BAB I PENDAHULUAN
A. Pengantar Fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan yang terjadi pada akhir-akhir ini semakin menunjukkan kompleksitas masalah sosial. Dalam gejala yang ditunjukkan seringkali penyebab utama dari hadirnya sebuah masalah adalah faktor ekonomi, sosial dan budaya. Mulai dari perbedaan suku-ras yang menyebabkan perang kecil diantara warga pribumi dengan pendatang, stratifikasi sosial yang seringkali berimbas pada kecemburuan sosial yang memancing orang melakukan aktivitas di luar normanorma adalam kehidupan masyarakat, sampai pada persoalan kemiskinan sebagai akibat dari rendahnya tingkat perekonomian individu maupun kelompok. Baiklah, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor yang dapat dijadikan alasan untuk mengidentifikasi sebuah masalah, namun sepakat ataupun tidak gejala tersebut menunjukkan lebih seringnya masalah sosial yang hadir lantaran faktor ini. Impllikasinya berbeda-beda dari satu kasus dengan kasus yang lain tentunya. Sebagai upaya preventif maupun rehabilitatif dari berbagai persoalan sosial yang hadir dalam kehidupan sosial masyarakat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Namun lebih khusus dalam hal ini adalah ingin menjelaskan kedudukan agama dalam kehidupan masyarakat.
Dengan berangkat pada manusia sebagai homo
religious, makhluq agama yang tak tersembuhkan, dimana agama dianggap sebagai
1
perantara keselamatan, kebahagiaan, serta kekuatan untuk mengatasi berbagai persoalan yang dianggap sulit. Hal tersebut yang kemudian menjadi fokus kajian penelitian yang terkenal
sampai dengan saat ini, yang menjadi rujukan bagi
perkembangan-perkembangan ilmu-ilmu sosial era modern ini, bagaimana agama Protestan „memainkan‟ peran dalam perkembangan masyarakat industri-sebagai upaya peningkatan ekonomi masyarakat Jerman pada waktu itu. Penelitian yang dilakukan oleh Weber dengan mengkomparasi masyarakat Protestan dengan masyarakat Katolik yang memiliki perbedaan-perbedaan dalam menjalani rutinitas kehidupan sosial-ekonomi. Mengacu pada penelitian yang dilakukan pada awal abad 19 ini, pada kesempatan ini peneliti juga menitikberatkan fokus kajian pada persoalan agama dengan mengambil study emperis pada upaya eksplorasi energi yang ternyata juga di inisiasi oleh sebuah pesantren, sebagaimana yang terjadi pada perkembangan masyarakat industri yang sejalan dengan perkembangan institusi gereja. Penelitian ini berjudul “Etika Agama Dalam Etos Eksplorasi Energi, Studi Mengenai Spirit Pesantren dan Pengelolaan Industri Pada Pengembangan Energi Baru-Terbarukan Berbasis Bahan Bakar Nabati Nyamplung”. Pemilihan judul tersebut dengan beberapa alasan dan pertimbangan baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis tentunya memiliki keterkaitan dengan bidang ilmu yang ditekuni peneliti, yakni Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Aspek lain yang menjadi pertimbangan adalah aspek orisinilitas dan aktualitas. Sementara pada tataran
2
praktis berkaitan dengan akses terhadap objek penelitian. Secara lebih rinci, alasanalasan yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Judul tersebut memiliki keterkaitan dengan ilmu yang dimiliki oleh peneliti, yakni
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan.
Studi
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan yang lahir dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pembahasan mengenai etika dan etos menjadi bagian dari pengajaran ilmu sosial dasar dalam konteks pranata sosial. Etos sebagai bentuk perilaku dari etika yang diajarkan, terangkum dalam materi ketenagakerjaan sementara aktivitas pengembangan energi berbasis komunitas pesantren sebagai bagian yang dapat dilihat dari aspek pemberdayaan berbasis komunitas. 2. Aspek orisinilitas. Sebuah penelitian dikatakan memiliki aspek orisinilitas ketika
belum pernah diteliti oleh penelitian lainnya, atau sudah pernah dilakukan penelitian sebelumnya maka secara tegas harus dinyatakan perbedaannya. Banyak penelitian mengenai dunia kepesantrenan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Pesantren memang identik dengan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang berbasis keagamaan. Sebagai sebuah lembaga agama, maka tidak mengherankan apabila dalam kesehariannya melakukan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Pengkajian-pengkajian atas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Banyak penelitian yang berusaha mengungkapkan kondisi pesantren dengan lebih dekat dari berbagai sisi, seperti yang dilakukan oleh Hadori (2012), yang memaparkan secara psykologis kondisi seseorang yang disebut sebagai
3
santri dalam lingkup lembaga yang bernama pesantren. Penelitian lain tentang pesantren diantaranya mencoba menggambarkan kondisi santri-santri dalam skala kesehatan sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahjoedi (2008), bahwasanya seorang santri lebih rentan terkena penyakit dikarenak berbagai faktor salah satunya adalah kondisi ekonomi.
Penelitian lanjutan terkait dengan kondisi
ekonomi di dunia pesantren pun banyak yang mencoba memaparkan dalam berbagai hasil penelitian.
Wahban (2007) memaparkan tentang keberadaan
lembaga syariah yang mendapatkan respon berbeda dari umat Islam sendiri. Pada penelitian ini lebih menitik beratkan pada kondisi lembaga syariah yang sedikit banyak membantu kondisi ekonomi masyarakat dikarenakan sesuai dengan kultur masyarakat setempat. Lain dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ma‟mun
(2006) tentang keberadaan kaum perempuan dalam tradisi kepesantrenan yang melakukan aktivitas produksi. Kesimpulan dalam penelitian ini menyebutkan bahwa aktvitas produksi perempuan akan membantu kesejahteraan keluarga, dimana dalam konteks ini keberadaan perempuan yang bekerja dipengaruhi oleh tindakan ibu nyai yang merupakanrefleksi kekuasaan gender atas kyai dan nyai. Dan masih banyak lagi penelitai terkait dengan dunia pesantren. Sampai pada sebuah penelitian yang mencoba menggambarkan relasi pesantren dengan masyarakat di luar komunitas pesantren itu sendiri. Beberapa hal terkait dengan hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dikaji oleh Suhadi (2005) terkait relasi kuasa yang dimiliki oleh elit-elit agama dengan masyarakat lokal dalam membuat sistem yang
harmoni atas keberadaan aktivitas produksi.
4
Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Amilia di tahun 2003 dengan mengambil lokasi di Bojonegoro terkait kepemimpinan Kyai. Penelitian lebih jauh terkait dengan pesantren dan pemberdayaan pernah dilakukan oleh Sriharini, tentang perbedaan pola kepemimpinan kyai yang mempengaruhi karakter masing-masing pesantren dalam hal pemberdayaan masyarakat, dengan mengkomparasikan antara pesantren yang konvensional dengan gaya kepemimpinan pesantren yang modern
yang pada akhirnya menjadikan pesantren sebagai lembaga sosial
kemasyarakatan sekaligus lembaga keagamaan. Apa yang disebutkan oleh Sriharini dengan pemberdayaan adalah pemberdayaan yang dilakukan oleh pesantren dalam lingkup pesantren itu sendiri, dan tidak mencangkup dengan aktivitas di luar aktivitas yang ada di pesantren. Penelitian tentang interpretasi nilai-nilai agama dilakukan oleh Nope ( 2008) dalam akulturasi agama dan budaya, lebih banyak berbicara soal keberadaan agama dalam ritual-ritual budaya setempat. Misalnya dalam pemotongan tali pusar dan lain sebagainya. 3. Aspek aktualitas. Dalam kondisi sosial kemasyarakatan dengan arus perubahan yang
sudah sangat sulit diprediksi arahnya, pembahasan mengenai persoalan etika dan etos menjadi sangat penting. Sebagai upaya untuk „mengingatkan‟ kembali berbagai aturan-aturan, norma yang diyakini untuk kebaikannya sehingga dapat menjalani kehidupan yang lebih seimbang. Selain hal tersebut, aspek aktualitas adalah terkait dengan objek penelitian yang berupa pengembangan energi baru-terbarukan dimana
5
dalam konteks kehidupan yang serba sulit berupa keterbatasan sumber-sumber energi dengan kondisi alam yang semakin enggan bersahabat, memberikan tawaran berupa energi hijau ramah lingkungan yang perlu diberikan apresiasi. 4. Sesuai dengan analisis KUWAT. Peneliti melihat adanya kesempatan, uang, waktu
juga tenaga yang dibutuhkan untuk penelitian ini masih mampu dijangkau oleh penulis dengan bantuan dari berbagai pihak juga relasi yang sudah terbangun diantara nara sumber, sehingga bisa memudahkan penulis melakukan penelitian ini. Berangkat dari berbagai bekal yang sudah disampaikan di atas, maka satu persatu akan diurai dalam bagian demi bagian. Bagian pertama dari laporan karya ilmiah ini berusaha memaparkan fenomena yang diamati peneliti, dilanjutkan dengan tujuan dari dilaksanakan penelitian dengan diakhiri oleh kerangka pemikiran sebagai landasan dasar menganalisa fenomena yang dipaparkan. B. Permasalahan Sekarang kita tahu bahwa penduduk dunia sama-sama menyadari paling tidak ada terancam pada dua hal, dimana dua hal tersebut sangat vital untuk keberlangsungan hidup yang sejahtera. Pertama, hampir disadari oleh sebagian besar penduduk dunia bahwa mereka akan mengalami kelangkaan pangan. Hal pemicu utama adalah karena perubahan iklim serta tingginya angka pertumbuhan penduduk. Sebagaimana sudah dinyatakan oleh Malthus terkait kelangkaan pangan ini. Indonesia tentu akan dipandang sebagai surganya dunia karena potensi alamnya yang begitu banyak. Ke dua, pokok persoalan yang ditakuti penduduk dunia yakni
6
habisnya sumber-sumber energi fosil. Bagaimana tidak, persoalan energi merupakan persoalan yang mendunia dikarenakan semua negara membutuhkan energi dalam aktivitas kesehariannya. Keberadaan energi merupakan sebuah kebutuhan vital bagi semua negara dikarenakan dari energilah aktivitas produksi akan dijalankan. Sehingga ketakutan akan kelangkaan energi menjadi sebuah hal yang nyata bagi dunia dan termasuk Indonesia. Begitulah energi menjadi sebuah komoditas bagi sebuah negara. Ketakutan akan kelangkaan energi menjadikan pemerintah sebagai pelaksana organisasi tertinggi masyarakat membuat kebijakan khusus dalam rangka penjagaan sumbersumber energi yang tidak dapat diperbaharui. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga melakukan upaya-upaya dalam pencarian sumber-sumber energi baru terbarukan baik yang bersifat nabati maupun yang bersifat non-nabati. Wujud nyata dari upaya pemerintah tersebut adalah diimplementasikan program-program yang menunjang eksplorasi energi terbarukan melalui program Desa Mandiri Energi (DME) yang akan terus digulirkan sampai mencapai 3000 DME di seluruh Indonesia pada tahun 2014 dengan segala variasi energi (Renstra DME: 2009-2014). . Tidak terlepas juga dengan keberadaan sekelompok masyarakat yang melakukan aktivitas eksplorasi energi baru-terbarukan berbasis Nyamplung, dengan usaha sendiri melakukan aktivitas produksi sehingga mencapai titik keekonomian. Semangat pengembangan pun tidak berhenti pada penemuan bahan bakar nabati berbasis Nyamplung yang sudah mencapai nilai keekonomian, namun juga
7
melakukan usaha produksi aneka barang sebagai substitusi economic cost dalam pengembangan energi baru terbarukan adalah diinisiasi oleh pesantren Amumarta. Di Indonesia sendiri sudah terdapat ribuan jumlah pesantren. Keberadaannya bahkan sudah ada sejak zaman kekuasaan Hindhu-Budha sehingga „melanjutkan‟
dengan
mengIslamkan
lembaga-lembaga
Islam hanya
yang
sudah
ada
(Madjid,1997:34). Banyak penelitian mengenai dunia kepesantrenan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Pesantren memang identik dengan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang berbasis keagamaan. Sebagai sebuah lembaga agama, maka tidak mengherankan apabila dalam kesehariannya melakukan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Selain karena tradisi yang melekat dalam tubuh pesantren itu sendiri, dalam perkembangannya sebuah pesantren juga mengambil peran tersendiri dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya. Dalam pendekatan historigraf, menarik untuk menyimak pendapat Taufik Abdullah, untuk melihat sebuah pesantren setidaknya dapat dilihat dalam tiga hal, yakni pertama aspek internal pesantren, kedua, aspek jalinan mata rantai pesantren, dan ketiga, aspek hubungan dunia pesantren dengan lingkungan sekitar. Pesantren memiliki peran yang sangat potensial baik dalam bidang keagamaan, pendidikan, lingkungan, budaya dan tidak ketinggalan adalah sosial
kemasyarakatan
yang sekarang biasa
didengungkan
dengan
proses
pemberdayaan pesantren. Dalam perkembangannya, secara garis besar pesantren tersebut dapat dikategorikan dalam 3 bagian sebagaimana dalam tabel di bawah ini:
8
Tabel I.1 Karakteristik Pesantren NO
Karakteristik Pesantren
1
Pesantren Salaf
2
3
Pendidikan
Pesantren salaf atau biasanya disebut dengan pesantren tradisional merupakan lembaga pendidikan bidang agama Islam yang mempertahankan sistem pendidikan lama dengan pengajaran kitab kuning klasik sebagai inti pendidikan, ex: sorogan, bandongan, wetonan, dsb. Pesantren Kholaf Pesantren ini cenderung bersifat modern. Orientasi belajar mengadopsi sistem belajar klasik dan meninggalkan sistem tradisional, pesantren yang memasukkan pelajaran atau ilmu-ilmu umum dalam madrasah yang dikembangkannya. Kedudukan kyai sebagai koordinator pelaksana dan tidak jarang pesantren seperti ini bersifat yayasan dalam pengelolaannya. Pesantren Pesantren yang menggabungkan Komprehensif antara metode tradisional dan pengajaran modern; menerapkan pendidikan dan pengajaran kitab-kitab dengan metode sorogan dsb, namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan, termasuk keterampilan dan pendidikan kemasyarakatan. Sumber: diolah peneliti dari berbagai sumber
Sikap menghadapi modernisme Menolak sepenuhnya
Menerima sepenuhnya
Menerima modernisme selektif
secara
9
Menarik dicermati dalam pengamatan atas pilihan-pilihan pesantren menyikapi kemajuan dan tuntutan zaman salah satunya bagaimana peran lembaga keagamaan dalam melakukan perannya untuk dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat secara lebih luas. Sebagaimana dikutip Zubaidi (2007), dalam transformasi dunia pesantren menghadapi kemajuan zaman ada tiga, menolak sepenuhnya, menerima total dan menerima dengan selektif. Desa Wonokromo merupakan salah satu kantong basis pergerakan kaum santri di Yogyakarta. Setidaknya terdapat 20 pondok pesantren di desa ini. dari keseluruhan pesantren yang ada di desa ini, hampir semuanya masih menggunakan sistem pendidikan yang bersifat salafi atau tradisional (Bahruddin, 1999; Budiarni, 2005:11). Kehidupan pondok pesantren salafi cenderung bersifat amodernis terhadap perubahan zaman. Dengan dalih sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan tradisi, mereka biasanya mengacu kepada para pendahulu terutama Nabi yang menjadi panutan seluruh umat. Tidak jarang mereka dikatakan tradisional dan kuno. Aktivitasnya sekedar mempelajari ilmu agama dan tidak banyak terlibat dalam aktivitas di luar asrama apalagi dalam hal kemasyarakatan. Singkat kata interaksi komunitas pesantren dengan masyarakat sekitarnya sangat terbatas (ibid: 2004:83). Pesantren Amumarta bagian dari pesantren yang terdapat di desa Wonokromo ini, adalah pesantren yang mempelopori gagasan pengembangan energi nabati berbasis Nyamplung.
Bergerak
dengan
komunitas
pesantren,
berhasil
melakukan
pengembangan sampai menghasilkan titik keekonomian, berbasis riset teknologi,
10
dengan mengkomparasikan BBN tersebut dengan energi non-subsidi, dan juga mengembangkan semangat untuk dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum secara lebih luas melalui produk-produk samping sehingga harapannya dapat memberikan subsidi produksi (Kalamika, 2011:125). Apabila kita telaah lebih jauh, pesantren yang notabene berkecimpung dengan hal-hal yang berbau dengan agama, nyatanya mampu membangun hubungan dialetis yang mempertemukan tiga kepentingan sekaligus, mencangkup kontekstasi agama, konservasi alam melalui keseimbangan ekosistem serta pengembangan masyarakat yang berdampak peningkatan kesejahteraan melalui pendidikan dan peningkatan pendapatan. Pertanyaan selanjutnya adalah :bagaimana ke tiganya membangun hubungan yang dialektis, misalkan bagaimana sebuah agama (islam) bukan lagi bersifat sakral, tetapi mampu membangun sistem kehidupan ekonomi yang memiliki wawasan ekologis serta berkelanjutan secara sosial. Menarik dicermati mengenai semangat melakukan riset sendiri berbasis Bahan Bakar Nabati Nyamplung dan bagaimana pengelolaan industri yang dijalankan. Dari sekian banyak pesantren yang ada khususnya di desa Wonokromo, muncul pertanyaan dalam benak peneliti, mengapa pesantren Amumarta yang melakukan eksplorasi BBN Nyamplung ini, bukan pesantren lainnya? Tentu saja ini bukan sebatas persoalan benar atau salah sebuah lembaga keagamaan melakukan proses pemberdayaan dalam basis pergerakan ekonomi masyarakat. Namun, jauh lebih daripada itu semua adalah bagaimana memahami fenomena dari apa yang sudah
11
dilakukan oleh Pesantren Amumarta dan perubahan yang dilakukan oleh komunitas pesantren itu sendiri. Keunikan dan kekhasan apa yang dimilikinya sehingga menghasilkan suatu sikap hidup seperti di atas.
C. Rumusan Permasalahan Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berafiliasi pada agama Islam. Islam sebagai agama memberikan pedoman hidup bagi pemeluk yang meyakini dalam berbagai bidang kehidupan. Aspek kehidupan yang mencangkup akidah, ibadah, akhlaq sampai dengan hubungan sosial kemasyarakatan. Sumber ajaran dalam agama Islam tertu sudah tidak diragukan lagi, yakni AL-Qur‟an dan Al-Hadits. Dalam perkembangan zaman yang semakin kompleks tersebut, Islam juga menyediakan sarana ijtihad dan majlis-masjis Bahtsul Masail sebagai proses untuk lebih
memahami
teks
(nash)
yang
berupa
nilai-nilai
agama,
kemudian
dikontekstualisasikan dalam realitas sosial guna memecahkan masalah-masalah baru. Mengacu dalam pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tanpa adanya proses adaptasi nilai atau akomodasi kultur, sepertinya tidak mungkin melahirkan ide-ide baru yang merupakan faktor terjadinya proses perubahan di dalam tubuh pesantren itu sendiri. Hal itu mungkin dapat di lihat dari banyaknya pesantren yang dalam kesehariannya masih bersifat konservatif.
Peneliti mengasumsikan
bahwa terjadinya perubahan dikarenakan adanya sebuah proses „adaptasi‟ mainstrem
12
berfikir
sehingga dengannya inilah pesantren dan komunitas pesantren mau
menerima gagasan baru. Sebagaimana penelitian jauh sebelumnya terkait dengan hal tersebut, Weber pernah menjelaskan dalam bukunya, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, bahwa proses perubahan yang terjadi pada ekonomi di Barat, dengan melihat realitas yang berbeda dalam urusan bekerja antara masyarakat yang beragama katolik dengan protestan, adalah hasil dari reformasi teks yang dilakukan oleh para pemuka agama. Sehingga dari gagasan baru tersebut melahirkan etos bekerja dan spirit baru. Kondisi inilah yang menjadi landasan dalam memunculkan pertanyaan dalam penelitian ini: “Bagaimana Spirit Pesantren Membangun Komunitas (Masyarakat) Dalam Pengelolaan Industri Pada Eksplorasi Energi Baru Terbarukan Berbasis BBN Nyamplung? Pertanyaan tersebut kemudian diturunkan menjadi tiga pertanyaan turunan, meliputi: “Bagaimana pesantren menginterpretasi nilai-nilai agama (QS. AliImron 190-195, QS. Yaa Siin 80, QS. Al-An‟am , QS Ar-Rahman, dan beberapa Hadis) dan menjadi etos eksplorasi dalam usaha pengelolaan industri energi nabati berbasis Nyamplung? Setelah nilai tersebut terinterpretasi, pertanyaan selanjutnya adalah siapa pelaku produksinya, siapa yang menjadi „orang-orang terpilih‟, bagaimana orang-orang yang terlibat secara langsung dalam upaya eksplorasi BBN ini melakukannya? apakah implementasi di lapangan dalam proses managerial industri sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan?
13
D. Tujuan Penelitian 1. Studi ini mempunyai tujuan untuk mencari pemahaman, sebuah undangan untuk melihat sebuah fenomena sosial kemasyarakatan dalam hipotesa etika agama dalam etos eksplorasi energi dengan mengambil konteks energi baru terbarukan berbasis bahan bakar nabati ini. 2. Penelitian dalam tataran mikro memiliki tujuan untuk memperoleh gambaran praktik-praktik pengelolaan industri dalam ranah etika agama yang berlangsung pada komunitas pesantren kaitannya dalam proses eksplorasi bahan bakar nabati berbasis Nyamplung.
E. Definisi Konseptual dan Penelitian Terkait Studi ini menggunakan judul Etika Agama Dalam Etos Eksplorasi Energi, Studi Mengenai Spirit Pesantren dan Pengelolaan Industri Pada Pengembangan Energi Baru-Terbarukan Berbasis Bahan Bakar Nabati Nyamplung . Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara persoalan etika agama dalam hal ini adalah agama Islam dan dikaitkan dengan keberadaan etos dalam proses eksplorasi energi. Penelitian ini mengambil fokus kepada spirit yang dimiliki oleh sebuah pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam upaya eksplorasi energi berbasis pengelolaan industri Bahan Bakar Nabati Nyamplung berbasis eksplorasi energi terbarukan.
14
Pembahasan pertama terkait dengan etika, dalam berbagai sesi para pakar sudah mendefinisikan apa yang disebut dengan etika itu sendiri. Etika menurut Hamzah Ya‟qub (1983) merupakan ilmu yang berfungsi untuk menyelidiki mana yang baik dan buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal. Sementara pendapat Burhanudiin Salam, etika adalah ilmu yang mempelajari masalah atau tingkah laku manusia mana yang dapat dinilai baik dan dinilai jahat. Tetapi dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan etika secara terminologis adalah serangkaian studi yang sistematis yang membahas tentang konsep nilai, baik, buruk, benar-salah, dan sebagainya sebagai prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannya atas apa saja. Intinya adalah etika sebagai dasar moral bagi seseorang melakukan sesuatu. Etika agama berarti melaksanakan sesuatu dasar moral yang digunakan berdasarkan kepada nilai-nilai agama yang diyakini, Islam. Hal itu sebenarnya sejalan dengan pemahaman etika yang dikemukakan oleh Louis O Kattsoff yakni yakni sebuah cabang aksiologi yang membicarakan masalah predikat nilai benar (righ) atau salah (wrong) dalam arti susila dan tidak susila ( Kattsoff: 1996: 349). Kemudian etos yang berasal dari kata ethos merupakan tindakan atas karakter istimewa yang merupakan tabiat, moral atau keyakinan. Apabila ditarik sebuah garis merah, maka kesemuanya merupakan satu garis linier bahwasanya tindakan seseorang dilandasi oleh serangkaian aturan nilai yang melingkupi. Tindakan tersebut kemudian terwujud dalam sebuah spirit, yakni semangat menjalankan sesuatu karena dorongan nilai yang diyakini, dorongan nilai agama. Spirit merupakan keseluruhan yang meliputi jiwa, semangat, dan
15
keberagamaan yang mempengaruhi kualitas hidup dan kehidupan seseorang. Dalam ensiklopedia Americana dijelaskan bahwa yang disebut dengan spirit kadang berkaitan dengan aliran filsafat manusia, lawan dari materialism, kadang juga digunakan untuk merujuk kepada sebuah sekte agama, atau kelompok umat beragama yang menekankan doktrin-doktrin. Semangat yang diyakini dan dilandasi oleh nilai tersebut kemudian diwujudkan dalam proses eksplorasi energi terbarukan pada pengelolaan industri oleh pesantren. Pengelolaan berarti serangkaian aktivitas mengatur sumber-sumber daya yang ada dalam lingkup industri, dalam hal ini merupakan aktivitas eksplorasi energi baru-terbarukan berbasis Bahan Bakar Nabati (BBN) berbahan baku Nyamplung. Konsep energi terbarukan mulai dikenal pada tahun 1970-an, sebagai upaya untuk mengimbangi pengembangan energi berbahan bakar nuklir dan fosil. Definisi energi terbarukan secara sederhana adalah sumber energi yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Macam atau sumber energi terbarukan di antaranya adalah tenaga matahari (surya), tenaga angin, energi panas bumi (geothermal), hidro sampai dengan energi nabati. Dengan kekayaan sumberdaya alam yang kita miliki, bukan merupakan sebuah keniscayaan bagi kita untuk menemukan dan mengembangkan sumber energi alternatif baru dan terbarukan. Bahan Bakar Nabati (BBN) adalah sumber energi yang diperoleh dari bahan-bahan terbarukan yang diproses sehingga dapat digunakan sebagaimana fungsi dari BBM yang kita tahu jenisnya bermacam-macam mulai dari minyak tanah,
16
bensin, dan solar. Bahan dasar pembuatan BBN inipun bervariasi mulai dari jarak pagar, singkong, sorghum, kelapa, dan Nyamplung. Perbandingan makro dari masing-masing sumber energi terbarukan, bahan bakar terbarukan berbasis Nyamplung lebih kompetitif dibanding bahan bakar lainnya Nyamplung yang dalam bahasa latinnya dikenal sebagai Calophyllum inophyllum adalah tanaman endemik menyebar dari Afrika Timur, pantai selatan India sampai ke Melanesia dan Australia. Pohon ini sering dijumpai di daerah pesisir yang berpasir dan juga di dataran. Namun demikian dibuktikan bahwa pohon Nyamplung tumbuh dengan baik di daerah jauh dari pesisir hingga ketinggian 500 meter dpl. Nyamplung mempunyai toleransi yang tinggi terhadap berbagai jenis tanah mulai pantai berpasir, tanah liat dan bahkan di lahan kritis. Nyamplung sangat baik bagi pelestarian lingkungan untuk pencegahan abrasi dan penghambat gelombang Tsunami karena mempunyai akar tunggang yang kuat dan panjang. Akarnya dapat mencapai lebih dari 7 meter dibawah permukaan tanah. Karena itu Nyamplung juga sangat baik untuk konservasi air. Pohon Nyamplung (calophyllum inophyllum) tumbuh diseluruh kawasan katulistiwa dengan rentang di Selatan mulai dari kepulauan Samoa hingga kepulauan Hawaii di sebelah utara. Pohon ini secara tradisi ditanam untuk diambil kayunya, setelah berumur 15 tahun. Kayu pohon Nyamplung sangat kuat biasa dipakai untuk bahan pembuatan kapal kayu, tiang listrik, maupun dayung dan stick golf. Saat ini pohon Nyamplung tersebar di kawasan hutan dan bukan hutan Selain dimanfaatkan kayunya, pohon Nyamplung digunakan sebagai pemecah angin di daerah pantai maupun untuk memperbaiki struktur tanah. Pohon-pohon Nyamplung dengan usia yang cukup tua di
17
daerah kering Gunung Kidul terbukti dapat merubah kawasan tersebut menjadi memiliki mata air yang saat ini sangat bermanfaat bagi penduduk sekitarnya. Saat ini pohon Nyamplung atau sejenisnya yaitu Kosambi atau Bintaro digunakan sebagai pohon peneduh jalan pengganti Akasia. Pohon Nyamplung mampu merubah CO2 menjadi O2 setara dengan Akasia namun tidak mudah tumbang bila terjadi angin kencang pada musim penghujan. Masa berbuah pohon Nyamplung dimulai pada umur 6 tahun. Usia produktif berbuah mulai dari 10 hingga 50 tahun. Pada usia produktif rata-rata menghasilkan 50 kg/tahun/pohon. Setiap hectar pada usia produktif menghasilkan 20 ton buah pertahun atau setara dengan 4 ton biodiesel (+/4500 ltr). Penelitian terkait dengan energi baru terbarukan berbasis Nyamplung, dalam aspek keilmuan sosial sudah pernah saya tulis dalam skripsi saya yang berjudul : “Desa Mandiri Energi Berbasis Nyamplung Di Indonesia, Antara Pengelolaan Dengan Intervensi Negara dan Pengelolaan Secara Mandiri Masyarakat”. Dalam penelitian saya tedahulu, mencoba menjelaskan keberadaan program Desa Mandiri Energi khususnya yang berbasis energi nabati berbahan dasar Nyamplung di Indonesia. Sebanyak 3 desa menjadi project area pengembangan Desa Mandiri Energi berbasis Nyamplung di Indonesia tersebut berada di Kabupaten PurworejoJawa Tengah, Kabupaten Banyuwangi-Jawa Timur dan Kabupaten Kebumen-Jawa Tengah. Dari ke tiga area pengembangan eksplorasi Nyamplung menjadi bahan bakar
18
nabati tersebut menunjukkan bahwa teknologi yang diberikan pemerintah sebagai bantuan untuk mengolah biji Nyamplung dalam kondisi mangkrak. Terkait dengan penelitian yang berkaitan dengan etika dan spirit kerja sendiri sudah banyak. Seperti yang dilakukan oleh Supraja (2009), yang meneliti tentang keberadaan kaum pebisnis pada masyarakat Mlangi keterkaitannya dengan Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah. Dalam penelitian ini cenderung melihat aktivitas bisnis yang didorong dari aktivitas keagamaan seperti tirakat-tarekat dengan baiat dan segala amalan-amalannya. Qadir (2002) juga pernah melakukan penelitian terkait denan agama dan etos dagang di daerah Klaten – Jawa Tengah. Dalam penelitian ini cenderung melihat secara historis perbedaan yang diwarnai dari organisasi keagamaan yang berada di sekitar lokasi usaha, seperti NU dan Muhammadiyah. Sita (2004) juga pernah memaparkan perilaku konsumtif yang didasari agama dituangkan dalam konsumerisme religi. Adapun terkait dengan beberapa penelitian yang mendukung penelitian ini dan berkaitan sebagai berikut: Tabel I.2 Penelitian Terkait Dengan Etika dan Etos Agama No Peneliti 1 Max Weber : The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905)
Topik Kajian Etika Protestan, Perkembangan ekonomidunia Barat,Perkembangan kapitalisme
Hasil Penelitian Penelitian ini menitikberatkan pada komparasi perilaku manusia yang dilandasi oleh nilai-nilai agama, khususnya antara Kristen Katholik dan Protestan. Etika protestan (Calvinis) mengajarkan semangat kebebasan dan etos individu telah menggerakkan penganutnya untuk bekerja keras dan menggapai keuntungan hidup sebanyak-banyaknya selama hidup di dunia dengan mengembangkan perdagangan dan melakukan berbagai kegiatan
19
2
Clifford Geertz: Penjaja dan Raja:Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di Indonesia (1977)
Organisasi Islam Modernis, Pengusaha Muslim dan Etos Kerja serta Perilaku Ekonomi kaum Reformis dan Puritan
3
Robert N. Bellah: Religi Tokugawa Akar-akar Budaya Jepang (1992)
Etos Kerja dalam Agama Tokugawa di Jepang, Kebangkitan Ekonomi Jepang.
4
Irwan Abdullah : The Muslim Bussiness Of Jatinom: Religius Reform and Economic Modernization In A Central Java Town (1994)
Peran Nilai Agama dalam perilaku ekonomi masyarakat Jatinom, Klaten.
5
M Sobary: Etika Islam:Dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial
Etika kaum Muslim dengan mengambil lokasi wilayah di Suralaya, sebagai catatan untuk karya Max Weber.
ekonomi produktif, yang pada akhirnya menciptakan spirit baru berupa spirit kapitalisme suci, dimana kerja merupakan hasil reformasi makna atas teks kitab suci, calling (beruf). Dari reformasi makna teks agama tersebut sebagai salah satu faktor yang mendorong terjadinya proses perubahan pada masyarakat Jerman. Penekanan terhadap kelompok santri modernis dalam melaksanakan aktivitas ekonomi, yang mana dalam hasil penelitian Geertz dipengaruhi oleh pemahaman nilai keagamaan santri, yang mana karakteristik santri mendukung untuk kemajuan aktivitas produksi. Karakteristik santri yang mendukung hal tersebut adalah kedisiplinan yang tinggi, sikap hidup yang tidak konsumtif, dan kesederhanaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan korelasi positif antara keberadaan agama tokugawa dengan kebangkitan ekonomi di Negara Jepang. Identifikasi ini bersumber dari pemahaman kelas Samurai yang meidentifikasi lahirnya etos ekonomi Tokugawa. Penelitian yang dilakukan oleh Irwan Abdullah memberikan kesimpulan bahwa dalam perkembangan aktivitas ekonomi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai agama. Namun demikian, keberhasilan yang dialami oleh para pedagang di Jatinom bukan saja dipengaruhi oleh agama saja, tetapi juga dipengaruhi oleh semangat juang melalui berdagang, serta solidaritas diantara para pelaku usaha. Ke dua, temuannya mengarah kepada agama membantu membentuk perilaku ekonomis masyarakatnya. Meskipun demikian perkembangan ekonomi masyarakat Jatinom juga ditentukan oleh peluang ekonomi serta sistem politik yang berlangsung. Dalam hal ini M. Sobary melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat Suralaya, yang mana menurutnya sedikit terdapat perbedaan antara agama yang di Barat (Protestan) dengan kaum Muslim yang ada di Suralaya. Sebagaimana argument yang dikembangkannya, apa yang terjadi di Negara Barat,
20
(2007)
6
dimana agama sebagai faktor yang turut menunjang keberhasilan melakukan proses perubahan ekonomi, sehingga memunculkan spirit dan berkembang menjadi sebuah sistem kapitalisme. Dalam objek penelitian Sobari, masyarakat setempat masih saja tidak banyak perubahan sebagaimana yang terjadi di Negara Barat, tidak banyak keuntungan ekonomis yang diperoleh karena dalam temuannya juga dijelaskan terdapat faktor struktur dan non-struktur. Supraja : Bisnis Fokus kajian juga Penelitian yang dilakukan oleh dosen Fisipol UGM dan Tarekat, masih seputar ini melihat korelasi antara agama dengan keberadaan Studi Tentang agama dan bisnis, bisnis yang berkembang di masyarakat Mlangi Kegiatan Bisnis tetapi dalam hal ini Yogyakarta. Bentuk agama dijalankan oleh Komunitas lebih ditekankan masyarakat Mlangi satu diantaranya adalah Tarekat pada bentuk tarekat. dibentuknya sebuah komunitas keagamaan dengan Qodiriyah segala bentuk ritual suci yang kemudian dikenal Naqsabandiyah, dengan nama tarekat. Penemuan Supraja juga Mlangi menjelaskan bahwa agama sebagai salah satu faktor Yogyakarta(2009) yang ikut andil dalam membentuk mentalitas masyarakat pebisnis di kawasan industri kecil Mlangi ini. Namun demikian, temuan lapangan yang dikemukakan oleh Supraja juga merambah kepada aspek modal sosial yang mendukung berjalannya aktivitas ekonomi. Sumber: diolah peneliti dari berbagai sumber Sampai dengan saat di tuliskan laporan ini, penulis belum mendapati penelitian terkait dengan spirit pengelolaan industri. Lebih khusus lagi dalam hal eksplorasi energi dengan mengambil basis energi baru-terbarukan berbasis energi nabati Nyamplung. Oleh karena itu garis besar penelitian ini adalah menggarmbarkan kedudukan agama yang mempengaruhi aktivitas komunitas pesantren, yakni etos eksplorasi energi yang diwujudkan dalam bentuk spirit pesantren dan pengelolaan industri energi baru terbarukan.
21
F. Kerangka Berfikir Agama dalam kehidupan manusia memiliki peran yang sangat penting. Sebagai Homo religius, manusia mengukur makna ke-diri-annya melalui agama. Dengan agama orang merasakan kebahagiaan, memiliki kekuatan untuk mengatasi berbagai kesulitan bahkan dengannya manusia akan merasa terselamatkan. Sifatnya yang instinktif dan transendental tersebut menjadikan persoalan agama dianggap tidak layak menjadi objek kajian dalam ranah ilmiah. Berbicara mengenai agama memang tidak mudah. Selain sifatnya yang sakral, disertai pula dengan ketidakrasionalan agama semakin rumit untuk dimengerti, namun bukan berarti tidak bisa dipahami. Agama selain sifatnya yang transedental, juga meliputi hal-hal praktis seperti perilaku, motivasi-motivasi, ritual-ritual keagamaan yang kesemuanya bisa diteliti. Gagasan tersebut semakin menguat dengan hadirnya berbagai penelitian. Salah satunya dan cukup terkenal bahkan sampai dengan sekarang adalah karya Max Weber, The Protestant Ethic and Spirit of
Capitalism. Gagasan utama yang
dikembangkan adalah agama memberikan pengaruh bagi kehidupan umat manusia terutama dalam mendukung kemajuan ekonomi. Dari karyanya tersebut banyak yang kemudian menganggap bahwa pemikiran-pemikiran Weber memberikan banyak sumbangsih dalam pengembangan sosiologi agama dan sosiologi ekonomi. Tesis yang dikembangkan Weber sebenarnya berangkat dari kehidupan masyarakat di negara Jerman yang memiliki karakteristik yang bersifat heterogen.
22
Dalam kesehariannya, Weber melihat bahwa orang-orang yang beragama Protestan jauh lebih maju dibandingkan dengan masyarakat yang beragama katolik. Orangorang protestan memegang peranan dalam berbagai hal terutama dalam penguasaan usaha seperti menjadi pemimpin perusahaan atau bahkan menjadi pemilik modal. Berangkat dari latar belakang fenomena yang diamati Weber, pada mulanya melihat bahwa orang Protestan adalah sebagai para pemilik modal dan bahkan menjadi para pemimpin bisnis. Tidak hanya itu saja, para karyawan yang memiliki skill lebih tinggi adalah orang-orang yang beragama protestan dengan tidak menutup mata terhadap realitas masyarakat yang memeluk agama katolik. Penjelasan atas realitas seperti ini adalah adanya perbedaaan mental dan spiritual yang dipengaruhi oleh lingkungan, dalam hal ini disebutkan sebagai bentuk pendidikan yang diwarnai oleh lingkungan keagamaan dari masyarakat dan orang tua. Faktor-faktor seperti inilah yang kemudian mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis pekerjaan yang ditekuninya sebagai karier profesional Hal itu yang kemudian mendorong Weber melakukan penelitian terkait dengan orang-orang protestan dan orang katolik lebih khusus adalah dalam persoalan internal dan historis eksternal terhadap ke dua agama itu (Taufik, 1988:6, Supraja, 2009:6). Persoalan internal mengenai agama yang menjadi fokus kajian Weber kaitannya dengan konsep keselamatan. Bukan menjadi hal yang luar biasa sebenarnya karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan hal yang sama. Dalam kajian yang dilakukan oleh Weber sendiri, keselamatan dapat dicapai dengan dua hal. Pertama,
23
apa yang disebut dengan „askese‟ duniawi. Pada tataran ini, manusia menjadikan kegiatan di dalam dunia sebagai bagian dari ibadah. Keselamatan seseorang dapat dicapai dengan mengalahkan aktivitas duniawi. Ke dua adalah mitisisme-bukanduniawi, mencari pelepasan pada penyatuan dengan Yang Hakiki, dengan membelakangi dunia dan menista segala keinginan, diri terlarut dalam kefanaan yang total (Supraja, 2009:7). Artinya adalah aksese-bukan-duniawi menekankan pada keselamatan yang dapat dicapai dengan mengalahkan segala keinginan dunia untuk kepentingan peribadahan. Sementara mitisisme-duniawi dalam keberadaannya dengan aktivitas duniawi berusaha mematikan segala keinginan duniawi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi yang lain. Mengenai persoalan takdir, Weber menganalisa atas berbagai doktrin dalam ajaran Protestan pada sekte Calvinis, Methodism, Pietisme, dan Sekte-Sekte Baptis. Jawaban yang diketemukannya pada Calvinis, menemukan visi humanitas yang suram sehingga takdir memainkan peran yang penting. Tidak ada orang yang tahu siapa yang akan dipilih Tuhan dan tidak ada yang bisa diperbuat atasnya karena sudah ditetapkan. Konsep yang demikian tentu saja menjadi sangat fatal karena dianggap mengabaikan kehidupan. Sehingga pilihannya adalah mendapat pengampunan ataukah mau menerima kutukan. Dengan justifikasi yang seperti ini, maka memunculkan sikap bagaimana kemudian manusia memposisikan dirinya dengan baik sebagai pelayan Tuhan. Ajaran Calvinis memuat ajaran aktivisme yang keras. Manusia seharusnya melayani Tuhan dengan merubah dunia sesuai dengan kehendak-
24
Nya dan ajaran tersebut mengarah aktivitas sistematis tanpa henti dari seorang penganut keyakinan yang diarahkan keluar, yakni terhadap institusi sosial yang ada. Etika Calvinis memperkenalkan pendekatan aktivisme untuk urusan duniawi , yakni dorongan pada keahlian memburu kebijaksanaan di mata Tuhan. Yang terpenting dari ajaran Calvinis adalah doktrin mengenai takdir. Doktrin tersebut kurang lebih berbunyi hanya beberapa orang yang terpilih yang bisa terselamatkan dari kutukan, dan pilihan itu sudah ditetapkan oleh Tuhan. Calvin sendiri mungkin bisa memiliki keyakinan bahwa dia akan terselamatkan, namun bagaimana dengan pengikutnya?
Weber
menjelaskan
sebagai
respon
balik,
dalam
ketidakmanusiawiannya yang ekstrim, doktrin ini memiliki konsekwensi yang besar bagi generasi yang menyerah pada konsistensi besar, perasaan kesendirian dalam hati yang belum pernah dialami sebelumnya. Dari kondisi seperti inilah memunculkan spirit kapitalisme. Di level pastor, terjadi perkembangan dalam dua hal: pertama, seseorang menjadi diwajibkan meyakini diri sendiri sebagai orang yang terpilih sehingga kurangnya keyakinan bisa dipandang sebagai indikasi kurangnya iman. Ke dua, dalam kaitannya dengan bekerja, maka bekerja merupakan sebuah bentuk usaha melayani tuhan. Konsep kerja atau panggilan yang melekat pada ajaran Calvinisme, bukan pada faham lainnya, didefinisikan sebagai sebuah panggilan suci. Mengenai konsepsi panggilan di sini lebih melekat pada orang-orang yang menganut agama Protestan dalam jumlah yang lebih banyak. Apa yang disebut dengan Beruf atau yang lebih
25
akrab dengan kata calling (panggilan) bukan sebuah kata yang lahir tanpa sengaja. Dalam penjelasnnya bahwa panggilan tersebut adalah hasil interpretasi dari yang terkandung dalam ajaran agama yang telah tertulis dalam kitab suci. Lebih jauh lagi, bisa ditunjukkan di sini bahwa hal itu bukanlah disebabkan oleh kekhasan etnis dari bahasa-bahasa yang dihubungkan. Hal ini bukanlah, misalnya, merupakan hasil dari semangat bangsa Jerman, akan tetapi dalam pengertian modern, kata tersebut berasal dari terjemahan kitab suci , melalui semangat penterjemahnya bukan dari apa yang tertulis dari aslinya (Weber, 1978:118). Apa yang terjadi dan kemudian dikatakan sebagai sebuah „reformasi‟ atas makna yang terkandung dalam kata panggilan, secara positif dimaknai dalam implementasi kehidupan dalam menjalankan rutinitasnya. Pemaknaan mengenai panggilan yang kemudian dikontekstualisasikan dalam kehidupan berupa pemenuhan tugas dalam masalah-masalah duniawi sebagai bentuk yang paling tinggi yang dapat diasumsikan oleh aktivitas-aktivitas moral dari individu. Hal tersebut yang diyakini memberikan pengaruh persoalan keagamaan dalam wujud aktivitas duniawi yang pada akhirnya menjadikan dogma bagi pemeluk agama Protestan. Berbeda dengan yang diyakini oleh masyarakat yang menganut agama Katolik, menganggap bahwa satu-satunya jalan yang dapat diterima oleh Tuhan adalah dengan tidak melampaui moralitas duniawi, hanya sebatas untuk memenuhi kewajibannya sebagai pribadi sesuai dengan kedudukannya. Selanjutnya Weber mengkomparasikan Calvinisme dengan Lutheranisme, Catholicisme,
dengan
maksud
menemukan
sesuatu
yang bersifat
khusus.
26
Lutheranisme, menekankan keyakinan dan kesatuan mistik pada tuhan, meskipun melemahkan unsur asketis dan aktivis, demikian juga halnya Catholicisme yang mengambil jalan yang kurang lebih sama. Faham Calvinis yang bersifat asketis tersebut memperlancar aktivitas ekonomi bahkan menekankan agar orang bisa bekerja keras. Pengumpulan kekayaan diperbolehkan selama diiringi dengan kerja keras dan tidak diperbolehkan untuk hal-hal yang bersifat malas-malasan. Perlu dicatat bahwa kerja untuk memupuk kekayaan atas nama Tuhan tidak dilarang selama tidak dipergunakan untuk melakukan perbuatan dosa (Supraja, 2009:9). Menurutnya, Tuhan memberikan berkah pada setiap usaha baik manusia. Artinya usaha yang dikenal dengan kerja tersebut diukur dengan berdasar pada moral. Sehingga bagi para pengikutnya meyakini bahwa mereka adalah agen yang dipilih oleh Tuhan. Kemewahan dilarang oleh faham Calvinism sehingga akumulasi modal harus digunakan untuk investasi baru. Inti dari apa yang digambarkan oleh Weber di sini adalah apa yang melatarbelakangi terjadinya aktivitas duniawi atau yang lebih dikenal dengan usaha manusia dalam bekerja adalah hasil dari justifikasi moral atas aktivitas-aktivitas keduniawian adalah sebuah pesan „reformasi‟ dalam pemaknaan atau penafsiran teks-teks kitab suci. Sebagaimana yang tertera dalam kitab suci yang diyakini oleh Luther sebagai tokoh reformis dalam hal ini. performa kerja yang baik dalam aktivitas duniawi menjadi media bagi keyakinan itu bisa ditunjukkan. Sehingga apa yang disebut dengan calling menjadi tanda, bukan alat, dalam menentukan seseorang
27
terpilih atau tidak. hal lain menjadi catatan penting adalah akumulasi kapital diperbolehkan sejauh itu didukung oleh kerja keras dan sungguh-sungguh. Sebaliknya, hal tersebut dilarang, akumulasi kekayaan dilakukan untuk menunjang kehidupan yang bermalas-malasan. Percaya kepada takdir merupakan hal yang penting, namun demikian percaya saja dianggap kurang cukup meyakinkan apakah seseorang dengan percaya takdir akan memperoleh keselamatan atau sebaliknya justru mendapatkan kutukan? Sehingga
dengan
hal
tersebut
diperlukan jaminan keselamatan. Sehingga
membutuhkan aktivitas yang disebut calling, yang merupakan panggilan suci atas nama Tuhan dengan jalan bekerja. Kerja sebagai sebuah panggilan suci hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang bersifat rasional. Bahkan dijelaskan bahwa orang yang tidak memiliki calling, dalam bekerja akan bersifat kurang sistematis, dan metodis dalam mewujudkan kerja kerasnya. Singkat kata adalah bekerja tidak bisa dipisahkan dengan konsep rasionalisasi. Oleh sebab itu, kerja adalah media yang dapat diupayakan manusia untuk mendapatkan keselamatan dan hanya bisa mencapai titik yang memuaskan bila dilakukan dengan cara-cara rasional, terorganisir, sistematis, sehingga hasilnya akan terukur dan dapat dikalkulasi.
Berdasarkan
dengan pemaparan diatas, terdapat beberapa kesamaan antara etika Protestan dengan spirit kapitalisme. Formasi pertukan ekonomi dapat dipahami dari aktivitas-aktivitas produksi. Akivitas produksi tersebut dipahami dari hubungan dialektis antara kekuatan
28
produksi dan hubungan-hubungan produksi. Mengutip karya Weber mengenai pabrik-pabrik modern, bahwa eksistensi sebuah pabrik-pabrik modern tidak mengarah pada mesin-mesin produksi namun berargumen bahwa sebuah pabrik modern tidak diciptakan oleh mesin namun tercipta karena disiplin para pekerja dikombinasikan dengan spesialisasi tehnis serta koordinasi dan aplikasi sumber tenaga non manusia (Weber, 1981:274). Dengan pernyataan dari Weber yang menyatakan bahwa keberadaan mesin industri bukan satu-satunya faktor keberhasilan dalam sebuah aktivitas produksi, namun terdapat aspek lain seperti kemampuan para pekerja dibantu dengan koordinasi yang baik antar pekerja, yang mana dalam hal tersebut sangat dipengaruhi oleh etos kerja yang dimiliki oleh pekerja itu sendiri. Dalam melaksanakannya harus dilakukan dengan cara yang rasional sehingga arahnya bisa terukur (Giddens:1985:180). Tindakan sosial menurut Weber dapat ditentukan oleh empat tipe orientasi, rasionalitas instrumental (zwekrationalitat), rasionalitas nilai (wertrationalitat), afeksi atau emosi, serta tradisi-tradisi. Tindakan rasionalitas instrument apabila tujuan, cara, serta hasilnya dapat diperhitungkan dan dipertimbangkan. Melibatkan cara-cara alternatif untuk mencapai tujuan, hubungan antara tujuan dengan konsekwensinya, serta arti penting yang memungkinkan dalam tujuan-tujuan yang berbeda. Rasionalitas nilai dikarakteristikkan oleh suatu kepercayaan sadar kerena perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh nilai etis, estetis, dan religiusitasnya.
29
Sesuai dengan kondisi yang dialami oleh Weber pada masanya, menarik dalam konteks kekinian dalam dunia kepesantrenan, ternyata dari banyak pesantren memiliki corak dan kebijaksanaan masing-masing dalam mengelola kehidupannya. Meskipun terdapat persamaan diantara pesantren-pesantren itu, tetapi tidak sedikit pula perbedaan sikap yang ditunjukkan. Perbedaan ini yang akan dipahami lebih mendalam kaitannya dengan etos masyarakat santri dengan dikomparasikan oleh etos eksplorasi yang dilakukan oleh pesantren Amumarta. Sebagaimana yang sudah diklasifikasikan di atas, terdapat setidaknya klasifikasi pesantren, mencangkup karakteristik salafi, komprehensif dan pesantren kholaf. Ke tiga karakteristik tersebut memiliki dasar yang fundamental dalam menjalani kehidupan. Pesantren salaf dengan karakteristik tradisionalnya, seringkali meletakkan aktivitas kehidupan duniawi dalam posisi minoritas. Komunitas pesantren salaf ini menganggap bahwa kehidupan duniawi tidak lebih baik daripada upaya mencapai keselamatan dengan jalan mitisisme, sehingga aktivitasnya tidak lebih dari sekedar mengaji dan melakukan ritual-ritual keagamaan (Mastuhu, 1994:27). Sementara pesantren yang berafiliasi kepada karakteristik komprehensif, mencoba memadupadankan aktivitas yang bersifat tradisional dengan modernitas dalam hal pendidikan. Biasanya kelompok ke dua ini menggunakan materi-materi pendidikan yang bersifat tradisional dengan pengelolaan berbasis modernitas. Biasanya kelompok ke dua cenderung memberikan penekanan materi pendidikan yang sama denngan kelompok yang pertama dalam soal kurikulum pendidikan, yakni mencangkup kepada kitab-kitab agama klasik, tetapi sudah berbeda dalam pengelolaan pesantrennya. Karakteristik yang ke dua lebih
30
sistematis dibanding kelompok yang pertama. Kelompok pertama tidak memiliki sistem yang memadahi karena kebijakan tersentralistik kepada kyai (Raharjo: 1974: 21). Asketisme duniawi paling nampak pada klasifikasi kelompok pesantren yang ke tiga, yakni pesantren kholaf. Pesantren ini cenderung bersifat modernis baik dalam materi pembelajaran maupun dalam pengelolaan. Hal ini setidanya ditunjukkan dari materi pengajaran yang jarang sekali menggunakan basis teks-teks agama murni tetapi lebih kepada buku pedoman yang sudah diterjemahkan sehingga berakibat kepada pemutusan sanad, alur turunnya ilmu pengetahuan. Sehingga tidak jarang terjadi penafsiran bebas terhadap sebuah teks. Asketisme itu nampak sekali dalam pengelolaan pesantren yang berbasis yayasan sehingga keseluruhan kebutuhan hidup di dalam pesantren dikomersialkan. Ke tiga klasifikasi tersebut sebenarnya berangkat dari pedoman hidup yang diyakini oleh komunitas pesantren, yang mana pedoman tersebut bersumber dari kitab suci yang berupa teks agama. Teks tersebut bukan sesuatu yang bersifat mati, tetapi merupakan sebuah hasil dari proses transhistoris sehingga akan mempengaruhi pedoman hidup manusia di sepanjang masanya. Kerangka berfikir yang diuraiakan di atas dengan mengacu kepada kerangka berfikir dari Weber, sebenarnya dapat diringkas dalam sebuah tesis bahwa teks agama yang ditafsirkan tersebut menghasilkan berbagai nilai. Serangkaian nilai merupakan etika untuk menjalankan aktivitas eksplorasi energi baru-terbarukan berbasis bahan bakar nabati Nyamplung. Dari nilai yang ada kemudian diaplikasikan sehingga menghasilkan
etos
eksplorasi.
Etos
yang merupakan
serangkaian
ativitas
31
implementasi nilai, tidak keseluruhannya mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hanya orang-orang terpilih, versi Weber, yang dapat melakukan etos eksplorasi energi berbasis BBN. Tentu saja dengan karakteristik tertentu seseorang tersebut
menjadi
terpilih
dan bisa
menjadi
pilihan. Persoalannya
dalam
pengembangan teori Weber, hanya berhenti kepada perumusan nilai dan yang menjadi orang-orang terpilih dalam melakukan etos kerja. Implementasi etos dalam kehidupan sehari-hari tidak menjadi fokus kajian mendalamnya. Sehingga dalam ranah penelitian ini memaparkan dalam pengembangan implementasi nilai di dalam kehidupan masyarakat khususnya yang menjadi komunitas pesantren dalam melaksanakan eksplorasi EBT berbasis BBN. Manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itu hakikat kehidupan manusia adalah bersama dengan orang lain. Hidup bersama dengan orang lain harus ber-etika, dalam arti memperlakukan makhluq lain sebagaimana dirinya ingin diperlakukan. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, nilai-nilai yang dipahami bersama sangat penting. Misalkan saja dalam hal ekonomi, nilai-nilai kejujuran dan keadilan sangat penting karena ekonomi sebagai sebuah sistem yang mengatur keberlangsungan hidup manusia pada dasarnya berhadapan dengan unsur keserakahan dan ketamakan manusia. Penerapan nilai-nilai perlu diterapkan dalam kehidupan manusia, kehidupan bermasyarakat. Terhadap hal yang abstrak ini, manusia memerlukan perangkat hukum untuk memastikan nilai-nilai terlaksana
dan dilaksanakan dengan baik.
32
Tetapi sebelum berbicara kepada ranah aturan main atau hukum yang akan memastikan nilai-nilai terlaksana, terdapat alur komunikasi atas transfer of value itu sendiri. Komunitas sebagai sebuah sarana hidup sekaligus wahana pengembangan diri merupakan sarana mutlak bagi manusia. Komunitas tersebut tidak memiliki pilihan lain, selain dituntut untuk memiliki komitmen dalam bentuk tanggung jawab moral dalam keberlangsungan kehidupan. Tentang sebuah proses transfer of value tersebut, bagian dari sistem komunikasi. Berbicara tentang komunitasi dalam hal transfer nilai, kemudian dengan kontekstualisasi pesantren, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pendekatan struktural dan pendekatan kultural dapat saja digunakakan, tetapi lazimnya dilaksanakan dalam sebuah proses tersebut dengan jalan pengajian. Setelah proses sosialisasi nilai baru, dan dianggap bahwa nilai baru bersifat progresif, harusnya dengan demikian, seluruh nilai dapat dipahami dan diaplikasikan dengan benar oleh seluruh elemen masyarakat.
G. Simpulan Sebagaimana dengan pemaparan yang sudah disajikan di atas, agama memberikan pengaruh dalam proses kehidupan manusia. Kondisi yang demikian pula yang ingin digambarkan dalam tulisan ini, bagaiamana agama memberikan pengaruh bagi penganutnya dalam konteks eksplorasi energi. Keterpengaruhan agama tersebut sangat dipengaruhi oleh semangat melakukan reformasi makna terhadap teks agama.
33
Dengan membawa semangat yang sama, penelitian ini mencoba untuk memaparkan kondisi keberagamaan dari berbagai pesantren yang terdapat di desa Wonokromo ini. Keberagamaan yang ditunjukkan memiliki persamaan tetapi juga terdapat perbedaanperbedaaan. Hal ini yang ingin dipahami dan dijelaskan dengan kerangka berfikir dari Max Weber terkait dengan keberadaan sebuah pesantren- diantara pesantren yang lainnya, yang melakukan aktivitas eksplorasi bahan bakar nabati berbasis Nyamplung sementara pesantren yang lain tetap dengan aktivitas yang dipandangnya dengan mempertahankan tradisi . Untuk selanjutnya, dalam bagian yang akan dipaparkan dalam bab lanjutan mencangkup tentang metode yang dilakukan sebagai upaya pengumpulan data dan menjadi bahan dalam analisis untuk menguatkan argument yang akan disajikan.
34