ARSITEKTUR DAN ENERGI Tri Harso Karyono Harian Kompas, 21 September 1995, Jakarta, Indonesia.
Pengamatan
para akhli memperlihatkan konsumsi energi dunia meningkat pesat dalam
beberapa dekade terakhir ini. Peningkatan ini terjadi bukan saja pada sektor industri dan transportasi, namun juga mencolok pada sektor bangunan. Kesemuanya ini disebabkan oleh perkembangan pesat teknologi modern yang umumnya konsumtif terhadap pemakaian energi. Sejumlah studi memperlihatkan data penggunaan energi dalam bangunan dari tahun ke tahun naik rata-rata 5 s/d 10 prosen. Kenaikan yang paling drastis terjadi di Amerika Serikat sebagai negara pemakai energi terbesar dunia, yakni sekitar tiga kali lipat dalam kurun antara 1950 - 1973 dibanding masa-masa sebelumnya (Flavin, 1980). Konsumsi energi dalam bangunan (penerangan, AC, lift, dsb.) tercatat hampir seperempat dari suplai tahunan energi dunia pada akhir tahun 80-an (Flavin, 1980). Celakanya hampir dua pertiganya disuplai dari bahan bakar minyak dan gas yang usia cadangannya tidak lebih dari 100 tahun (30 tahun untuk Indonesia) (World Energy, 1991). Keadaan ini semakin memburuk terjadi di negara-negara berkembang terutama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena tingginya laju perkembangan ekonomi, mendorong negara-negara ini menggunakan produk teknologi maju secara besar-besaran tanpa memikirkan resiko pengurasan sumber energi tidak terbarukan dari minyak bumi.
Sumber: European Commission
Gambar 12.1. Proporsi penggunaan sumber energi dunia – lebih dari duapertiga kebutuhan energi dunia disuplai dari bahan bakan minyak (fosil)
Keterlambatan Antisipasi Meskipun negara-negara Barat, Eropa dan Amerika Utara, mulai menyadari akan pentingnya energi ketika dilakukan embargo minyak oleh negara-negara Arab tahun 1973, negara berkembang seperti Indonesia ternyata masih mengikuti pola pemborosan bahan bakar ini
1
seperti ketika negara-negara maju tersebut masih mengalami kejayaan dengan pasokan minyak yang berlimpah.. Sejumalh penelitian telah dilakukan oleh institusi perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penelitian di negara-negara Eropa Barat terhadap penghematan energi bangunan. Hasil-hasil penelitian tersebut sudah diaplikasikan di bangunan-bangunan baru, di mana hasilnya memperlihatkan penghematan energi bangunan dari 15 sampai 60 prosen di bangunanbangunan uji coba tersebut. Konferensi Pemanfaatan Energy Matahari secara Pasif (Passive Solar Design) yang diprakarsai oleh Ikatan Solar Energy Sedunia (International Solar Energy Society) yang dilakukan di London tanggal 5 Mei 1995 memperlihatkan sejumlah hasil yang menggembirakan terhadap uji coba bangunan-bangunan baru yang dirancang dengan konsep pemanfaatan matahari secara pasif. Beberapa rancangan bangunan baru atau bangunan yang selesai dibangun di Denmark, Norwegia, dan Inggris disajikan dalam konferensi tersebut. Gedung Brundtland (Brundtand Centre Denmark) yang dibangun tahun 1994 dengan luas lantai 1800 m2 hanya menggunakan 40% dari energi bangunan-bangunan semacamnya yang tidak dirancang dengan konsep ini. Sementara Gedung Baru Parlemen Inggris (The New Parliamentary Building) yang akan di bangun di Westminster dan dirancang dengan konsep ini diperkirakan akan dapat menekan penggunaan energi sekitar 40%.
Gambar 12.2. Energi matahari dan bangunan: diperlukan strategi yang tepat untuk memanfaatkan energi matahari di dalam bangunan, kapan panas dan cahaya matahari diambil dan kapan dihindarkan Sumber: European Commission
Pemikiran baru yang diprakarsai oleh negara-negara maju seperti di atas nampaknya belum sempat mengimbas pada negara berkembang seperti halnya Indonesia. Teknologi dan pola aktifitas modern yang ada di negara berkembang sebagian besar masih tetap merupakan duplikasi dari negara panutan Barat pada masa sebelum krisis energi 1973, yang sangat mungkin tidak revelan dengan kondisi setempat.
2
Sejumlah bangunan terutama gedung-gedung berlantai banyak di kota-kota besar di Indoensia seperti Jakarta dirancang tanpa mempedulikan kondisi iklim setempat. Seluruh selubung bangunan dibalut sebagian atau seluruhnya dengan kaca tanpa diberi penghalang terhadap radiasi matahari. Pengetahuan klasik tentang 'efek rumah kaca' tidak banyak diperhatikan. Gelombang pendek sinar matahari yang masuk melalui dinding kaca akan berubah menjadi gelombang panjang sesampainya di dalam ruang, dan ini tidak dapat ditransmisikan kembali ke luar dinding kaca. Akibatnya terjadi akumulasi panas dalam bangunan. Penggunaan material kaca sebagai pembalut bangunan atau sebagai atria (atrium) banyak dijumpai di negara-negara beriklim sedang seperti Eropa. Langkah ini banyak membantu usaha penekanan konsumsi energi untuk penerangan dan pemanas ruang terutama saat musim dingin. Akumulasi panas dalam bangunan akibat dari 'efek rumah kaca' memberikan panas ekstra dan ruangan menjadi hangat. Seandainya ide ini diterapkan untuk bangunan di daerah beriklim tropis seperti Indonesia hasilnya tidak menguntungkan: ruang di dalam bangunan menjadi panas. Seandainya bangunan dilengkapi mesin pengkondisian udara (AC), maka energi yang dikonsumsi untuk pendinginan membengkak karena panas yang harus 'dibuang' menjadi lebih besar akibat akumulasi panas di dalam bangunan sebagai konsekuensi 'efek rumah kaca' tersebut. Penelitian yang dilakukan penulis tahun 1993 terhadap beberapa bangunan berpendingin udara (AC) di Jakarta memperlihatkan bahwa penggunakan energi (listrik) bangunan yang memiliki penghalang sinar matahari dapat mencapai sekitar 30% hingga 50% lebih rendah dari bangunan tanpa penghalang matahari untuk mencapai suhu ruang yang sama. Fakta ini memperlihatkan adanya potensi untuk menekan konsumsi energi pendinginan AC dalam bangunan dengan jalan mencegah terjadinya pemanasan langsung matahari terhadap dindingdinding kaca selubung bangunan. Ide dari Pemanfaatan Matahari Secara Pasif (Passive Solar Design) seperti yang dicobakan pada bangunan-bangunan di Eropa di atas juga dapat diterapkan di Indonesia dengan cara berbeda. Jika bangunan di Eropa dirancang agar dapat mengambil panas matahari saat musim dingin dan menyingkirkan saat musim panas, bangunan di Indonesia, kecuali di daerah pegunungan, diharapkan dapat menyingkirkan panas matahari sepanjang tahun serta menggunakannya hanya untuk penerangan siang hari, untuk menghemat penggunaan lampu listrik. Untuk maksud tersebut, dinding-dinding kaca perlu diberi penghalang agar radiasi matahari dari sisi barat-timur tidak langsung mengenai selubung kaca, semnetara membiarkan masuknya cahaya matahari tidak langsung dari sisi utara-selatan pada waktu-waktu tertentu.
3
Keliru Interpretasi pada Konsep Ruang Luar Dalam permasalahan ruang terbuka, taman, jalan, dan lainnya, banyak kekeliruan yang dilakukan. Arsitektur kota di Indonesia banyak dirancang keliru. Demikian pula ruang luar yang dirancang bertentangan karakter iklim tropis lembab. Hal ini berpotensi terhadap pemborosan energi. Tidak sedikit kota atau bagian kota dikembangkan dan 'dibenahi' sedemikan rupa sebagai duplikasi negara barat. Hal ini secara tidak disadari menimbulkan konsekuensi terhadap pemborosan energi.
Gambar 12.3. Jalan di sekitar Lapangan Merdeka Medan: Penghijuan di tepi jalan kurang dioptimalkan, perkerasan tanah (jalan aspal) yang tidak diteduhi meningkatkan temperatur kawasan. Sumber: Tri H. Karyono
Jalan diperlebar, pohon-pohon di tepinya ditebang, yang sebetulnya berfungsi sebagai peneduh bagi pejalan kaki maupun bagi pemakai kendaraan. Hilangnya pepohonan tersebut mendorong warga enggan berjalan kaki meskipun untuk menempuh jarak pendek sekalipun. Orang kemudian mengartikan perjalanan identik dengan berkendaraan yang berarti mendorong pemakaian bahan bakar fosil. Di lain pihak, pemakai kendaraan beroda empatpun kemudian banyak mengeluh terhadap udara yang panas akibat hilangnya pohon peneduh jalan, untuk kemudian mendorong mereka menggunakan mesin pendingin udara di dalamnya. Sekali lagi, hal ini mendorong peningkatan konsumsi bahan bakar fosil. Pada sisi lain tidak sedikit dijumpai taman-taman teduh di pusat kota 'disulap' menjadi lapangan terbuka ala Eropa dengan permukaan tanah yang diperkeras dengan beton, keramik, batu, atau material keras lainnya. Langkah ini tampaknya hanya sekadar memikirkan bagaimana menampilkan wajah kota yang secara visual menarik, 'indah' dipandang, namun 'tidak nyaman' dilalui atau dihampiri karena terlalu panas. Penelitian karakteristik suhu beberapa tipe pelapis permukaan tanah di Afrika Selatan yang di laporkan Lippsmeier (1980) dinyatakan bahwa suhu di atas permukaan rumput pendek dapat mencapai 4 derajat Celcius lebih rendah dari suhu di atas permukaan beton, serta 5 derajat
4
lebih rendah seandainya rumput tersebut terlindung dari sinar matahari. Hasil penelitian ini sesungguhnya dapat dijadikan titik tolak pemikiran, mengapa ruang-ruang terbuka di kota-kota beriklim sedang atau dingin banyak dilapis dengan beton atau bahan keras lainnya dan bukan rumput. Salah satu tujuannya adalah agar suhu udara di atas permukaan tersebut naik ketika radiasi matahari jatuh di permukaannya. Langkah semacam ini diperlukan untuk meningkatkan suhu udara luar yang bersuhu rendah. Seandainya pemikiran ini diduplikasi dan dipaksakan di Indonesia, suhu udara luar yang semula sudah tinggi akan bertambah tinggi. Perkerasaan permukaan ruang terbuka di sejumlah kota di Indonesia menimbulkan permasalahan baru, kebutuhan manusia terhadap suhu nyaman yang rendah tidak akan pernah tercapai. Penebangan pohon dan penggunaan material keras pelapis ruang terbuka kota akan menaikkan suhu udara kota. Dan hal ini seharusnya dihindari terjadi di negara tropis seperti Indonesia. Kiranya kajian untuk menduplikasi apa-apa yang ada di negara-negara maju perlu segera dilakukan. Tanpa semua itu kita akan terjerumus akibat kekeliruan interpretasi dalam melihat sesuatu yang ada di negara lain yang dianggap lebih maju. Pemikiran bahwa kita dianggap maju seandainya memiliki wajah 'mirip' dengan negara maju tentu lebih banyak salahnya. Menciptakan karya arsitektur bangunan maupun arsitektur kota yang mirip secara 'visual' dengan yang ada di negara lain dengan iklim yang lain merupakan kekeliruan yang harus dibayar mahal dengan penghamburan energi.
5