1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menurut Keraf (1997:1) bahasa merupakan alat komunikasi anggota masyarakat berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dihasilkan dari alat ucap manusia itu dilengkapi dengan proses-prosesnya sehingga diperoleh bunyi yang memiliki makna. Wedhawati dkk, (2006: 53) menjelaskan proses-proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernafasan sebagai sumber tenaga. Pada saat nafas dikeluarkan, paru-paru menghembuskan tenaga yang berupa arus udara. Arus udara itu dapat mengalami perubahan pada pita suara. Arus udara dari paru-paru dapat membuka kedua pita suara yang merapat hingga menghasilkan ciri-ciri bunyi tertentu. Gerakan membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan udara di sekitar pita suara itu bergetar. Perubahan bentuk saluran suara yang terdiri atas rongga faring, rongga mulut, dan rongga hidung menghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda. Ilmu yang mempelajari mengenai bunyi bahasa adalah fonologi. (Chaer, 1994: 102) mengatakan bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu disebut Fonologi. Menurut hierarki satuan bunyi, bila berbicara mengenai fonologi maka ada dua bagian besar yang akan dibahas yaitu masalah fonetik dan fonemik. Objek kajian fonologi yang pertama bunyi bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem yang disebut tata fonem (fonemik).
2
Dalam pemahamannya fonetik dan fonemik tidak dapat dipisahkan dalam memahami atau menganalisis seluk beluk suatu bahasa pada kajian fonologi. Kajian fonologi sangat penting dipahami dalam belajar bahasa, karena dengan memahami fonologi akan lebih mempermudah dalam pelafalan bunyi berbahasa khususnya dalam berbahasa Jerman. Bahasa Jerman adalah salah satu bahasa yang penting dalam berkomunikasi internasional. Lebih dari 101 juta orang di dunia berbahasa Jerman, sekitar 20 juta orang di seluruh dunia mempelajari bahasa Jerman. Di Eropa bahasa Jerman merupakan bahasa ibu bagi 100 juta orang, tidak hanya di Jerman, tetapi juga di Austria, Swiss, Luxemburg dan Liechtenstein. Hal ini menempatkan bahasa Jerman di antara 12 bahasa paling umum dipakai di dunia: 2,1% dari populasi dunia. Di Eropa bahasa Jerman adalah bahasa ibu yang paling luas digunakan (http://www.daadjkt.org/index.php diakses pada tanggal 03 Februari 2015). Di Indonesia posisi Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa asing yang diajarkan di beberapa SMA, SMK, MA dan Perguruan Tinggi. Dengan statusnya demikian, program pengajaran dan pembelajaran bahasa Jerman di Indonesia juga mengarah pada pengembangan diri peserta didik dalam menghadapi
dunia
global,
sehingga
proses
pembelajarannya
disiapkan
dan
direncanakan sebaik-baiknya. Pada pembelajaran bahasa, peserta didik harus memahami fonologi, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berbahasa. Kesalahan pelafalan dapat menyebabkan unsur-unsur leksikal dalam sebuah makna akan hilang, sehingga sebuah pembicaraan tidak dapat dipahami dengan baik. Begitu juga dalam berbahasa Jerman, pelafalan yang
3
baik sangat mempermudah pemahaman dalam berbahasa Jerman dan sebaliknya ketika pelafalan tidak sesuai dengan kesepakatan penutur akan mempersulit dalam pemahaman berbahasa Jerman. Bunyi atau makna pada bahasa tersebut akan terjadi perubahan apabila tidak didukung dengan alat ucap atau artikulator yang tepat. Apabila pelafalan kata-kata yang diujarkan tidak menggambarkan keteraturan kata-kata yang telah disepakati para penuturnya, ujaran tersebut dapat menimbulkan ketaksaan. Kekeliruan dalam pelafalan kata-kata akan menyebabkan terjadinya ketaksaan atau pergeseran makna dan bahkan ketidakbermaknaan terhadap kata-kata tersebut. Kekeliruan dalam pelafalan bunyi bahasa disebabkan oleh adanya gangguan berbahasa. Chaer (2009:148) mengatakan secara biologis, gangguan berbahasa disebabkan oleh kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan organ wicara. Ketidaksempurnaan fungsi otak maupun organ wicara menghambat kemampuan seseorang memproduksi ucapan (perkataan). Salah satu contoh gangguan berbahasa adalah Rhotacism atau cadel. Rhotacism had difficulty with [r] sound (Shell, 2005:32). Rhotacism mengalami kesulitan dengan bunyi [r]. Chastain (1975: 339) menjelaskan “In German, problem sounds are the sound of the umlauted vowels [ŏ] and [ū] and the sound of consonant [r]”. ‗Masalah bunyi yang terdapat dalam bahasa Jerman adalah bunyi umlaut [ö], [ü] dan bunyi konsonan [r]. Pelafalan vokal [ö], [ü] dan konsonan [r] membutuhkan pergerakan otot lidah yang kompleks. Rhotacism atau cadel berarti ketidakmampuan mengucapkan satu bunyi unik, umumnya bunyi [r]. Jadi yang dimaksud dengan cadel
4
adalah kesalahan dalam pengucapan. Kesalahan dalam pengucapan dapat dilihat dari pengucapan vokal dan konsonan yang tidak sempurna. Kemampuan mengucapkan vokal dan konsonan secara sempurna sangat bergantung pada kematangan sistem saraf otak, terutama bagian yang mengatur koordinasi motorik otot-otot lidah. Untuk mengucapkan konsonan tertentu, seperti [r], diperlukan manipulasi yang cukup kompleks antara lidah, langit-langit, dan bibir. Cadel dapat disebabkan oleh kelainan fisiologis yaitu adanya perbedaan pada bagian yang dinamai frenulum lingualis, yang menyebabkan gangguan sulit melafalkan salah satu bunyi. Ankiloglosia atau tongue tie adalah suatu kondisi patologis bahwa frenulum lingualis tidak melekat dengan tepat ke lidah. Keadaan kongenital ini ditandai oleh frenulum lingualis yang pendek dan salah posisi, serta lidah yang tidak dapat dijulurkan atau ditarik masuk. Ankiloglosia menyebabkan gangguan ketika berbicara, terutama pada saat pengucapan bunyi [r] karena pada saat pengucapan bunyi-bunyi tersebut membutuhkan aktivitas lidah yang tinggi (Langlais dan Miller, 2001:46). Dapat ditarik kesimpulan bahwa cadel adalah salah satu gangguan berbahasa yang disebabkan adanya kelainan secara fisiologis pada organ wicara dan akan berimplikasi pada kesalahan pelafalan. Selain itu, ada sebuah buku bahasa Jerman yang berjudul Guten Morgen „selamat pagi‘ yang membenarkan pelafalan cadel dalam bahasa Jerman. Kalisa (2014: 9) menjelaskan bahwa /l/ dibaca cadel, pada kolom keterangan ditambahkan cadel: kurang sempurna mengucapkan kata-kata sehingga bunyi [r] dilafalkan [l]. Paradigma tersebut tertulis pada gambar di bawah ini:
5
Gambar 1. Paradigma Pelafalan [r] mejadi [l]
Paradigma di atas adalah suatu penjelasan yang salah dalam pelafalan bahasa Jerman dan tidak dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Jerman. Contoh bunyi [r] pada kata Rand [rand] yang berarti ‗tepi‘, jika [r] dilafalkan [l] dalam penjelasan gambar 1 maka kata Rand akan berubah menjadi kata Land [land] yang berarti ‗negara‘. Dalam hal tersebut dapat dinyatakan bahwa kesalahan pelafalan dapat menyebabkan pergeseran makna atau bahkan ketidakbermaknaan kata. Oleh karena itu pembelajar bahasa Jerman dituntut untuk memahami kaidah-kaidah pelafalan yang benar, guna
6
menciptakan
komunikasi
yang
baik
dan
lancar
dalam
berbahasa
Jerman.
Semua pembelajar bahasa Jerman selalu memiliki tujuan untuk dapat berbahasa Jerman, tetapi terkadang muncul masalah atau gangguan dalam pembelajaran bahasa Jerman tersebut dan gangguan itu memungkinkan berdampak buruk pada pembelajar bahasa Jerman. Salah satu gangguan yang dialami pembelajar bahasa Jerman itu adalah gangguan berbahasa Rhotacism atau cadel. Gangguan berbahasa Rhotacism dapat menghambat pelafalan, khususnya pada bunyi [r]. Féry (2004: 66) menjelaskan bahwa pelafalan konsonan r dalam bahasa Jerman dibedakan menjadi dua variasi utama, yaitu: 1) Bunyi [r] dilafalkan dengan jelas, artinya diucapkan di ujung lidah, misalnya: Gespräch [gəʃprɛ:ç] ‗percakapan‘ dan lernen [lɛrnən] ‗belajar‘. 2) Bunyi [r] dijadikan vokal [ɐ], misalnya: Anrufer [anru:fɐ] ‗penelepon‘ dan aber [a:bɐ] ‗tetapi‘. Jika pelafalan tersebut tidak sesuai dengan cara atau tempat artikulasi akan mengakibatkan ketidakharmonian dalam pertuturan. Permasalahan pelafalan tersebut merupakan gangguan dalam berbahasa yang dialami oleh pembelajar bahasa Jerman di Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman UNIMED. Dalam hal ini, tenaga pengajar perlu memberikan perhatian lebih terhadap mahasiswa pembelajar bahasa Jerman yang menderita Rhotacism serta mencari solusi dalam pembelajaran yang tepat terhadap penderita Rhotacism. Melihat permasalahan tersebut, memungkinkan terjadinya masalah pada penderita Rhotacism dalam pembelajaran bahasa Jerman, jika tidak ditangani dengan cepat. Permasalahan tersebut dapat menyebabkan adanya pengaruh pada perkembangan kemampuan kognitif penderita, karena ketidaksempurnaan dalam melafalkan kata dan berimplikasi pada
7
kurangnya kepercayaan diri untuk berbahasa Jerman. Chomsky (dalam Syamsu 2000: 108), mengatakan bahwa kemampuan berbahasa manusia itu dipengaruhi juga oleh kemampuan kognitifnya, teorinya mengatakan bahwa ada intervensi dari kemampuan yang menyangkut ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang sangat berpengaruh ke dalam jiwa manusia. Teori ini digolongkan kedalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal, mental) sebagai landasan dalam proses pembelajaran bahasa. Dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan bahasa seseorang dipengaruhi oleh kemampuan kognitifnya, sebab semakin tinggi kemampuan kognitif seseorang maka semakin berkembang kemampuan bahasa seseorang tersebut. Berdasarkan fenomena yang dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang ketidaksempurnaan pelafalan kata-kata dalam bahasa Jerman yang diucapkan atau dilafalkan oleh mahasiswa pembelajar bahasa Jerman pada Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman yang menderita Rhotacism. Ketidaksempurnaan dalam pelafalan kata-kata tersebut memungkinkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi, karena pelafalan tersebut tidak sesuai dengan yang dilafalkan atau diucapkan oleh penutur asli bahasa Jerman. Ketidaksesuaian pelafalan tersebut berdampak pada perubahan bunyi, ketaksaan atau pergeseran makna kata serta memungkinkan pada ketidakbermaknaan kata. Dalam hal ini, ketidaksempurnaan dalam melafalkan kata-kata bahasa Jerman tersebut memungkinkan berdampak pada perkembangan kemampuan kognitif penderita, yang disebabkan oleh kurangnya kepercayaan diri dalam melafalkan bahasa Jerman serta faktor lingkungan yang tidak mendukung ketika penderita Rhotacism tersebut melafalkan bahasa Jerman dengan tidak sempurna, sehingga
8
memungkinkan penderita Rhotacism tersebut memiliki kesulitan dalam berbahasa Jerman.
1.2 Perumusan Masalah Dari uraian masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan fonetis penderita Rhotacism, ketika membaca dan bertutur dalam bahasa Jerman? 2. Bagaimana kompetensi dan performansi penderita Rhotacism, ketika membaca teks dalam bahasa Jerman? 3. Bagaimana perkembangan kognitif penderita Rhotacism, ketika bertutur dalam bahasa Jerman? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis perubahan fonetis penderita Rhotacism, ketika membaca dan
bertutur dalam bahasa Jerman. 2. Menganalisis kompetensi dan performansi penderita Rhotacism, ketika
membaca teks dalam bahasa Jerman. 3. Menganalisis perkembangan kognitif penderita Rhotacism, ketika bertutur dalam
bahasa Jerman.
9
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, manfaat hasil penelitian gangguan berbahasa pada penderita Rhotacism adalah: 1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai gangguan berbahasa penderita Rhotacism dalam berbahasa Jerman. 2. Memperkaya khasanah penemuan mengenai gangguan berbahasa dalam bahasa Jerman. 3. Menambah sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti dan menganalisis lebih lanjut mengenai gangguan berbahasa pada penderita Rhotacism.
1.4.2. Manfaat Praktis Secara praktis, manfaat hasil penelitian gangguan berbicara pada penderita Rhotacism adalah: 1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat untuk dapat mengetahui faktor yang menyebabkan penderita Rhotacism. 2. Mengetahui perubahan fonetis kata yang diucapkan oleh penderita Rhotacism dalam berbahasa Jerman. 3. Memberikan penafsiran yang benar kepada pembelajar bahasa Jerman dan penutur asli bahasa Jerman dalam berbahasa Jerman dengan penderita Rhotacism.
10
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki ruang lingkup yang terbatas, yakni: 1. Penelitian dibatasi hanya pada gangguan berbahasa penderita Rhotacism dalam berbahasa Jerman. 2. Kendala artikulatoris yang terjadi pada penderita Rhotacism. 3. Bunyi-bunyi segmental yang menjadi kendala pada penderita Rhotacism.