BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Informasi akuntansi manajemen memiliki peran penting sebagai alat
evaluasi dan tolak ukur pemberian reward terhadap kinerja karyawan atau manajer dalam sebuah organisasi. Pencapaian organisasi merupakan kumpulan pencapaian kinerja individu. Kesuksesan organisasi sangat bergantung pada hasil yang dicapai oleh masing-masing anggota. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pengendalian yang mampu memotivasi anggota organisasi untuk mencapi hasil yang diharapkan sehingga tercipta keselarasan tujuan. Para akademisi menyebutkan bahwa insentif keuangan merupakan sistem pengendalian yang dianggap mampu memotivasi serta meningkatkan kinerja individu yang pencapaian kinerjanya dievaluasi oleh informasi akuntansi (Anthony & Govindarajan, 2007; Zimmerman, 2000; Atkinson et al., 2000). Saat banyak perusahaan memberikan kompensasi (reward) berupa insentif keuangan, banyak hasil penelitian empiris justru menemukan bahwa kompensasi berupa insentif keuangan tidak selalu meningkatkan kinerja (Jenkins, 1986; Awasthi & Pratt, 1990; Gerhart & Milkovich, 1992; Kohn, 1993; Young & Lewis, 1995; Camerer & Hogarth, 1999; Bonner et al., 2000). Penelitian mengenai pengaruh insentif terhadap kinerja sebenarnya telah banyak dilakukan pada beberapa dekade lalu, namun hasil dan temuan belum mencapai konsistensi secara umum. Libby & Lipe (1992) dan Sprinkle (2000)
1
menemukan bahwa insentif berpengaruh positif terhadap kinerja. Sebaliknya, Jenkins (1986), Awasthi & Pratt (1990), Gerhart & Milkovich (1992), Kohn (1993), Young & Lewis (1995), Carnerer & Hogarth (1999) dan Bonner et al. (2000) menyimpulkan bahwa insentif tidak berpengaruh terhadap kinerja. Bahkan Deci et al. (1981), Deci & Ryann (1985), dan Ashton (1990) menemukan bahwa insentif justru berpengaruh negatif terhadap kinerja. Beberapa temuan penelitian tersebut mengindikasikan bahwa penting untuk mengidentifikasi disaat kapan insentif mampu meningkatkan, menurunkan, atau bahkan tidak memengaruhi kinerja. Fessler (2003) telah melakukan sebuah eksperimen laboratorium untuk menguji hubungan antara monetary incentives, task attractiveness, dan task performance. Hasilnya adalah task attractiveness memiliki hubungan positif dengan task performance, namun monetary incentives pada kondisi subjek unattractive ternyata tidak mampu meningkatkan performance dan task attractiveness individu. Melanjutkan penelitian Fessler (2003), Arniati (2006) menambahkan variabel pemoderasi berupa gaya pengawasan untuk menguji hubungan antara monetary incentives, task attractiveness, dan task performance. Hasil penelitian Arniati (2006) tidak mendukung penelitian Fessler (2003), diduga karena skema insentif yang diterima partisipan dalam eksperimen dianggap kurang menarik. Sementara Kusufi (2012) menggunakan skema insentif yang berbeda untuk menguji pengaruh antara insentif, usaha, dan kinerja. Hasil temuannya belum bisa memberi bukti bahwa skema insentif berbasis anggaran lebih mampu mempengaruhi usaha dan kinerja individu dibanding skema insentif piece-rate
2
yang digunakan oleh Fessler (2003), melainkan usaha seorang individu lebih dipengaruhi oleh skill. Dari beberapa bukti penelitian empiris terkait hubungan insentif dan kinerja, hanya sedikit penelitian yang mempertimbangkan faktor psikologis individu sebagai atribut penting yang melekat pada diri tiap partisipan atau responden dalam sebuah penelitian. Partisipan atau responden yang bertindak sebagai subjek dalam sebuah penelitian empiris merupakan individu yang datang dengan berbagai latar belakang pengetahuan dan kemampuan yang berbeda-beda. Begitu pula yang terjadi pada berbagai individu-individu di banyak organisasi, mereka tentu memiliki latar belakang pengetahuan dan kemampuan yang berbeda-beda, sehingga tingkat kemampuan individu sangat penting untuk dipertimbangkan sebagai variabel yang sangat mempengaruhi ketidakkonsistenan hubungan antara insentif dan kinerja. Sebelumnya Bonner & Sprinkle (2002) telah melakukan review terhadap teori dan bukti-bukti empiris dari penelitian terdahulu terkait pengaruh insentif terhadap kinerja. Mereka mengidentifikasi bahwa person variables adalah kategori kontekstual faktor utama yang turut mempengaruhi hubungan antara insentif dan kinerja. Dari beberapa variabel yang termasuk dalam kategori person variables, Bonner & Sprinkel (2002) meletakkan fokus perhatian terhadap skill sebagai variabel kunci yang dianggap mampu menjelaskan keseluruhan dari ketiga sub variabel lain (knowledge content, knowledge organization, analytical reasoning ability). Bonner & Lewis (1990) dan Libby & Luft (1993) juga
3
menjelaskan bahwa skill memiliki peranan penting terhadap beberapa hasil capaian kinerja terkait penugasan yang berhubungan dengan akuntansi. Sementara dalam ranah penelitian psikologi, Hunter & Schmidt (1996) menemukan bahwa kemampuan kognitif individu adalah prediksi terhadap capaian kinerja dalam berbagai jenis pekerjaan. Schmitt (2013) juga menemukan bahwa ukuran kemampuan kognitif akan memprediksi capaian kinerja individu pada hampir semua jenis dan kondisi pekerjaan. Selain itu Carrol (1993) menjelaskan bahwa kemampuan kognitif berada pada level tertinggi dalam ability hierarchy diikuti oleh kemampuan verbal dan numerik, serta spesifik ability seperti spelling atau word knowledge. Melalui teori pembelajaran klasik (classic learning theory), Hunter & Shmidt (1996) menjelaskan bahwa kinerja dibatasi oleh kemampuan kognitif, sehingga dapat dipahami bahwa kemampuan kognitif merupakan faktor psikologis yang menyebabkan perbedaan capaian kinerja saat individu dihadapkan dengan sebuah tugas walaupun telah terdapat stimulus insentif. Berdasarkan pentingnya peranan kemampuan kognitif dalam menjelaskan pencapaian kinerja, cukup mengejutkan bahwa hanya sedikit bukti penelitian empiris yang menguji variabel tersebut. Libby & Luft (1993) mencoba melihat peranan ability, knowledge, motivation, dan environment terhadap decision performance, namun tidak menghubungkan variabel tersebut dengan insentif. Libby & Lipe (1992) sebelumnya sebenarnya telah menguji hubungan insentif dengan tiga jenis proses kognitif yang berbeda. Penelitian ini membagi partisipan ke dalam tiga level grup treatment yang berbeda, sehingga proses kognitif
4
merupakan bagian dari manipulasi eksperimen, bukan ukuran level kemampuan kognitif yang sesungguhnya. Awasthi & Pratt (1990) juga telah menganalisis peranan karakteristik kognitif terhadap efek dari insentif pada kinerja. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada beberapa tugas tertentu karakteristk kognitif tidak berhubungan dengan kinerja, dan efek dari insentif tidak bergantung pada karakteristik kognitif. Hal ini diduga disebabkan karena penugasan simple tasks (tugas yang sederhana) dalam eksperimen. Oleh karena itu, penelitian ini nantinya akan menguji hubungan antara insentif dan kinerja yang dimoderasi oleh kemampuan kognitif dengan mengendalikan variabel kompleksitas tugas untuk memfasilitasi keterbatasan hasil penelitian terdahulu.
1.2
Rumusan Masalah Insentif keuangan sebagai bentuk pengendalian manajemen merupakan
salah satu cara perusahaan menyelaraskan tujuan individu dengan tujuan organisasi. Ketika banyak perusahaan menawarkan insentif keuangan untuk memotivasi karyawan meningkatkan kinerjanya, banyak hasil penelitian empiris justru memberi bukti bahwa insentif tidak selalu meningkatkan kinerja (Jenkins, 1986; Awasthi & Pratt, 1990; Gerhart & Milkovich, 1992; Kohn, 1993; Young & Lewis,
1995;
Camerer
Ketidakkonsistenan
&
Hogarth,
hubungan
1999;
antara
Bonner
insentif
dan
et
al., kinerja
2000). telah
diinvestigasi melalui berbagai penelitian empiris. Fessler (2003) menguji variabel ketertarikan tugas sebagai pemoderasi hubungan antara insentif dan kinerja.
5
Arniati (2006) kemudian juga menguji variabel pemoderasi berupa gaya pengawasan untuk melihat hubungan antara insentif, ketertatikan tugas dan kinerja. Beberapa penelitian lain seperti Young et al. (2012) juga telah menguji hubungan antara insentif keuangan, nilai profesional, dan kinerja. Serta Zhang & Zhang (2014) yang
meneliti pengaruh mekanisme insentif terhadap kinerja
manajemen yang dimoderasi oleh atribut pengetahuan. Namun, beberapa hasil penelitian tersebut tidak mampu memberikan jawaban konsisten mengapa insentif keuangan terkadang gagal bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa penelitian dari ranah psikologi telah memberi isyarat bahwa kemampuan kognitif merupakan prediksi terhadap capaian kinerja individu (Hunter & Schmidt 1996; Schmitt, 2013). Namun penelitian tersebut hanya bertujuan menguji hubungan antara kemampuan kognitif dan kinerja, bukan untuk menjelaskan peran kemampuan kognitif individu terhadap kegagalan dan keberhasilan insentif dalam meningkatkan kinerja. Dari beberapa bukti penelitian terkait hubungan insentif dan kinerja, telah dianalisis bahwa sangat jarang penelitian yang mempertimbangkan kemampuan kognitif individu sebagai atribut penting yang melekat pada diri tiap partisipan atau responden dalam sebuah penelitian. Partisipan atau responden yang bertindak sebagai subjek dalam sebuah penelitian empiris merupakan individu yang datang dengan berbagai latar belakang pengetahuan dan kemampuan yang berbeda-beda. Begitu pula yang terjadi pada berbagai individu-individu di banyak organisasi, mereka memiliki latar belakang pengetahuan dan kemampuan yang berbeda-beda, sehingga tingkat kemampuan kognitif individu sangat penting untuk dipertimbangkan sebagai
6
variabel yang sangat mempengaruhi ketidakkonsistenan hubungan antara insentif dan kinerja. Melalui teori pembelajaran klasik (classic learning theory), Hunter & Shmidt (1996) menjelaskan bahwa kinerja dibatasi oleh kemampuan kognitif umum, sehingga diprediksi bahwa kemampuan kognitif umum merupakan faktor psikologis yang menyebabkan perbedaan capaian kinerja saat individu dihadapkan dengan sebuah tugas yang kompleks walaupun telah terdapat stimulus insentif. Berdasarkan uraian dan permasalahan yang telah dijelaskan maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah efektivitas insentif dalam meningkatkan kinerja pada tugas yang kompleks dipengaruhi oleh kemampuan kognitif umum individu? 2. Apakah pemberian insentif mampu memotivasi individu untuk menyelesaikan tugas yang kompleks meskipun pada kondisi subjek memiliki kemampuan kognitif umum yang rendah?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian dan bukti-bukti empris yang telah
diungkapkan, maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan desain eksperimen laboratorium untuk menginvestigasi perubahan perilaku individu saat dihadapkan dengan penugasan kerja kompleks yang dipengaruhi oleh perubahan perlakuan insentif dan tingkat kemampuan kognitif.
7
1.4
Manfaat Penelitian a. Penelitian ini berkontribusi terhadap literatur, khususnya akuntansi manajamen, terkait efektivitas insentif keuangan sebagai mekanisme pengendalian formal dalam sistem pengendalian manajemen. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi bukti empiris bahwa insentif keuangan secara efektif mampu meningkatkan kinerja individu dalam sebuah tugas yang kompleks. b. Penelitian
ini
juga
berkontribusi
terhadap
literatur
dengan
mengelaborasikan teori pengharapan dan teori pembelajaran klasik untuk menjelaskan ketidakkonsistenan hubungan antara insentif dan kinerja dalam ranah penelitian empiris. c. Penelitian ini juga diharapkan mampu menyediakan tambahan literatur penelitian empiris yang menjelaskan hubungan antara insentif, kemampuan
kognitif,
dan
kinerja
dalam
sebuah
eksperimen
laboratorium.
1.5
Sistematika Penulisan Secara keseluruhan penelitian ini akan disusun dalam lima bab, dengan
penjelasan sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan
BAB II
: Telaah literatur dan pengembangan hipotesis
8
BAB III
: Metode penelitian yang terdiri dari desain dan subjek penelitian, prosedur eksperimen dan cek manipulasi, pengukuran variabel, dan pengujian hipotesis
BAB IV
: Hasil dan pembahasan yang terdiri dari hasil analisis statistik dalam pengujian hipotesis
BAB V
: Penutup yang terdiri dari kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran mengenai penelitian selanjutnya.
9