I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam
perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan tingginya sumbangan devisa yang dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh sektor ini pada tahun 2003 adalah sekitar 16,6 persen (BPS, 2003). Berdasarkan lapangan buruhannya, dari 95,5 juta penduduk yang bekerja, sekitar 43,67 persen dari mereka bekerja di sektor pertanian. Sektor lain yang cukup besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja diantaranya sektor perdagangan sebanyak 20,13 persen, industri sebanyak 12,46 persen, dan jasa sebanyak 11,90 persen (BPS, 2007a). Secara nasional, jumlah angkatan kerja terus bertambah dengan struktur penyerapan tenaga kerja menurut sektor yang tidak mengalami banyak perubahan. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2005 sektor pertanian menyerap 44,04 persen tenaga kerja, pada Februari 2006 naik menjadi 44,46 persen, kemudian menurun lagi menjadi 43,67 persen pada Februari 2007 (BPS, 2007b). Krisis ekonomi di Indonesia sejak Juli 1997 telah melumpuhkan sebagian besar perekonomian Indonesia. Terjadi peningkatan angka kemiskinan pada semua sektor akibat krisis tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa semua sektor menerima dampak negatif dari krisis yang terjadi. Menurut data Susenas 1996 dan 1999 (dalam Kristina 2004), angka kemiskinan tertinggi yang secara konsisten terjadi pada sektor pertanian justru mengalami penurunan. Hal ini karena buruh di berbagai sektor beralih ke pertanian.
2
Salah satu sub sektor yang cukup besar peranannya dalam pertanian adalah sub sektor perkebunan. Hal ini terlihat dari sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) sub sektor perkebunan pada tahun 2004 telah mencapai 16,2 persen dari total PDB sektor pertanian. Selain itu volume ekspor komoditas perkebunan juga terus meningkat mencapai 47 persen dari total ekspor komoditas pertanian pada tahun yang sama (BPS, 2005). Sub sektor perkebunan menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini karena hasil dari sub sektor perkebunan mengalami peningkatan harga sebagai dampak dari perbedaan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sejak pertengahan tahun 1970-an pertumbuhan sektor perkebunan terus dipicu melalui berbagai kebijakan baik produksi, investasi, ekspor, dan berbagai kebijakan lainnya. Hal ini dilakukan karena dengan sumberdaya domestik yang dikandungnya, sektor perkebunan ini dinilai memiliki keunggulan komparatif di pasar domestik dan internasional. (Suprihartini et all.,1996 dalam Anggraeni, 2003). Di samping peranannya dalam perekonomian nasional, peran sub sektor perkebunan dalam penyerapan tenaga kerja nasional juga cukup besar. Pada tahun 2004 sekitar 18,6 juta tenaga kerja nasional diserap oleh sub sektor ini (BPS, 2005). Gambaran positif peran perkebunan itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Golongan buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, namun peraturan ini ternyata lebih melindungi dan menjamin kepentingan pengusaha akan penyediaan tenaga kerja daripada kepentingan kaum buruh (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991). Seharusnya
3
perusahaan perkebunan memperlakukan buruhnya sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu melakukan pembagian kerja sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh buruh. Menurut Daulay (2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata. Kenyataan lain yaitu hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan tidak harmonis padahal kehidupan buruh sangat tergantung pada perusahaan, dalam arti buruh tidak dapat keluar dari perusahaan walau buruh diupah rendah dengan jaminan kerja yang kurang baik. Masalah lain adalah pembagian kerja dan pengupahan yang tidak mengalami banyak perubahan. Dalam gambaran Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991), kondisi buruh perkebunan serba berat, secara fisik dieksploitasi, menerima upah minimal, sehingga taraf hidupnya sangat rendah. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Hal ini dapat dilihat dari Gender–related Development Index (GDI) yang berada pada peringkat ke 88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 pada tahun 1998 dari 174 negara dan menurun lagi menjadi 92 dari 146 negara pada tahun 1999. Di dalam peringkat dunia indeks tersebut masih lebih rendah dari negara-negara ASEAN, dan dengan adanya berbagai krisis di Indonesia indeks-indeks tersebut peringkatnya akan semakin menurun. Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki
4
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi. Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia menjamin hak-hak dasar pekerja dan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, namun dalam prakteknya masih mengalami hambatan. Peluang perempuan di bidang ekonomi untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masih terkendala oleh berbagai faktor. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerjaan untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Perempuan diposisikan pada pekerjaan yang dianggap mudah, tidak perlu keterampilan sehingga boleh diupah rendah, serta ada pandangan penghasilan perempuan sebagai penghasilan tambahan dalam keluarga. Ketidakadilan gender berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga tercermin dari adanya diskriminasi dalam hal jaminan sosial. Buruh perempuan tidak mendapatkan fasilitas kesehatan dan dana pensiun bagi anak-anaknya sedangkan untuk buruh laki-laki akan mendapatkan fasilitas kesehatan untuk dirinya dan juga berlaku bagi anggota keluarganya yaitu seorang istri dan 2 anak. Kesehatan anak-anak dianggap menjadi tanggung jawab laki-laki. Begitu pula soal tabungan untuk masa depan anak-anak (Oktaviani, 1995). Nasib buruh perempuan yang berstatus harian lebih memprihatinkan lagi. Mereka sama sekali tidak mendapat fasilitas kesehatan, dana pensiun dan hak cuti haid serta melahirkan. Tekanan ekonomi akibat rendahnya pendapatan sering membuat perempuan tetap bekerja dan tidak menggunakan hak cuti haid. Mereka
5
juga harus berutang kepada tengkulak maupun koperasi perkebunan. Pada hari libur, di samping mengerjakan kewajiban di rumah tangga, perempuan memilih tetap bekerja di perkebunan milik perorangan yang membuat akses sosial dan politik buruh perempuan terpinggirkan. Mereka tidak mempunyai kesempatan berinteraksi dengan masyarakatnya. Jadi, buruh perkebunan identik dengan keterpaksaan, ketiadaan lahan, pendapatan rendah, minimnya pendidikan, dan banyak hutang (Nur R, 2002). Permasalahan ke depan adalah dapatkah sektor perkebunan tetap menjadi tumpuan bagi tenaga kerja Indonesia. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa masalah yang menjadi
titik perhatian dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan? 2. Apa saja faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perempuan di perkebunan? 3. Sejauhmana hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan perempuan di perkebunan?
6
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan.
2.
Mengetahui dan menganalisis faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan di perkebunan.
3.
Mengetahui dan menganalisis hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan di perkebunan.
1.4
Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang
bermanfaat khususnya bagi: 1. Peneliti, merupakan sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh dengan melihat fenomena praktis yang terjadi dan mengaitkanya dengan teori yang telah diperoleh. 2. Kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi untuk penulisan atau penelitian selanjutnya mengenai kondisi kerja karyawan perkebunan. 3. Instansi terkait, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pendorong agar memperhatikan karyawan perkebunan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan terkait dengan ketenagakerjaan.