1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiw a Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri sosial religius (Kodi, 2006, p36). Kesenian di Bali sebenarnya adalah bentuk persembahan kepada Dewata. Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan budaya dan jiwa Bali, konsep ini mungkin mengejutkan. Untuk mengerti bagaimana konsep ini terbentuk di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna yang terdapat dalam Veda yang menuntun kita dalam segala aspek kehidupan (Geriya et al, 1998, p1). Tri Rna adalah tiga hutang, yaitu hutang kepada Tuhan/Dewata, kepada orang tua, dan kepada sesama. Tri Hita Karana adalah tiga sebab untuk mendapatkan kebaikan atau kebahagiaan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungannya. Untuk membayar hutanghutang kita dan mendapat harmoni kehidupan, kita melakukan pemujaan diseluruh aspek kehidupan, dan ini disebut juga dengan Yadnya (Geriya et al, 1998, p1). Terdapat lima macam Yadnya atau yang disebut dengan Panca Yadnya, yakni: Dewa Yadnya, pemujaan terhadap Dewata; Pitra Yadnya, pemujaan terhadap leluhur yang sudah mangkat; Rsi Yadnya, pemujaan terhadap guru spiritual; Manusa Yadnya,
2 pemujaan terhadap sesama makhluk tidak abadi; dan Butha Yadnya, pemujaan terhadap dunia beserta seluruh isinya (Geriya et al, 1998, p1). Berdasarkan filosofi dan prinsip-prinsip diatas, kesenian juga merupakan salah satu bentuk persembahan dan pemujaan kepada Dewata dan juga komunitas (sesama). Kesenian secara esensial merupakan bentuk dedikasi atau yang disebut di Bali dengan ngayah. Tidak ada yang bisa menghalangi orang Bali untuk melakukan ngayah. Ngayah bisa dilihat sebagai kekuatan pendorong di dalam semua aspek kehidupan dan perkembangan orang Bali (Geriya et al, 1998, pp8-10). Antusiasme untuk pemujaan sangat kuat sehingga memperkaya setiap aspek kehidupan orang Bali karena orang Bali juga percaya bahwa Dewata dan banyak manifestasinya memiliki kemampuan untuk menari dan bermain musik seperti juga para manusia, sehingga selama perayaan Pura atau upacara agama, terutama di desa-desa yang terpencil, roh-roh, Dewata, dan juga roh nenek moyang turut hadir dan terkadang merasuki pengikutnya untuk memberikan wejangan sambil menari dan menyanyi (Geriya et al, 1998, p13). Prinsip Panca Yadnya dan ngayah mendorong orang-orang Bali serin g melakukan berbagai macam pemujaan dengan upacara keagamaan sebagai wujudnya. Dalam sebuah upacara keagamaan bisa terkandung seluruh Panca Yadnya dan juga bentuk ngayah. Tujuan upacara-upacara ritual keagamaan ini pada hakikatnya adalah sebagai ungkapan terimakasih pada Dewata dan leluhur (Tangguh, 1984, p9). Upacara keagamaan juga terkadang merupakan media komunikasi timbal balik antara manusia dan Dewata. M anusia memberikan persembahan pada Dewata sebagai ungkapan syukur, dan seperti kepercayaan yang dibahas sebelumnya, terkadang Dewata yang datang
3 memberikan wangsit/wahyu secara langsung baik melalui pedande atau mangku upacara ataupun peserta upacara. Di setiap upacara keagamaan Hindu di Bali pasti mengundang datang Dewata. Seperti layaknya kita menerima tamu, kita pasti menyuguhkan sesuatu untuk menyenangkan dan menghormati tamu tersebut. Begitu pula ketika masyarakat Hindu Bali mengundang datang Dewata dalam upacara keagamaan mereka, Dewata yang datang disuguhkan persembahan dan hiburan istimewa. Persembahan yang disuguhkan disebut banten. Isi dari banten beraneka ragam, tergantung jenis upacara, Dewata yang diundang datang, dan juga kemampuan pemilik upacara. Sedangkan hiburan istimewa yang disuguhkan adalah jenis tari-tarian wali atau bebali. Tarian wali adalah jenis tarian yang bersifat sakral dan hanya ditarikan ketika ada upacara (Kodi, 2006, pxxii). Tarian bebali adalah jenis tarian yang semi sakral, bisa ditarikan ketika upacara ataupun hanya sebagai pertunjukan kesenian (Kodi, 2006, pxxi). Baik jenis tarian wali ataupun bebali, pada upacara keagamaan dramatari (drama dan tarian) yang disuguhkan selalu ada dramatari tapel/topeng. Dramatari topeng berarti drama dan tarian yang pelakonnya mengenakan topeng. Dramatari tradisional ini berkembang di seluruh kabupaten dan kota di Bali, dan topeng yang menjadi fokus dari dramatari topeng merupakan seni pertunjukkan yang bisa ditampilkan dalam kaitannya dengan berbagai jenis upacara maupun sebagai hiburan yang bersifat sekuler (Kodi, 2006, p1). Berhubungan dengan berbagai prinsip yang dijelaskan diatas, tarian dramatari topeng itu sendiri hingga bentuk Topeng Bali merupakan perwujudan dari prinsipprinsip tersebut, Tri Rna, Tri Hita Karana, Panca Yadnya, dan ngayah. Orang yang
4 pandai menari dan memahat mewujudkan bentuk dedikasi mereka terhadap Dewata dan komunitas dengan menari di dalam upacara atau menciptakan Topeng Bali untuk upacara. Begitu eratnya kaitan antara topeng dan upacara keagamaan Hindu di Bali sehingga posisi topeng di Bali adalah sangat penting, tidak tergantikan, dan juga sakral. Tidak ada upacara tanpa topeng (wawancara Kodi, 24 September 2009). Ketika topeng tersebut bukan dalam peranannya yang sakral, topeng yang digunakan dalam pertunjukkan pun tidak hanya sebagai sekadar pertunjukkan seni, akan tetapi juga sebuah pengajaran (wawancara Kodi, 24 September 2009). Pengajaran ini antara lain bersisi ajaran moral, sejarah kerajaan, ataupun ajaran keagamaan. Pengajaran ini sengaja mengambil bentuk kesenian untuk menciptakan metode pengajaran yang menyenangkan (wawancara Kodi, 24 September 2009). Bentuk topeng digunakan untuk sarana pengajaran ini, bukannya pentas drama, disebabkan sulit menemukan aktor atau pelakon yang mana mereka adalah harus merupakan pemuka masyarakat, dari golongan brahmana, ataupun dari golongan kstria. Sang Pelakon pun harus menguasai gerak tarian, dasar musik Bali, sejarah, agama, ajaran moral, ritualistik adat dan upacara, dan mengerti kurang lebih tujuh bahasa berbeda. Tingginya persyaratan ini, hanya sedikit orang yang mampu mengambil profesi ini, sedangkan dalam lakon dibutuhkan banyak karakter, oleh karena itu dramatari topenglah yang digunakan sebagai sarana pengajaran. Topeng-topeng ini dapat memudahkan pelakonan dan memperkuat karakter lakon. Selain untuk pengiring upacara keagamaan dan sarana pengajaran, topeng juga sangat erat kaitannya dengan ritualistik keagamaan. Terdapat topeng-topeng, seperti
5 Topeng Barong Ket dalam Barong Kedingkling; Barong Landung; Topeng Telek dan Jauk, yang dikeluarkan atau dipentaskan pada hari-hari spesial, baik untuk mengusir kekuatan jahat, memberi kekuatan baik, memberi wejangan, ataupun perayaan kemenangan kebaikan melawan kejahatan seperti pada pentas Telek dan Jauk yang dipentaskan saat Hari Raya Galungan. Seperti yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya, topeng itu sendiri merupakan wujud ungkapan dedikasi Sang Pembuat yang kebetulan memiliki kemampuan, terhadap Dewata dan komunitasnya. Jadi topeng, sebagai obyek yang berdiri sendiri terlepas dari dramatari topeng, juga merupakan bentuk budaya yang penting. Orang Bali juga mempercayai sistem pengklasifikasian sekala dan niskala. Sekala adalah dunia material, sedangkan niskala adalah dunia spiritual. Di dalam kebudayaan Bali, alam semesta ini diorganisir berdasarkan klasifikasi dari kaja, atau tinggi dan suci, ke kelod, atau rendah dan tidak suci (Bandem, 2001b, pvii). Tarian Bali, yang tidak terpisahkan dari religi, mungkin merupakan jalan untuk menghubungkan sekala dan niskala (Racky, 1998, p5). Dan Topeng Bali yang digunakan dalam dramatari pengiring upacara merupakan obyek atau media perantara. Dikatakan pula Topeng Bali yang digunakan dalam dramatari topeng merupakan penyambung lidah pendeta dari Dewata, yang berisi wejangan dan ajaran, ke umat (wawancara Kodi, 24 September 2009). Demikian pentingnya topeng dalam khasanah kebudayaan Bali, koleksi pustaka yang dapat ditemukan sangat minim dan tidak dapat ditemukan di toko-toko buku. Beberapa buku yang dapat penulis temukan di toko buku adalah buku yang diterbitkan oleh penerbit asing dan dengan penulis asing. Ada pula buku berbahasa Inggris yang
6 diterbitkan penerbit asing dengan penulis kolaborasi antara orang asing dan orang Bali, tetapi buku ini tidak secara spesifik membahas tentang Topeng Bali.
1.2 Lingkup Proyek TA Dalam kaitannya dengan bidang studi Desain Komunikasi Visual, maka lingkup tugas hanya dibatasi pada hal-hal yang dapat ditangani dan diseleseaikan melalui pendekatan visual dengan membuat rancangan visual untuk mempublikasikan Topeng Bali dalam bentuk buku yang berjudul “Topeng Bali, Penghubung Dunia Para Dewa & M anusia”.