BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Demensia merupakan jenis penyakit tidak menular, tetapi mempunyai dampak yang
membahayakan bagi fungsi kognitif lansia. Demensia adalah
keadaan ketika seseorang mengalami penurunan daya ingat dan daya pikir lain yang secara nyata mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari (Nugroho, 2008). Kriteria demensia yaitu kehilangan kemampuan intelektual, termasuk daya ingat yang cukup berat, sehingga dapat mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan (Santoso&Ismail, 2009). Prevalensi demensia terhitung mencapai 35,6 juta jiwa di dunia. Angka kejadian ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun, yaitu 65,7 juta pada tahun 2030 dan 115,4 juta pada tahun 2050 (Alzheimer’s Disease International, 2009). Peningkatan prevalensi demensia mengikuti peingkatan populasi lanjut usia (lansia). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat terjadi peningkatan prevalensi demensia setiap 20 tahun. Deklarasi Kyoto menyatakan tingkat prevalensi dan insidensi demensia di Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan Jepang (Alzheimer’s Disease International, 2006). Data demensia di Indonesia pada lanjut usia (lansia) yang berumur 65 tahun ke atas adalah 5% dari populasi lansia (Tempo, 2011). Prevalensi demensia meningkat menjadi 20% pada lansia berumur 85 tahun ke atas. Kategori lanjut usia penduduk berumur 65 tahun ke atas angka lansia di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 11,28 juta. Jumlah ini
1
2
diperkirakan meningkat menjadi 29 juta jiwa pada tahun 2020 atau 10 persen dari populasi penduduk (Tempo, 2011). Tahun 2010 jumlah lansia di Bali sekitar 380.114 jiwa dari total penduduk Bali sebesar 3.890.757 jiwa (BPS, 2010). Apabila diasumsikan bahwa 5% lansia mengalami demensia, maka pada tahun 2010 terdapat sekitar 19.006 jiwa lansia yang menderita demensia. Populasi lansia usia 65 tahun ke atas di Bali yaitu 364.043 jiwa, dapat diestimasikan 5% dari jumlah lansia tersebut angka kejadian lansia dengan demensia sekitar 1.329 jiwa, sedangkan jumlah lansia usia 85 tahun ke atas di Bali yaitu 16.072 jiwa dapat diestimasikan 20% dari jumlah lansia tersebut angka kejadian lansia dengan demensia sekitar 3.214 jiwa (BPS, 2010). Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang berada di bagian barat pulau Bali. Jumlah penduduk lansia di Kabupaten Badung mencapai 30.404 jiwa (Dinkes Provinsi Bali, 2012), sedangkan jumlah lansia lebih dari 65 tahun yaitu 13.500 jiwa, dengan angka kejadian demensia 5% (Tempo, 2011) maka dapat diasumsikan potensi lansia yang menderita demensia 675 jiwa (Dinkes Provinsi Bali, 2012). Jumlah lansia di Kabupaten Badung dari 32.724 jiwa hanya 31,0% atau 10.157 lansia yang dibina. Gangguan kognitif merupakan kondisi atau proses patofisiologis yang dapat merusak atau mengubah jaringan otak mengganggu fungsi serebral, tanpa memperhatikan penyebab fisik, gejala khasnya berupa kerusakan kognitif, disfungsi perilaku dan perubahan kepribadian (Copel, 2007). Gangguan kognitif erat hubungannya dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir
3
akan dipengaruhi oleh keadaan otak. Gangguan kognitif antara lain delirium dan demensia (Azizah, 2011) Demensia terjadi karena adanya gangguan fungsi kognitif. Fungsi kognitif merupakan proses mental dalam memperoleh pengetahuan atau kemampuan kecerdasan, yang meliputi cara berpikir, daya ingat, pengertian, serta pelaksanaan (Santoso&Ismail, 2009). Bertambahnya usia secara alamiah menyebabkan seseorang akan mengalami penurunan fungsi kognitif, yang sangat umum dialami lansia adalah berkurangnya kemampuan mengingat sehingga lansia menjadi mudah lupa. Berkurangnya fungsi kognitif pada lansia merupakan manifestasi awal demensia (Nadesul, 2011). Ada beberapa dampak jika fungsi kognitif pada lansia demensia tidak diperbaiki. Dampak tersebut yaitu menyebabkan hilangnya kemampuan lansia untuk mengatasi kehidupan sehari-hari (Hutapea, 2005). Demensia juga berdampak pada pengiriman dan penerimaan pesan. Dampak pada penerimaan pesan, antara lain: lansia mudah lupa terhadap pesan yang baru saja diterimanya; kurang mampu membuat koordinasi dan mengaitkan pesan dengan konteks yang menyertai; salah menangkap pesan; sulit membuat kesimpulan. Dampak pada pengiriman pesan, antara lain: lansia kurang mampu membuat pesan yang bersifat kompleks; bingung pada saat mengirim pesan; sering terjadi gangguan bicara; pesan yang disampaikan salah (Nugroho, 2009). Upaya yang dapat dilakukan oleh tenaga keperawatan untuk mencegah penurunan fungsi kognitif pada lansia demensia yaitu dengan terapi kolaboratif farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi kolaboratif farmakologis yaitu
4
donezepil, galatamine, rivastigmine, tetapi masing-masing obat tersebut memiliki efek samping (Dewanto; Suwono; Riyanto; Turana, 2009). Terapi non farmakologis antara lain: terapi teka teki silang; brain gym; puzzle; dan lain-lain. Terapi non farmakologis ini tidak memiliki efek samping (Santoso&Ismail,2009). Teka teki silang (TTS) merupakan salah satu cara untuk menghambat terjadinya penurunan fungsi kognitif. Teka teki silang merupakan media rekreasi otak karena selain mengasah kemampuan kognitif, meningkatkan daya ingat, serta menambah wawasan (Triatmono, 2011). TTS bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, serta dapat dilakukan oleh para lansia untuk mengisi waktu senggang. Teka-teki silang bekerja pada otak dengan proses membaca (persepsi), memahami petunjuk (pemahaman), menganalisis petunjuk (analisis), merangsang otak untuk mencoba lagi jawaban yang mungkin (retreival), dan memutuskan mana jawaban yang benar (eksekusi), teka-teki silang kemudian mengaktifkan bagian otak yaitu di hipokampus dan korteks entrohinal dengan menghasilkan neurontransmiter asetilkolin (Shankle&Amen, 2004). Penurunan asetilkolin menimbulkan terjadinya peningkatan demensia, sehingga dengan pengaktifan hipokampus menyebabkan neurotransmiter asetilkolin bertambah dan menurunkan resiko terjadinya demensia (Liza, 2010). Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai teka teki silang (TTS) hanya ada beberapa. Penelitian oleh Kanthamalee & Sripankaew, yang berjudul “Effect of neurobic exercise on memory enhancement in the elderly with dementia”, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata memori kelompok eksperimen setelah menerima latihan otak seperti teka-teki silang, bermain catur,
5
memainkan musik, membaca dan menari secara signifikan lebih tinggi daripada sebelum menerima program latihan otak pada tingkat p < 001. Penelitian yang berjudul “Association of Crossword Puzzle Participation with Memory Decline in Persons Who Develop Dementia” oleh Pillai; Hall; Dickson; Buschke; Lipton; Veghese (2010), menunjukkan ada hubungan teka teki silang dengan penundaan penurunan memori pada orang dengan demensia. Hasil studi pendahuluan pada tanggal tujuh januari 2014, yang dilakukan di Banjar
Muding
Klod
Kelurahan
Kerobokan
Kaja
dengan
wawancara
menggunakan MMSE ditemukan bahwa 10 dari 66 jumlah lansia tujuh orang dicurigai mengalami demensia ringan, dan
tiga orang dicurigai mengalami
demensia sedang dan ditemukan 30% mengetahui tentang teka teki silang. Puskesmas I Kuta Utara adalah salah satu Puskesmas di Kabupaten Badung dan menduduki jumlah lansia dengan nomor urut ke dua dari dua belas puskesmas yang lainnya yaitu sekitar 5.305 jiwa, tetapi dari jumlah tersebut hanya 387 jiwa atau sekitar 7,3%
lansia yang dibina (Dinkes Badung, 2013). Kelurahan
Kerobokan Kaja merupakan salah satu kelurahan yang di bawahi Puskesmas I Kuta Utara dengan jumlah lansia 1.029 orang (Kelurahan Kerobokan Kaja, 2014). Kelurahan Kerobokan Kaja menaungi 23 banjar, salah satunya Banjar Muding Klod dengan populasi lansia 66 orang (Kelurahan Kerobokan Kaja, 2014). Banjar Muding Klod telah terdapat posyandu lansia yang diadakan setiap minggunya yaitu pada hari sabtu. Kegiatan yang dilakukan setiap minggunya yaitu senam lansia, tetapi belum ada kegiatan lainnya yang bisa dilakukan di rumah masing-
6
masing pada waktu tertentu yang dapat mengasah kognitif lansia dan untuk mengisi waktu senggang para lansia. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh terapi teka teki silang terhadap fungsi kognitif pada lansia dengan kecurigaaan demensia di Banjar Muding Klod Kelurahan Kerobokan Kaja.
1.2
Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
“Apakah ada pengaruh terapi teka teki silang terhadap fungsi kognitif pada lansia dengan kecurigaan demensia di Banjar Muding Klod?”.
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi teka teki silang terhadap fungsi kognitif pada lansia dengan kecurigaan demensia di Banjar Muding Klod.
1.3.2 Tujuan Khusus (1)
Mengidentifikasi fungsi kognitif pada lansia dengan kecurigaan demensia sebelum diberikan terapi teka teki silang di Banjar Muding Klod.
(2)
Mengidentifikasi fungsi kognitif pada lansia dengan kecurigaan demensia setelah diberikan terapi teka teki silang di Banjar Muding Klod.
(3)
Menganalisis pengaruh terapi teka teki silang terhadap fungsi kognitif pada lansia degan kecurigaan demensia di Banjar Muding Klod.
7
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis (1)
Bagi para tenaga kesehatan, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu terutama pada bagian ilmu gerontologi dan keperawatan gerontik, sehingga para tenaga kesehatan dapat mengetahui terapi TTS merupakan salah satu terapi non farmakologis untuk fungsi kognitif pada lansia dengan demensia.
(2)
Secara Teoritis diharapkan penelitian ini sebagai kajian bagi penelitian selanjutnya sehingga hasilnya akan lebih luas dan mendalam. Selain itu penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan bagi peningkatan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang pendidikan kesehatan.
1.4.2. Manfaat Praktisi (1)
Bagi Lansia: Membantu lansia untuk melatih otak agar fungsi kognitif lansia dengan demensia tidak mengalami penurunan yang cepat dengan melakukan latihan otak yaitu terapi TTS
(2)
Bagi Keluarga Bagi keluarga yang memiliki lansia dapat menerapkan terapi ini untuk melatih otak lansia agar fungsi kognitif lansia dengan demensia tidak mengalami penurunan yang cepat dengan melakukan latihan otak yaitu terapi TTS.
(3)
Bagi Petugas Puskesmas Apabila sudah diketahui bahwa terapi TTS dapat mempengaruhi fungsi kognitif pada lansia, maka pihak puskesmas dapat merencanakan dalam hal
8
penerapan terapi TTS ini bagi lansia di setiap posyandu yang dibawahi oleh puskesmas tersebut. (4)
Bagi Perawat Gerontik Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk informasi dan pedoman bagi perawat dalam meningkatkan asuhan keperawatan gerontik, agar perawatan terhadap lansia lebih baik.