran pemahaman dari penelitian-penelitian terkait tersebut, maka dapat diketahui bahwa penelitian mengenai layout tempat duduk siswa tunalaras sebagai bentuk penanganan gangguan psikologis; kasus kegiatan pembelajaran di SLB E Prayuwana Surakarta dapat diajukan untuk melengkapi ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang ini. Pemahaman dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan membahas mengenai lingkungan pembelajaran yang efektif dapat terbentuk dari kesesuaian teknik mengajar, kesesuaian interaksi sosial dan lingkungan fisik, serta kesesuaian posisi guru dalam kegiatan pembelajaran.Dalam pembahasannya ada yang terkait dengan anak berkebutuhan khusus, ada pula anak secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian yang diajukan dapat memberikan kelengkapan ilmu pengetahuan mengenai lingkungan pembelajaran yang efektif terbentuk dari kesesuaian layout tempat duduk dengan menyesuaikan karakteristik
20
masing-masing siswa tunalaras dengan kompleksitas permasalahan dengan pengambilan lokus ruang pembelajaran di SLB E Prayuwana Surakarta.
21