BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kebutuhan energi nasional semakin tahun semakin terbatas. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut disebabkan karena semakin tingginya angka jumlah kebutuhan energi di segala sektor kehidupan, namun disisi lain jumlah pasokan energi justru berbanding terbalik. Eksploitasi sumber energi fosil, yaitu minyak bumi, gas dan batu bara yang tak dapat diperbaharui juga telah menimbulkan perhatian atas kemungkinan habisnya sumber-sumber cadangan energi tersebut. Sebagai contoh energi fosil tersebut digunakan untuk menopang hampir setiap sektor primer kebutuhan manusia. Tingkat pemakaian semakin tahun semakin membesar, bahkan saat ini peningkatan terjadi sebesar 800 kali dibandingkan tingkat konsumsi energi fosil pada tahun 1750-an, dan 12-an kali dibanding abad ke-20 (Budiarto: 2011). Kebutuhan dan konsumsi energi di Indonesia masih di dominasi oleh minyak bumi, gas dan batu bara yang merupakan energi fosil yang sangat terbatas. Dengan rata-rata produksi saat ini, maka diperkirakan minyak bumi hanya mampu bertahan sekitar 24 tahun, gas hanya cukup bertahan sampai 59 tahun, sementara batu bara berkisar 93 tahun (Soemarinda: 2012). Riset yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia didasarkan pada realitas bahwa peningkatan kebutuhan energi nasional mencapai 8,5% pertahun, akan tetapi laju kebutuhan yang sangat cepat tersebut tidak diimbangi dengan produksi 1
riil energi di Indonesia (Kemenristek: 2010). Untuk itu pengembangan energi baru terbarukan menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan bagi pemenuhan kebutuhan energi nasional. Gambar 1.1. Grafik Perbandingan Produksi dan Konsumsi Energi
Sumber: Kementrian Riset dan Teknologi, Menggapai “Indonesia Bisa”, 2010
Data diatas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan kebutuhan dan konsumsi energi terus mengalami peningkatan dan tidak sebanding dengan produksi energi. Terbatasnya cadangan energi fosil saat ini menuntut untuk melakukan pemanfaatan energi alternatif secara optimal melalui pola bauran enegi (energi mix) dengan mensinergikan alam dan ilmu pengetahuan. Konsumsi energi yang sangat krusial contohnya adalah konsumsi energi yang digunakan untuk kebutuhan elektrifikasi. Kebutuhan akan elektrifikasi atau energi listrik merupakan merupakan kebutuhan vital masyarakat dikarenakan hampir sebagian besar kehidupan masyarakat bertopang dengan penggunaan sumber energi ini. Energi listrik sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, terlebih hampir semua peralatan mulai dari perabot rumah
2
tangga, sarana hiburan, penerangan, dan sebagainya memerlukan energi listrik untuk pengoperasionalannya. Selain itu, energi listrik juga sangat dibutuhkan dalam pemenuhan proses produksi yang dapat digunakan dalam menunjang pertumbuan ekonomi masyarakat. Namun, muncul persoalan lain bahwa dengan pemanfaatan energi fosil sebagai penghasil energi listrik saat ini, belum semua masyarakat mampu menikmati energi listrik. Hal ini dikarenakan hingga tahun 2010 saja kebutuhan pembangkit listrik masih sekitar 84% menggunakan energi fosil, padahal keberadaan fosil semakin menipis dan tidak dapat diperbarui lagi. World Energi Outlook 2002 (IEA, 2002) dalam Budiarto (2011) memaparkan bahwa sekitar 1,6 miliar penduduk dunia (sekitar seperempat penduduk dunia) masih belum menikmati listrik. Bahkan kasus di Indonesia menunjukkan rasio elektrifikasi baru mencapai 67,2% dengan variasi yang cukup tajam antara daerah satu dengan daerah lainnya. Rasio elektrifikasi di suatu negara berkaitan erat dengan kemiskinan. Pada umumnya jika rasio elektrifikasi di suatu negara masih rendah maka dapat dipastikan bahwa tingkat kemiskinan di negara tersebut juga masih relatif tinggi. Selama ini hal umum yang ditemui jika masyarakat ingin menikmati energi listrik adalah dengan membayar biaya yang relatif mahal kepada institusi terkait. Permasalahan biaya pemasangan instalasi listrik juga sering dihadapai oleh masyarakat ekonomi lemah, mereka seringkali tidak mampu membayar biaya pemasangan dan rekening listrik, akibatnya banyak dari mereka yang belum dapat menikmati energi listrik di zaman serba modern seperti saat ini. Salah satu usaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber-sumber energi fosil adalah 3
dengan menciptakan alternatif solusi dengan mengambangkan energi baru terbarukan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia terdorong untuk terus mengembangkan riset di beberapa daerah di Indonesia untuk mengembangkan teknologi alternatif atau yang juga biasa dikenal dengan energi baru terbarukan (renewable energi). Energi baru terbarukan merupakan kelompok energi yang dihasilkan oleh berbagai sumber yang akan secara alami dapat diperbarui dan akan tersedia secara berkelanjutan. Kebijakan untuk mengembangkan energi baru terbarukan di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak. Kebijakan pemerintah di bidang energi sudah banyak yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan pemanfaatan berbagai sumber energi baru terbarukan. Berbicara mengenai energi baru terbarukan, tentunya tidak akan terlepas pula membahas menganai teknologi yang digunakan untuk menghasilkan sumber-sumber energi baru terbarukan itu sendiri. Teknologi yang tepat guna dan mampu menjawab persoalan yang ada di suatu lokasi dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh lokasi itu sendiri merupakan salah satu jenis teknologi yang diharapkan. Untuk kasus di negaranegara berkembang, contohnya seperti di Indonesia. Pengetahuan akan suatu teknologi sebagian besar berasal dari penyebaran teknologi-teknologi yang sebelumnya sudah berkembang terlebih dahulu di negara-negara maju. Pengertian pengembangan jenis-jenis teknologi menjadi sangat penting bagi kita yang berada di negara-negara berkembang karena hal-hal tersebut sangat diperlukan untuk menghadapi masalah-masalah pokok di masa mendatang, serta adaptasinya dengan perimbangan-perimbangan faktor-faktor yang tersedia 4
konkret di Indonesia. Menurut Djojohadikusumo (1975) dalam Mangunwijaya (1993: xi) masyarakat kita membutuhkan tiga jenis teknologi, yaitu teknologi Maju, teknologi
yang Adaptif
(menyesuaikan) dan teknologi
Protektif
(perlindungan). Kebijaksanaan sekarang adalah bagaimana penyusunan ramuan ketika jenis itu saling menunjang sebaik mungkin dan bagaimana struktur-struktur kerja yang tradisional dapat dipadukan dengan pembaharuan-pembahuruan (inovasi) yang relevan. Nasikun (2005:8) menjelaskan tentang teknologi merupakan hasil dari produksi dan reproduksi proses-proses sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga, keberadaan suatu teknologi tidak pernah bersifat netral nilai. Dickson (1979:10) dalam Nasikun (2005:8-9) menjelaskan bahwa teknologi senantiasa memainkan suatu peran yang sangat erat bertalian dengan distribusi kekuasaan dan pengendalian sosial. Pada aras materialis, teknologi memainkan peran yang memelihara dan mempromosikan kepentingan-kepentingan dari kelompokkelompok sosial dominan di dalam masyarakat tempat teknologi diproduksi dan direproduksi. Sedang dalam hal ideologis, teknologi bertindak untuk mendukung dan mempropagandakan atau bahkan memanifestasikan ideology yang dianut oleh kelas penguasa dan kelompok elit dalam masyarakat. Teknologi yang berkembang di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia adalah bentuk teknologi-teknologi kelas dua, yang sebenarnya di negara-negara maju teknologi semacam itu sudah jauh berkembang atau bahkan sudah tidak digunakan lagi. Dengan adanya politik teknologi dan perkembangan ekonomi internasional, mengakibatkan semakin mudahnya negara maju 5
melakukan ekspansi-ekspansi terhadap penyebaran bentuk teknologi di negaranegara berkembang dan menjadikan negara
berkembang sebatas pasar dari
kepentingan-kepentingan kapital mereka. Pemindahan teknologi seringkali terjadi tanpa disertai dengan pemindahan ilmu pengetahuannya. Pemindahan teknologi saat ini masih belum bisa dikatakan berhasil, karena suatu pemindahan teknologi dapat dikatakan berhasil apabila si penerima teknologi sudah memiliki teknologi yang dipindahkan itu. Dalam artian kata teknologi yakni, semua unsur, pengalamn dan kebolehan untuk menyerasikan unsur-unsur teknologi itu dalam jalinan-jalinan untuk mencapai tujuan tertentu sudah menjadi ciri dari kemampuan budaya dari masyarakat penerima (Harahap, 1975). Seringkali kesiapan negara berkembang menerima teknologi baru dari negara-negara maju menimbulkan persoalan dalam hal penerimaan ilmu pengetahuan mengenai teknologi tersebut. Ilmu pengetahuan tentang teknologi tersebut bisa saja mengalami pergeseran ketika proses transisinya dari Negara penyelenggara teknologi ke negara penerimanya. Ketika proses pemindahan teknologi terjadi, pembatasan ranah persoalan antara persoalan teknis dan sosialnya seringkali terasa kabur. Persoalan seperti ini tidak hanya terjadi ditingkat masyarakatnya saja namun, bisa muncul mulai ditingkat pemerintah selaku pembuat kebijakan terkait teknologi tersebut. Pemerintah bisa saja hanya menerima pengetahuan akan teknologi secara mentah dan langsung menyebarkan ke masyarakat.
6
Kebijakan penyebaran teknologi yang bersifat top down, akhirnya juga akan mempengaruhi bentuk-bentuk kebijakan yang dibuat oleh negara penerima teknologi. Negara berkembang penerima teknologi dari negara maju akan membuat kebijakan persebaran teknologi di wilayahnya tanpa mempedulikan masyarakatnya. Siap atau tidaknya masyarakat dalam menerima teknologi seringkali diabaikan, yang ada justru tiba-tiba muncul jenis teknologi baru ditengah masyarakat tanpa masyarakat paham benar akan fungsi dan bentuk dari teknologi tersebut. Seringkali persoalan-persoalan teknis terkait teknologi tersebut terintroduksi secara salah, sehingga perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tidak bisa dihindari. Kalau sudah seperti ini, sudah bisa dipastikan umur teknologi tersebut ditengah-tengah masyarakat tentunya tidak akan bertahan lama. Di Indonesia saat ini, sedang digalakkan secara besar-besaran mengenai persebaran teknologi penghasil energi alternatif atau energi baru terbarukan. Kebijakan mengenai energi baru terbarukan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sudah dirasa optimal. Dalam usaha peningkatan pemanfaatan berbagai sumber energi baru terbarukan bahkan dibuat PERMEN ESDM No.05/2008 yang mengatur tentang standar latih kompetensi tenaga teknik kelistrikan guna mendapatkan dukungan sumber daya manusia yang handal. Di dalam UU Energi seperti yang dikutip oleh Budiarto (2011) ditekankan bahwa 1) Penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan energi baru terbarukan wajib
ditingkatkan oleh pemerintah pusat
dan daerah
sesuai
dengan
kewenangannya, dan 2) Penyediaan dan pemanfaatan energi dari sumber energi 7
baru dan sumber energi baru terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai ekonominya. Di dalam UU No.30/2009 tentang ketenagalistrikan yang menyatakan bahwa pebangunan ketenagalistrikan menganut asas-asas sebagai berikut; manfaat, efisisensi berkeadilan, berkelanjutan, optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi, mengandalkan pada kemampuan sendiri, kaidah usaha yang sehat, keamanan dan keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan, dan otonomi daerah. Pemanfaatan energi baru terbarukan harus sesuai dengan asasasas tersebut, bahkan dalam pasal 6 UU tersebut dijelaskan bahwa pemanfaatan sumber energi primer untuk penyediaan listrik harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan terbarukan. Beberapa contoh regulasi diatas merupakan perwujudan komitmen dukungan terhadap pengembangan energi baru terbarukan. Terlebih dalam aplikasinya untuk membangun sistem energi nasional yang berkelanjutan. Salah contoh tindakan nyata pemerintah Indonesia yang diwujudkan oleh kementrian ESDM dan Kemenristek adalah dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di berbagai kawasan di Indonesia, salah satunya di Yogyakarta. PLTMH dipilih sebagai salah satu teknologi penyedia sumber energi baru terbarukan karena bahan dasar penghasil energi ini merupakan hal yang sangat lazim ditemukan dan cocok dengan kondisi geografis Yogyakarta yang memiliki banyak aliran sungai.
8
Proyek pembangunan PLTMH di Yogyakarta salah satunya dilaksanakan di Dusun Daleman, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Proyek pembangunan PLTMH ini memanfaatkan aliran sungai yang mengalir melewati dusun tersebut. Proyek pembangunan dimulai dari tahun 2004 hingga 2005 dan mulai beroperasi mulai tahun 2006. Proyek tersebut dilakukan oleh BPPT dan di bantu oleh UGM dibawah naungan Kementrian ESDM. Pembangunan PLTMH di Daleman tidak selamanya berjalan lurus dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat setempat. Alasan yang sangat klasik yakni kurangnya debit air sehingga tidak mampu menghasilakan daya yang besar dari PLTMH tersebut menjadi salah satu alasan berhentinya pengoperasian PLTMH daleman tersebut. Disisi lain masyarakat Dusun Daleman juga tidak merasa terganggu atas berhentinya pengoperasian PLTMH di Daleman ini. Namun, yang akan menjadi pertnyaan adalah, kenapa ketika debit air dirasa kurang, PLTMH tiba-tiba dibangun di lokasi tersebut. Dan bagaimana masyarakat bisa begitu tidak peduli terhadap keberadaan teknologi semacam itu di lingkungan mereka. Dalam hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi pembangunan bisa saja terjadi indikasi kebijakan yang bersifat top down, dan keterlibatan masyarakat tidak dipedulikan sama sekali. Kini kondisi PLTMH di Dusun Daleman memang benar-benar sudah tidak beroperasi. Alat-alat yang digunakan untuk pengoperasian PLTMH hingga kini masih lengkap namun kondisinya sudah rusak. Bahkan bangunan utama PLTMH yaitu Power House PLTMH di Dusun Daleman kini beralih fungsi menjadi base camp pemuda dusun. Hal tersebut tentunya menimbulkan tanda tanya besar 9
megapa hal tersebut bisa terjadi. Padahal dalam proyek pembangunannya, pemerintah
tentunya
mengeluarkan
biaya
yang
tidak
sedikit
untuk
pengoperasiannya. Kasus PLTMH di Dusun Daleman tentunya sangat bertolak belakang dengan asas energi baru terbarukan yang dicanangkan melalui kebijakankebijakannya. Pembangunan PLTMH tersebut diharapkan mampu membantu mensejahterakan masyarakat namun kenyataannya tidak. Konsep energi baru terbarukan adalah seharusnya bukan hanya mampu menjamin kebutuhan atau pasokan energi saja tetapi juga harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, akses, aset dan kapabilitas segenap lapisan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan dan mereka yang hidup di daerah tertinggal (Usman: 2010). Apa yang dikatakan oleh Usman (2010) tersebut pada kenyataan justru yang terjadi adalah sebaliknya. Justru dapat dilihat pada proyek pembangunan PLTMH Daleman. Mulai dari pasokan energi yang dirasa kurang oleh masyarakat dan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan untuk membantu peningkatan
pertumbuhan
ekonomi
masyarakat.
Hal
tersebut
tentunya
mengindikasikan bahwa terdapat keselahan dalam pembangunan proyek energi tersebut. 1.2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
10
1. Bagaimana
masyarakat
menyiapkan
proses
pelembagaan
dari
pembangunan Pembangkit Listrik tenaga mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Daleman, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta? 2. Bagaimana peluang dan tantangan institusionalisasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) terhadap masyarakat konsumen energi? 1.3. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk dapat mengetahui proses kesiapan masyarakat dalam menyiapkan institusionalisasi dari proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di dusun Daleman, desa Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. 2. Untuk dapat mengetahui proses pembentukan pelembagaan dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di dusun Daleman, desa Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. 3. Untuk dapat mengetahui apa saja peluang dan tantangan yang akan dihadapi oleh institusionalisasi proyek energi baru terbarukan, khususnya PLTMH terhadap masyarakat konsumen energi saat ini. 1.4. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan gambaran pelaksanaan proses pembangunan dan gambaran
mengenai
proses
institusionalisasi
dari
pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Daleman, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman Yogyakarta. 11
2. Untuk memberikan masukan terhadap pemerintah Kabupaten Sleman dan instansi terkait lainnya sebagai pihak yang terkait dengan proses pembangunan proyek energi dalam rangka penciptaan sumber-sumber energi baru terbarukan (renewable energi) yang lebih ramah lingkungan. 3. Penelitian ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan dan digunakan sebagai titik tolak penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis. 1.5. LANDASAN TEORI DAN REVIEW REFERENSI TERDAHULU 1.5.1. Landasan Teori 1.5.1.1. Dimensi Sosial Ekonomi Teknologi “Technology is clearly not synonymous with the good. It can also lead to evil” (Emmanuel G. Mesthene, 1983: 111). Apa yang telah diungkapkan oleh Mesthene dalam Nasikun (2005) menunjukkan bahwa teknologi tidak selalu mendatangkan sebuah kebaikan. Dan pernyataan tersebut mengimplikasikan bahwa betapa pentingnya peran penelitian ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam pengembangan teknologi. Definisi dari teknologi sendiri memiliki bermacam-macam tafsir. Seperti yang dinyatakan oleh Heidegger (1977) dalam Lim (2008:44) menyatakan bahwa: “Ada yang mengatakan bahwa teknologi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Yang lain mengatakan bahwa teknologi adalah aktivitas manusiawi. Kedua definisi mengenai teknologi tersebut dapat disatukan, sebab untuk mencapai tujuan serta mengupayakan dan memanfaatkan sarana-sarana adalah bentuk aktivitas manusia”. Sedangkan teknologi menurut Galbraith (1967) dalam 12
Mangunwijaya (ed, 1993) adalah penerapan sistematis dari pengetahuanpengetahuan ilmiah atau pengetahuan yang teratur untuk tugas-tugas yang praktis. Ditinjau dari definisi-definisi ini, teknologi diimplikasikan hanyalah sebagai ciptaan subyek dan berfunngsi sebagai instrument yang netral. Namun, pernyataan netral disini perlu ditinjau lebih jauh lagi, apakah benar teknologi bersifat netral, dan benarkah teknologi hanya dimaknai sebgai sesuatu yang instrumental. Sehingga, diperlukanlah Dimensi Sosial Teknologi yang merupakan suatu kajian untuk mengkritisi teknologi sebagai pembuka paradigma perubahan dalam interaksi sosial masyarakat. Karena suatu teknologi yang tercipta tidak akan terlepas kaitannya dengan kehidupan masyarakat sebagai users dari teknologi tersebut. Teknologi seperti pembangunan sumber energi baru terbarukan sangat erat kaitannya dengan manusia. Manusia mempengaruhi teknologi, begitu pula nantinya teknologi juga akan mampu mempengaruhi manusia. Determinasi teknologi dalam kehidupan sosial mampu dimaknai dengan bagan spektrum yang diadaptasi dari Hazeltine dan Bull (2003, p. 40-45) seperti dibawah ini :
13
Gambar 1.2. Spectrum determinasi teknologi dalam kehidupan sosial Institusi Sosial (Seperti apa strukturnya) : nilai, norma, pengetahuan, status dan peran.
Teknologi (Inovasi-Implementasi) Aktor sebagai Unit Analisis (Siapa Aktornya): terkait dengan individu, kelompok, komunitas dan masyarakat
Setting Arena (Seperti Apa Konteksnya): Kondisi lingkungan internaleksternal, berdasarkan given, impact atau by design.
Sumber: Hazeltine dan Bull (eds), 2003 Dari gambar spectrum diatas, dapat dijelaskan ketika suatu teknologi dipandang sebagai sebuah bentuk inovasi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari manusia, akan membawa dampak dan sangat berkaitan erat dengan tiga hal, yakni institusi sosial yang ada meliputi seperti apa struktur yang berlaku dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat, bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Dan apakah masyarakat benar-benar telah paham akan peran dan statusnya terhadap keberadaan teknologi tersebut.
14
Hal kedua yang juga berkaitan dengan keberadaan suatu implementasi inovasi teknologi adalah unit analisisnya. Yang dimaksud dengan unit analisis disini yaitu terkait dengan individu, kelompok atau komunitas dan bahkan masyarakat baik mereka sebagai penggagas teknologi tersebut dan juga siapa yang akan dijadikan users dari teknologi itu. Dan hal yang ketiga adalah berkaitan dengan setting arena dimana lokasi teknologi tersebut diimplemetasikan. Dalam pengimplementasian suatu inovasi teknologi sangatlah perlu melihat konteks keadaan dari lokasi, bagaimana kondisi internal maupun eksternal dari lingkungan arena tersebut. Selain itu, perlu dilihat pula apakah kemunculan dari inovasi tersebut berupa given, impact atau by design. Namun, untuk kasus teknologi seperti energi baru terbarukan, kemunculannya merupakan dari dampak atau permasalahan tertentu (impact) atau memang dimunculkan atas dasar tujuan tertentu (by design). Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang saling bersinggungan satu sama lain. Ketika terdapat suatu permasalahan disalah satu aspeknya maka akan berdampak pula terhadap aspek-aspek yang lainnya. Sebagai contoh ketika lokasi implementasi inovasi teknologi energi baru terbarukan tidak mendukung, maka aktor yang terlibat pun akan memiliki tantangan, seperti pengetahuan dan kemampuan masyarakat yang minim akan mengakibatkan respon dan adaptasi masyarakat juga menjadi lemah. Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi, penerapan suatu inovasi teknologi seperti pembangunan sumber energi baru terbarukan juga memiliki peranan yang besar. Umumnya pengembangan sumber energi baru terbarukan 15
diberlakukan di daerah pedesaan dan terpencil. Pengembangan energi baru terbarukan di daerah pedesaan diperkirakan lebih berfungsi sebagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan residential daripada sebagai sarana kegiatan industri atau komersial (Usman, 2010). Dalam kondisi semacam ini, bukan mustahil pengembangan energi baru terbarukan dipahami oleh masyarakat sebagai barang konsumtif, dan kurang dirasakan sebagai sarana yang mendorong kegiatan produktif. Bahkan dengan adanya keterlekatan masyarakat pedesaan seperti halnya isu-isu pertanian yang merupakan kegiatan mereka pada umumnya, akan memunculkan anggapan bagi sebagian dari mereka bahwa pengembangan energi baru terbarukan dirasa sebagai beban tanggungan keluarga baru. Oleh karenanya, perlu membangun kesadaran masyarakat pedesaan bahwa pengembangan teknologi energi baru terbarukan juga akan mampu meningkatkan aset dan kapabilitas yang mereka miliki. Sangat perlu menanamkan bahwa pengembangan teknologi energi baru terbarukan akan dapat menjadi suatu yang bersifat melekat (embedded) dalam masyarakat. Baik aktor ditingkat individu maupun strukturnya (jaringan sosialnya).
16
Gambar 1.3. Skema Keterlekatan dan Jaringan Sosial Jaringan Sosial (Variasi) Aktor ekonomi yang terlibat dalam jaringan Kompleks
Sederhana
Keterlekatan Lemah
Kuat
Sumber: Swedberg dalam Damsar, (2009) Dari skema diatas menunjukkan bahwa semakin komplek jaringan sosial dari aktor-aktor yang terlibat (pemanfaat teknologi energi baru terbarukan) dan semakin kuat pula keterlekatan teknologi yang dikembangkan (energi baru terbarukan) terhadap masyarakat, maka variasi aktor ekonomi yang terlibat dalam kegiatan ekonomi berbasis sumber energi baru terbarukan tersebut juga akan semakin bergam. Dan sebaliknya, ketika jaringan sosial (pemanfaat energi baru terbarukan) hanya sederhana dan keterlekatan teknologi terhadap masyarakat juga lemah, maka memunculkan variasi aktor yang terlibat dalam kegiatan ekonomi berbasis energi baru terbarukan juga menjadi sedikit. Sehingga, apabila pengembangan energi baru terbarukan mampu menjadi teknologi yang melekat dalam masyarakat, maka energi baru terbarukan tidak akan hanya dimaknai sebagai barang konsumtif namun juga sebagai sarana penunjang kegiatan produktif masyarakat.
17
1.5.1.2. Teori Pelembagaan Sosial dan Institusi Lokal Lembaga merupakan fenomena yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, bukan saja karena fungsinya untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat, bukan saja karena fungsinya untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat, melainkan juga berkaitan erat dengan pencapaian berbagai kebutuhan manusia. Maka ada yang memahami lembaga sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan manusia. Lembaga sosial (social institution) yang secara ringkas diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat, merupakan wadah dan perujudan yang lebih konkrit dari kultur dan struktur. Pengertian lembaga sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang sengit di kalangan ilmuan sosial. Terdapat kebelumsepahaman tentang arti “kelembagaan” di kalangan ahli. Dalam literatur, istilah “kelembagaan” (social institution)
disandingkan
atau
disilangkan
dengan
“organisasi”
(social
organization). Bahkan lebih jauh Uphoff (1986), memberikan gambaran yang jelas tentang keambiguan antara lembaga dan organisasi : “What contstitutes an „institution‟ is a subject of continuing debate among social scientist….. The term institution and organixation are commonly used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion” (Norman Uphoff, 1986). Istilah lembaga sosial (Rahardjo, 1999:158-159) dalam ilmu-ilmu sosial umumya, dan dalam ilmu sosiologi khususnya, merupakan terjemahan dari social
18
institution. Namun, istilah ini bukan merupakan terjemahan satu-satunya. Sementara itu, Koentjaraningrat (1997) mengemukakan bahwa belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk
menterjemahkan
istilah
Inggris
„social
institution‟.
Ada
yang
menterjemahkannya dengan istilah „pranata‟ ada pula yang „bangunan sosial‟ (Koentjaraningrat, 1997). Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, lembaga kemasyarakatan adalah merupakan himpunan daripada norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Dari definisi diatas, tersirat suatu pengertian bahwa lembaga itu adalah suatu sistem atau kompleks nilai dan norma. Sistem nilai dan norma atau tata kelakuan ini berpusat di sekitar kepentingan atau tujuan tertentu. Sehingga, kompleks nilai dan norma yang ada pada berbagai lembaga menjadi berbeda pula seiring dengan perbedaan kepentingan yang akan dicapai lewat lembaga-lembaga tersebut. Istilah lembaga dan organisasi secara umum penggunaannya dapat dipertukarkan dan hal tersebut menyebabkan keambiguan dan kebingungan diantara keduanya. Pembedaan antara lembaga dan organisasi masih sangat kabur. Organisasi yang telah mendapatkan kedudukan khusus dan legitimasi dari masyarakat karena keberhasilannya memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dalam waktu yang panjang dapat dikatakan bahwa organisasi tersebut telah “melembaga”. Namun demikian, menurut para ahli setidaknya ada empat cara membedakan kelembagaan dengan organisasi, yaitu (Syahyuti, 2006) : (1) Kelembagaan adalah tradisional, organisasi modern; (2) Kelembagaan dari
19
masyarakat itu sendiri, organisasi datang dari atas; (3) Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum. Organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Yang sempurna adalah organisasi yang melembaga; dan (4) Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Organisasi sebagai organ kelembagaan. Teori Norman Uphoof (1986) mengenai pelembagaan digunakan sebagai pijakan dalam pembangunan wilayah yang berbasis proyek-proyek dunia melalui pembangunan kelembagaan lokal (local institution development). Dalam konteks pembangunan
pedesaan,
aktivitas
pembangunan
merupakan
upaya
mengintegrasikan antara sumberdaya alam (natural resources management), infrastruktur (rural infrastructure), sumberdaya manusia (human resources development), sektor pertanian (agricultural improvement) dan nonpertanian (nonagricultural
enterprise).
Kelima
aspek/unsur
itu
digerakkan
oleh
pembangkitan teknologi dan pembiayaan pedesaan. Serupa dengan pelembagaan (institution) menurut Norman Uphoff (1986: 8-9), pelembagaan dalam penelitian ini merupakan kompleksitas norma dan pola perilaku yang berorientasi pada tujuan bernilai sosial tertentu secara kolektif. Kelembagaan dapat berwujud organisasi seperti pengadilan dan bukan organisasi seperti hukum. Dengan demikian pelembagaan menurut Uphoff (1986) berhubungan dengan pola-pola tindakan individu dalam ruang hidupnya. Dalam kaitannya dengan ini, kelembagaan ditentukan pula oleh tingkatan pengambilan keputusan dalam masyarakat, mulai dari individu hingga internasional (Uphoff, 1986: 11). 20
Dalam skema pembangunan global, Uphoff lebih menekankan pada kelembagaan berwujud kelembagaan lokal. Dengan kelembagaan lokal yang dimaksud adalah semua kelembagaan berbadan yang berada pada level lokalitas (atau setingkat kota kecamatan di Indonesia) sampai level grup (seperti kelompok rumah tangga/Rukun Tetangga di Indonesia). Menurutnya kelembagaan lokal meliputi kelembagaan di sektor publik (public sector), sektor sukarela (voluntary sector) , dan sektor privat (privat sector). Hal penting lainnya terkait dengan program pembangunan pedesaan adalah memulai dengan pemetaan terhadap kelembagaan lokal yang ada untuk membangun tindakan bersama (collective action). Tindakan bersama menjadi pijakan penting juga dikarenakan melalui tidakan bersama dapat membagi keuntungan, menguatian legitimasi, dan harapan. Dalam penelitian ini, pelembagaan sangat terkait dengan munculnya teknologi baru, yaitu PLTMH. Posisi lembaga dalam PLTMH dusun Daleman sangat penting. Karena agar muncul suatu pelembagaan, butuh lembaga dan ketika pelembagaan ini muncul maka PLTMH mampu berfungsi ditengah-tengah masyarakat. Tingkatan pengambilan keputusan terpenting untuk pembangunan pedesaan berada pada level lokalitas sehingga kemudian ia mengajukan kelembagaan
lokal
sebagai
alternatif
pembangunan
(Local
Institution
Development-LID). Yang dimaksud dengan kelembagaan level lokal adalah level lokalitas (atau setingkat kota kecamatan di Indonesia), level komunitas (seperti desa di Indonesia), dan level grup (seperti kelompok rumah tangga/Rukun Tetangga di Indonesia). 21
Serupa dengan pengertian institusi lokal diatas, Fukuyama menyebutnya sebagai swa-organisasi yang merupakan sumber penting dari tatanan sosial dan hanya bisa berada pada kondisi-kondisi tertentu yang berbeda dan bukan merupakan formula universal untuk mencapai koordinasi dalam kelompokkelompok manusia (Fukuyama, Francis:2002). Hal yang sama diperingatkan oleh Dove dan Chernea tentang pentingnya institusi lokal untuk mengembangkan inisiatif lokal dan kebudayaan transisi dalam proses pembangunan (Chernea, Michael M: 1998). Institusi lokal biasanya terdiri atas kumpulan dari orang-orang yang memiliki kebutuhan yang sama. Masyarakat pedesaan memiliki institusi bermacam-macam baik institusi yang bertujuan mencari keuntungan, institusi yang bersifat sosial ataupun institusi yang bersifat keaagamaan. Dinamka institusi dapat dinilai dengan faktor kefektifan instistusi yang terdiri; pertama, keluaran (output) dari institusi sesuai dengan tujuan atau tidak; kedua, antusiasme dan keaktifan anggota; ketiga, anggota merasa puas dengan hasil atau tidak. Pada
bagian
lain
Uphoff
menjelaskan
argumentasi
pentingnya
kelembagaan lokal untuk mengelola sumberdaya alam dan membangun pedesaan (Uphoff, 1992, 2001). Rasionalisasi bagi kelembagaan lokal itu adalah sebagai berikut: 1. Kelembagaan di level lokal penting untuk memobilisasi sumberdaya dan mengatur penggunaannya dengan suatu pandangan jangka panjang terhadap pemeliharaan dan aktivitas produktif. 2. Sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara paling efisien dan berkelanjutan karena menggunakan sistem pengetahuan spesifik lokal.
22
3. Perubahan status sumberdaya dapat dipantau secara lebih cepat dengan biaya rendah. 4. Bila kelembagaan lokal tidak mampu menyelesaikan konflik manajemen sumberdaya maka penyelesaiannya dapat diserahkan pada level yang lebih tinggi. 5. Perilaku orang-orang dikondisikan oleh norma-norma dan konsensus komunitas. 6. Institusi menodorong orang-orang untuk menggunakan cara pandang jangka panjang melalui harapan-harapan dan basis kerjasama antarindividu yang berkepentingan. Menurut sektornya (Uphoff, 1986) kelembagaan lokal merupakan suatu kontinum antara sektor publik (public sector) dan sektor privat (privat sector) (Uphoff, 1986: 4-5). Di tengah-tengahnya terdapat sektor antara yang bersifat sukarela (voluntary sector) yakni dicirikan oleh ciri-ciri publik dan privat. Urutan kontinum itu adalah administrasi lokal (local administration); pemerintahan lokal (local government); organisasi sosial berbasis keanggotaan (membership organizations) meliputi organisasi dengan tugas jamak, tugas spesifik, dan sesuai kebutuhan anggota; koperasi (cooperatives); organisasi bergerak di bidang jasa (services organizations); dan bisnis privat (private business). Urutan pertama dan kedua adalah kelembagaan sektor publik, urutan ketiga dan keempat sektor sukarela, sedangkan urutan kelima dan keenam adalah sektor privat. Namun, terdapat hal lain yang penting untuk diketahui adalah kenyataan bahwa lembaga sosial bukan merupakan fenomena statis. Lembaga berubah seiring dengan perubahan yang terjadi didalam masyarakat. mengingat fungsinya yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan tertentu anggota masyarakat, maka dinamikanya juga ditentukan oleh proses dan pola perubahan yang terjadi. Sebab, perubahan atau perkembangan cenderung mengakibatkan munculnya kebutuhan23
kebutuhan baru. Dan tuntunan terhadap pemenuhan kebutuhan baru tersebut belum tentu dapat dipenuhi oleh lembaga-lembaga lama. Maka, dengan sendiri situasi ini juga menuntut hadirnya lembaga-lembaga baru yang mampu melayani tercapainya kebutuhan baru itu (Rahardjo, 1999:160). 1.5.2. Review Referensi Terdahulu 1.5.2.1. Institusionalisasi PLTMH Dusun Janjing, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kasus pembangunan PLTMH di Dusun Janjing Mojokerto dalam penelitian ini digunakan sebagai acuan indikator keberhasilan dari suatu proyek pengembangan energi baru terbarukan. Karena proyek pengembangan energi baru terbarukan melalui PLTMH di Dusun Janjing ini merupakan salah satu contoh sukses penerapan kebijakan otonomi daerah yang diupayakan oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah yang bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Ditjen Bina Pembangunan Daerah DEPDAGRI bersama JICA menyusun program Regional Development Policies for Local Government (RDPLG) yang memiliki concern pada upaya-upaya untuk merubah pola pembangunan yang lebih partisipatif dan koordinatif. Pembangunan PLTMH Dusun Janjing bermula dari tidak sampainya listrik PLN di dusun tersebut. Selain untuk pemenuhan kebutuhan listrik, gagasan pembangunan PLTMH ini bertujuan sebagai media pendidikan (model) tentang energi alternatif yang ramah lingkungan. Pembangunan PLTMH ini membawa misi meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain itu, pembangunan PLTMH juga 24
diharapkan mampu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat melalui usaha produktif berbasis potensi sumber daya alam lokal dan kelistrikan. Pembangunan PLTMH Janjing dimulai
ketika
Pusat
Pendidikan
Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman mengajukan dana bantuan dari kedutaan Jerman untuk pembangunan PLTMH yang memanfaatkan aliran Sungai Maron di Dusun Janjing. Setelah itu kegiatan selanjutnya difokuskan kepada masyarakat, karena masyarakat merupakan sasaran utama dan bagian yang penting dalam program ini. Pendekatan terhadap masyarakat dimulai dengan melakukan pendekatan ke kepala desa setempat dan aktor-aktor kunci dari Dusun Janjing. Pendekatan terhadap masyarakat harus dilakukan agar dapat menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat terhadap PLTMH yang nantinya akan dibangun. Dengan pendekatan yang masif, masyarakat Dusun Janjing akhirnya masyarakat menyambut baik rencana pembangunan PLTMH tersebut, bahkan terbentuk pula Paguyuban Kali Maron (PKM) yang bertugas mengelola PLTMH sekaligus memedia masyarakat.Selain masyarakat dukungan juga diperoleh dari berbagai lembaga pendukung, seperti pemerintah setempat bahkan lembagalembaga swasta. Institusionalisasi PLTMH di Dusun Janjing merupakan salah satu contoh institusionalisasi pembangunan proyek energi baru terbarukan yang bisa dikatakan berhasil. Bagaimana tidak, dampak dari pembangunan PLTMH tersebut mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Munculnya ekonomi lokal akibat adanya energi listrik yang dihasilkan oleh PLTMH Dusun Janjing merupakan salah satu bukti bahwa PLTMH tersebut mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat.
25
Kegiatan ekonomi seperti industri kecil dan rumah tangga kini tak lagi mengalami kendala. Kebutuhan listrik yang sebelumnya menjadi permasalahan utama kini mampu dipenuhi dengan baik. Dampak paling signifikan dari kehadiran listrik mini adalah peningkatan kehidupan sosial dan kesejahteraan warga dusun. Penguatan kelembagaan melalui PLTMH juga timbul melalui PKM yang dijalankan oleh masyarakat sekitar secara transparan, demokratis dan profesional. Pelembagaan yang baik tidak terlepas dari peranan masing-masing aktor yang terlibat didalamnya. Keberadaan aktor-aktor seperti yang ditunjukkan oleh skema berikut menjelaskan bahwa terdapat jejaring kelembagaan yang saling melengkapi satu sama lain dan masing-masing memberikan keuntungan bagi pengembangan PLTMH Dusun Janjing. Sebuah prestasi untuk Dusun Janjing, karena pelembagaan PLTMH di Dusun Janjing di cap oleh pemerintah sebagai salah satu praktek sukses pembangunan daerah. Pelembagaan PLTMH Dusun Janjing ditunjukkan dengan bagan kronologi dan identifikasi peran aktor serta keterkitan antar aktornya, seperti berikut ini :
26
Gambar 1.5 Skema Identifikasi peran dan keterkaitan antar aktor PLTMH Dusun Janjing PPLH Seloliman - Sumber gagasan awal dan fasilitasi proses up-grading - Menggalang dukungan dari donor - Memfasilitasi masyarakat dalam kegiatan - Memfasilitasi pembentukan Konsorium Seloliman dan PKM
MHPP-GTZ - Dukungan dana dan alat untuk konstruksi dan turbin - Feasibility study untuk upgrading daya - Dukungan pendanaan dalam proses upgrade
Masyarakat Dusun - Kerja bakti untuk pembangunan PLTMH - Iuran untuk pendanaan - Perencanaan sampai operasional
LEM-21 - Bersama PPLH membentuk Konsorium Seloliman dan PKM
Lembaga/Tokoh Desa - Sosialisasi ke masyarakat - Dukungan moral dalam pembangunan, pengembangan dan operasional
Warga Dusun Lain - Peminjaman lahan untuk bak control dan rumah turbin
Yayasan Mandiri - Preparation dengan pendekatan PRA - Pelaksanaan pembangunan konstruksi
PEMKAB Mojokerto - Kemudahan perijinan - Dukungan pengembangan
Paguyuban Kali Maron - Pengelola PLTMH Seloliman sekaligus media masyarakat - Fasilitasi dalam proses interkoneksi ke PLN
PLTMH Kalimaron Seloliman
GEF-SGP/YBUL - Dukungan pendanaan ntuk upgrading - Pendampingan untuk kemandirian operasional
Interkoneksi ke jaringan PLN
PLN-PJB - Mitra penjualan kelebihan daya listrik melalui interkoneksi
Ditjen LPE - Persetujuan Uji Laik untuk interkoneksi - Dukungan politis dan peresmian interkoneksi
Sumber: “PLN” Hasil Swadaya Masyarakat, Suroso(2005) Gambar bagan diatas menunjukkan bahwa dalam pembangunan dan pengoperasian PLTMH Janjing, terdapat banyak aktor yang terlibat dan masingmasing aktor mampu memerankan perannya dengan baik. Masing-masing aktor yang terlibat juga saling berkaitan satu sama lain. Dalam kasus PLTMH Dusun Janjing pemetaan aktor dibuat serinci dan setegas mungkin bertujuan agar dampak, baik positif maupun negatif, dari setiap kegiatan aktor yang berkaitan
27
dengan pembangunan dan pengoperasionalan PLTMH dapat diidentifikasi dan di pecahkan dengan baik. Misalnya, LEM-21 (Local Environmental Management21) dengan membentuk konsorium Seloliman akan memunculkan penguatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam lokal, membantu proses belajar di masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal melalui organisasi sehingga
terwujudlah
kelompok
atau
organisasi
masyarakat
yang
mandiri.Keberhasilan yang dicapai dalam pembangunan PLTMH di Dusun Janjing dapat ditunjukkan dengan gambar bagan dibawah ini: Gambar 1.6 Bagan Ringkas Keberhasilan Pembangunan PLTMH Dusun Janjing Pengalaman sebagai daerah percontohan otonomi
Struktur ekonomi dan potensi daerah untuk investasi
Tekad untuk inovasi dalam perijinan: Payung kebijakan Penyediaan sarana
Proses perijinan yang lebih sederhana dan transparan
ISO 9002 untuk kualitas manajemen pelayanan
Investasi meningkat
Menarik kewenangan dari berbagai instansi menjadi sistem
Membuat SOP yang jelas dan komitmen
Kewenangan penuh dalam bentuk dinas dan political
Sumber: “PLN” Hasil Swadaya Masyarakat, Suroso (2005) Karena capaian keberhasilan PLTMH Dusun Janjing yang telah diakui oleh pemerintah dan masyarakat inilah yang menjadikan indikator dimensi sosial ekonomi dan teknologi PLTMH Dusun Janjing digunakan untuk melihat capaian pengembangan proyek energi baru terbarukan PLTMH di Dusun Daleman.
28
Dimensi sosial ekonomi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengembangan suatu teknologi, dalam hal ini adalah pengembangan energi baru terbarukan. Dimensi sosial ekonomi merupakan hal yang selalu diukur dalam capaian kesejahteraan suatu masyarakat. Keberadaan suatu teknologi energi baru terbarukan bukan sekedar sebagai pemenuh kebutuhan energi, namun juga harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, akses, aset, dan kapabilitas seluruh lapisan masyarakat. Peran aktor dan keterkaitannya terhadap PLTMH Dusun Janjing juga menunjukkan klaim dimensi-dimensi sosial ekonomi dan teknologi dilihat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh tiap aktornya. Sedang definisi dari dimensi sosial ekonomi dalam penelitian ini adalah tidakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh tiap aktor yang berkaitan terhadap pengembangan PLTMH yang memunculkan tindakan ekonomi. Klaim peran yang termasuk dalam dimensi sosial ekonomi dan teknologi dijabarkan dengan gambar tabel dibawah ini: Tabel 1.1. Klaim dimensi sosial ekonomi dan teknologi dari aktor yang terlibat dalam PLTMH Janjing Aktor yang
Keterangan peran
terlibat
Dimensi
LEM-21 (Local Environmental-21)
sosial Lembaga/Tokoh Desa
Warga Dusun Lain
Berperan dalam pembentukan Kosorium Seloliman yang bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat ketika melakukan upgrade daya Membantu pedekatan dan melakukan sosialisasi terhadap masyarakat Pemberian dukungan moral terhadap pengembangan dan operasional PLTMH Janjing Warga dusun lain di sekitar Dusun 29
Dimensi sosial
PPLH (Pusat Pendidikan lingkungan Hidup) Seloliman
ekonomi
Paguyuban Kali Maron (PKM)
Masyarakat Dusun
GEF-SGP (Global Environmental Facility-Small Grant Program)/YBUL (Yayasan Bina Usaha Lingkungan) Perusahaan Listrik Negara (PLN)
Dimensi teknologi
Yayasan Mandiri
MHPP-GTZ Ditjen LPE (Direktorat Jendral
Janjing membantu dengan cara meminjamkan lahan bagi operasional PLTMH Dusun Janjing Sumber gagasan awal dan memfasilitasi proses up-gradding serta memfsilitasi masyarakat dalam kegiatan Memfasilitasi masyarakat dalam kegiatan dan memfasilitasi pembentukan konsorium dan paguyuban warga Menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar dalam pengelolaan dan pengoperasian awal PLTMH yang pembayarannya diperoleh dari iuran warga Media masyarakat terhadap akses PLTMH Mengelola PLTMH yang tentunya juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat yang tergabung dalam pengurus Memfasilitasi proses interkoneksi ke PLN untuk menjual kelebihan daya yang dihasilkan PLTMH Pelaksanaan kerja bakti untuk pembangunan PLTMH Melakukan iuran pendanaan untuk perawatan PLTMH Terlibat dalam perencanaan program hingga operasional PLTMH Memberi dukungan dana dalam proses up-gradding Memberi pendampingan untuk kemandirian operasional yang bias digunakan sebagai modal masyarakat untuk menuju kemandirian
Menjadi mitra penjualan kelebihan daya listrik yang dihasilkan PLTMH Janjing melalui interkoneksi Melakukan persiapan dengan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) Pelaksanaan pembangunan konstruksi Melakukan study feasibility untuk upgradding daya Memberikan uji Laik sekaligus meresmikan interkoneksi PLTMH 30
Listrik dan Pemanfaatan Energi)
Janjing ke PLN Menjadikan PLTMH Janjing sebagai project pilot yang siap dicontoh dan diimplementasikan secara luas Sumber : Diolah penulis dari “PLN” Hasil Swadaya Masyarakat, Suroso (2005) 1.6. METODE PENELITIAN 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian mengenai Institusionalisasi proyek pembangunan Pembangkit Listrik tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Daleman, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta ini menghendaki penggunaan metodologi penelitian yang sifatnya lebih longgar dan fleksibel dalam membaca temuantemuan di lapangan, penelitian ini bersifat kualitatif. Secara spesifik, Taylor dan Bogdan (1984:5) seperti yang dikutip Hendrarso (2005) dalam Suyanto dan Sutinah (eds, 2007) menyatakan bahwa pengertian penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode yang digunakan adalah studi kasus (case study). Metode studi kasus adalah jenis penelitian yang berkonsentrasi pada sebuah hal, melihat secara lebih mendetail, dan tidak digunakan untuk mengeneralisasikannya (Thomas: 2012). Studi kasus merupakan strategi yang cocok apabila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol
peristiwa-peristiwa
yang akan diselidiki, dan fokus
31
penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin: 2012). Studi kasus digunakan dalam penelitian ini juga didasarkan kepada kelebihan yang dimiliki oleh metode ini jika dibandingkan dengan metode yang lainnya.
Hammersley
dan
Gomm
(2000)
dalam
Thomas
(2012:10)
mengkomparasikan antara studi kasus dengan bentuk penelitian lain (eksperimen dan survey) sebagai berikut: Tabel 1.2. Komparasi antara studi kasus dengan yang lain
Menyelidiki tentang … Data yang dikumpulkan dan dianalisis tentang … Mempelajari tentang …
Kuantitas dari data-data … Menggunakan … Bertujuan untuk …
Studi Kasus Eksperimen Satu kasus atau Jumlah kasus sejumlah kasus yang relatif besar yang kecil Hampir sebagian Hanya sebagian besar dari fitur- kecil fitur dari fitur di masing- setiap kasus masing kasus Kasus-kasus Kasus-kasus yang terjadi dimana tujuannya secara alami adalah untuk dimana mengontrol tujuannya tidak variable-variabel digunakan untuk yang penting mengotrol variable Bukan Merupakan merupakan sebuah prioritas sebuah prioritas Beberapa metode Satu metode dan sumbersumber data Mengacu pada Mengacu pada hubunganhubungan sebab hubungan dan akibat proses-prosesnya Sumber: Thomas (2012:10)
Survey Jumlah kasus yang relatif besar Hanya sebagian kecil fitur dari setiap kasus Kasus-kasus yang terjadi secara alami yang dipilih untuk memaksimalkan keterwakilan sampel terhadap populasi yang lebih besar Merupakan sebuah prioritas Satu metode
Mengacu generalisasi
pada
32
Penelitian dengan metode studi kasus ini menggunakan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau untuk menemukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat (Koentjoroningrat: 1985). Sehingga diskripsi uraian tentang tendensi-tendensi dalam penelitian ini lebih banyak diwarnai narasi. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial (Rudito dan Famiola, 2008:78). Pada penelitian ini akan mendiskripsikan mengenai bagaimana proses transisi yang terjadi akibat adanya proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Daleman, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan deskripsi mengenai pelembagaan proyek energi baru terbarukan khususnya pembangunan PLTMH di Dusun Daleman. 1.6.2. Penentuan Unit Analisis 1.6.2.1. Unit Analisis Unit analisis merupakan subyek penelitian atau kelompok-kelompok yang menjadi fokus dari peneltian. Dalam sebuah penelitian, menentukan unit analisis diperlukan agar peneliti dapat mengetahui dan menentukan masalah dari penelitian tersebut. Berdasakan rumusan masalah yang penyusun angkat, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah instansi yang terkait dengan proses
33
pembangunan PLTMH serta masyarakat Dusun Daleman khususnya mereka yang bertempat tinggal disekitar lokasi pembangunan PLTMH. 1.6.2.2. Informan Informan adalah orang yang menjadi sumber informasi dalam sebuah penelitian. Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling yang mendasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Dalam purposeful sampling, peneliti memilih subjek penelitian dan lokasi penelitian dengan tujuan untuk mempelajari atau untuk memahami permasalahan pokok yang akan diteliti. Subjek penelitian dan lokasi penelitian yang dipilih dengan teknik ini biasanya disesuaikan dengan tujuan penelitian (Herdiansyah, 2010: 105-106). Selanjutnya, informan pada penelitian ini dipilih karena memiliki kriteria tertentu, yaitu : -
Informan merupakan masyarakat Dusun Daleman, khususnya yang bertempat tinggal disekitar lokasi PLTMH
-
Informan merupakan masyarakat Daleman yang pernah tergabung dalam kelompok pengelola PLTMH
-
Informan merupakan bagian dari pihak penyelenggara teknologi PLTMH.
34
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data 1.6.3.1. Data Primer 1.6.3.1.1. Pengamatan atau Observasi Observasi dilakukan untuk menangani kemungkinan banyak perilaku atau hal-hal yang tidak dapat diungkapkan oleh informan penelitian secara terbuka dalam wawancara karena berbagai sebab. Observasi juga dilakukan sebagai metode pengumpulan data yang pertama. Teknik observasi memungkinkan untuk melakukan pengamatan dari dekat gejala penyelidikan. Oetomo (2005) dalam Suyanto dan Sutinah (eds, 2007:186) menyatakan bahwa data yang diperoleh dari observasi langsung terdiri dari perincian tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang, serta juga keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal, dan proses penataan yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang diamati. Serta, dengan menggunakan teknik observasi atau pengamatan dapat mengatasi terjadinya keraguan terhadap data yang dianggap keliru atau bias. Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana kondisi dan pemanfaatan PLTMH di Dusun Demangan oleh masyarakat sekitar, respon masyarakat terhadap pembangunan PLTMH, dan upaya peran serta pemerintah dan instansi terkait terhadap keberadaan PLTMH di Dusun Demangan tersebut. Dari pegamatan atau observasi ini dapat
35
diperoleh data berupa kondisi dan perubahan yang terjadi di masyarakat terkait keberadaan PLTMH di lingkungn mereka. 1.6.3.1.2. Wawancara atau Interview Wawancara adalah serangkaian proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih saling bertatap muka, mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan (Nurbuko dan Achmadi: 1991). Teknik wawancara digunakan dalam memperoleh data, keterangan ataupun penjelasan dari orang yang berkompeten dengan masalah yang diteliti. Teknik ini merupakan komunikasi langsung antara peneliti dan subyek peneliti. Wawancara adalah bagian terpenting dari metode pengumpulan data penelitian kualitatif yang memerlukan data mendalam. Wawancara dilakukan dengan menyusun interview guide (pedoman wawancara) sehingga informasi yang didapat tersistematis dan mengurangi kelalaian karena lupa untuk ditanyakan. Probing (pertanyaan mendalam) akan dilakukan jika dalam wawancara terjadi ketidakjelasan informasi dari narasumber. Dan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, komunikasi secara informal pun akan dilakukan sebelum melakukan wawancara agar ada keterbukaan antara peneliti dengan narasumber.
36
Dalam penelitian ini, wawancara ditujukan kepada key person (narasumber) yaitu mereka pihak-pihak yang dinilai relevan dan berkompeten dengan masalah penelitian. Wawancara dengan informan dilakukan secara tidak terstruktur atau wawancara mendalam (in depth interview). 1.6.3.2. Data Sekunder Data
sekunder
diperoleh
melalui
hasil
kepustakaan
dan
dokumentasi. Data tersebut akan diklasifikasikan dan dipilah sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data-data yang bersifat literatur seperti jurnal, buku, e-book, dan data dari situs-situs internet seperti dokumen terkait energi baru terbarukan dan kajian teoritik digunakan pula sebagai penguat data-data primer. Keadaan dan setting dari lokasi didokumentasikan sebagai penguat data primer. Selain itu, penelitian ini menggunakan catatan lapangan (field notes), untuk menjaring informasi dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, atau hal-hal umum yang dianggap penting namun belum tercantum dalam pertanyaan penelitian. 1.6.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini, dalam menganalisis data digunakan analisis data kualitatif, yaitu teknik analisis yang mendasarkan pada kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan data dan informasi yang diperoleh di lapangan. Teknik kualitatif ini akan memberikan gambaran yang represantatif dan pengetahuan 37
yang lebih detail dari sebuah kasus. Milles dan Huberman (1992: 20) menjelaskan bahwa dalam sebuah penelitian kualitatif, proses analisa dan interpretasi data merupakan upaya yang berlanjut, berulang-ulang dan terus menerus. Desain penelitian dalam penelitian ini disusun dengan skema yang diadaptasi dari Thomas (2012) seperti berikut ini: Gambar 1.7. Skema desain penelitian Tujuan
Rumusan masalah
Review literatur
Pendekatan penelitian
Kerangka desain dan metode
Sumber: Thomas, 2012
Penentuan jenis dan proses studi kasus
Penelitian ini dimulai dengan penentuan tujuan dan rumusan masalah, bukan dimulai dari desain penelitian. Setelah tujuan dan rumusan masalah dibuat, diperlukan review literatur dan observasi awal terhadap lokasi penelitian pendekatan penelitian dapat ditentukan. Dari pendekatan penelitian yang dipilih dapat ditentukan kerangka desain dan metode penelitian sehingga dapat ditentukan mengenai jenis dan proses studi kasus yang akan dilaksanakan. Dalam pelaksanaan penelitian ini, dilihat dari bagan diatas, setelah melakukan review literatur akan ditemukan teori tentang dimensi sosial ekonomi teknologi dan contoh kasus PLTMH di Dusun Janjing yang merupakan proyek pengembangan PLTMH yang sudah diakui keberhasilannya oleh pemerintah dan
38
dijadikan percontohan bagi pengembangan teknologi energi baru terbarukan serupa di Indonesia. Hasil review literatur tersebut dijadikan sebagai konsep dan pendekatan dalam melakukan penelitian PLTMH di Dusun Daleman ini. Skema konsep keberhasilan dan keterkaitan peran antar aktor dalam kasus PLTMH Dusun Janjing akan digunakan sebagai indikator-indikator dalam melakukan penelitian di PLTMH Dusun Daleman. Sehingga, akan diperoleh gambaran skema baru milik PLTMH Dusun Daleman yang nantinya akan membantu dalam proses analisis penelitian yang pada akhirnya mampu digunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: Tahap pertama dimulai dengan dengan menentukan objek penelitian, dalam proses penentuan focus of interest penelitian ini. Selanjutnya, dilaksanakan pra survey yakni obeservasi secara mendalam untuk memperoleh gambaran awal permasalahan yang telah ditentukan di bagaian awal. Hal yang selanjutnya dilakukan adalah mengumpulkan data yang sesuai dengan obyek penelitian. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan berdasarkan indikator yang dipergunakan dalam penelitian. Setelah dilakukan proses pemilihan dan pemilahan, data tersebut kemudian dianalisis. Analisis data yang digunakan disesuaikan dengan tujuan dan jenis penelitian. Tahap kedua adalah reduksi data. Huberman (1992) dalam Faisal (2007) menjelaskan proses analisis dan intepretasi data kualitatif menggunakan tiga alur 39
yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan pemilahan data yang terkumpul ke dalam penggolongan data, penentuan bagian-bagian yang hendak diabaikan, dipertajam dan dikembangkan. Hal yang dilakukan selanjutnya serangkaian
informasi
yang
adalah penyajian data yaitu menyusun
memungkinkan
penarikan
kesimpulan
dan
pengambilan tindakan. Penyajian data umum berupa teks naratif. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dikelompokkan sesuai dengan inti permasalahan yang diperoleh, hal tersebut dilakukan dengan mereduksi data dari lapangan yaitu dengan menuliskan secara rapi, terperinci, dan sistematis untuk memperoleh keterangan serta data-data yang dibutuhkan dalam menyusun hasil dan analisis penelitian. Hasil observasi memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai data dan mendukung data yang diperoleh dari hasil wawancara serta melihat hal yang tersirat yang tidak dapat diperoleh dari hasil wawancara. Data-data yang telah direduksi kemudian disusun dan dianalisis sehingga dapat menggambarkan dan menjelaskan proses institusionalisasi proyek energi dalam pembangunan PLTMH di Dusun Daleman dan apa saja yang menjadi peluang dan tantangan dalam pembangunan proyek energi baru terbarukan (renewable energi) di masyarakat. Tahap yang terakhir yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi. Hal tersebut memfokuskan pada pengambilan kesimpulan dan saran-saran yang dipandang perlu berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan. Tidak lupa dilakukan cross check data yang diambil dari hasil reduksi dan penyajian data
40
lapangan. Mengingat data yang didapat sebagian besar adalah data kualitatif maka pendekatan yang dilakukan juga berupa pendekatan kualitatif sehingga analisis data dilakukan secara induktif, yaitu dengan mencoba menarik kesimpulan yang berlaku umum dari fakta-kakta dan data yang didapat. Berikut ini merupakan skema analisis data kualitatif format studi kasus: Gambar 1.8. Analisis Data Kualitatif Format Studi Kasus Pengumpulan data Reduksi data
Display data
Penggambaran kesimpulan
Sumber : Faisal, 2007 Ketiga proses diatas berjalan secara dialektis dan berlangsung terus menerus saat sebelum, ketika pengambilan data, dan sesudah pengumpulan data.
41