BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perempuan dan laki-laki memiliki peran dan fungsi sosial yang masingmasing saling berbeda. Dari perbedaan tersebut terdapat aspek sosial dan kultural yang mengkontruksi dan menjadi wacana penting untuk menggambarkan sebuah fenomena yang terjadi pada masing-masing dari diri laki-laki dan perempuan yang sudah terbentuk secara sosial dan kultural maupun sistem yang ada. Terjadi proses produksi dan reproduksi yang melahirkan ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang acap kali menimbulkan permasalahan-permasalahan seperti perempuan masih dianggap nomor dua, oleh karena itu timbul ketidakadilan, diskriminasi,
ketertinggalan
serta
kekerasan
terhadap
perempuan
yang
menyudutkan perempuan sebagai makhluk sosial yang seharusnya mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Adanya tatanan dan sistem yang membuat adanya hal tersebut hadir untuk mengkontruksi perempuan karena ada anggapan-anggapan perempuan selalu dinomor duakan, dianggap tidak mampu membuat dan menghasilkan kebijakan serta tidak mampu menjadi pemimpin. Dari hal itu kemudian, melahirkan proses pelabelan negatif dalam subordinasi yang dapat berimplementasi ke dalam kekerasan terhadap perempuan karena diskriminasi tersebut akibat dari judgetification dalam pemaknaaan perempuan.
1
Pada mulanya tidak banyak perempuan yang terjun di bidang politik. Hal tersebut menjadi kendala partisipasi politik pada perempuan, karena terbatasnya keterlibatan perempuan dalam politik. Alasan-alasan yang membuat perempuan tidak ingin terlibat di dalam politik. Karena faktor dari perempuan itu sendiri yang memilih untuk tidak ingin tampil mencalonkan diri dan menduduki kursi di parlemen sebagai keterwakilan rakyat, khususnya sebagai keterwakilan untuk kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan serta kapabilitas perempuan yang tidak menguasai dalam kebijakan yang sensitif gender dan masih adanya budaya patriarki yang tidak dapat terlepaskan begitu saja pada perempuan sebagai Konco Wingking untuk suaminya dan kredibilitas perempuan itu sendiri yang tidak ingin maju dan berkembang serta karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki. Lambat laun perempuan mulai merasakan adanya sisi ketidakadilan dari sistem yang sudah terbentuk, membuat perempuan dan laki-laki menjadi korban dari sistem itu. Laki-laki sebagai subjek walaupun juga dapat menjadi korban atau sebagai pelaku. Perempuanlah yang cenderung menjadi korban dari pengaruh sistem Gender Inequalities. Dalam ranah politik, awalnya tidak banyak perempuan yang ingin berkecimpung di dunia politik namun dengan seiring perkembangannya, Sudah mulai muncul bibit-bibit perempuan yang aktif di dunia politik dan sudah ada sejumlah perempuan dari berbagai partai politik mulai mengajukkan diri mencalonkan menjadi anggota legislatif. Hal tersebut sangat diapresiasi sekali, mengingat peran perempuan di dalam politik hingga keinginan perempuan untuk 2
dapat menjadi perwakilan rakyat hanya sedikit terlebih lagi sudah banyak perempuan mulai keluar dari sistem dan tatanan budaya yang selama ini telah mengkungkung perempuan sehingga gerak perempuan terbatas. Melihat realita di dalam dunia politik yang dirasa berat dan kejam. Namun, terdapat segelintir perempuan-perempuan di Indonesia yang mewakili dari berbagai partai politik adalah wujud representasi perempuan untuk dapat meningkatkan kredibilitas dirinya. walaupun di sisi lain perempuan juga tidak meninggalkan kodratnya sebagai perempuan. Perempuan ingin membuktikkan kalau mereka mampu setara dengan laki-laki dan mampu menjadi perwakilan rakyatnya yang akan menyuarakan suara-suara rakyatnya melalui lembaga legislatif. Sebelum adanya kebijakan yang memberikan kesempatan kepada politisi perempuan untuk duduk di parlemen. Perempuan-perempuan di politik masih merasa kesulitan untuk dapat tampil di legislatif, politisi perempuan yang duduk di legislatif hanya sedikit. Suatu langkah emansipasi yang dilakukan oleh perempuan untuk dapat setara dengan laki-laki dan memperjuangkan hak-haknya untuk dapat maju dan berkembang. Oleh karena itu, mulailah perempuan terjun ke dunia politik dan sudah ada proses perkembangan perempuan-perempuan di politik yang kemudian mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Dengan melihat posisi perempuan di politik yang tidak diperlakukan adil, masih dinomor duakan di dalam dunia politik karena dirasa tidak mampu menjadi pemimpin, tidak mampu memberikan keputusan yang tepat jika nantinya duduk di dalam legislatif. Karena ada sistem dan tatanan budaya yang sudah terlanjur
3
mengkontruksi sehingga peran perempuan yang ingin masuk ke dalam legislatif diragukan sehingga kursi bagi anggota legislatif perempuan hanya sedikit. Oleh sebab itu, maka muncullah kebijakan yang pro kepada nasib perempuan sehingga dikeluarkanlah kebijakan affirmatif action untuk memberikan 30% kuota kepada perempuan. Untuk memberikan kesempatan kepada perempuan di partai politik agar dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan sebagai keterwakilan perempuan. Dalam menjaring aspirasi masyarakat perempuan terutama untuk dapat menyuarakan permasalahan-permasalahan gender dan juga sekaligus untuk mendorong perempuan untuk tampil di depan publik agar dapat setara dengan laki-laki. Dalam penunjukkan eksistensi perempuan di kancah politik sebagai upaya untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan. Semenjak, adanya kebijakan affirmatif action keberadaan perempuan di DPRD Kota Yogyakarta mulai direpresentasikan dari berbagai partai politik yang ada. Mendorong partai politik untuk memfasilitasi politisi perempuan untuk ikut mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Melihat dinamika yang terjadi di dalam konteks perempuan di dalam kiprahnya di politik. Menurut peniliti, peneliti tertarik untuk meneliti terhadap permasalahan yang terjadi di dalam perempuan maka penelitian peneliti kali ini, Peneliti akan mengangkat Judul Peran Politisi Perempuan di DPRD Kota Yogyakarta pasca kebijakan affirmatif action. Karena seperti telah dipaparkan diatas peneliti sangat tertarik terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi terhadap perempuan. Khususnya, yang terjadi pada Politisi Perempuan yang
4
berkaitan dengan peran mereka di dalam parlemen dengan melihat segala dinamika mulai dari adanya kontruksi sosial dan budaya yang mengkontruksi perempuan serta fungsi politisi perempuan sebagai anggota legislatif. Setelah melihat adanya kebijakan affirmatif action yang telah memberikan kesempatan dan peluang bagi perempuan untuk dapat menjadi perwakilan rakyat dengan memberikan kuota 30%, dengan adanya kebijakan tersebut peran perempuan yang duduk di DPRD masih belum mampu berperan secara optimal. Seperti di DPRD Kota Yogyakarta sendiri dari beberapa Politisi Perempuan belum semuanya dapat Show Up. Dari masing-masing politisi perempuan itulah, tentunya mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, di sini saya ingin melihat sejauh mana politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta dalam perannya di DPRD kota Yogyakarta. Perannya sebagai politisi perempuan dengan adanya kebijakan affrimatif action. Sejauh mana politisi perempuan sudah memberikan performa yang bagus bagi politisi perempuan itu sendiri agar dapat setara dengan laki-laki dan membuktikan kredibilitas dirinya atau justru setelah adanya kebijakan affirmatif action peran politisi perempuan tidak maksimal dan cenderung performnya menurun. Terdapat politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta yang benar-benar berkredibilitas, namun ada politisi perempuan yang kurang menampilkan representasinya di DPRD. Sehingga peneliti, tertarik meneliti secara lebih dalam mengenai eksistensi politisi perempuan yang berkaitan dengan perannya sebagai politisi perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya. Hal tersebut yang kemudian akan menjadi
5
parameter untuk melihat efektifitas peran politisi perempuan di parlemen melalui kebijakan. Melihat peran politisi perempuan sudah mewakili suara perempuan dengan pro gender yang sudah dihasilkan atau malah sebaliknya dalam realitasnya dalam pengaplikasiannya di DPRD Kota Yogyakarta yang menjadi lokus penelitian. Misalnya saja, disaat terjadinya rapat serta kinerja dalam perannya sebagai anggota legislatif yaitu fungsinya dalam legislasi yaitu, melihat peran politisi perempuan dalam pembuatan kebijakan di DPRD dan fungsi anggaran yang akan membahas dan menyetujui dari rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta fungsi pengawasan dalam mengawasi pelaksanaan peraturan daerah atau kebijakan. Sehingga hal tersebut menjadi penting untuk dapat dikaji lebih dalam. Melihat keprihatinan kapasitas politisi perempuan yang masih minim dan lemah dalam menjalankan perannya di DPRD Kota Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan peneliti, akan berlokus di DPRD Kota Yogyakarta karena peneliti menemukan sebuah fenomena pada politisi perempuan dalam pengaktualisasian dirinya terhadap perannya sebagai politisi perempuan di DPRD. DPRD Kota Yogyakarta sendiri pada periode tahun 2009-2014 Politisi Perempuan di DPRD Kota Yogyakarta itu sendiri hanya terdapat 5 politisi perempuan. Awalnya terdapat 6 politisi perempuan namun, sekarang menjadi 4 dari masing-masing fraksi karena ada 2 orang politisi perempuan dari PKS dan PDIP. Yaitu, 1 politisi perempuan dari fraksi Gerindra, 2 dari Golkar dan 1 dari PPP.
6
Namun, peneliti hanya berfokus melakukan penelitian terhadap kelima orang politisi perempuan yang dari awal periode sudah menjabat. Walaupun politisi perempuan dari fraksi PDIP sudah meninggal dunia akan tetapi peneliti tetap mengambil sample penelitiannya meenggunakan data sekunder, dokumen dan wawancara teman satu komisi beliau karena beliau sudah menjabat hingga awal tahun 2013 dan beliau juga termasuk penginisiasi Raperda Pro Gender, Kota Layak Anak. Penelitian mengenai perempuan sudah banyak ditulis. Namun, terdapat penelitian yang berfokus kepada politisi perempuan tapi berbeda dengan penelitian yang peneliti tulis. Peneliti mengambil perbandingan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nailatulmuna Nitrasatri Atmaja, Mahasiswi Jurusan Politik Pemerintahan angkatan 2008 yang mengangkat tema feminisasi politik mengenai Strategi Penguatan Representasi Perempuan. Namun, dalam Organisasi Islam di Nadhalatul Ulama. Penelitian Nailatulmuna menjelaskan mengenai penguatan representasi perempuan di pengurus besar Nadhlatul Ulama, satu sisi mendapat dukungan dan satu sisi mendapatkan kritikan. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama meneliti tentang representasi perempuan sebagai bentuk feminisasi politik untuk mendapatkan kesetaraan gender dan sama-sama memperjuangkan kebijakan yang pro Gender. Namun, perbedaan penelitian keduanya adalah pada penelitian Nailatulmuna melihat representasi perempuan di Organisasi Islam NU yang fasenya berbeda, awalnya dari sebuah komunitas berubah menjadi partai politik dan pada tahun 1930 mulai adanya dorongan untuk perempuan
7
berpartisipasi sebagai wujud representasi mewakili muslimat. Bagaimana penolakan-penolakan yang terjadi di dalam struktur pengurus NU. Jika, di dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti representasi perempuan di dalam keterwakilannya dalam lembaga DPRD. Dengan memperlihatkan bagaimana peran mereka, khusunya di 3 fungsi DPRD sebagai wujud representasi mereka beserta kendala-kendala yang membuat peran mereka masih belum dapat optimal. Namun, jika di dalam penelitian, peneliti ingin melacak efektifitas affirmatif action melalui peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta. Peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif, studi kasus untuk membantu peneliti melakukan penelitian dan menjawab rumusan masalah peneliti dengan secara lebih mendalam dalam melihat proses dinamika peran politisi perempuan di DPRD pasca kebijakan affirmatif action. B. RUMUSAN MASALAH: Dari latar belakang yang telah peneliti paparkan diatas dapat dirangkai menjadi satu Rumusan Masalah pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti berfokus dengan dua pertanyaan kunci yaitu: 1. Bagaimana peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta pasca kebijakan affirmatif action? 2. Faktor-faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi
perempuan di DPRD Kota Yogyakarta?
8
kinerja
politisi
C. TUJUAN PENELITIAN: Dalam penelitian yang peneliti lakukan ini, mempunyai tujuan-tujuan penelitian sehingga penelitian, peneliti menarik untuk dibaca oleh pembaca, yaitu: 1. Untuk dapat memberikan manfaat pengetahuan secara lebih mendalam tentang peran politisi perempuan di DPRD secara lebih komperhensif. 2. Agar dapat menguak tabir di dalam fenomena “Politisi Perempuan”. 3. Untuk melatih kemampuan peneliti dalam menganalisa studi kasus politisi perempuan dengan menggunakan prespektif feminisme liberal. D. KERANGKA TEORI Setelah di awal membahas mengenai latar belakang dan rumusan masalah yang akan diteliti oleh peneliti, sekarang melanjutkan ke pembahasan berikutnya. Pembahasan berikutnya, akan dibahas mengenai kerangka teori. Kerangka teori adalah teori-teori yang akan digunakan oleh peneliti untuk mengkerangkai penelitian agar sistematis. Di dalam kerangka teori, peneliti akan memaparkan garis besar teori-teori yang akan digunakan untuk membingkai penelitian dengan menghubungkan teori yang satu dengan yang lainnya dengan alur berfikir yang peneliti pahami. Dalam penelitian ini, ada beberapa teori yang akan peneliti gunakan untuk membingkai menjadi kerangka teori dengan menggunakan teori-teori dan kata kunci untuk mempermudah peneliti merangkai alur dari kerangka teori. Kerangka teori juga sebagai kerangka dari alur pemikiran dan teori yang disatukan untuk menjelaskan penelitian. Dalam penelitian ini, Peneliti akan menggunakan Feminisme Liberal sebagai Standing Position yang akan dipakai oleh peneliti.
9
Feminisme Liberal memperjungkan hak asasi manusia yang selama ini perempuan kurang mendapatkan hak-haknya secara penuh karena lebih memprioritaskan kaum laki-laki. Padahal mereka sebagai makhluk sosial yang mempunyai kedudukan yang sama. Feminisme liberal berpendapat bahwa selama ini perempuan tidak terwakili sama sekali, tidak diikutsertakan dalam semua aspek kehidupan.(Nugroho, Riant 2011,h. 65). Feminisme liberal pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu. Namun, pada saat yang sama dianggap mendiskriminasikan perempuan. (Fakih, Mansour 1996, h.81). Ada budaya dan hukum yang membatasi akses dan sukses perempuan dalam sektor publik. Pembatasan tersebut dikarenakan perempuan tidak memiliki kemampuan sekuat dan secerdas laki-laki. Terjadinya ketidaksetaraan atau in equality pemosisian tersebutlah yang melahirkan common sense yang terjadi di dalam ranah domestik dan ranah publik yang berimplikasi adanya ketidakadilan bagi kaum perempuan. Dominan laki-laki daripada perempuan di dalam sektor domestik dan sektor publik sehingga hak perempuan terbengkalai dan malah dapat menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. Di dalam ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di dalam sektor domestik dan sektor publik terdapat proses-proses sosial, ekonomi dan politik yang menguatkan anggapan masyarakat tentang dikotomi di ranah domestik dan ranah publik antara laki-laki dan perempuan. Padahal dibalik tatanan atau sistem yang terbentuk terdapat segelintir perempuan yang mempunyai kemampuan dan dapat membuatnya setara dengan laki-laki serta mampu melakukan pekerjaan
10
seperti yang dilakukan laki-laki, terjun ke sektor publik. Salah satunya di dalam ranah politik, perempuan dinomer duakan. Perempuan dianggap tidak mampu menghasilkan kebijakan dan mengambil keputusan. Hanya dapat mengikuti argumen dari laki-laki, ingin terjun ke dunia politikpun terganjal ijin dari suami dan keluarganya. Banyak faktor yang kemudian membuat perempuan menjadi terdiskriminasikan. Memarginalkan keberadaan perempuan di sektor publik. Feminisme Liberal menilai perempuan di dalam politik belum memiliki otonomi sendiri dan cenderung terhegemoni oleh partai tempat mereka bernaung, menjadi kepanjangan tangan partainya. Untuk itu feminisme liberal harus direkontruksikan kembali sehingga konsepsi otonomi bida ditransformasikan menjadi active citizenship yang bermakna kebebasan, pemberdayaan dan kemandirian bagi politisi perempuan. (Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Perempuan Pejabat Publik 2012, Yayasan Jurnal Perempuan, Vol.17, No. 4, h.35). I.
PERAN
Peran sering dimaknai sebagai salah satu pola perilaku individu yang dipahami sebagai dinamika yang hidup dalam hubungan relasional antar posisi. (Dewi, Siti Malaiha 2007, h. 9). Frase pola perilaku adalah perilaku atau tindakan seseorang dalam kaitannya dengan peran yang disandangnya akan mengikuti suatu batasan tertentu dan batasan-batasan yang membentuknya dipengaruhi oleh individu dalam masyarakat yang di akumulasikan dalam bentuk harapan-harapan dan norma-norma. (Dewi, Siti Malaiha 2007, h. 9). Contohnya, adalah
11
penyampaian aspirasi masyarakat sebagai bentuk harapan-harapan mereka untuk pemerintahan yang baik, kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Peran sering disebut sebagai role. Ada pembedaan dalam pemahaman normatif sebagai role norm atau sebagai suatu bentuk tindakan aktual dalam pemosisian tertentu yang sebagai wujud role performance. Role norm atau role expectation adalah peran yang mencakup hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu sehingga ketika seseorang mengasumsikan suatu peran tertentu, maka dia telah dan akan bersosialisasi dengan peran tersebut. Dia akan mempelajari apa yang diharapkan dari pemegang peran, norma-norma apa yang akan digunakan untuk menilai kualitas kerja dan sanksi-sanksi apa yang tepat untuk mendorong pelaksanaan ada tuntutan peran yang disandang oleh pemegang peran tersebut, sejauh mana dia dapat memahami peran yang disandang olehnya. (Dewi, Siti Malaiha 2007, h. 10). Salah satunya melalui upaya sosialisasi yang dilakukan oleh dirinya untuk dapat memahami apa perannya. Jika, seseorang menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukan dan fungsi-fungsinya berarti dia sudah menjalankan peran. Namun, apabila gagal akan terjadi yang sering disebut dengan conflict of roles. Hal ini terjadi dikarenakan individu merasa dirinya tidak mampu menjalankan peranan yang telah disandangkan kepadanya. Oleh karena itu dia tidak dapat menjalankan perannya secara optimal. Peran Politisi Perempuan di Parlemen dimaknai apabila dapat melaksanakan hak dan kewajiban sebagai wakil rakyat yang mempunyai kekuatan dan tanggung jawab untuk berperilaku dan melaksanakan kegiatan yang pro dengan rakyat
12
dengan menjalankan ketiga fungsi perwakilan dengan baik, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, optimalisasi checks and balances dan penetapan standar kinerja DPRD kepada yang diperintah dalam makna accountability, obligation dan cause dalam proses pemerintahan. (Napitupulu, Paimin 2005, h.29). Pertama, Politisi perempuan dapat menjalankan Fungsi Legislasi, dengan menghasilkan kebijakan atau peraturan daerah yang pro gender sebagai bentuk kebutuhan masyarakat yang digunakan untuk melindungi hak-hak masyarakat perempuan. Khususnya, sebagai bentuk memperjuangkan dan mengakomodasi aspirasi masyarakat perempuan. Pembuatan peraturan daerah dilakukan dengan dileberasi
yaitu
proses
yang
mencakup
pengumpulan
informasi
yang
komperhensif, diskusi panjang, terjadi negosiasi dan lobi-lobi politik sebagai proses tawar menawar politik atau yang dilakukan antara politisi yang satu dengan yang lainnya atau bargaining position yang ditawarkan untuk mempertahankan argumen dari anggota dewan sangat kuat sekali untuk meloloskan kepentingankepentingan yang di usung di setiap masing-masing anggota dewan. Karena tidak dapat di pungkiri pula setiap anggota dewan pasti mempunyai kepentingan masing-masing maupun kepentingan partai tempat mereka bernaung yang dipertaruhkan kepentingan pendapatnya di dalam rapat, pembahasan rencana peraturan perundang-undangan yang di bentuk ke dalam panitia khusus. Sejauh mana peran politisi perempuan memberikan dukungan kepada eksekutif dan yudikatif sebagai lembaga pemerintahan selain dari dirinya melalui kewenangan mengatur masyarakat yang dikandung oleh pasal-pasal undang-
13
undang yang sama. (Napitupulu, Paimin 2005, h.51). Biasanya langkah ini, memanggil stakeholder terkait untuk dilakukan kajian dan pandangan umum, kemudian diskusi bersama dalam pembahasannya. Kedua, Fungsi Anggaran. Dimana politisi di DPRD berwenang untuk menentukan pemasukan dan pengeluaran uang daerah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah bersama eksekutif yang mengajukan rancangan dan pengeluaran belanja setiap eksekutif terkait. Legislatif yang berwenang untuk merivisi dan mengubahnya karena legislatif juga mempunyai hak untuk mengesahkan APBD. Bagaimana anggota dewan dapat mengatur anggaran pendapatan belanja daerah untuk 1 tahun agar dapat teralokasi dengan baik yang kaitannya dalam APBD itu sendiri daerah kota Yogyakarta mempunyai sejumlah anggaran yang kemudian anggaran tersebut akan digunakan untuk programprogram di daerah kota Yogyakarta, belanja pegawai pemerintah. Oleh karena itu, fungsi anggota dewan di dalam fungsi anggaran harus dapat menganggarkan semua itu sesuai dengan prosedur yang ada. Para politisi perempuan diharap mampu beperan sebagai gender budgeting untuk mengatur rencana penganggaran sensitif gender dalam pengawalan kebijakan-kebijakan, baik itu peraturan daerah dari eksekutif maupun inisiatif dari legislatif agar anggaran dapat sesuai dengan penggagaran yang sudah di tentukan dan di plot-plot kan di badan anggaran oleh ketua dewan dan sekertaris dewan ke dalam peraturan-peraturan daerah tersebut. Demi kelancaran proses pembuatan kebijakan karena dalam pembuatan kebijakan itu membutuhkan sarasehan, workshop sampai ke luar kota untuk mengembangkan materi untuk pembuatan 14
peraturan daerah yang akan di buat, sosialisasi, perlu mendatangkan stakeholder pula yang terkait dengan objek-objek pada peraturan daerah yang akan di buat untuk kemudian di lakukan kajian dan pandangan umum yang biasanya mengundang masyarakat maupun eksekutif. Karena jika tidak ada dukungan financial, pastinya dalam proses pembuatan kebijakan tersebut akan tersendat. Ketiga, Fungsi Pengawasan diwujudkan dalam implementasi kebijakan atau peraturan daerah yang telah ditetapkan dan juga program pemerintah serta pelaksanaan pembangunan di kota Yogyakarta untuk mencapai akuntabilitas publik. Politisi perempuan diharapkan pula mampu berperan mereview dan mengubah tindakan-tindakan dari eksekutif yang menyimpang. Pengawasan adalah konsekuensi dari kekuasaan rakyat yang dioperasikannya. Oleh karena itu, politisi perempuan juga sebagai pemegang mandat kekuasaan badan perwakilan dan bertanggung jawab atas pemanfaatan mandat kepada pemberi mandat. (Napitupulu, Paimin 2005, h.54). Mampu memberikan controlling secara formal dan informal, maksudnya secara formal dilakukan dengan mengadakan rapat koordinasi dengan pemerintah kota yang bermitra dengan para komisi yang sudah dilakukan oleh para politisi perempuan di DPRD yang tergabung ke dalam alat kelengkapan komisi. Secara informal dilakukan dengan cara dialog dengan masyarakat, mendengarkan aduan dari masyarakat selanjutnya menindak lanjuti dari dialog atau pengaduan dari masyarakat. Selain itu, pengawasan yang di lakukan oleh DPRD adalah dengan sidak, kunjungan lapangan atau bahkan sampai dengan eksekusi untuk melihat permasalahan yang muncul itu seperti apa dan bagaimana sampai dengan 15
ditetapkannya peraturan undang-undang tersebut sudah di jalankan oleh jajaran pemerintah maupun instansi terkait atau belum dan bagaimana respon dan dampak masyarakat dengan adanya kebijakan yang sudah di tetapkan tersebut. Dalam menjalankan ketiga fungsinya, politisi perempuan tidak terlepas dari role expectation, namun tidak semuanya dapat dihubungkan oleh role expectation karena politisi perempuan sebagai wakil rakyat juga sebagai istri dan ibu rumah tangga, kader partai politik. Tentunya mempunyai role expectation yang berbeda pula. Oleh sebab itu terjadilah conflict of roles dari perbedaan antar status dan kewajiban yang harus dijalankan. Hal tersebut yang membuat peran politisi perempuan belum optimal. Rendahnya peran politisi perempuan dalam menjalankan ketiga fungsinya dipengaruhi oleh individu karena perempuan itu sendiri tidak ingin mencalonkan diri dan karena perempuan mempunyai tugas dan kewajiban sebagai ibu rumah tangga yang hanya dirumah saja dan mengurus suami. Adapula perempuannya sendirilah yang tidak ingin untuk berkembang dan maju menjadi perwakilan rakyat. Alasan yang selanjutnya karena perempuan hanya menjadi komoditas politik dan terhegemoni oleh partai tempat mereka bernaung sehingga mereka tidak memiliki otonomi sendiri yang memberikan kebebasan, kemandirian dalam pembuatan kebijakan serta pemberdayaan terhadap perempuan. Faktor pendidikan juga mempengaruhi kapabilitas politisi perempuan, pengalaman berorganisasi merupakan modal yang diperlukan untuk melihat seberapa jauh politisi perempuan mampu menguasai politik praktis. Di dalam
16
DPRD kedudukan politisi perempuan masih menjadi nomer dua dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. E. DEFINISI KONSEPTUAL Dalam definisi konseptual ini, akan dijelaskan apa saja yang menjadi konsep dasar yang mengkerangkai teori yang dipakai. Peran Politisi perempuan sebagai proses perilaku individu yang berkaitan dengan peran yang disandang olehnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan maindset perempuan yang selama ini selalu dinomer duakan. Perempuan hanya mampu dalam ranah domestik saja, tidak mampu di ranah publik. Adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan di ranah politik. Perempuan di dalam politik mulai merasa selalu dinomor duakan, tidak mampu menjadi leader. Rendahnya keterwakilan perempuan dan kurangnya politisi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan mendorong pembutan kebijakan berbasis gender sebagai bentuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang selam ini kurang mendapatkan perhatian karena masih sedikit produk hukum yang dihasilkan dan dijalankan. Kondisi tersebut membuat adanya keijakan affirmatif action yang dicetuskan sebagai wujud untuk mengupayakan kemajuan dalam hal kesetaraan gender bagi kaum perempuan. Oleh karena itu, mulailah perempuan mulai berkecimpung di dunia politik. Pergerakan perempuan sebagai wujud kesetaraan Gender adalah keterwakilan perempuan di legislatif. Walaupun,
semenjak
adanya
kebijakan
affirmatif
action
jumlah
perempuan yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif bertambah, namun masih minim politisi perempuan yang dapat membawa perubahan kualitas
17
perempuan secara signifikan. Dilihat sejauh mana kiprah peran politisi perempuan menjadi anggota legislatif. Dalam memerankan 3 fungsi DPRD yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran dan Fungsi Pengawasan. F. DEFINISI OPERASIONAL Peran Politisi Perempuan belum dapat optimal dikarenakan masih kurangnya sosialisasi pemahaman individu dengan perannya yang disandang. Hal tersebut bisa dikarekanakan karena kapabilitas mereka yang kurang dalam menjalankan ketiga fungsi mereka di DPRD. Politisi Perempuan yang duduk sebagai anggota legislatif mempunyai kedudukan sebagai pembuat kebijakan dan sebagai kepanjangan masyarakat, khusunya perempuan dalam penyampaian aspirasi masyarakat perempuan yang masih ternomer duakan hak-hak nya. Oleh karena itu, Suatu bentuk kewajiban yang dijalankan oleh politisi perempuan sebagai statusnya menjadi anggota legislatif di DPRD Kota Yogyakarta, Dalam proses menjalankan perannya harus mampu memperjuangkan kepentingan perempuan karena peran merka dipengaruhi oleh perilaku individu dalam masyarakat dalam bentuk harapan-harapan mereka yang selama ini belum dapat terakomodir dengan baik. Perilaku tersebut di tuangkan di dalam peran mereka masing-masing dalam menjalankan ketiga fungsi DPRD, yaitu Fungsi Legislasi yang menghasilkan produk hukum kebijakan yang sensitif gender dengan lobi-lobi dan strategi politik yang tepat. Serta, fungsi Budgeting yaitu penganggaran, bagaiamana interfensi politisi perempuan dalam penyusunan anggaran APBD terutama dalam mengutamakan penganggaran yang berbasis gender.
18
Kemudian, Menilik kiprah politisi perempuan di fungsi pengawasan dan seberapa mana politisi perempuan di DPRD mampu memberikan pengawasannya terhadap implementasi Perda yang Pro Gender dengan advokasi yang tepat. Budaya yang masih menjadi penghambat perempuan dan adanya ketidaksetaraan politisi perempuan dalam posisi mereka di DPRD Kota Yogyakarta. G. METODE PENELITIAN Di dalam penelitian mengenai Politisi Perempuan di DPRD Kota Yogyakarta, Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena dalam penelitian ini peneliti akan menganalisa sebuah kasus yang terjadi pada politisi perempuan di DPRD kota Yogyakarta. Peneliti akan menggunakan metode penelitian studi kasus. Studi kasus dianggap dapat menjelaskan secara spesifik indikator-indikator untuk menjawab rumusan masalah peneliti mengenai peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta pasca adanya kebijakan affirmatif action dan faktor-faktor yang mempengaruhi perannya, dengan membuat pertanyaan-pertanyaan kunci. Studi kasus akan membantu peneliti dalam menjelaskan kasus yang terjadi dalam penelitian yang akan dikaji. Peneliti akan menggunakan studi kasus tunggal Single Level Analysis yang akan menyoroti perilaku individu pada politisi perempuan tentang efektifitas politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta pasca affirmatif action dengan model explanatory untuk menjelaskan fenomena gender secara lebih mendalam yang terjadi pada peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta.
19
F.1 Unit Analisa Untuk analisa data, peneliti melakukan penelitian kepada politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta yang akan melihat sejauh mana perannya. Sumber data berasal dari semua hal yang terlibat dalam peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta. Antara lain, politisi perempuan yang berjumlah empat orang responden yaitu, Ibu Fitri dari partai Golkar, Ibu Ida dari PPP, Ibu Ana dari partai Gerindra dan Ibu Retno dari partai Golkar. Karena, Ibu Dewi sudah meninggal dunia oleh karena itu peneliti menggunakan data sekunder dengan mewawancarai ketua komisi D, Bapak Sujanarko sebagai ketua komisi, komisi yang sama dengan Ibu Dewi dan ketua DPC partai Gerindra, Ketua DPC sekaligus ketua fraksi PDIP di DPRD Kota Yogyakarta, pengurus partai Golkar, pengurus PPP yang menjelaskan mengenai sistem kandidasi di partainya. Serta sekertaris dewan dan sekertaris dewan bidang hukum, risalah persidangan, sekertaris dewan jaring aspirasi masyarakat dan wakil ketua badan legislasi. F.2 Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan di DPRD Kota Yogyakarta karena objek yang akan diteliti adalah politisi perempuan yang berada di DPRD Kota Yogyakarta. Melihat peran politisi perempuan dalam aktivitas dan kinerjanya di dalam rapat komisi, badan legislasi, anggaran maupun musyawarah, pembuatan kebijakan, pembahasan APBD.
20
F.3 Jenis Data Peneliti akan menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapat langsung dengan melakukan wawancara kepada narasumber penelitian. Data sekunder didapatkan dari dokumen risalah persidangan, dokumen peraturan DPRD Kota Yogyakarta, naskah akademik rancangan peraturan daerah Kota layak Anak dan observasi lapangan untuk melihat secara langsung realitas di lapangan. F.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data telah dilakukan melalui wawancara, observasi lapangan dan melihat data dari dokumen agar mendapatkan data yang valid dengan mengumpulkan informasi dari ketiganya. A. Wawancara Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta sebagai fokus penelitian. Wawancara tidak hanya dilakukan kepada ke empat politisi perempuan saja namun kepada beberapa pihak terkait, untuk melihat gambaran secara objektif dan tidak hanya subjektif terkait kinerja politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta dari segi sistem kandidasi, peran di 3 fungsi DPRD dan di alat kelengkapan. Wawancara juga dilakukan kepada ketua komisi D untuk mengetahui peran salah satu politisi perempuan komisi D yang sudah meninggal dunia. Kemudian, peneliti juga mewawancarai ketua DPC partai Gerindra, ketua DPC sekaligus ketua fraksi PDIP di DPRD Kota Yogyakarta, pengurus partai Golkar, pengurus PPP terkait sistem kandidasi untuk menjawab implementasi dari
21
kebijakan affirmatif action. Peneliti mewawancarai sekertaris dewan, sekertaris dewan risalah persidangan, jaring aspirasi masyarakat dan wakil ketua badan legislasi DPRD Kota Yogyakarta yang secara langsung juga terkait dalam peran poltisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta. B. Observasi Lapangan Peneliti juga melakukan observasi ke DPRD Kota Yogyakarta untuk dapat mengetahui langsung permasalahan yang ada dengan mengikuti rapat-rapat di alat kelengkapan maupun kunjungan lapangan dan sidak. Pengamatan di lapangan dilakukan untuk mengkorscek data wawancara yang sudah didapat dengan realitas yang terdapat di lapangan. C. Analisa Dokumen Pada analisa dokumen akan dilakukan proses pencarian data melalui dokumen peraturan DPRD, risalah persidangan dan naskah akademik rancangan peraturan daerah Pro Gender, Kota Layak Anak yang akan menambah data selain dari wawancara dan observasi. F.5 Teknik Analisis Data Dalam teknik analisis data dilakukan dengan cara menganalisa data yang sudah didapat melalui wawancara, observasi lapangan dan dokumen kemudian dilakukan transkip wawancara dan membagi ke dalam kategorisasi yang telah dibuat, lalu dianalisa dan diinterpretasikan dengan teori yang dipakai oleh peneliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari keseluruhan pemaparan yang telah disajikan.
22
Setiap metode penelitian kualitatif pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Begitu juga, metode studi kasus yang memiliki kelebihan dapat memecahkan permasalahan-permasalahan unik dan spesifik serta dapat memberikan pengetahuan tentang eksperimen atau pengalaman yang mengacu pada fakta-fakta dari data yang didapat, serta informasi yang aktual. Setelah itu dikumpulkan ke dalam bentuk narasi yang menggambarkan suatu keadaan dari kasus peran politisi perempuan. (Salim, 2001, h. 100). Selain memiliki kelebihan, metode penelitian studi kasus juga memiliki kekurangan, yaitu terletak pada validitas yang diragukan karena metode penelitian studi kasus biasanya hanya memiliki satu kasus. Seharusnya, ada data yang digunakan untuk mengcompare data yang didapat. Di dalam penelitian studi kasus harus mendapat data yang akurat dan mendalam, namun realitanya dalam melakukan wawancara hanya dilakukan sekali jadi dirasa kurang. Karena dalam penelitian kualitatif butuh melakukan pendekatan kepada narasumber untuk itu dimungkinkan untuk bertatap muka beberapa kali untuk mendapatkan kepercayaan narasumber sehingga wawancara yang dilakukan akan terasa menyenangkan. H. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam sistematika penulisan penelitian peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta, peneliti akan memaparkan alur penulisan dan membaginya ke dalam beberapa bab yang di dalamnya akan dijelaskan mengenai bagaimana proses perjalanan perempuan hingga dirinya memutuskan untuk menjadi politisi
23
perempuan di parlemen dan bagaimana perannya di dalam menjadi anggota legislatif. BAB I: Peneliti ingin memaparkan kepada sang pembaca agar pembaca memahami apa yang akan disampaikan oleh sang peneliti dalam tulisan ini. Oleh karena itu, di Bab I dijelaskan tentang latar belakang peneliti ingin mengangkat kasus
tersebut.
Peneliti
akan
menjelaskan
awal
mulanya
perempuan
dikontruksikan oleh sistem dan budaya yang menjadikan perempuan dipandang nomer dua. Di dalam perkembangannya perempuan sudah mulai mempunyai pandangan untuk memerdekakan dirinya dan mengatualisasikan dirinya untuk mulai terjun ke dunia politik hingga pada akhirnya, muncullah kebijakan affirmatif action yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kuota 30% kepada perempuan untuk dapat menjadi anggota legislatif. Mulailah perempuanperempuan di politik terjun menjadi anggota legislatif untuk mengembangkan potensi dirinya sebagai wujud emansipasi perempuan di dalam dunia politik supaya dapat pula setara dengan laki-laki di politik, terutama sebagai wujud kesetaraan gender di dalam memperjuangkan produk kebijakan yang pro gender. Dalam kans-nya mereka menjadi anggota legislatif terpilih kemudian peneliti ingin menguak peran politisi perempuan, khususnya di DPRD Kota Yogyakarta setelah adanya kebijakan affirmatif action. Bagaimana peran mereka di DPRD, apakah dengan hadirnya kebijakan affirmatif action mendorong setiap partai politik untuk mencalonkan kandidat perempuannya agar dapat menjadi anggota legislatif yang sesuai dengan kapabilitas dan akuntabilitasnya sebagai anggota legislatif. Serta sudah menjalankan fungsi-fungsi DPRD itu sendiri sebagai bentuk
24
keterwakilan perempuan atau hanya sebagai simbol untuk memenuhi kuota perempuan saja dan apakah politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta sudah menghasilkan produk kebijakan yang pro gender atau belum. Kemudian, peneliti akan menjelaskannya dengan menggunakan kerangka teori peran dengan pendekatan feminimisme liberal. Diberikan penjelasan pula tujuan peneliti meneliti peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta dan dijelaskan pula didefinisi konseptual untuk mendefinisikan konsep apa saja yang dipakai untuk menjelaskan penelitian tersebut dan definisi operasional. Menjelaskan metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti dan mengkerangkai alur penelitian yang dijelaskan di dalam sistematika penelitian. BAB II: Menggambarkan secara gamblang peran dari politisi perempuan di Indonesia dengan melihat Undang-Undang Affirmatif Action yang akan dikomparasikan dengan peran politisi perempuan di kota. Dengan ditambah sedikit ulasan yang menjelaskan peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta sebelum dan pasca kebijakan affirmatif action. Menjelaskan tujuan dari kebijakan Affirmatif Action. Peneliti akan memaparkan profil DPRD Kota Yogyakarta yang hanya berfokus kepada politisi perempuan di tempatkan dimana saja kelima politisi perempuan di alat kelengkapan dan kesimpulan ide utama dari BAB II. BAB III: Peneliti akan menganalisa terkait kinerja peran politisi perempuan dalam fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dengan memakasi dua kasus untuk menganalisa peran mereka di ketiga fungsi tersebut. Peneliti juga menarik kesimpulan ide utama di bab III.
25
BAB IV: Peneliti akan menjelaskan faktor-faktor yang menjadi kendala peran politisi perempuan di DPRD kota Yogyakarta yang akan dikategorikan menjadi 2, yaitu faktor internal terdiri dari kendala individu dan posisi perempuan yang kurang strategis dan faktor eksternal yang terdiri dari kendala sistem kandidasi dan kendala budaya patriarki serta kesimpulan dari bab IV. BAB V: Penutup yang isinya akan menjelaskan kesimpulan dan saran mengenai peran politisi perempuan di DPRD Kota Yogyakarta.
26