BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah
korupsi
bermula
sejak
awal
kehidupan
manusia
bermasyarakat, yakni pada tahap tatkala organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Seperti gejala kemasyarakatan lainnya, korupsi banyak ditentukan oleh berbagai faktor.1 Berdasarkan penunjukan waktu dari Hans G. Guterbock, “Babylonia and Assyria” dalam Encyclopedia Brittanica menunjukkan bahwa catatan kuno mengenai masalah ini menunjuk pada penyuapan para hakim, dan tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah dunia, khususnya di Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi seringkali muncul ke permukaan sebagai masalah. Pada zaman kekaisaran Romawi, Hammurabi dari Babilonia, yang naik tahta sekitar tahun 1200 sebelum masehi memerintahkan kepada seorang gubernur provinsi untuk menyelidiki suatu perkara penyuapan.2 Shamash, seorang raja Assiria (sekitar tahun 200 sebelum Masehi) bahkan menjatuhkan pidana kepada seorang hakim yang menerima uang suap.3 Tidak hanya pada zaman kekaisaran Romawi, sejarah juga mencatatkan mengenai korupsi di Cina kuno. Dalam buku Nancy L. Swann yang berjudul Food and Money in Ancient China sebagaimana dikutip dari Han su karya Pan Ku menceritakan bahwa pada awal berdirinya dinasti Han (206 SM) 1
S.H. Alatas, 1987, Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi, Media Pratama, Jakarta. hlm. 1 Ibid. 3 Ibid. 2
1
masyarakat menghadapi saat-saat yang sulit, yang mana saat itu terjadi kesulitan pangan sehingga menyebabkan setengah dari jumlah penduduk saat itu meninggal dunia. Tidak hanya itu, Peraturan pemerintah saat itu bersifat tiran dan menindas pengutipan pajak dan pungutan gelap juga terjadi dimanamana.4 Pada zaman tersebut korupsi merupakan masalah yang sangat gawat. Orang-orang bijaksana di Cina menentang korupsi dalam kata-kata yang jelas. Banyak diantara kaisar Cina menaruh simpati kepada orang yang berusaha memberantas kejahatan korupsi, namun segera timbul hambatan ketika ia merajalela kembali, baik karena terjadi pergantian penguasa ataupun tekanan keadaan seperti paceklik, bencana alam atau pecahnya peperangan.5 The History of the Former Han Dinasty yang ditulis oleh Pan ku menceritakan bahwa korupsi oleh para pejabat pemerintah berlangsung sepanjang sejarah cina. Para kaisar tidak bersikap sama terhadap korupsi sedikit saja yang benar-benar cemas terhadapnya. Salah satu contoh yang jelas ialah kaisar Hsiao Ching yang naik tahta pada tahun 157 SM. Diceritakan bahwa ia membatasi keinginannya dan menolak hadiah-hadiah atau memperkaya diri sendiri, ia juga mengadakan perubahan hukuman yang diperkenalkan oleh ayahnya, Kaisar Hsiao Wen. Ia meninggalkan kebiasaan menghukum penjahat dengan melibatkan istri dan anak-anak mereka serta menghapus hukuman pengebirian.6
4
Ibid. hlm. 44 Ibid. hlm. 43 6 Ibid. hlm. 49 5
2
Selanjutnya, pada masa sesudah Perang Dunia Kedua kemerdekaan negara-negara Asia dari pemerintahan barat memberi gambaran secara jelas dalam hal mewabahnya korupsi yang menandai periode pasca perang. Dibawah pemerintahan kolonial terdapat juga korupsi, tetapi dinamika dan gejalanya sangat berubah – menyusul bebasnya negara-negara itu dari penjajahan Barat. Perubahan drastis ini terutama disebabkan oleh hal-hal berikut: a. meluasnya korupsi selama masa peperangan yang mendahului masa kemerdekaan tersebut; b. membengkaknya urusan pemerintahan secara mendadak ; c. meningkatnya kesempatan korupsi dalam skala yang lebih besar dan lebih tinggi secara mendadak; d. lahirnya berbagai tingkat kepemimpinan yang terdiri dari orang-orang yang marabat moralnya rendah; e.
tidak
dimilikinya
pengalaman
oleh
para
pemimpin
perjuangan
kemerdekaan dalam membina pemerintahan yang bersih dan efisien. Beberapa diantaranya bersikap masa bodoh dan kurang bermoral; dan f. terjadinya menipulasi serta intrik-intrik melalui korupsi dan kekuatan keuangan dan bisnis asing.7 Sejarah tindak pidana korupsi di Indonesia dimulai pada masa penjajahan kolonial Belanda. Saat itu bentuk-bentuk kejahatan korupsi masih sangat sederhana, seperti terlihat dari perumusan pasal-pasal KUHP, misalkan suap atau memaksa seseorang memberikan sesuatu oleh pejabat/pegawai negeri. Keadaan ini kemudian berubah mengikuti perkembangan zaman, sehingga salah satu isu yang menjatuhkan orde lama juga adalah
7
Ibid. hlm. 88
3
merajalelanya korupsi keseluruh lapisan masyarakat. Korupsi secara harfiah berarti busuk, buruk, bejat, dapat disogok, atau suka disuap. Oleh karena itu, didalam KUHP semula diatur hanya masalah suap saja.8 Pada masa orde baru berkuasa, masalah korupsi adalah menjadi politik pemerintah. Maksudnya pemerintah memang sengaja membiarkan korupsi merajalela sebagai harga membeli kesetiaan para pejabat pemerintah dan para konglomerat/pengusaha.
Ini
misalnya
ditandai
dengan
pemberian
fasilitas/keringanan kepada orang-orang tertentu atau bahkan untuk menikmati monopoli, yang melibatkan anak, cucu, menantu, dan orang-orang dekat penguasa mulai dari pusat sampai daerah, yang disebut dengan kronikroni.9 Berkat tidak adanya oposisi di Indonesia membuat praktek korupsi semakin subur. Bahkan terdapat dugaan tokoh-tokoh partai pun menikmati fasilitas kredit tanpa agunan, sehingga macet pembayaran dan beberapa bank bangkrut. Di era awal Reformasi kegiatan pemberantasan korupsi belum berjalan sama sekali. Banyak pengaduan atau temuan masyarakat tentang kasus-kasus yang diduga korupsi, tetapi penyelesaiannya lamban. Bahkan, ada kesan penyidikan hanya berputar-putar di tempat saja. Bukan mustahil pengusutan tindak pidana korupsi ini menimbulkan tindak pidana korupsi baru, seperti apa yang dialami mantan Jaksa Agung Republik Indonesia.10
8
Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm.7 9 Ibid. hlm. 8 10 Ibid. hlm. 9
4
Selanjutnya korupsi terus menerus menunjukkan perkembangannya, sebagai respon akan hal tersebut pemerintah kemudian membentuk suatu komisi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini membawa sebuah perubahan besar dalam sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di indonesia. Pada era keterbukaan informasi seperti sekarang ini masyarakat semakin ingin tahu dan menuntut keterbukaan informasi mengenai perkembangan penanganan kasus korupsi. Media dalam hal ini memberikan andil yang besar terhadap penyampaian informasi mengenai tindak pidana korupsi yang sedang terjadi di Indonesia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh KPK pada tahun 2011 terdapat tiga besar (modus) kasus korupsi yang mendapatkan perhatian masyarakat paling besar yaitu kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, kasus Bank Century, serta kasus Wisma Atlet yang melibatkan Nazaruddin. Kasus korupsi lain yang menjadi perhatian sebagian kecil responden adalah kasus penyuapan yang melibatkan Arthalita Suryani, Kasus Bank Indonesia yang melibatkan Aulia Pohan, Kasus BLBI, Kasus korupsi APBD di sejumlah daerah, Kasus kriminalisasi KPK yang melibatkan pimpinan KPK, dan kasus yang melibatkan Anggodo serta kasuskasus korupsi lain di daerah di mana responden berdomisili.11 Hal tersebut semakin menunjukkan bahwa masyarakat menaruh perhatian besar terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di 11
Laporan Survey Persepsi Masyarakat Tentang Korupsi dan KPK. Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. 2011, hlm. 9. http://acch.kpk.go.id/survei-persepsi-masyarakat-tentangkorupsi-dan-kpk
5
Indonesia. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa masyarakat menganggap korupsi suatu hal yang lumrah terjadi. Dalam survey yang sama, masyarakat diberikan pertanyaan apakah korupsi merupakan suatu hal yang lumrah (lazim) di indonesia? Hasil survey tersebut mengejutkan. Sebanyak 92,1% responden menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu hal yang lazim terjadi, kemudian 6,6% responden menyatakan sebaliknya dan 1,3% responden menyatakan tidak tahu.12 Hasil survey tersebut dapat dibandingkan dengan hasil survey yang berlangsung di Hongkong pada tahun 2005-2008. Survey tersebut juga memberikan pertanyaan yang sama yakni mengenai persepsi masyarakat tentang kelaziman korupsi. Seperti yang terlihat pada Tabel berikut. Tabel tersebut menunjukkan secara tidak langsung keberhasilan upaya-upaya pemberantasan korupsi di Hongkong dalam hal ini Independent Comission Against Corruption (ICAC) sehingga dapat mengubah persepsi kelaziman korupsi. Jika tahun 2005 responden yang menyatakan korupsi sebagai suatu hal yang tidak biasa berjumlah 67,6%, pada tahun 2008 jumlahnya meningkat menjadi 71,2%. Walaupun kemudian terjadi penurunan di tahun 2009 menjadi 59,90%, namun kemudian kembali meningkat menjadi 71% di tahun 2010.13
12 13
Ibid. Ibid. hlm. 10
6
Tabel 1 Respon Masyarakat Hongkong Terhadap Kelaziman Korupsi 2005-2010 (%) No Respon 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1.
Ya
29,1
33,7
28,8
28,6
30,9
20,9
2.
Tidak
67,6
65,4
68,8
71,2
59,9
71,0
3.
Tidak Tahu
3,3
1,0
2,6
0,2
9,2
8,1
Sumber: Independent Comission Against Corruption (ICAC) Annual Survei 2010, sebagaimana dikutip oleh laporan survey persepsi masyarakat tentang korupsi dan KPK.
Perbandingan
antara
Hongkong
dan
Indonesia
paling
tidak
memberikan gambaran mengenai perbedaan persepsi yang terjadi di antara masyarakat Indonesia dan Hongkong. Mayortas masyarakat indonesia menganggap korupsi sebagai suatu hal yang lazim terjadi, sedangkan masyarakat Hongkong dewasa ini lebih berpikiran maju sehingga menganggap bahwa korupsi bukanlah suatu hal yang lazim. Kejahatan yang termasuk kategori white collar crime ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tidak hanya itu, tindak pidana korupsi juga telah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi, jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Peningkatan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia membuat pemerintah memberikan respon dengan terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal pengaturan tentang tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat
7
terlihat melalui perundang-undangan korupsi yang telah mengalami beberapa kali perubahan maupun pergantian. Dimulai dari Perpu No. 24/Prp/1960 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 24/1960 (Era Orde Lama), UU No. 3/1971 (Era Orde Baru) yang menggantikan UU No. 24/1960, yang kemudian diganti lagi dengan UU No. 31/1999 (Era Reformasi), hingga revisi terakhir melalui UU No. 20/2001. Tidak hanya dalam perundang-undangan nasional, sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi, Indonesia juga turut berpartisipasi dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi
tahun
2003
(United
Nations
Convention
Against
Corruption/UNCAC). UNCAC atau yang sering disebut Konvensi PBB anti korupsi merupakan suatu Konvensi anti korupsi yang mencakup ketentuan-ketentuan kriminalisai, kewajiban terhadap langkah-langkah pencegahan dalam sektor publik dan privat, kerjasama internasional dalam penyelidikan dan penegakan hukum,
langkah-langkah
bantuan
teknis,
serta
ketentuan
mengenai
pengembalian asset. 14 UNCAC ini memuat delapan bagian (chapter) yakni, Chapter I General Provisions Chapter II Preventive Measures, Chapter III Criminalization and Law Enforcement, Chapter IV International Cooperation (Articles 43-50), Chapter V Asset Recovery, Chapter VI Technical Assistance and Information 14
Lucinda A. Low Partner, Steptoe & Johnson LLP. The United Nations Convention Against Corruption: The Globalization of Anticorruption Standards. Conference of the International Bar Association International Chamber of Commerce Organization for Economic Cooperation and Development. “The Awakening Giant of Anticorruption Enforcement” London, England 4-5 May 2006. hlm. 3
8
Exchange, Chapter VII Mechanisms for Implementation and Chapter VIII Final Provisions. Konvensi ini dirumuskan pertama kali di Merida, Meksiko pada tanggal 9-11 Desember 2003, tepat pada 18 April 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menandatangani UU No 7 Tahun 2006 sebagai tanda ratifikasi UNCAC.15 UNCAC memiliki maksud dan tujuan umum, yaitu untuk memajukan dan meningkatkan/memperkuat tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif; untuk memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam mencegah dan memerangi korupsi, terutama pengembalian aset; serta meningkatkan integritas dan akuntabilitas dan manejemen publik dalam pengelolaan kekayaan negara.16 Arti Penting Ratifikasi UNCAC bagi Indonesia: 1. Meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil korupsi yang ditempatkan di luar negeri. 2. Meningkatkan
kerjasama
internasional
dalam
mewujudkan
tata
pemerintahan yang baik. 3. Meningkatkan kerjasama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi,
bantuan
hukum
timbal
balik, penyerahan
narapidana,
pengalihan proses pidana, dan kerjasama penegakan hukum.
15
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4daeb43d3eee3/rapor-biru-implementasi-uncacindonesia. Diakses tanggal 22 oktober 2013 16 Kerangka Acuan Seminar Sehari Sensitisasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC), Stranas PPK dan Inpres No. 1 Tahun 2013 di Indonesia. Jakarta, 7 November 2013. hlm. 2
9
4. Mendorong terjalinnya kerjasama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidan korupsi di bawah payung kerjasama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral. 5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.17 Terdapat suatu hal baru pasca diratifikasinya UNCAC, yakni dimasukkannya rumusan trading in influence yang tercantum dalam article 18 UNCAC. Bagi dunia, khususnya bagi negara-negara di Eropa, tindak pidana trading in influence sudah bukan hal yang baru karena mereka telah terlebih dahulu membuat konvensi anti korupsi yang disebut the Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption yang disahkan pada tahun 1999. Konvensi ini juga memuat ketentuan mengenai trading in influence yang tercantum dalam article 12. Beberapa negara di dunia bahkan telah memberikan pengaturan terhadap tindakan trading in influence. Negara-negara tersebut antara lain Prancis, Italy, Spanyol, Belgia, Canada, termasuk juga Amerika Serikat. Beberapa negara tersebut bahkan memiliki penyebutan yang berbeda-beda terhadap trading in influence. Canada dan Spanyol menyebut trading in influence dengan sebutan influence peddling, di Italy dikenal dengan sebutan illicit traffic of influence, di Amerika khususnya dalam hukum negara bagian Washington dikenal dengan sebutan trading special influence. 17
Undang--‐Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), Penjelasan Umum huruf B, L.N. Tahun 2006 No.32 T.L.N. No.4620.
10
Hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia, yang mana di Indonesia belum terdapat pengaturan yang jelas mengenai tindakan trading in influence. Bahkan pasca ratifikasi UNCAC, Indonesia belum pernah sekalipun melakukan revisi maupun pergantian terhadap Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, berdasarkan uraian latar belakang diatas peneliti kemudian tertarik ingin melakukan penelitian terhadap permasalahan ini. Adapun judul yang peneliti angkat terkait dengan permasalahan ini ialah “Penerapan Trading in Influence dalam UNCAC Terhadap Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang peneliti angkat berdasarkan uraian latar belakang diatas ialah sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaturan trading in influence di beberapa negara didunia?
2.
Apakah tindakan trading in influence dalam UNCAC dapat diterapkan dalam RUU PTPK di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini ialah: 1.
Untuk mengetahui pengaturan trading in influence di beberapa negara didunia.
2.
Untuk mengetahui apakah tindakan trading in influence dalam UNCAC dapat diterapkan RUU PTPK di Indonesia. 11
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin didapat setelah melaksanaan penelitian ini ialah: 1.
Manfaat teoritis Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal tindak pidana trading in influence. Peneliti berharap penelitian ini nantinya menjadi titik terang bagi perdebatan-perdebatan mengenai penerapan tindak pidana trading in influence yang terhalang oleh asas legalitas.
2.
Manfaat praktis Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini ialah dapat memberi masukan serta sudut pandang baru bagi aparat penegak hukum dalam menghadapi tindak pidana trading in influence yang terjadi di Indonesia. Peneliti berharap kedepannya aparat penegak hukum mengetahui langkah yang seharusnya diambil dalam menangani tindak pidana ini. Sehingga tidak terjadi kebingungan serta keragu-raguan pada aparat penegak hukum.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan di perpustakaan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada peneliti sama sekali tidak menemukan
satupun
penelitian
yang
mengangkat
judul
tesis
dan
permasalahan mengenai tindak pidana trading in influence ini. Akan tetapi, peneliti menemukan beberapa karya tulis baik skripsi maupun tesis yang
12
sedikit berkaitan dengan permasalahan yang diangkat, yaitu tentang tindak pidana korupsi secara umum. Beberapa diantaranya ialah sebagai berikut: 1.
“Kriminalisasi
Konsep
Illicit
Enrichment
Sebagai
Alternatif
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Pada Kasus Korupsi Di Indonesia” yang ditulis oleh Herman Abdurrahman.18 Rumusan Masalah Skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Mengapa kriminalisasi konsep illicit enrichment merupakan alternatif yang penting untuk di adopsi di Indonesia sebagai salah satu cara untuk mencegah dan memberantas praktek korupsi? b. Bagaimana teori serta kerangka hukum yang berkembang dari konsep illicit enrichment di beberapa negara dalam menanggulangi kasus korupsi? c. Bagaimana kelebihan dan kekurangan digunakannya konsep serupa illicit enrichment yang terimplementasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini ialah bahwa illicit enrichment adalah salah satu alternatif pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi khususnya mengenai pemilikan kekayaan yang tidak wajar oleh penyelenggara negara. Konsep ini juga telah diterapkan dibeberapa negara dan telah banyak catatan keberhasilan yang diperoleh.
18
Herman Abdurrahman, 2013, Kriminalisasi Konsep Illicit Enrichment Sebagai Alternatif Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Pada Kasus Korupsi Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
2.
“Dualisme penuntutan tindak pidana korupsi antara Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan tindak pidana Korupsi” yang ditulis oleh Edi Yuhermansyah”.19 Rumusan masalah dalam tesis ini ialah sebagai berikut: a. Bagaimana dualisme penuntutan tindak pidana korupsi antara Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam perspektif penegakan hukum pidana? b. Bagaimana seharusnya pengaturan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dimasa mendatang? Kesimpulan dari thesis ini ialah sebagai berikut: a. Keberadaan kejaksaan yang telah dulu memiliki kewenangan dalam hal penuntutan tindak pidana korupsi, kemudian munculnya KPK sebagai lembaga baru yang mempunya peran yang sama dengan kejaksaan dalam hal melakukan penuntutan tindak pidana korupsi bukanlah suatu kesalahan. Apabila dilihat dalam regulasi peraturan perundang-undangan masing-masing lembaga akan terlihat tugas dan wewenang masing-masing lembaga terhadap penanganan tindak pidana korupsi.
19
Edi Yuhermansyah, 2010, Dualisme penuntutan tindak pidana korupsi antara Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan tindak pidana Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
b. Untuk saat ini dan beberapa tahun yang akan datang, keberadaan KPK mesti dipertahankan dengan segala tugas dan wewenang yang dimilikinya khususnya dalam hal penuntutan tindak pidana korupsi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah peneliti meneliti tentang penerapan tindak pidana trading in influence di Indonesia sedangkan penelitian di atas meneliti tentang illicit enrichment dan Dualisme penuntutan tindak pidana korupsi antara Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan tindak pidana Korupsi. Hal yang menjadi fokus penelitian peneliti jelas berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan diatas sehingga penelitian yang dilakukan peneliti adalah asli.
15