BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PRINSIP PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN PADA KEGIATAN INVESTASI DALAM PERSPEKTIF TRI HITA KARANA 2.1.
Tinjauan Umum Tentang Kepariwisataan
2.1.1. Pengertian dan Konsep Kepariwisataan Pada dasarnya kata kepariwisataan berasal dari kata pariwisata menjadi kepariwisataan, hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan untuk memberikan pengertian yang lebih luas lagi, bagi suatu kata atau pengertian jamaknya. Maka kepariwisataan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pariwisata yang dalam bahasa Inggris disebut “tourism”. Istilah “tourism” (kepariwisataan) mencakup orang-orang yang melakukan perjalan pergi dari rumahnya dan perusahaanperusahaan yang melayani mereka dengan cara mempelancar atau mempermudah perjalan mereka atau membuatnya lebih menyenangkan.60 Ketentuan internasional yang berlaku secara soft law, prinsip – prinsip pada Pasal 2 angka 1 Kode Etik Kepariwisataan Dunia (Global Code of Ethics for Tourism) menentukan bahwa Kepariwisataan adalah kegiatan yang sering diasosiasikan dengan beristirahat dan bersantai, berolahraga dan berhubungan dengan alam dan budaya, haruslah direncanakan dan diwujudkan sebagai sarana mulia bagi pemenuhan kualitas hidup baik secara perseorangan ataupun secara kolektif; tatkala diwujudkan dengan sikap keterbukaan, maka kepariwisataan
60
Sofjan Jusuf, 1997, Ekonomi Pariwisata, Gramedia Pustaka, Jakarta, h. 4
40
41
adalah faktor yang tak tergantikan sebagai sarana pembelajaran mandiri, pengembangan sikap toleransi, dan menumbuhkan sikap untuk memahami hakekat perbedaan penduduk dan kebudayaannya serta kebhinekaannya Pada ketentuan nasional, Pasal 1 ayat (4) UU Kepariwisataan, Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Dengan demikian pengertian kepariwisataan berdasarkan UU kepariwisataan mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Kegiatan pariwisata yang bersifat multidimensi dan multidisplin; 2. Kebutuhan setiap orang dan negara; 3. Adanya interaksi wisatawan dengan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha. Berkenaan dengan unsur-unsur kepariwisataan yang terkandung pada UU Kepariwisataan, tidak hanya membahas tentang wisata atau pariwisata melainkan juga membahas mengenai berbagai macam dimensi dan disiplin serta kebutuhan dan pihak-pihak yang terlibat dalam kepariwisataan, tentunya pengertian kepariwisataan memiliki pandangan yang lebih luas dan mencakup arti dari ketentuan wisata (Pasal 1 ayat 1 UU Kepariwisataan) yakni kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara dan
42
ketentuan pariwisata (Pasal 1 ayat 3 UU Kepariwisataan) yakni berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Mengutip pendapat Leiper dalam karya tulis Ismayanti terdapat 3 (tiga) elemen utama yang menjadikan kegiatan kepariwisataan dapat terjadi yaitu “1) Wisatawan sebagai aktor dalam kegiatan wisata dengan memperoleh keuntungan berupa sebuah pengalaman untuk menikmati, mengantisipasi dan mengingatkan masa-masa dalam kehidupan; 2) Elemen geografis yang terdiri dari daerah asal wisata yaitu tempat dimana wisatawan berada dan melakukan aktivitas sehari-hari, daerah transit sebagai tempat pemberhentian sementara para wisatawan meskipun tidak semua wisatawan memanfaatkan daerah ini dan daerah tujuan wisata yang sering dikatakan sebagai ujung tombak (sharp end) pariwisata karena di daerah inilah dampak pariwisata sangat dirasakan sehingga dibutuhkan perencanaan dan strategi manajemen yang tepat; 3) Industri pariwisata yang menyediakan jasa, daya tarik dan sarana wisata berupa unit-unit usaha dalam kepariwisataan dan tersebar di ketiga area geografis tersebut sebelumnya” 61 Berdasarkan pendapat Laiper tersebut, menunjukkan bahwa kegiatan kepariwisataan melibatkan aspek manusia, wilayah, dan aspek sosial ekonomi serta aspek kehidupan lainnya. World Tourism organization (WTO) juga mendefinisikan pariwisata sebagai berikut “the activities of persons travelling to and staying in places outside their usual environment for not more than one concecutive year for leisure, business and other purposes”62 (atau berbagai aktivitas yang dilakukan orang-orang yang mengadakan perjalanan untuk dan tinggal di luar kebiasaan lingkungannya dan
61 62
Ismayanti, 2010, Pengantar Pariwisata, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 2
A.J. Muljadi dan Andri Warman, 2014, Kepariwisataan dan Perjalanan, edisi revisi, PT RajaGrafindo, Jakarta, h. 10
43
tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk kesenangan, bisnis dan keperluan lain. Pernyataan dari WTO mendefinisikan pariwisata diatas, timbul pertanyaan apakah orang-orang yang mengadakan perjalan untuk dan tinggal diluar kebiasaan lingkungannya dapat dikatakan sebagai perjalanan wisata Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UU Kepariwisataan, orang yang melakukan kegiatan wisata disebut dengan wisatawan, namun pengertian ini sangatlah luas sehingga sulit mencari indikator yang digunakan untuk membedakan wisatawan dengan pendatang di suatu wilayah. Pada perkembangan dunia, untuk pertama kali batasan tentang fenomena pariwisata (tourism) di Forum Internasional, dilakukan pada tahun 1937 oleh Komisi Ekonomi Liga Bangsa-Bangsa (Economic Commission Of The League Of Nations) memberikan formulasi batasan pengertian wisatawan pada saat itu adalah tourist is any person travelling for period of 24 hours or more in country other than that in wich be usually resides.63 (wisatawan adalah setiap orang yang bepergian untuk jangka waktu dari 24 jam atau lebih tinggal di luar kebiasaannya berada). Namun dua lembaga internasional yaitu Komisi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) maupun Komisi Fasilitas International Civil Aviation Organization (ICAO), tidak dapat menerima batasan pengertian dari Liga Bangsa-Bangsa dan menyiapkan batasan arti sendiri, yakni bukan lagi istilah tourist tetapi foreign visitor,64 intisari perbedaan tersebut antara keduanya ialah bahwa dua komisi
63
Ibid.
64
Ibid, h. 11
44
tersebut menentukan batasan waktu tinggal maksimum di negara yang dikunjungi, masing-masing 6 bulan dan 3 bulan, serta mengesampingkan kriteria tinggal minimum 24 jam. Bahkan komisi statistic PBB dalam konvensi PBB tahun 1954 memberikan batasan pengertian tourist dan telah diratifikasi lebih dari 70 negara ialah “setiap orang yang datang ke suatu negara karena alasan lain untuk tujuan berimigrasi dan tinggal paling sedikit 24 jam, serta paling lama 6 bulan dalam tahun yang sama.”65 Berdasarkan uraian penjelasan mengenai pengertian istilah-istilah dan batasan dari pengertian istilah tersebut dapat dipahami bahwa kegiatan kepariwisataan merupakan rangkaian dari suatu sistem yang berkaitan dengan pariwisata yang melibatkan wisatawan, masyarakat setempat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah baik dari segi interaksi maupun penyediaan fasilitas demi kebutuhan setiap orang dan kebutuhan negara 2.1.2. Dasar Hukum Kepariwisataan Pada uraian pembahasan pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai pengertian dan konsep kepariwisataan, yakni adanya rangkaian kegiatan pariwisata yang bukan hanya melibatkan setiap orang tetapi juga kebutuhan negara. Adapun dasar hukum kepariwisataan yang dapat dilihat dari perangkat kaidah, azas-azas, ketentuan, institusi dan mekanismenya, nasional maupun internasional, yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur perdagangan jasa
65
A.J. Muljadi, dan Andri Warman, op.cit, h. 12
45
pariwisata, seperti persetujuan UNWTO tentang prinsip-prinsip dalam Global Code of Ethics for Tourism (GCET) yang telah dimasukkan ke dalam prinsip penyelenggaraan kepariwisataan pada ketentuan Pasal 5 UU Kepariwisataan. Kegiatan bisnis pariwisata merupakan kegiatan multi-aspek66, oleh karena itu pembahasan untuk dasar hukum kepariwisatan tidak cukup didasarkan pada hukum perdagangan dan kepariwisataan, melainkan harus menyertakan bidangbidang hukum terkait. Kegiatan ini merupakan fenomena perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan secara bebas, sukarela, dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehidupan serta eksistensi manusia itu sendiri. Jadi tidak salah apabila dikatakan bahwa pariwisata merupakan perwujudan dari Hak asasi manusia 67 The Universal Declaration of Human Rights memuat pernyataan sebagai berikut: 1) Setiap orang memiliki hak untuk secara bebas melakukan pergerakan dan tinggal didalam wilayah setiap negara (everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each state) (Pasal 13 ayat 1) 2) Setiap orang memiliki hak untuk beristirahat dan berpesiar, termasuk di dalamnya pembatasan waktu bekerja yang memadai dan waktu liburan dengan tetap digaji (everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holiday with pay) (Pasal 24)
66
Ida Bagus Wyasa, dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Aditama, Bandung,
67
A.J. Muljadi, Andri Warman, op.cit, h. 29
h. 25
46
Kedua pasal tersebut diatas menunjukkan secara jelas bahwa adanya suatu hak yang sangat mendasar atas kebebasan untuk bergerak, beristirahat dan berlibur, sedangkan kepariwisataan merupakan alat pelaksana HAM seperti yang dikemukan dalam Pasal 2 The Universal Declaration of Human Rights sebagai berikut: “everyone is entitled to all the right and freedoms set forth in this declaration, with one destination of any kids, such as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin property, birth or other status. Komitmen negara Indonesia mengakui hak berwisata sebagai hak asasi manusia dapat dilihat dalam bagian menimbang huruf (b) UU Kepariwisataan yang menyatakan bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia. Selanjutnya UU Kepariwisataan menegaskan mengenai prinsip penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia harus menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 5 huruf b UU Kepariwisataan) dan hak untuk memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata merupakan hak setiap orang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 1 huruf (a) UU Kepariwisataan. Refleksi pengakuan tersebut dapat dilihat pada level konstitusi sebagai manifestasi politik hukum pemerintah, refleksi pengakuan tersebut dapat dilihat pada pasal 28 H ayat 4 Undang – undang Dasar Negara Indonesia 1945 tentang pengakuan dan jaminan terhadap hak milik individu dari pengambil – alihan secara sewenang – wenang oleh siapa pun.68
68
IGN Parikesit Widiatedja I, op.cit, h. 53
47
Dasar hukum bidang kepariwisataan dapat juga dilihat dari kebijakan pemerintah mengenai pariwisata seperti 1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Asean Tourism Agreement (Persetujuan Pariwisata ASEAN) 2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2014 Tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Kepariwisataan 3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwistaan Nasional 2010-2015 4. Peraturan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Nomer: Km.67 / Um.001 /Mkp/ 2004 Tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata Di Pulau-Pulau Kecil Seiring diundangkan Undang – Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang secara tegas menyatakan adanya pengembangan otonomi daerah. Pemerintah daerah membuat regulasi disektor pariwisata yakni terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali (selanjutnya Perda Kepariwisataan Budaya Bali) menjadi landasan utama pembangunan kepariwisataan Bali yang bertujuan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat yang sebesar – besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sehingga terwujud cita – cita kepariwisataan untuk Bali dan bukan Bali untuk kepariwisataan. Berdasarkan uraian di atas, ketentuan konkrit dasar hukum tentang kepariwisataan terdapat di Undang – Undang No. 10 tahun 2009 tentang
48
Kepariwisataan, serta untuk di daerah khususnya provinsi Bali yakni Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali 2.2.
Tinjaun Umum Tentang Pariwisata Budaya Bali
2.2.1. Pariwisata Budaya Bali Pembangunan kepariwisataan Indonesia sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara berkelanjutan, dalam tujuan untuk turut mewujudkan peningkatan kemampuan manusia dan masyarakat Indonesia berdasarkan kemampuan nasional. Kepariwisataan Indonesia bertumpu pada keunikan, kekhasan, dan kelokalan, sehingga menempatkan kebhinekaan sebagai suatu yang hakiki, pengembangan pariwisata inheren untuk melestarikan dan memperkukuh jati diri bangsa serta lingkungan alam. Menurut pandangan Ketut Sumadi, pariwisata merupakan suatu kegiatan manusia dalam gejala – gejala atau fenomena – fenomena tertentu, sebagai akibat pergerakan atau perpindahan, atau berdiam serta keluar dan masuknya orangorang yang bukan mencari nafkah bergerak dari suatu kota atau wilayah asalnya yang dapat membawa dinamika dalam kehidupan.69 Pada ketentuan Pasal 1 angka 9 Perda Kepariwisataan Budaya Bali, bahwa unsur pariwisata yang terkandung didalam muatan tersebut yakni 1) adanya berbagai kegiatan wisata; 2) didukung berbagai fasilitas serta layanan; 3) disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Berkenaan dengan unsur yang pertama, kegiatan wisata didasari atas kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok dengan 69
Ketut Sumadi, 2008, Kepariwisataan Indonesia Sebuah Pengantar, Sari Kahyangan, Denpasar, h. 47
49
mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, atau bahkan mempelajari keunikan daya tarik wisata dengan waktu yang sementara. Berdasarkan Pasal 1 ayat 12 Perda Kepariwisataan Budaya Bali, Budaya merupakan salah satu daya tarik wisata, muatan muatan tersebut digabungkan menjadi pariwisata budaya, menurut pandangan Richards dalam karya tulis I Nyoman Madiun, pariwisata budaya adalah suatu kegiatan yang meliputi seluruh aspek dan pengalaman dimana mereka yang melakukan tersebut mempelajari tentang sejarah dan warisan orang lain atau tentang tata cara hidup atau tata cara berfikir mereka yang kontemporer Berdasarkan Peraturan Perda Kepariwisataan Budaya Bali. Kepariwisataan budaya bali pada intinya meruapakan kepariwisataan Bali yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan falsafah Tri HIta Karana sebagai wahana aktualisasi, sehingga termuat harmonisasi, sinergitas dan berkelanjutan antara masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan Lebih jelasnya, pernyataan Gay Hawkins dapat lebih dipahami, yang memberikan konsep pariwisata budaya (cultural tourism) selain kesenangan, juga memiliki warisan budaya, suatu pameran, dan lain lain. Pandangan menurut Gay Hawkins didalam buku I Gede Parimartha “The term cultural tourism is used to describe this trends: it refers to tourism for primarily cultural motivations. It describes the tourist who is seeking education as well as pleasure, who uses travel as a mechanism for personal growth and increased knowledge. Visit to arts or music festivals, study tours, weekend trips to heritage houses, a steam railway or an archeological dig, overnight visit to an exhibitons not scheduled to our tourist’s hometown: all
50
are examples of cultural tourism”. Cultural tourism stresses variety as opposed to idea of tourists as a single, homogeneous group” 70 Terjemahan bebas peneliti atas pendapat Gay Hawkins, istilah wisata budaya digunakan untuk menggambarkan seperti; wisata budaya mengacu pada pariwisata yang mengutamakan budaya. Ini menggambarkan wisatawan yang mencari pendidikan serta hiburan dengan menggunakan pariwisata sebagai mekanisme untuk pertumbuhan pribadi dan peningkatan pengetahuan. Kunjungan untuk seni atau festival musik, kunjungan studi, perjalanan akhir pekan ke rumah – rumah warisan, sebuah kereta api uap atau penggalian arkeologi, pada malamnya mengunjungi pameran yang tidak dijadwalkan melihat kampung wisata kami; semua adalah contoh dari wisata budaya. Wisata budaya menekankan berbagai lawan dari pemikiran wisatawan kelompok homogeni tunggal. Selanjutnya I Gede Parimartha mengutip pandangan Carol Warren menuliskan Bagi Bali membina pariwisata budaya jauh lebih strategis daripada menonjolkan pariwisata resort. Sebab konsep pariwisata resort identik dengan usaha memuaskan wisawatan agar menikmati alam, yang pada saat bersamaan berarti memisahkan jarak mereka dengan masyarakat sekitar.71 Berdasarkan hasil pemaparan pandangan diatas, tampak bahwa pariwisata budaya adalah suatu aktivitas kepariwisataan yang berkaitan dengan khasanah kebudayaan, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Aspek budaya dan kepentingan masyarakat setempat dilihat secara sinergis. Nilai budaya dilihat
70 Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat Dan Desa Dinas Di Bali, Udayana University Press, Bali, h. 122 71
Ibid.
51
sebagai payung, sedangkan kepentingan masyarakat merupakan orientasi yang memberi rambu – rambu dalam pelaksanannya, dengan kata lain konsep pariwisata budaya di Bali merupakan kegiatan yang mengedepankan nilai – nilai ajaran agama Hindu dan kearifan lokal masyarakat Bali sebagai payung dalam praktek kegiatan pariwisata (kesenangan, hiburan) di Bali. 2.2.2. Pengertian Kearifan Lokal Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPHL) Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal atau “local genius” merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Wales yaitu “the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life”.72 Selain itu, local genius menurut Wales yaitu “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan”. Berdasarkan pendapat di atas, kearifan lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dan di tempat - tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa. Hal ini penting terutama di zaman sekarang ini, yakni zaman keterbukaan informasi dan komunikasi yang jika tidak disikapi 72
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Pelajar, Jakarta, h. 30
52
dengan baik maka akan berakibat pada hilangnya kearifan lokal sebagai identitas dan jati diri bangsa. Hal yang sama disampaikan oleh Lubis bahwa jati diri bangsa adalah watak kebudayaan (cultural character)
yang berfungsi sebagai
pembangunan karakter bangsa (national and character building). Dilihat dari struktur dan tingkatannya kearifan lokal berada pada tingkat culture73. Seperti halnya A. Syafi’i Mufid, menurut pandangan beliau, kearifan lokal merupakan merupakan salah satu produk kebudayaan. Sebagai produk kebudayaan, kearifan local lahir karena kebutuhan akan nilai, norma dan aturan yang menjadi model untuk (model for) melakukan suatu tindakan. Kearifan lokal merupakan salah satu sumber pengetahuan (kebudayaan) masyarakat, ada dalam tradisi dan sejarah, dalam pendidikan formal dan informal, seni, agama dan interpretasi kreatif lainnya.74 Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat majemuk dalam struktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi. Hal tersebut sepaham dengan pendapat Koentjaraningrat75 budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa sendiri adalah “suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya”.
73
Lubis, B.Z, 2008. “Potensi Budaya dan Kearifan Lokal Sebagai Modal Dasar Membangun Jati Diri Bangsa”. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial. “vol” 9, (3), h. 339-346. 74
A. Syafi’i Mufid, 2010, Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Harmoni (Multikurtural & Mulitireligius): Vol. IX, No. 34, h. 84 75
Koentjaraningrat, 2009, Sejarah Teori Antropologi I, UI Press, Jakarta, h. 89 (Selanjutnya disebut Koentjaraningrat II)
53
2.2.3. Tri Hita Karana Konsep yang telah melembaga demikian kuat di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali, selalu menghendaki tetap terjaganya keseimbangan dan keharmonisan antara tiga faktor yakni buana alit (diri sendiri), buana agung (alam semesta), Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Konsep pemikiran tersebut telah menjadi nilai budaya, sehingga keyakinan tersebut telah demikian membudaya dengan kuat ke dalam tatanan kehidupan masyarakat adat di Bali.76 Tri Hita Karana sebagai nilai budaya yang berakar pada ajaran suci Agama Hindu, mempunyai kesamaan secara kualitas dengan pandangan Kluckholn bahwa semua sistem nilai budaya mengandung unsur yang berkaitan dengan masalah: a. b. c. d. e.
Mengenai hakekat dari hidup manusia. Mengenai hakekat dari karya manusia Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.77 Secara etimologi Tri Hita Karana mengandung pengertian tri berarti tiga,
hita berarti kemakmuran dan karana berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga penyebab atau tiga unsur yang dapat melahirkan kemakmuran atau kesejahteraan yaitu Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang mana ketiga unsur itu mempunyai makna dan fungsi saling terkait yang melahirkan 76
I Made Legawa, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar Pembangunan Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Bali Dengan Universitas Mahasaraswati Denpasar, h. 6 77
Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta, h. 67
54
substansi masyarakat Bali (Hindu) yang hidup dalam pola interaksi simbolik. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Parhyangan istilah dari pemaknaan Tuhan. Parhyangan atau kahyangan berarti Ketuhanan atau Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi adalah suatu kekuatan Maha Pencipta (Prima Causa), sumber dari pada segala yang ada di alam semesta ini (Phurusah Parikirtitah). Beliaulah kekuatan yang sangat esa, yang satu yang tiada duanya, sebagai awal atau asal dan akhir dari kehidupan, karena itu oleh masyarakat Bali (Hindu) Parhyangan diwujudkan dalam
berbagai
Kahyangan
(bangunan suci)
untuk
menyembah Tuhan. Bangunan suci (kahyangan) dipersepsikan sebagai tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Bhatara-bhatari ataupun Hyang leluhur untuk memberikan kehidupan dan kesejahteraan serta sebagai obyektivasi kolektif bagi masyarakat Bali (Hindu).
2. Pawongan, berasal dari kata wong yang berarti orang, sehingga aspek pawongan dimaksudkan hubungan manusia dengan manusia di dalam kehidupan bersama, dimana organisasi atau kelembagaan baik kedinasan maupun adat, organisasi komunitas dan keluarga sebagai wadah interaksinya. Dalam hubungan ini dipahami sebagai tindakan yang berdasarkan atas hubungan sosial yang diikat oleh nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Nilai sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Bali (Hindu) terkonsepsikan dengan ajaran Trikaya Parisuda yaitu bertindak
55
(kayika), berkata (wacika) dan berfikir (manacika) yang baik dari setiap individu dalam ikatan bersama. 3. Palemahan yang berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan berarti bhuwana atau alam. Dalam hal ini palemahan dimaksudkan suatu wilayah pemukiman atau lingkungan tempat tinggal. Masyarakat Desa Pekraman dan subak memahami atas dasar sradha yaitu sikap percaya (kadangkala pemahaman tanpa pengetahuan keilmuan ataupun kealaman mereka percaya dan melaksanakan, karena didasari oleh sifat gugontuwon yaitu percaya karena diakui memang sudah begitu adanya), hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Krama desa sebagai kelompok manusia yang bermasyarakat memerlukan bhuwana atau palemahan sebagai alam tempatnya berpijak, karena disadari manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan dari alam.78 Berkaitan hal tersebut maka konsep waktu diinsyafi dan memacu manusia untuk berbuat bagaimana hidup dan menghidupi alam ini. Waktu dikonsepsikan ke dalam tiga dimensi yaitu masa lampau (atita), masa sekarang (nagata) dan masa akan datang (wartamana), yang berarti adanya proses keseimbangan dari masa lalu ke masa akan datang di dasarkan atas keadaan masa sekarang. Dari tatanan nilai ini masyarakat desa adat atau pakraman dan juga subak dihadapkan kepada konsekuensi pemikiran dalam perspektif ke depan. Dikaitkan dengan upaya pelestarian tampak masyarakat desa adat atau pakraman dan subak
78
I Gusti Putu Raka, dkk, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Denpasar MPLA Dati I Bali, h. 89
56
mengusahakan menciptakan kesejahteraan hidup bukan hanya untuk sesaat, tetapi kesejahteraan dapat diwariskan kepada pewarisnya. Manusia wajib melakukan bhuta hita atau mensejahterakan alam lingkungannya. Dalam Lontar Purana Bali diungkapkan untuk menjaga kelestarian alam lingkungan, hendaknya berpegang pada Sad Kerti yaitu Samudra Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang artinya kita wajib membangun kelestarian samudra, hutan dan danau atau sumber-sumber air. Upaya untuk memelihara keberlangsungan alam lingkungan dilakukan melalui perbuatan nyata di samping pelaksanaan yadnya baik pelaksanaan Rerahinan Tumpek (Tumpek Uduh, atau pengatag) maupun kegiatan upacara yadnya lainnya seperti mecaru dalam Bhuta Yadnya yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dirinya melaksanakan upaya pelestarian kesejahteraan alam. 2.3.
Tinjauan Umum Tentang Investasi
2.3.1. Pengertian dan Konsep Investasi Investasi berasal dari kata
invest
yang berarti menanam
atau
menginvestasikan uang atau modal. Istilah investasi atau penanaman modal merupakan istilah yang dikenal dalam kegiatan bisnis sehari-hari maupun bahasa perundang-undangan. Istilah investasi merupakan istilah yang terkenal dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman modal lazim digunakan dalam
57
perundang-undangan. Namun pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, sehingga kadangkala digunakan secara interchangeable.79 Kata investasi merupakan kata adopsi dari bahasa Inggris, yaitu investment. Kata invest sebagai kata dasar dari investment memiliki arti menanam. Menurut Black’s Law Dictionary yang dimaksud investasi atau investment dalam bahasa Inggris adalah 1) an expenditure to acquire property or assets to produce revenue. 2) the asset acquired or the sun invested. 80 Terjemahan bebasnya adalah 1) suatu pengeluaran yang dikeluarkan untuk mendapat properti atau aset yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan. 2) harta yang diperoleh atau sejumlah harta yang diinvestasikan. Investasi atau investment (penanaman modal) merupakan konsep ekonomi pada umumnya yang berintikan tindakan mengalokasikan sumber – sumber yang didasarkan pada analisis bahwa pada alokasi tersebut akan mendatangkan hasil yang memuaskan. 81 Dikalangan masyarakat luas, investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (indirect investment). Secara umum, investasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun bahan hukum (juridicial person), dalam upaya meningkatkan dan/atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk 79
Ida Bagus Rahmadi Supanca, 2006, Kerangka Hukum Dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 1 80
Gamer, Bryan A. Gamer, Black’s Law Dictionary, 8th edition, (West: a Thompson business, 2004), h. 844 81
Putu Sudharma Sudami at al., 2003, “Aspek Hukum Investasi Kegiatan Bisnis Pariwisata” kumpulan tulisan dalam: hukum bisnis Pariwisata., cetakan ke-1, Refika Aditama, Bandung, h. 51
58
uang tunai (cash money), peralatan (equitment), aset tak bergerak, hak atas kekayaan intelektual maupun keahlian.82 Dhaniswara K. Harjono mengutip pendapatnya Panji Anoraga yang melihat dari sudut pandang ekonomi memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi disamping faktor produksi lainnya, investasi dapat diartikan sebagai: 1. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi, atau suatu penyertaan lainnya; 2. Suatu tindakan membeli barang modal; 3. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendatapan di masa yang akan datang.83 Lusiana mengutip pendapatnya Hendrik Budi Untung yang berpendapat bahwa Investasi berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misal berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau pembeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.84 Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik unsur – unsur terpenting dari kegiatan investasi atau penanaman modal, yaitu a. Adanya motif untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan nilai modalnya;
82
Ida Bagus Rahmadi Supanca , op.cit., h. 2
83 Dhaniswara K. Harjono 2007, Hukum Penanaman Modal, ed. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 11 84
Lusiana, op.cit, h. 35
59
b. Bahwa “modal” tersebut tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat kasat mata dan dapat diraba (tangible), tetapi juga mencakup sesuartu yang bersifat tidak kasat mata dan tidak dapat diraba (intangible). Intangible mencakup keahlian, pengetahuan jaringan, dan sebagainya yang berbagai kontrak kerja sama (joint venture agreement) biasanya disebut valuable services.85 Menurut pendapat Panji Anoraga, dilihat dari sudut pandang ekonomi yang memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi disamping faktor produksi lainnya, investasi dapat diartikan: a. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi, atau suatu penyertaan lainnya; b. Suatu tindakan membeli barang-barang modal; c. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan di masa yang akan datang.86 Sementara itu, dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU PM) disebutkan penanaman modal diartikan sebagai segala bentuk kegiatan penanaman modal baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Berbagai pengertian investasi yang dikutip di atas, tampak tidak ada perbedaan yang prinsipil antara investasi dengan penanaman modal. Makna
85
Ida Bagus Rahmadi Supanca, op.cit., h. 2.
86
Lusiana, op.cit, h. 37
60
investasi atau penanaman modal adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, menyisihkan sebagian dari pendapatannya agar dapat digunakan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada waktu tertentu akan mendapatkan hasil (keuntungan)87 Kemudian Pada UUPM tidak mengadakan pembedaan antara penanaman modal dalam negeri dengan penanaman modal asing. Oleh karena itu UUPM mengatur mengenai kegiatan penanaman modal, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan tidak mengadakan pemisahan undang – undang secara khusus, seperti halnya Undang-undang Penanaman Modal sebelumnya, yang terdiri dari Undang-undang Penanaman modal asing dan Undang-undang penanaman Modal dalam negeri. 88 2.3.2. Dasar Hukum Investasi Pada uraian pengertian investasi di atas sepintas sudah disinggung bahwa investasi mempunyai pengertian yang luas, sehingga dapat meliputi alokasi sumber untuk memperoleh penghasilan. Namun dalam hubungannya dengan hukum positif di Indonesia ruang lingkupnya dibatasi. Demikian pula terhadap dasar hukum investasi di bidang kepariwisataan. Landasan hukum yang terkait investasi yakni ketentuan dibidang pembangunan ekonomi, Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien,
87
Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Investasi, cetakan ke-1, Nuansa Aulia, Bandung, h.
58. 88
Dhaniswara K. harjono, 2007, Hukum Penanaman Modal, ed. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 121
61
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Tanpa suatu kebijakan investasi tentunya akan berakibat pengembangan investasi kita menjadi tidak jelas arahnya. Dalam arti, upaya pengembangan investasi yang dilakukan tidaklah terencana dengan baik, sehingga dalam pelaksanaan aplikasi usahanya juga tidaklah masimal adanya. 89 Bahkan sering kali menimbulkan penentangan dan sikap antipasti masyarakat oleh karena dianggap kontribusi yang diberikan tidaklah mencukupi atau sesai dengan kebutuhan masyarakat. Ditetapkan ketentuan penanaman modal melalui Undang-undang tentang Penanaman Modal Nomor 25 tahun 2007 sebagai pengganti Undang – undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang - undang Nomor 6 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri telah mengakhiri dualisme pengaturan tentang penanaman modal apakah itu penanaman modal asing, maupun modal dalam negeri. Kehadiran undang-undang yang baru ini sekaligus mempertegas dan memperjelas kebijakan pengaturan penanaman modal di Indonesia. Pada konteks globalisasi, Indonesia telah meratifikasi perangkat peraturan konvensi – konvensi atau perjanjian – perjanjian internasional yang terkait dengan masalah investasi juga perlu kiranya diperhatikan antara lain: GATS (General Agremeent on Trade in Service) atau Persetujuam Umum Perdagangan Jasa, masuk ke dalam sistem hukum Indonesia melalui ratifikasi 89
59
Aminuddin Ilmar, 2007, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana, Jakarta, h.
62
dengan di Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1994, yaitu Undnag-undang tentang Pengesahaan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) atau Persetujuan pendirian Organisasi perdagangan Dunia. GATS merupakan bagian WTO Agreement dan terletak pada Annex 1B Persetujuan Undang – Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the
World
Trade
Organization
(Persetujuan
Pemebentukan
Organisasi
Perdagangan Dunia) yang di dalamnya mencakup kesepakatan – kesepakatan mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPS), dan Trade aspects of Investment Measure (TRIMS), dan The General Agreement on Trade in service (GATS); Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1986 tentang Pengesahan Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee agency; Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981 tentang Pengesahan Convention On The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbital Awards; Undang - Undang No. 32 tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention On The Settlement Of Investment Disputes Between States And Nationals Of Others States); Adapun pengaturan investasi berdasarkan UU penanaman modal selanjutnya diatur dalam berbagi instrument perundang-undangan yang sifatnya cukup kompleks, karena mencakup pengaturan yang sifatnya multidemensi. Beberapa peraturan pelaksanaan dari UU penanaman Modal yang perlu
63
diperhatikan dalam pemahaman awal mengenai kedudukan dan pengaturan penanaman modal di Indonesia: 1. Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Instentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Daerah; 2. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman modal 3. Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal; 4. Peraturan Kepala BKPM No. 6 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan, dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal 5. Peraturan Kepala BKPM No. 12 tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal 6. Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Sebagaimana diubah dengan peraturan kepala BKPM no. 7 tahun 2010 7. Peraturan kepala BKPM No. 14 tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Invetasi secara Elektronik 8. Peraturan Kepala BKPM No. 89/SK/2007 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Perusahaan penanamn Modal di Bidang – bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
64
Dilakukan
dengan
menetapkan
serangkaian
peraturan perundang-
undangan, yaitu: a. Keppres Nomor 115 Tahun 1998 tentang Perubahan atas keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal b. Instruksi Presiden Nomor 22 Tahnu 1998 tentang Penghapusan Memiliki Rekomendasi Instansi Teknis dlaam Permohonan Persetujuan Penanaman Modal; c. Instruksi Presiden Nomor 23 Tahun 1998 tentang penghapusan Ketentuan kewajiban Memiliki persetujuan Prinsip dalam pelaksanaan realisasi penanaman modal di daerah; d. Keputusan menteri negara Investasi/kepala BKPM Nomor 30 / SK / 1998 tentang Pedoman dan tata cara permohonan penanaman modal yang didirikan dalam rangka PMDN dan PMA e. Keputusan menteri investasi/kepala BKPM Nomor 21 / SK /1998 tentang pelimpahan kewenangan pemberian persetujuan dan fasilitas serta peizinan pelaksanaan penanaman modal dalam negeri tertentu kepada gubernur kepala daerah tingkat I Landasan hukum penanaman modal di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang mengikutinya. Sebagai landasan yuridis untuk di nasional yakni Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
65
2.3.3. Asas-Asas dan Tujuan Penyelenggaraan Investasi Asas mempunyai dua pengertian, yakni sebagai dasar, alas, pondamen disatu pihak, dan dipihak lain juga dimaksudkan sebagai kebenaran yang menjadi pokok dasar untuk tumpuan berpikir atau berpendapat. UU PM ternyata mencantumkan sejumlah asas dalam undang – undang penanaman modal. Pendapat Hendrik Budi Untung di dalam karya tulis Lusiana yakni Usaha Penanaman Modal di Indonesia, menguraikan bahwa tampaknya pembentuk undang – undang berupaya untuk menangkap nilai – nilai yang hidup dalam tatanan pergaulan masyarakat baik di tingkat nasional atau di tingkat internasional,
berbagai
nilai
yang
dianggap
telah
menjadi
universal
diakomodasikan ke dalam hukum nasional. Di era globalisasi ini peranan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik dalam memberikan pelayanan yang baik sudah menjadi acuan berbagai pihak dalam member pelayanan publik atau dalam menjalankan aktivitas bisnis. Prinsip yang terkandung dalam tatanan pemerintah dan tata kelola perusahaan yang baik salah satu di antaranya adalah kepastian hukum; demikian juga halnya dalam undang – undang penanaman modal pun dicantumkan sejumlah asas90 Asas penanaman modal ‘menginspirasi’ pembentukan pasal – pasal sehingga pasal – pasal mencerminkan keberadaan asas hukum yang bersifat abstrak normatif. Lebih lanjut, asas penanaman modal yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UUPM adalah: a. Asas kepastian hukum
90
Lusiana, op.cit, h. 43
66
b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Asas terbukaan Asas akuntabilitas Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;. Asas kebersamaan Asas efisiensi berkeadialan Asas berkelanjutan Asas berwawasan lingkungan Asas kemandirian Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.91
2.3.4. Jenis-Jenis investasi Pada studi ekonomi dikenal berbagai jenis investasi, antara lain dapat dibedakan dasar aspek pelakunyameliputi: autonomous investment dan induced investment. 92 Autonomous investment atau investasi otonom merupakan investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Biasanya investasi jenis ini dilokasikan dalam pengadaan fasilitas umum, seperti jalan raya, jembatan, bendungan, saluran irigasi, fasilitas pertahanan, dan lain – lain, sehingga sering disebut public investment. Induced investment atau investasi dorongan merupakan investasi yang timbul akibat adanya pertambahan permintaan efektif yang nyata di pasar. Kenaikan tersebut disebabkan adanya peningkatan pendapatan masyakarat. Dapat dikemukan investasi ini timbul sebagai respon terhadap pasar. Pada umumnya kegiatan investasi dalam ekonomi dibedakan juga menjadi dua, yaitu investasi pada financial asset dan investasi pada real asset. Investasi pada financial asset dilakukan di pasar uang, misalnya berupa sertifikat deposito,
91
Lusiana, op.cit, h. 44-45
92
Ida Bagus Wyasa, dkk, op.cit, h. 51
67
commercial paper, surat berharga pasar uang (sbpu), dan lainnya. Investasi juga dapat dilakukan di pasar modal, misalnya berupa saham, obligasi, warranty, opsi, dan lainnya. Sedangkan invesatsi pada real asset dapat dilakukan dengan pembelian
aset
produktif,
pendirian
pabrik,
pembukaan
pertambangan,
perkebunan, dan yang lainnya 93 Selain itu, jenis kegiatan penanaman modal juga dapat dilihat pada penjelasan UUPM, kegiatan penanaman modal diklasifikasikan atas dua kategori besar yaitu investasi langsung (direct investment) atau penanaman modal jangka panjang dan investasi tidak langsung (inderct investment) atau portofolio investment. Ketentuan kegiatan penanaman modal lebih lanjut ditentukan pada UU PM, menurut Lusiana pengertian penanaman modal hanya mencakup penanaman modal secara langsung dalam kaitan dengan pengelolaan modal. Pengertian penanaman modal langsung ini seringkali dikaitkan dengan keterlibatan pemilik modal secara langsung dalam kegiatan pengelolaan modal.94 Pada ketetuan Pasal 1 Catagena Agreement, investasi asing (foreign direct investment) diartikan : Direct foreign investment: contribution from aboard, owned by foreign individuals or concerns to the capital of an enterprise must be in freely convertible curries, industrial plants, machinery or equipment with the right to re-export their value and to remit profit aboard. Also considered as direct foreign investment are those investments in local currency originating from resources which have the right to be remitted aboard.95
93
Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, 2007, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, cetakan ke-1, Kencana, Jakarta, h. 81 94
Lusiana, op.cit, h. 4 Ibid, h. 39
95
68
Penanaman modal yang melibatkan investor secara langsung dapat dilakukan melalui beberapa cara penanaman modal, seperti investasi – investasi dalam bentuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Modal sendiri (equity) Modal dari dana pinjaman (loan) Modal bersifat nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible) Modal dari keuntungan usaha (reinvesment) Modal langsung (straight investement) Modal patungan (join venture, joint enterprise) Partisipasi modal melalui berbagai bentuk kerja sama dalam hubunganhubungan kontaktual Investasi langsung ini dapat dilakukan dengan mendirikan perusahaan
patung (joint venture company) dengan mitra lokal, melakukan kerja sama operasi (joint operation scheme) tanpa membentuk perusahaan baru, mengkonversikan pinjaman menjadi penyertaan mayoritas dalam perusahaan local, memberikan bantuan teknis dan manajerial maupun memberikan lisensi dan lain-lain96 Investasi tidak langsung umumnya merupakan pananaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar uang. Penanam modal ini disebut penanaman modal jangka pendek karena pada umumnya mereka melakukan jual beli dan/atau mata uang yang hendak mereka perjualbelikan. Begitupula dengan pendapat Panji Anoraga, yang membedakan investasi berdasarkan bentuknya, yaitu merupan investasi yang berdasarkan pada tata cara menanamkan investasinya. Tata cara investasi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
96
Ibid, h. 40
69
a. Fortopolio b. Investasi langsung Mengenai investasi portofolio dilakukan pasar modal dengan instrumen surat berharga, seperti saham dan obligasi. Sedangkan langsung merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total, atau mengakuisi perusahaan. Berdasarkan penjelasan pembagian jenis investasi di atas, dapat disimpulan yaitu a. Invetasi langsung (direct investment) atau yang disebut juga penanaman jangka panjang adalah menempatkan uan secara langsung pada perusahaan, proyek, atau bisnis dengan harapan dapat memperoleh tingkat imbalan hasil yang menarik, dengan ciri sebagai berikut 1) Adanya keterlibatan pemilik modal secara langsung dalam kegiatan pengelolaan modal 2) Dilakukan dengan mendirikan perusahaan patungan (joint venture company) dengan mitra lokal, melakukan kerja sama operasi (joint operation
scheme)
tanpa
membentuk
perusahan
baru,
mengkonversikan pinjaman menjadi penyertaan mayoritas dalam perusahaan lokal, memberikan bantuan teknis dan manajarial (tehnical and management assistance) maupun dengan memberikan lisensi, dan lain – lain. 3) Pemegang saham memiliki kontrol pada pengelolaan perseroan sehari-hari, baik sebagai komisaris, direksi, ataupun pemilik, namun
70
konsekuensinya keberhasilan ataupun kegagalan perusahaan menjadi tanggung jawab pemegang saham 4) Biasanya resiko tidak ditanggung sendiri oleh pemegang saham 5) Kerugian pada umumnya dilindungi oleh kebiasan internasional (international customary law) 6) Dilakukan dengan jalan membangun, membeli total, atau mengakuisi perusahaan 7) Dana yang anda tempatkan dapat ditukar dengan saham pada perusahaan tersebut hingga menjadi equity b. Sedangkan invetasi tidak langsung (inderct investment) atau yang disebut juga invetasi portofolio atau penanaman modal jangka pendek adalah pada umumnya merupakan penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar uang, dengan ciri sebagai berikut: 1. Melakukan jual beli saham dan atau mata uang dalam jangka waktu yang relative singkat, tergantung kepada fluktuasi nilai saham dan atau mata uang 2. Dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga, seperti saham dan obligasi. 3.
Saham di pasar modal dengan mudah bisa diperjualbelikan dan harganya bisa naik turun.
4.
Pemegang saham tidak memiliki control pada pengelolaan perseroan sehari-hari.
71
5.
Biasanya risiko ditanggung sendiri oleh pemegang saham sehingga pada
dasarnya
tidak
dapat
menggugat
perusahaan
yang
menjalankannya 6.
Kerugian pada umumnya tidak dilindungi oleh hukum kebiasaan internasional (international customary law).
Berdasarkan uraian jenis – jenis investasi diatas, jenis jenis investasi di Indonesia terdapat pada penjelasan Pasal 2 UUPM yang menyebutkan bahwa ada 2 jenis investasi secara langsung dan tidak langsung (portofolio).