1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Anak adalah dirawat,
dan
anugerah
diberi
yang
bekal
diberikan
sebaik-baiknya
Tuhan,
yang
bagaimanapun
harus kondisi
dijaga, anak
tersebut ketika dilahirkan. Orang tua akan merasa senang dan bahagia apabila
anak
yang
dilahirkan
memiliki
kondisi
fisik
dan
psikis
yang
sempurna. Sebaliknya, orang tua akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna atau mengalami hambatan perkembangan. Kenyataan bahwa anak yang dimiliki tidaklah sama dengan anak-anak lain pada umumnya merupakan salah satu hal yang haruslah diterima apa adanya. Anak yang dimiliki ternyata spesial dibandingkan anak-anak lainnya merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh orang tua manapun. Orang tua memunculkan reaksi bervariasi atas kehendak Tuhan tersebut, bahwa anaknya mengalami gangguan dalam hal ini retardasi mental. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, retardasi mental ialah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya kendala keteramplian selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.
1
2
Hasil
survei
yang
dilakukan
oleh
Hallahan
pada
tahun
1988,
didapatkan bahwa jumlah penyandang tunagrahita adalah 2,3%. Di Swedia diperkirakan 0,3% anak yang berusia 5-16 tahun merupakan penyandang retardasi mental yang berat dan 0,4% retardasi mental ringan. Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, dari 222 juta penduduk Indonesia, sebanyak 0,7% atau 2,8 juta jiwa adalah penyandang cacat. Sedangkan populasi anak tunagrahita menempati angka paling besar dibanding dengan jumlah anak dengan keterbatasan lainnya. Prevalensi tunagrahita atau retardasi mental di Indonesia saat ini diperkirakan 1-3% dari penduduk Indonesia, Anak
tunagrahita
ini
sekitar
6,6
juta
jiwa.
memperoleh pendidikan formal di Sekolah Luar Biasa
(SLB) Negeri dan SLB swasta. Data Penyandang Cacat diperoleh dari Pusdatin Kesos 2009 mencatat bahwa jumlah
penyandang
retardasi
mentalsebesar
15,41%.
Hal
ini menujukkan
pula bahwa penyandang retardasi mental termasuk jumlah kecatatan yang paling banyak dialami setelah cacat kaki. Gunarsa menambahkan (2004) bahwa data statistik
dari
berbagai
sumber
menyebutkan
bahwa
persentase
keterbelakangan mental berada sekitar 2-3% dari populasi yang ada. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa anak dengan retardasi mental merupakan anak dengan keterbatasan intelektual dan perilaku dimana keterbatasan intelektual ini mempengarruhi kemampuan perilaku sehari-hari. Namun
anak
dengan
retardasi
mental
masih
memiliki potensi untuk
dikembangkan untuk dididik atau dilatih secara terus-menerus sehingga
anak
3
dengan
retaradasi
mental
masih
dapat
mengaktualisasikan dirinya sebagai
makhluk sosial yang dapat bekerja dan bermasyarakat dengan baik. Terlepas dari bagaimanapun kondisi yang dialami, pada dasarnya setiap manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh kabahagiaan dalam hidupnya. Setiap anak barhak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif, suportif, dan memperoleh kasih sayang dari orang tua termasuk penerimaan
orang
tua
tentang
keberdaan
mereka
yang mengalami
keterbelakangan mental. Ternyata fakta dilapangan ditemukan bahwa masih dijumpai dalam penerimaan orang tua yang memiliki anak retardasi mental yang masih setengah hati dalam memberikan rasa sayangnya dan kurangnya intensitas komunikasi langsung antara orang tua dan anak dalam mengasuh atau menyediakan segala kebutuhan
anak
sehingga
banyak
diantara
orang
tua menggunakan
jasa
pengasuh. Orang tua hanya menyediakan fasilitas apa yang dibutuhkan oleh anak tetapi kurang peka bahwa yang menjadi dasar kebutuhan perkembangan yang optimal untuk anak retardasi mental adalah kebutuhan penerimaan orang tua yang dapat diekspresikan rasa sayagnya oleh orang tua untuk anak, juga diperkuat dengan hasil Preliminry Research yang dilakukan oleh peneliti di SLB N 1 Bantul, SLB Negeri 2 Yogyakarta, SLB Negeri Dharma Rena-Ring Putra 1. Banyak orang tua yang mengalami masalah dalam hal penerimaan orang tua. Orang tua menggunakan jasa pengasuh untuk mendampingi anak dalam kegiatan sekolah, sehingga sedikit banyak interaksi yang dilakukan oleh anak hanya dengan
4
pengasuhnya, hal tersebut dapat mempengaruhi kedekatan emosional antara orang tua dan anak. Lalu pada saat sekolah memiliki acara seperti penyuluhan tentang retardasi mental, orang tua memilih untuk tidak datang dan digantikan oleh pengasuhnya,
padahal
hal
tersebut
tetap
menjadi
kewajiban
orang
tua.
Kemudian pada saat mengetahui bahwa calon anak yang dimiliki adalah anak dengan cacat mental sebagian orang tua tidak dapat menerima dengan mudah, banyak
reaksi
yang
ditunjukkan
oleh
orang
tua
salah
satunya
ingin
menggugurkan anak sendiri (Preliminary Research, 2012). Hal seperti ini tentunya tidak mudah diterima oleh para orang tua, dimana
anaknya
perkembangannya.
mengalami Anak dengan
gangguan
dan
gangguan
retardasi
keterlambatan mental
dalam
membutuhkan
penanganan dini dan intensif untuk membantu kesembuhannya. Di sinilah peran orang tua akan terlihat dalam kehidupan anak; tentang penerimaan atau penolakan orang tua terhadap kondisi anak, yang berdampak pada sikap dan pengasuhan terhadap sang anak, pengembangan dan pengaktualisasian potensi diri sebagai manusia, orang tua, istri atau suami dan bahkan anggota masyarakat dalam mencapai tujuan hidup yang semula sudah ditetapkan, pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orangtua yang anaknya menyandang kecacatan untuk mengalami fase ini, sebelum akhirnya sampai pada tahap penerimaan (acceptance), ada masa orang tua merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa yang harus diperbuat. Tidak sedikit orang
5
tua yang kemudian memilih tidak terbuka mengenai keadaan anaknya kepada teman, tetangga bahkan kelurga dekat sekalipun, keculi pada dokter yang menangani anaknya tersebut (Puspita dalam Sri Rachmayanti, 2007). Gunarsa (2004) menambahkan ada berbagai reaksi orang tua atau kerabat ketika menyadari bahwa anaknya tergolong retardasi mental. Ketika anak dinyatakan retardasi mental sebagian besar orang tua akan merasa terpukul dan menyesali keadaan si anak maupun dirinya sendiri, bahkan menyangkal kondisi tersebut ketika
anaknya
dianggap
berbeda,
karena berada dibawah batas normal pada
umumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak cacat cenderung mengalami stres yang lebih besar daripada ibu yang memiliki anak normal (Adams dalam Bania dan Raras, 2005). Stres pada ibu yang memiliki anak
penyandang
cacat,
khususnya
retardasi
mental
berhubungan dengan
permasalahan perilaku anak tersebut. Hal ini diperkuat oleh Walker (dalam
Bania
dan Raras, 2005) bahwa permasalahan perilaku anak penyandang retardasi mental dapat menyebabkan ibu mengalami stress, dapat
menghalangi
usaha-
usahanya dalam mencapai kemampuan untuk menyesuaikan diri yang normal. Mereka mungkin tidak mau mengakui kekurangan-kekurangan melemahkan
dorongannya
memperlihatkan
kepuasan
menekan
itu
anak
untuk
untuk mencapai terhadap apa
yang
anak
itu
dan
sesuatu karena mereka tidak dapat
mencapai ukuran-ukuran
dilakukannya. yang
Mereka
melampaui
taraf
kemampuannya dengan cara yang halus, penuh kasih sayang atau terang-
6
terangan menolak. Orang tua lain memanjakan anak yang retardasi mental itu dan
membuatnya
supaya
tetap tergantung,
dengan
demikian
orang
tua
menghalangi kemampuan anaknya walaupun sangat terbatas. Heward
(2006)
menyatakan
bahwa
efektivitas berbagai program
penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental
akan sangat
tergantung pada
peran
dukungan penuh dari keluarga. Dukungan dan penerimaan keluarga
akan
memberikan
yang
terbelakang
yang
dimiliki,
mental
sehingga
energi untuk
hal
ini
serta
setiap
dan
anggota
dan kepercayaan
dalam
diri
anak
lebih meningkatkan
setiap
kemampuan
akan membantunya untuk dapat hidup
mandiri, lepas dari ketergantungan pada orang lain. Sebaliknya penolakan yang diterima
dari
orang-orang
terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka
semakin rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, anak yang retardasi mental dengan orang tuanya sangat penting dibandingkan dengan hubungan anak yang inteligensinya normal dengan kestabilan
atau ketidakstabilan
orang
tuanya.
emosinya,
Kepribadiannya,
sampai
pada
batas
termasuk tertentu
mencerminkan kepribadian dan kestabilan emosional orang tuanya (Semiun, 2006). Abdurrahman (1999) juga menambahkan bahwa Orang tua yang bersikap menerima anak apa adanya adalah yang paling positif, yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Ketidaksiapan orang tua terhadap kondisi anak yang berujung pada penolakan akan turut mempengaruhi sikap orang tua
7
terhadap anak dalam hal pengasuhan. Namun bagi orang tua yang menunjukkan penerimaan dirinya terhadap kondisi anak akan turut mempengaruhi sikap yang positif seperti pola asuh, usaha penyembuhan dan pengoptimalan anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua adalah pengetahuan tentang retardasi mental (Hendriyani, 2006). Orang tua yang mempunyai anak berkelainan perlu memahami betul-betul tentang anaknya dengan
maksud
agar
orang
tua
dapat
memperlakukan
anaknya
yang
berkelainan lebih positif dan wajar. Disamping itu juga untuk mencegah perasaan bersalah yang berlebihan dan sikap melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anaknya (Suharmini, 2005). Penerimaan
orang
tua
khususnya
ibu
terhadap
anak
memerlukan
pengetahuan yang luas tentang kondisi yang dialami anak (mental retardasi) yang sebenarnya. Sesuai dengan pemahaman seorang ibu, maka ibu akan menerima kondisi anak dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan memahami perkembangan berbagai perlu
anak
pendekatan memahami
sejak yang terlebih
dini sesuai
(Wijaya, untuk
dahulu
2007).
anak-anaknya mengenai
Untuk memahami maka orang
tua
kondisi keterbelakangan
mental seutuhnya. Menurut Robinson dan Robinson (dalam Abdurrahman, 2009) ada dua alasan orang tua mencari penyebab dari kelainan anak. Pertama, dengan mengetahui penyebab diharapkan dapat ditemukan jalan untuk memperbaiki atau
mencegah
8
mental
retardasi.
Kedua,
dengan
mengetahui
penyebab, diharapkan dapat
mengurangi beban berat perasaan dosa. Ansyari (1990) mendefinisikan pengetahuan adalah pemahaman subyek mengenai obyek yang dihadapinya. Subyek yang dimaksud adalah manusia sebagai
satu
kesatuan
berbagai
macam
kesanggupan
yang digunakan
untuk mengerti sesuatu. Sementara yang dimaksud obyek dalam pengetahuan adalah benda atau hal yang diselidiki oleh pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan tentang retardasi mental secara umum dapat diartikan sebagai informasi
yang
dimiliki
seseorang
sekumpulan
tentang keterbelakangan mental
seutuhnya. Untuk memahami keterbelakangan mental sendiri ada banyak hal yang perlu
diketahui
mulai
dari
kriteria
dalam
mendiagnosis,
mengidentifikasi sejak dini, pengukuran secara psikologis, faktor-faktor yang menjadi etiologi atau penyebabnya, sampai penanganan atau treatment yang sesuai untuk mereka. Dengan demikian, ada perspektif baru dalam memandang jenis gangguan perkembangan yang satu ini (Gunarsa, 2004). Pengetahuan orang tua tentang keterbelakangan mental menjadikan orang tua menjadi memahami kendala-kendala yang dialami anak. Dengan pengetahuan yang
dimiliki
orang
tua
tentang
keterbelakangan
mental diharapkan
penerimaan orang tua terhadap kondisi anak juga semakin positif. Penelitian Istiqamah Hafid (2011) menyatakan bahwa pengetahuan orang tua tentang retardasi mental yang sangat minim, membuat orang tua tidak
9
punya pengetahuan yang cukup dalam mengatasi kendala yang akan muncul dalam kesehariaanya. Hal ini dapat menjadi pemicu ada rasa tidak berdaya bahkan menyangkal kondisi anak yang retardasi mental sehingga membuat orang tua pesimis disaat anak sulit ditangani. Senada oleh Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati dan Tirta Malia Sakti (2006) yang
menunjukan mengalami
hasil
penelitian
keterbelakangan
bahwa mental
penerimaan memiliki
terhadap individu keterkaitan dengan
beberapa faktor, yaitu hubungan/ interaksi antar anggota keluarga, ada tidaknya informasi tentang kondisi calon anak, ada tidaknya pemahaman tentang keterbelakangan mental, ada tidaknya kesiapan menghadapi kondisi calon
anak,
persepsi tentang individu yang mengalami keterbelakangan mental. Fakta yang terjadi adalah orang tua sulit memberikan sumber kasih sayang dan penerimaan, karena kurangnya pemahaman tentang kondisi yang dihadapi anak sehingga orang tua tidak mengetahui kebutuhan-kebutuhan untuk anak yang menderita mental retardasi. Akibatnya adalah perawatan dan perlakuan yang kurang baik dari orang tua, anak tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, baik fisik biologis maupun sosio psikologisnya, Apabila anak tidak memperoleh rasa aman, penerimaan sosial
dan
harga
dirinya,
maka
imbasnya
anak
tidak
dapat memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu perwujudan diri (self-actualization). Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengatahuan yang kita miliki. sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok, orang atau hubungan kita dengan orang
10
lain pasti di dasarkan pada informasi yanag kita peroleh tentang objek itu sendiri. bidang afektif akan memberi peran tersendiri untuk dapat
menyimpan
menginternalisasikan sebuah nilai yang diperoleh lewat kognitif dan kemampuan organisasi afektif itu sendiri. Jadi eksistensi efektif dalam penerimaan orang tua adalah sangat urgen yang dapat diperoleh dari pola pembelajaran atau kognitif dalam hal ini kaitannya pengetahuan tentang retardasi mental yang lebih baik tentunya. Berdasarkan preeliminary hubungan
data-data
memberikan yang
hangat
penelitian penjelasan
dalam
yang
telah
tentang
penerimaan
arti
dipaparkan penting
orang
tua
dan
hasil
menciptakan
serta
memiliki
pengetahuan tentang retardasi mental. Sehingga peneliti terdorong untuk meneliti apakah ada hubungan antara pengetahuan tentang retardasi mental terhadap penerimaan orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik ingin melakukan penelitian dengan judul “Hubungan pengetahuan tentang retardasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagimana hubungan pengetahuan tentang retardasi mental
dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu.
11
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang retardasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk melihat pengetahuan tentang retardasi mental di Desa Abang Kecamatan Sulu. 2. Untuk melihat penerimaan orang tua dengan retardasi mental di Desa Abang Kecamatan Sulu. 3. Untuk melihat hubungan pengetahuan tentang retardasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti Meningkatkan pengetahuan peneliti tentang hubungan pengetahuan tentang retardasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu dan menerapkan ilmu yang telah diperoleh dari pendidikan selama mengikuti perkuliahan. 1.4.2 Bagi Tempat Penelitian Sebagai masukan informasi mengenai hubungan pengetahuan tentang retardasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu.
12
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan 2.1.1. Pengertian Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu : indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan merupakan dasar untuk terbentuknya sikap dan tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
13
14
2.1.2. Kategori Pengetahuan Menurut Arikunto (2006), pengetahuan dibagi dalam 3 kategori, yaitu: a. Baik : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 76-100% dari seluruh petanyaan b. Cukup : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 56-75% dari seluruh pertanyaan c. Kurang : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 40-55% dari seluruh pertanyaan 2.1.3. Tingkat Pengetahuan dalam Domain Kognitif Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu: a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengatahuan yang paling rendah b. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah faham terhadap objek atau materi harus dapat
15
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (Aplication) Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). d. Analisis Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis Menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menyambungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada. f. Evaluasi Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek 2.1.4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2005) beliau menulis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sebagai berikut :
16
1.
Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu (Soematno,1992). Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki sebaliknya. Pendidikan yang kurang akan menghambat sikap seseorang terhadap nilai- nilai yang diperkenakan.
2.
Usia Semakin cukup umur seseorang pengetahuan akan lebih matang atau lebih baik dalam berfikir dan bertindak (Susan Bastable, 2002).
3.
Pengalaman Pengalaman juga mempengaruhi pengetahuan karena dari pengalaman yang ada pada dirinya maupun pengalaman orang lain dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan pengetahuan, sebab dari pengalaman itu ia tidak merasa canggung lagi karena telah mengetahui seluruhnya.
4.
Support sistem Lingkungan yang ada di sekitar dapat mempengaruhi pengetahuan manusia karena lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik, dapat meningkatkan pengetahuan juga mengetahui sesuatu yang belum diketahui.
2.1.5. Pengukuran Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau
17
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas(Notoadmodjo, 2003). Pengukuran pengetahuan dimaksud untuk mengetahui status pengetahuan seseorang dan disajikan dalam persentase kemudian ditafsirkan dengan kalimat yang bersifat kualitatif, yaitu baik (76%-100%), cukup (60%-75%), kurang (<60%) (Nursalam, 2010).
2.2. Reterdasi Mental 2.2.1. Pengertian Retardasi mental adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata (IQ di bawah 70) yang disertai dengan keterbatasan yang penting dalam area fungsi adaptif, seperti keterampilan interpersonal atau sosial, penggunaan sumber masyarakat, penunjukkan diri, keterampilan akademis, pekerjaan, waktu senggang, dan kesehatan serta keamanan (King, 2000 dalam Videback, 2008). Retardasi mental adalah keadaan yang penting secara klinis maupun sosial. Kelainan ditandai oleh keterbatasan kemampuan yang diakibatkan oleh ganggugan yang bermakna dalam intelegensia terukur dan perilaku penyesuaian diri (adaptif). Retardasi mental juga mencakup status sosial, hal ini dapat lebih menyebabkan kecacatan daripada cacat khusus itu sendiri. Karena batas-batas antara normalitas dan retardasi seringkali sulit digambarkan, identifikasi pediatri, evaluasi, dan perawatan anak dengan kesulitan kognitif serta keluarganya memerlukan tingkat kecanggihan teknis maupun sensitivitas interpersonal yang besar (Behrman, 2000).
18
2.2.2. Etiologi Kemungkinan meneumkan etiologi retardasi mental bergantung pada beratnya retardasi mental. Hanya kira-kira 50% kasus retardasi mental ringan yang etiologinya tidak diketahui. Kelainan kromoson adalah penyebab yang paling sering teridentifikasi, dengan penyebab utama adalah sindrom down dan sinar X fragil. Penyebab retardasi mental lain adalah cidera perinatal, sindrom genetikal lain, cedera postnatal, sindrom alkohol fetus, infeksi intrauterin, dan kelainan metabolisme bawaan (Batshaw, 1993 dalam Schwartz, 2005). 2.2.3. Tingkatan Reterdasi Mental Tingkatan retardasi mental menurut kesepakatan Asosiasi Keterbelakangan Mental Amerika Serikat (American Association of Mental Retardation) seperti dikemukakan oleh Sarwono Sarlito Wirawan (1999, dalam Sunaryo, 2004) sebagai berikut: a. Retardasi mental lambat belajar (slow learner, IQ= 85-90) b. Retardasi mental taraf perbatasan (borderliner, IQ= 70-84) c. Retardasi mental ringan (debil atau moron) (mild, IQ= 55-69) d. Retardasi mental sedang (moderate, IQ= 36-54) e. Retardasi mental berat/ imbecile (sever, IQ= 20-35) f. Retardasi mental sangat berat atau idiot (profound, IQ= 0-19)
19
2.2.4. Tanda-Tanda Reterdasi Mental Tanda-Tanda Reterdasi Mental Rambut Keriting ganda Halus, mudah putus, cepat abu-abu atau putih menyeluruh Jarang atau tanpa rambut
Mata Mikroftelmia Hipertelorisme Hipotelorisme Miring ke atas dan ke luar atau ke bawah dan ke luar Lipatan epikantus sebelah dalam dan sebelah luar Koloboma iris atau retina Binti-bintik Brushfield Pupil terletak eksentris Telinga Pinna letak rendah Pembentukan heliks sederhana atau abnormal Hidung Jembatan hidung rata Ukuran kecil Lubang hidung menghadap ke atas Wajah Panjang filtrum bertambah Hipoplasia maksila atau mandibula Mulut Bentuk bibir atas V terbalik Lengkungan palatum lebar atau tinggi Kepala Mikrokranium Makrokranium
Tanda-Tanda Reterdasi Mental Tangan Metakarpal ke-4 atau ke-5 pendek Jari-jari tangan pendek, gemuk Jari-jari tangan panjang, tipis, meruncing Ibu jari tangan lebar Klinodaktili Kelainan dermatoglifik (misalnya triradius distal) Garis kult telapak tangan melintang Kelainan kuku Kaki Metatarsal ke-4 atau ke-5 pendek Jari kaki tumpang tindih Jari kaki pendek, gemuk Ibu jari kaki besar dan lebar Garis kulit yang mengarah dari sudut jari kaki pertama dan kedua, terlihat dalam Kelainan dermatoglifik
Genetalia Genetalia yang tidak jelas Mikropenis Testis besar Kulit Bintik-bintik cafe-au-lait Nevus depigmentasi Gigi Bukti adanya kelainan pembetukan email (enamelogenesis) Kelainan odontogenesis
20
2.2.5. Tanda-Tanda Reterdasi Mental Dahulu ketika pemahaman orang terhadap kondisi keterbelakangan mental masih terbatas, anak atau individu yang mengalami kondisi ini seringkali dijauhkan atau diasingkan dari pergaulan sosial. Mereka seringkali dijauhkan atau diasingkan dari lingkungan sosial. Mereka seringkali tidak mendapatkan perlakukan yang pantas karena dianggap gila dan tidak memperoleh pendidikan yang layak karena keterbatasan kemampuan intelektualnya. Namun, seiring dengan bertambahnya pengetahuan
dan
pemahaman
mengenai
keterbelakangan
mental,
semakin
berkembang pula institusi atau pendidikan yang disesuaikan dengan mereka. Salah satunya adalah SLB C yang dikhususkan untuk anak dengan keterbelakangan mental (Gunarsa, 2004). 2.2.6. Dampak Retardasi Mental pada Keluarga Orang yang paling banyak menanggung beban akibat retardasi mental adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Individu dengan retardasi mental memiliki keterbatasan
kemampuan
dalam
melakukan
aktivitas
sehari-hari.
Mereka
membutuhkan waktu lama untuk bekerja dan rentang waktu yang mereka gunakan untuk menyelesaikan tugas lebih lama dari pada orang lain pada umumnya. Biasanya penderita retardasi mental mempunyai keterbatasan intelegensi dan membutuhkan bantuan orang lain guna beradaptasi dengan lingkungan dengan meningkatkan perilaku yang kurang dan mengurangi perilaku yang berlebihan. Ketidaksesuian harapan orang tua dengan potensi yang dimiliki anak cenderung menimbulkan masalah di kemudian hari dalam proses perkembangan anak. Orang tua
21
mencemaskan masa depan anak sebagai salah satu proyeksi kecemasan dirinya dituangkan
pada
anak.
Akibatnya
kecemasan
orang
tua
mempengaruhi
kecenderungan untuk melindungi anak secara berlebihan (Zahra, 2007). Keluarga yang mempunyai anak dengan retardasi mental akan memberikan perlindungan yang berlebihan pada anaknya sehingga anak mendapatkan kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan pengalaman yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Semakin bertambahnya umur anak retardasi mental maka para orang tua harus mengadakanpenyesuaian terutama dalam pemenuhan kebutuhan anak sehari-hari (Mutaqqin, 2008).
2.3. Penerimaan Orang Tua 2.3.1. Pengertian Penerimaan Orang tua dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan mereka. Selain bertanggung jawab terhadap keluarganya, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak. Perlakuan yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya akan memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi anaknya. Menurut Johnson dan Medinnus (2007) penerimaan didefinisikan sebagai “pemberian cinta tanpa syarat sehingga penerimaan orang tua terhadap anaknya tercermin melalui adanya perhatian yang kuat, cinta kasih terhadap anak serta sikap penuh kebahagiaan mengasuh anak”. Sedangkan menurut Coopersmith (2007) penerimaan orang tua terungkap melalui “perhatian pada anak, kepekaan terhadap
22
kepentingan anak, ungkapan kasih sayang dan hubungan yang penuh kebahagiaan dengan anak”. Serta pernyataan Coopersmith dalam Walgito (2003) menyatakan pula penerimaan orang tua dicerminkan dalam perhatian orang tua terhadap anak, tanggap kebutuhan dan keinginan anak, adanya kasih sayang dan kehangatan orang tua dengan anak. Ditambahkan pula oleh Hurlock (2008), konsep penerimaan orang tua ditandai oleh : perhatian besar dan kasih saying anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat. Anak yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, secara emosional stabil, dan gembira. 2.3.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Menurut Hurlock (2008) bahwa penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Penerimaan orang tua di dalam pengertian Hurlock menerangkan berbagai macam sikap khas orang tua terhadap anak. Sikap orang tua terhadap anak mereka merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang turut mempengaruhi sikap orang tua terhadap anak. Adapun faktor-faktor penerimaan (dalam Wiwin, dkk Jurnal Psikologi Penerimaan Keluarga Terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental) adalah sebagai berikut: (1) Hubungan atau interaksi antar anggota keluarga, (2) informasi mengenai kondisi calon anak, (3) pemahaman tentang ketunarunguan, (4) kesiapan menghadapi kondisi calon anak, (5) persepsi terhadap anak yang mengalami tunarungu.
23
2.3.3. Aspek-Aspek Penerimaan Orangtua Orang tua yang menerima anaknya akan menempatkan anaknya pada posisi penting dalam keluarga dan mengembangkan hubungan emosional yang hangat dengan anak. Aspek-aspek penerimaan orang tua terhadap anak (Hurlock, 1995) sebagai berikut : 1. Terlibat dengan anak: Sikap menerima ditunjukkan dengan keterlibatan secara aktif dari orang yang menerima terhadap aktifitas-aktifitas yangg dapat memberikan kebahagiaan bagiorang yang menerimanya. 2. Memperhatikan rencana dan cita-cita anak: turut serta memikirkan hal yang dapat mengembangkan dan membuat anak semakin maju serta menjadi lebih baik 3. Menunjukan kasih sayang yaitu adanya upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan baik fisik maupun psikis . 4. Berdialog secara baik dengan anak: bertutur kata dengan baik dan bijak adalah cermin bahwa ia ingin menerima dan menghargai orang lain. 5. Menerima anak sebagai seorang individu (person) : tidak ada satu individu yang sama untuk karena itu, harus menerima kekurangan dan kelebihan secara lapang dada sehingga tidak membandingkan satu anak dengan anak lain. 6. Memberikan bimbingan dan semangat motivasi: memberikan bimbingan dan semangat motivasi untuk maju dan lebih baik tidak cukup dari dalam diri, dibutuhkan motivasi eksternal untuk memompa motivasi orang yang bisa menerima orang lain secara ikhlas akan dapat memotivasi, membimbing dan
24
memberi semangat sebab kemajuan orang yang di bimbing adalah bagian dari kebahagiaannya. 7. Memberi teladan: Memberikan contoh perilaku-perilaku yang baik pada anak. 8. Tidak menuntut berlebihan : dapat menerima keadaan anak dan tidak memaksakan keinginannya agar anak menjadi seperti keinginan orangtua. Sedangkan sikap tidak menerima/sikap menolak pada beberapa perilaku (Hurlock, 1995) yaitu: (a) tidak memperhatikan anak; (b) mengabaikan anak dan tidak banyak memiliki waktu untuk anak; (c) menghukum secara verbal dan non verbal; (d) tidak berbicara secara baik dengan anak; (e) tidak menghendaki kehadirannya; (f) gagal dalam memberikan dukungan; (g) banyak memberikan pengawasan; (h) Mengabaikan kebutuhan anak; (i) Membanding-bandingkan dengan anak. 2.4. Kerangka Konsep Variabel Independen
Pengetahuan
Variabel Dependen
Penerimaan Orang Tua
Gambar 2.1. Kerangka Konsep
25
2.5. Hipotesa Penelitian 1. Terdapat hubungan pengetahuan tentang retardasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu.
26
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan desain cross sectional,
yaitu variabel independen dan variabel
dependen diteliti secara bersamaan dan dalam satu waktu yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang terdapat antara kedua variabel tersebut.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Abang Kecamatan Suhu. 3.2.2 . Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai pada bulan April-Mei 2015 yaitu mulai pengajuan judul sampai dengan penggandaan laporan.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini seluruh anak usia 3-5 tahun di Desa Abang Kecamatan Sulu sebanyak 59 orang. 3.3.2. Sampel Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi dijadikan menjadi sampel yaitu sebesar 59 orang.
26
27
3.4. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 3.4.1. Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diambil langsung menggunakan kuesioner. 3.4.2. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara meminta kesediaan responden yang berobat dan pada jadwal imunisasi di Desa Abang Kecamatan Sulu sampai batas sampel terpenuhi. Peneliti terlebih dahulu menjelaskan cara pengisian kuesioner, menayakan apakah ada hal-hal yang tidak dimengerti oleh responden. Apabila ada maka harus dijelaskan kembali setelah itu hasil kuesioner dikumpulkan kembali.
3.5. Definisi Operasional 1. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang tua tentang reterdasi mental. Kategori Tingkat Pengetahuan : 0. Baik 1. Buruk Pengukuran variabel tingkat pengetahuan disusun 7 pertanyaan yang diajukan dengan jawaban ”ya (bobot nilai 1 )” dan ”tidak (bobot nilai 0)”, dan dikategorikan menjadi 2, yaitu: 0. Baik, jika responden memperoleh skor > 50% dari total yaitu 4-7 1. Buruk, jika responden memperoleh skor ≤ 50% dari total yaitu 1-4
28
2. Penerimaan adalah perlakuan yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya yang akan memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi anaknya. Kategori Penerimaan : 0. Menerima 1. Menolak Pengukuran variabel tingkat penerimaan disusun 7 pertanyaan yang diajukan dengan jawaban ”ya (bobot nilai 1 )” dan ”tidak (bobot nilai 0)”, dan dikategorikan menjadi 2, yaitu: 0. Menerima, jika responden memperoleh skor > 50% dari total yaitu 4-7 1. Menolak, jika responden memperoleh skor ≤ 50% dari total yaitu 1-4
3.6. Metode Pengukuran Tabel 3.1. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur Variabel Variabel Bebas Pengetahuan Variabel Terikat Penerimaan
Cara dan Alat Ukur
Skala Ukur
Hasil Ukur
Wawancara (kuesioner)
Ordinal
0. Baik 1. Tidak baik
Wawancara (kuesioner)
Ordinal
0. Menerima 1. Menolak
3.7. Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1. Pengolahan data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut :
29
a.
Pengeditan (Editing) Pada tahap pengeditan data dilakukan dengan memeriksa kelengkapan dari data rekam medik yang bertujuan agar data yang diperoleh dapat diolah benar sehingga pengolahan data memberikan hasil yang menggambarkan masalah yang diteliti.
b.
Pengkodean (Coding) Setelah data diperoleh, penulis melakukan pengkodean untuk mempermudah analisis data
c.
Pemasukan data (Entering) Pemasukan data merupakan kegiatan memasukkan data yang telah selesai di coding dari dummy tabel ke dalam program komputer.
d.
Pembersihan (Cleaning) Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukan ke dalam komputer apakah ada kesalahan atau tidak. Apabila ada data yang salah maka dilakukan editing data.
3.6.2. Analisis data Dalam penelitian ini analisis data yang dilakukan adalah analisa data univariat dan bivariat. Analisis univariat untuk bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian dan digunakan untuk menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel sedangkan analisis bivariat ini digunakan untuk melihat hubungan pengetahuan tentang retardasi mental
30
dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu dengan menggunakan uji statistik Chi-square.
31
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Abang terletak di Kecamatan Sulu. Desa Abang ini merupakan salah satu dusun yang terletak di daerah dataran tinggi. Secara geografis Desa Abang mempunyai luas wilayah 10.761 km2.
4.2. Karakteristik Untuk melihat karakteristik anak meliputi jenis, kelamin dan umur dan dapat dilihat di bawsah ini : 4.2.1. Jenis Kelamin Untuk melihat jenis kelamin anak di Dusun I Desa Abang Kecamatan Sulu adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Anak di Dusun I Desa Abang Kecamatan Sulu No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah 15 44 59
Persentase 25,4 74,6 100
Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jenis kelamin anak lebih banyak dengan perempuan sebanyak 44 orang (74,6%) dan lebih sedikit dengan lakilaki sebanyak 15 orang (25,4%).
31
32
4.2.2. Umur Anak Untuk melihat umur anak di Dusun I Desa Abang Kecamatan Sulu adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Umur Anak di Dusun I Desa Abang Kecamatan Sulu No 1 2
Umur Anak 3-4 tahun 5 tahun Jumlah
Jumlah 42 17 59
Persentase 71,2 28,8 100
Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa umur anak lebih banyak dengan umur 3-4 tahun sebanyak 42 orang (71,2%) dan lebih sedikit dengan umur 5 tahun sebanyak 17 orang (28,8%).
4.3. Analisis Univariat 4.3.1. Pengetahuan Untuk melihat pengetahuan responden di Dusun I Desa Abang Kecamatan Sulu adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang Reterdasi Mental Responden di Dusun I Desa Abang Kecamatan Sulu No 1 2
Pengetahuan Baik Buruk Jumlah
Jumlah 15 44 59
Persentase 25,4 74,6 100
Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa pengetahuan tentang reterdasi mental responden lebih banyak dengan pengetahuan buruk sebanyak 44
33
orang (74,6%) dan lebih sedikit dengan pengetahuan baik sebanyak 15 orang (25,4%). 4.3.2. Penerimaan Orang Tua Untuk melihat distribusi frekuensi penerimaan responden di Dusun I Desa Abang Kecamatan Sulu di lihat pada tabel berikut: Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Penerimaan Responden di Desa Abang Kecamatan Sulu No 1 2
Penerimaan Orang Tua Menerima Menolak Jumlah
Jumlah 21 38 59
Persentase 35,6 64,4 100
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Suhu lebih banyak dengan menolak anak reterdasi mental sebanyak 38 orang (64,4%) dan lebih sedikit dengan menerima reterdasi mental sebanyak 21 orang (35,6%).
4.3. Analisa Data Bivariat Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan pengetahuan tentang retardasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu dapat dilihat pada tabel berikut ini:
34
4.3.1. Hubungan Pengetahun tentang Reterdasi Mental dengan Penerimaan Orang Tua Di Desa Abang Kecamatan Sulu Untuk melihat hubungan pengetahuan tentang reterdasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.5. Hubungan Pengetahun tentang Reterdasi Mental dengan Penerimaan Orang Tua Di Desa Abang Kecamatan Sulu
Pengetahuan Baik Buruk Total
Penerimaan Orang Tua Menerima Menolak n % n % 11 73,3 4 26,7 10 22,7 34 77,3 21 35,6 38 64,4
Total ρ N 15 44 59
% 100 100 100
0,001
Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat dilihat bahwa hasil analisis hubungan pengetahuan tentang reterdasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu diperoleh bahwa ada sebanyak 11 dari 15 orang (73,3%) dengan pengetahuan baik menerima dan menolak sebanyak 4 orang (26,7%). Sedangkan diantara pengetahuan buruk ada 10 dari 44 orang (22,7%) menerima dan menolak sebanyak 34 orang (77,3%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai ρ=0.001< α (0,05) maka dapat disimpulkan ada hubungan pengetahuan tentang reterdasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu
35
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Pengetahuan tentang Reterdasi Mental Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan tentang reterdasi mental responden lebih banyak dengan pengetahuan buruk sebanyak 44 orang (74,6%) dan lebih sedikit dengan pengetahuan baik sebanyak 15 orang (25,4%). Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa pengetahuan responden tentang reterdasi mental sangat kurang dimana pengetahuan baik hanya mencapai sedikit. Keadaan ini responden perlu mendapat penyuluhan dan infrmasi tentang reterdai mental. Responden yang berpengetahuan baik tentang reterdasi mental karena remaja mendapat informasi tentang reterdasi mental dari berbagai sumber misalnya orang lain, keluarga, teman dan media massa maupun internet. Sedangkan responden yang berpengetahuan tidak baik mungkin terjadi karena mereka tidak mendapat informasi tentang reterdasi mental dari saudara, orang lain atau pun dari buka bacaan dan media lainnya sehingga mereka kurang memahami tentang reterdasi mental. Hal ini di dukung oleh teori menurut Retno IG Kusuma kognitif sering didefinisikan sebagai kemampuan berfikir dan mengamati, suatu perilaku yang mengakibatkan seseorang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Menurut Retno kemampuan berfikir remaja pada stadium operasional formal (mulai umur 11 tahun) ditandai dengan dua sifat yang penting yaitu: a. Kemampuan deduktif-hipotesis adalah bila anak dihadapkan pada suatu
35
36
masalah yang harus diselesaikannya, maka dia akam memikirkan dulu secara teoritis, menganalisa masalahnya dengan mengembangkan penyelesaian melalui berbagai hipotesis yang mungkin ada, kedua bersifat kombinatoris adalah berhubungan dengan cara bagaimana melakukan analisisnya maka sifat kombinatoris menjadi pelengkap cara berfikir operasional formal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dan didukung oleh berbagai teori, tergambarkan dengan jelas bahwa tingkat pengatahuan responsen tentang reterdasi mental tergolong buruk. Dimana menurut peneliti pengetahuan responden tentang reterdasi mental merupakan hal yang sangat diperlukan bagi orang tua karena memiliki tugas-tugas yaitu mengembangkan kemampuan kognitifnya secara lebih konsisten, terarah dan bertanggung jawab yang akan berguna bagin penyelesaian masalahnya. 5.2. Penerimaan Orang Tua Hasil penelitian diperoleh bahwa penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Suhu lebih banyak dengan menolak anak reterdasi mental sebanyak 38 orang (64,4%) dan lebih sedikit dengan menerima reterdasi mental sebanyak 21 orang (35,6%). Mengacu pada hasil tersebut dapat dilhat bahwa orangtua kurang menerima apabila anaknya mengalami reterdasi mental. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna. Namun demikian sering terjadi keadaan dimana anak memperlihatkan gejala masalah perkembangan sejak usia dini. Salah satu contohnya adalah reterdasi mental. Autisme
37
merupakan fungsi intelektual di bawah rata-rata (IQ di bawah 70) yang disertai dengan keterbatasan yang penting dalam area fungsi adaptif, seperti keterampilan interpersonal atau sosial, penggunaan sumber masyarakat, penunjukkan diri, keterampilan akademis, pekerjaan, waktu senggang, dan kesehatan serta keamanan (King, 2000 dalam Videback, 2008). Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya (shock), sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orang tua yang anaknya menyandang reterdasi mental untuk mengalami fase ini, sebelum pada akhirnya sampai pada tahap penerimaan. Pada sebagian orang tua yang segera menyadari kenyataan bahwa anaknya mengalami gangguan reterdasi mental sangat mungkin akan lebih baik dalam penanganan nantinya. Proses yang dilalui orang tua beragam, tentunya semakin cepat tahapan-tahapan yang dapat mereka lalui, maka akan semakin cepat akhirnya sampai pada tahap penerimaan. Dengan demikian semakin cepatnya penerimaan orang tua terhadap anak autisme, hal itu dapat membantu anak untuk menjadi lebih optimal dalam penatalaksanaannya. Orang tua memiliki peran dominan dalam upaya penyembuhan, orang tua dituntut mengerti hal-hal seputar reterdasi mental dan mampu mengorganisir kegiatan terapi penyembuhan untuk anaknya. Meskipun semakin intensif semakin baik, intervensi ini tidak hanya dalam bentuk penanganan terus menerus setiap hari. Setidaknya ada usaha orang tua dan keluarga terus menerus melakukan pendampingan pada anak sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses pengajaran anak. Keterlibatan langsung ini sangat berpengaruh pada perkembangan
38
anak. Para ahli tidak dapat bekerja tanpa peran serta orang tua dan terapi tidak akan efektif bila orang tua tidak dapat bekerja sama. Bagaimanapun hebatnya seorang terapis atau sebuah tempat terapi, guru terbaik adalah orang tua.
5.3. Hubungan Pengetahun tentang Reterdasi Mental dengan Penerimaan Orang Tua Di Desa Abang Kecamatan Sulu Hasil penelitian diperoleh bahwa analisis hubungan pengetahuan tentang reterdasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu diperoleh bahwa ada sebanyak 11 dari 15 orang (73,3%) dengan pengetahuan baik menerima dan menolak sebanyak 4 orang (26,7%). Sedangkan diantara pengetahuan buruk ada 10 dari 44 orang (22,7%) menerima dan menolak sebanyak 34 orang (77,3%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai ρ=0.001< α (0,05) maka dapat disimpulkan ada hubungan pengetahuan tentang reterdasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu. Mengacu pada hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa semakin baik pengetahuan orang tua tentang reterdasi mental maka akan semakin ada penerimaan orang tua terhadap anak reterdasi mental, dan sebaliknya semakin buruk pengetahuan orang tua tentang reterdasi mental maka akan semakin tidak ada penerimaan orang tua terhadap anak reterdasi mental. Fakta yang ada dilapangan bahwa ternyata
ditemukan
bahwa
masih
dijumpai dalam penerimaan orang tua yang memiliki anak retardasi mental yang masih setengah hati dalam memberikan rasa sayangnya dan kurangnya intensitas komunikasi langsung antara orang tua dan anak dalam mengasuh atau
39
menyediakan segala kebutuhan anak sehingga banyak diantara orang tua menggunakan jasa pengasuh. Orang tua hanya menyediakan fasilitas apa yang dibutuhkan oleh anak tetapi kurang peka bahwa yang menjadi dasar kebutuhan perkembangan yang optimal untuk anak retardasi mental adalah kebutuhan penerimaan orang tua yang dapat diekspresikan rasa sayagnya oleh orang tua untuk anak. Hal ini sesuai dengan Sri Rachmayanti (2012) di SLB N 1 Bantul, SLB Negeri 2 Yogyakarta, SLB Negeri Dharma Rena-Ring Putra 1. Banyak orang tua yang
mengalami masalah
menggunakan
dalam
hal
penerimaan
orang
tua.
Orang
tua
jasa pengasuh untuk mendampingi anak dalam kegiatan sekolah,
sehingga sedikit banyak interaksi yang dilakukan oleh anak hanya dengan pengasuhnya, hal tersebut dapat mempengaruhi kedekatan emosional antara orang tua dan anak. Lalu pada saat sekolah memiliki acara seperti penyuluhan tentang retardasi mental, orang tua memilih untuk tidak datang dan digantikan oleh pengasuhnya,
padahal
hal
tersebut
tetap
menjadi
kewajiban
orang
tua.
Kemudian pada saat mengetahui bahwa calon anak yang dimiliki adalah anak dengan cacat mental sebagian orang tua tidak dapat menerima dengan mudah, banyak
reaksi
yang
ditunjukkan
oleh
orang
tua
salah
satunya
ingin
menggugurkan anak sendiri. Penelitian Istiqamah Hafid (2011) menyatakan bahwa pengetahuan orang tua tentang retardasi mental yang sangat minim, membuat orang tua tidak punya pengetahuan yang cukup dalam mengatasi kendala yang akan muncul
40
dalam kesehariaanya. Hal ini dapat menjadi pemicu ada rasa tidak berdaya bahkan menyangkal kondisi anak yang retardasi mental sehingga membuat orang tua pesimis disaat anak sulit ditangani. Senada oleh Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati dan Tirta Malia Sakti (2006) yang
menunjukan mengalami
hasil
penelitian
keterbelakangan
bahwa mental
penerimaan memiliki
terhadap individu keterkaitan dengan
beberapa faktor, yaitu hubungan/ interaksi antar anggota keluarga, ada tidaknya informasi tentang kondisi calon anak, ada tidaknya pemahaman tentang keterbelakangan mental, ada tidaknya kesiapan menghadapi kondisi calon
anak,
persepsi tentang individu yang mengalami keterbelakangan mental. Senada oleh Wiwin Hendriani, Ratih Handariyati dan Tirta Malia Sakti (2006) yang
menunjukan mengalami
hasil
penelitian
keterbelakangan
bahwa mental
penerimaan memiliki
terhadap individu keterkaitan dengan
beberapa faktor, yaitu hubungan/ interaksi antar anggota keluarga, ada tidaknya informasi tentang kondisi calon anak, ada tidaknya pemahaman tentang keterbelakangan mental, ada tidaknya kesiapan menghadapi kondisi calon persepsi tentang individu yang mengalami keterbelakangan mental.
anak,
41
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Pengetahuan tentang reterdasi mental responden lebih banyak dengan pengetahuan buruk sebanyak 44 orang (74,6%) dan lebih sedikit dengan pengetahuan baik sebanyak 15 orang (25,4%). 2. Penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Suhu lebih banyak dengan menolak anak reterdasi mental sebanyak 38 orang (64,4%) dan lebih sedikit dengan menerima reterdasi mental sebanyak 21 orang (35,6%). 3. Ada hubungan pengetahuan tentang reterdasi mental dengan penerimaan orang tua di Desa Abang Kecamatan Sulu.
6.2. Saran 1. Setelah orang tua dapat menerima keadaan anaknya, maka orang tua juga tetap mempunyai komitmen untuk berperan aktif dalam penanganan penyandang reterdasi mental sehingga dapat memaksimalkan anak. 2. Kepada orang tua hendaknya meningkatkan pengetahuan tentang reterdasi mental sehingga apabila memiliki anak reterdasi mental bisa lebih menerima keadaan anak yang reterdasi mental.
41
42
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M.(1999). Pendidikan : Bagi Anak Kesulitan Belajar. Jakarta : Rineka Cipta. Ancok, J. (1995). Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Anshari, E.S. (1990). Ilmu filsafat dan agama. Surabaya : Bina Ilmu. Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. __________. (1999). Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. __________. (2011). Tes Prestasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. __________. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Chaplin. (2008). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Rajagrafindo Persada. Darajat, Z. (1972). Kesehatan mental. Jakarta : Gunung Agung. Davison, Neale & Kring. (2010). Psikologi Abnormal. Jakarta : Rajawali Press. Drever, J. (1986). Kamus Psikologi (Terjemahan Nancy Simanjuntak). Jakarta : Gramedia Pustaka Umum. Fesfitha Sari,D. (2011). Hubungan antara Persepsi Penerimaan Orang Tua dengan Kematangan Emosi pada Remaja. Skripsi. Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta. Hadi, S. (2000). Metodologi Research jilid I. Yogyakarta : Andi Offset. Khoiri, H. (2011). Penerimaan Orang Tua terhadap Anak Retardasi Mental Ditinjau dari Kelas Sosial. Abstrak Tesis. Universitas Negeri Semarang. Semarang. (diunduh pada tgl 4 agustus 2012) Hafid, I. (2011). Pengasuhan Orang Tua pada Anak Retardasi Mental Ringan. Skripsi. Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta.
43
Hendriyani, W & Handariyati,R & Malia, T.(2006). Peneriman Keluarga Terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental. Jurnal INSAN. No. 2, vol. 8. Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. . (1997). Psikologi perkembangan (suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan). Terjemahan. Jakarta : Erlangga. Idrus, Muh.(2009). Metode Penelitian Ilmu Social: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta : Erlangga. Jogiyanto. (2008). Pedoman Survey Kuosioner. Yogyakarta : BPFE. Latipun. (2008). Psikologi Eksperimen. Malang : UMM press. Maslim, R. (2001). Diagnosis gangguan jiwa (rujukan ringkas PPDGJ-III). Jakarta : Nuh Jaya. Maulina, B & Sutatminingsih, R. (2005). Stres ditinjau dari harga diri pada ibu yang memiliki anak penyandang retardasi mental. Jurnal Psikologia. No. 1, Volume 1. Medan : Universitas Sumatera Utara. Mera, A. (2009). Hubungan pengetahuan mengenai pemanasan global,tingkat pendidikan,masa kerja dan pengalaman pelatihan dalam membentuk sikap positif sopir kantor dan sopir taksi terhadap isu pencegahan pemanasan global. Tesis. Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. Mumpuniarti. (2007). Pembelajaran bagi Anak Hambatan Mental. Yogyakarta : kanwa publisher. Nevid, Jeffrey S, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2005. Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Psikologi
Notoatmojo, S. (2010).ilmu perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Purwanto, N. (1988). Psikologi Pendidikan. Bandung : Remadja Karya. Rachmayanti, S &Zulkaida, A. (2007). Penerimaan diri orang tua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal psikologi. No. 1, Volume 1. Jawa Barat : Universitas Gunadarma. \
44
Rofiut, D. (2009). Penerimaan Orang Tua yang Memiliki Anak Mental Retardasi Ditinjau Berdasarkan Anak Kandung dan Anak Angkat. Skripsi. Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta. R.P.,
khaleque,A.(2005). Glossary of parental acceptance-rejection theory university of connecticut. (http : www. Babylom. com/ dictionary/ 2432/glossary_of_significant_concept_in//. Diakses tgl 25/10/2012.
Rosenhan, D & Seligman, M. (1989) Abnormal Psychology. Norton & company : Canada. Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Kanisius. Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Suharmini, T. (2005). Penanganan anak hiperaktif. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Sukardi. (2008). Evaluasi Pendidikan (Prinsip & Operationalnya). Jakarta : Bumi Aksara. Suseno, M. (2010). Pedoman Praktikum Statistika. Yogyakarta : Laboratorium Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sutadipura, B. (1984). Kompetensi Guru dan Kesiapan Mental Anak. Jakarta : Rajawali. Somantri, S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Refika Aditama. Wantah, M. (2007). Pengembangan kemandirian anak tunagrahita mampu latih. Jakarta : Depdiknas : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan. Wijaya, N. (2007). Penerimaan diri orang tua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi. No. 1, Volume 1. Jawa barat : universitas Gunadarma. Yusuf. (2004). Psikologi Rosdakarya.
perkembangan
anak dan
remaja.
Bandung :
45
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG RETARDASI MENTAL DENGAN PENERIMAAN ORANG TUA DI DESA ABANG KECAMATAN SULU I. IDENTITAS ANAK 1. Umur
: ………………………….
2. Jenis Kelamin : ………………………….
II. IDENTITAS RESPONDEN 1. Pendidikan
: ………………………….
2. Pekerjaan
: ………………………….
III. PENGETAHUAN 1.
2.
3.
4. 5. 6. 7.
Pernyataan Mental retardasi merupakan keterlambatan atau ketidakmampuan secara umum pada perkembangan intelektual dan keterbatasan kemampuan untuk menyesuaikan diri Ketidakmampuan orang yang mengalami mental retardasi dalam merawat diri disebabkan karena perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan Keterlambatan intelektual dan keterbatasan penyesuaian diri (makan, berpakaian, komunikasi yang kurang) disebut mental retardasi Seseorang yang mengalami mental retardasi berarti kesehatan perkembangannya bagus. Keterbatasan intelektual dan keterbatasan penyesuaian diri disebut mental retardasi Mental retardasi mengalami keterlambatan dalam proses berfikir Kemampuan intelektual yang rendah dan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi (tidak mengalami hambatan) disebut mental retardasi
45
Ya
Tidak
46
IV. IDENTITAS RESPONDEN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pernyataan Saya mengajak anak untuk bercerita tentang aktivitas disekolahnya Saya berbicara pada anak seperlunya saja Saya enggan mengomentari ketika anak bercerita Saya mendampingi anak ketika belajar dirumah Saya senang menghabiskan waktu bersama anak Saya mendengarkan dengan baik ketika anak sedang bercerita Saya memberi tanggapan ketika anak usai bercerita
Ya
Tidak
47
MASTER TABEL DATA PENELITIAN No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Jenis kelamin 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 1 1 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 1 2 2 1 2 1
Umur 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 1 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 1 1 2 2 1
Pengetahuan 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 2 1 2
Penerimaan 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1
48
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59
2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 1
2 2 1 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2
1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 1 2 1 1 2
1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2
49
Frequencies
Jenis Kelamin Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Laki-laki
15
25.4
25.4
25.4
Perempuan
44
74.6
74.6
100.0
Total
59
100.0
100.0
Umur Anak Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3-4 tahun
42
71.2
71.2
71.2
5 tahun
17
28.8
28.8
100.0
Total
59
100.0
100.0
Pengetahuan Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Baik
15
25.4
25.4
25.4
Buruk
44
74.6
74.6
100.0
Total
59
100.0
100.0
Penerimaan Orang Tua Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Menerima
21
35.6
35.6
25.6
Menolak
38
64.4
64.4
100.0
Total
59
100.0
100.0
50
Crosstabs Pengetahuan * Penerimaan Orang Tua Crosstab Penerimaan Orang Tua Menerima Pengetahuan Baik
11
4
15
Expected Count
5.3
9.7
15.0
73.3%
26.7%
100.0%
10
34
44
15.7
28.3
44.0
22.7%
77.3%
100.0%
21 21.0
38 38.0
59 59.0
35.6%
64.4%
100.0%
Count Expected Count
Total
Total
Count % within Pengetahuan
Buruk
Menolak
% within Pengetahuan Count Expected Count % within Pengetahuan Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 12.497a 1 .000 b Continuity Correction 10.387 1 .001 Likelihood Ratio 12.261 1 .000 Fisher's Exact Test .001 .001 Linear-by-Linear 12.285 1 .000 Association N of Valid Casesb 59 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.34. b. Computed only for a 2x2 table