BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Wisata bahari merupakan sebuah tren wisata yang saat ini sedang berkembang pesat di seluruh dunia (Akhyaruddin, 2012). Banyak orang mulai melakukan jenis wisata ini. Beberapa hal yang ingin dilakukan oleh wisatawan pada wisata bahari adalah menyelam (diving), snorkeling, berselancar (surfing), berlayar (sailing), bersampan (boating), memancing, dan sebagainya. Wisata bahari termasuk jenis wisata minat khusus, lebih spesifiknya adalah termasuk jenis wisata petualangan (adventure tourism). Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 13.466 pulau di seluruh wilayahnya (Susanto, 2013) memiliki potensi yang sangat besar terhadap jenis wisata bahari. Hampir setiap gugusan kepulauan yang terdapat di wilayah Republik Indonesia memiliki ciri khas masing-masing. Setiap pulau maupun kepulauan di Indonesia dapat dijadikan objek wisata bahari, mulai dari aktivitas menyelam, snorkeling, renang, selancar, mancing, dan sebagainya. Salah satu lokasi yang terkenal akan kekayaan sumberdaya alam hayatinya adalah Kepulauan Wakatobi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kepulauan Wakatobi terdiri dari 4 gugusan kepulauan utama, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko, yang disingkat menjadi Wakatobi. Salah satu pulau yang menjadi pusat aktivitas kegiatan wisata bahari di Wakatobi, terutama wisatawan kelas ransel dan wisatawan nusantara,
1
2
adalah Pulau Hoga yang terletak di gugusan Pulau Kaledupa. Pulau Hoga juga merupakan pusat basis Operation Wallacea, sebuah organisasi LSM asal Inggris yang berfokus pada penelitian terumbu karang dan perikanan (Trinity, 2011: 167). Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati laut terlengkap di dunia (Hidayati, dkk., 2011: 7). Wilayah ini memiliki garis pantai yang mencapai 251,96 km, 900 jenis ikan, ditambah dengan keberadaan terumbu karang yang sangat luas. Wakatobi sangat kaya akan terumbu karang, terdiri dari 750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia dengan luas 90.000 hektar, dan dikenal sebagai segitiga karang dunia (Ibid). WWF Indonesia tahun 2003 mencatat 396 spesies karang Scleractinia hermatipic yang terbagi dalam 68 genus dan 15 famili. Survei juga mencatat 10 spesies dari spesies karang keras non scleractinia atau hermatipic dan 28 genera karang lunak (Ibid). Dengan segala kelebihan yang dimiliki tersebut, Taman Nasional Wakatobi atau sekarang biasa disingkat TNW (Wakatobi National Park, Tanpa Tahun), menjanjikan keindahan dan keragaman sumber daya alam yang luar biasa. Berbagai macam spesies ikan, terumbu karang, serta makhluk hidup air lainnya menjadi daya tarik tersendiri bagi calon wisatawan yang memiliki minat khusus pada wisata bahari, khususnya aktivitas menyelam dan snorkeling. Di Taman Nasional Karimunjawa, Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 terdapat beberapa aktivitas pariwisata yang kurang memiliki tanggung jawab dan dapat merusak lingkungan. Beberapa contohnya, wisatawan diperkenankan untuk mengambil foto di bawah laut dengan gaya memegang terumbu karang, selain itu wisatawan juga diperbolehkan untuk memberi makanan kepada ikan-
3
ikan laut yang bertujuan untuk memanggil ikan-ikan tersebut agar dapat difoto. Ada kekhawatiran bahwa di objek-objek wisata bahari lain di Indonesia, khususnya pada kawasan konservasi atau taman nasional, terdapat indikasi yang sama terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pariwisata. Salah satu objek wisata bahari yang saat ini sedang naik daun di Indonesia adalah Wakatobi yang termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Wakatobi. Beragamnya keanekaragaman hayati yang terdapat di kepulauan Wakatobi, khususnya di Pulau Hoga, sekaligus kehadiran Operation Wallacea sebagai pusat konservasi terumbu karang dan perikanan tidak menjamin bahwa segala aktivitas dan kegiatan wisata bahari di Pulau Hoga merupakan aktivitas yang tidak merusak atau tidak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Terumbu karang sendiri merupakan salah satu spesies makhluk hidup yang sangat rentan
terhadap
aktivitas
manusia.
Sedikit
saja
aktivitas
yang
tidak
bertanggungjawab dapat merusak kelestarian terumbu karang, apalagi kegiatan yang bersifat merusak seperti pengeboman terumbu karang untuk mencari ikan, penggunaan asam sianida (HCN) dan kalium oksida (K 2 O), penggunaan pukat harimau, dan sebagainya dapat merusak terumbu karang, sehingga juga dapat mempengaruhi usaha atau industri pariwisata. Segala aktivitas atau kegiatan wisata, khususnya kegiatan wisata bahari yang tidak bertanggungjawab juga dapat mengancam kelestarian hidup makhluk hidup laut dan lebih jauh lagi dapat merusak objek wisata itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan suatu studi mengenai berbagai aktivitas wisata bahari yang telah ada dan kemungkinan dampak yang dapat ditimbulkan dari aktivitas tersebut
4
terhadap kelestarian makhluk hidup di sekitarnya. Penelitian ini akan difokuskan di kawasan Pulau Hoga dan perairan sekitarnya.
1.2 Batasan Masalah Penelitian ini berfokus dalam menghitung dan menganalisa daya dukung lingkungan fisik di Pulau Hoga untuk mengetahui apakah aktivitas pariwisata di Pulau Hoga telah menyebabkan degradasi lingkungan atau sebaliknya, memperbaiki lingkungan yang sebelumnya rusak menjadi lebih baik berkat upaya yang dilakukan pengelola yang terkait dalam menjaga kelestarian lingkungan terutama dalam meminimalisasi dampak dari aktivitas pariwisata.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana dampak aktivitas pariwisata terhadap lingkungan fisik di Pulau Hoga dan perairan sekitarnya? 2. Berapa besar daya dukung lingkungan fisik pariwisata di Pulau Hoga? 3. Bagaimana rekomendasi pengelolaan kawasan ekowisata Pulau Hoga berdasarkan daya dukung lingkungan fisiknya?
5
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis dampak aktivitas pariwisata terhadap lingkungan fisik Pulau Hoga dan makhluk hidup di dalamnya. 2. Menganalisis daya dukung lingkungan fisik Pulau Hoga dan perairan sekitarnya untuk kegiatan pariwisata. 3. Memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lingkungan fisik pariwisata di Pulau Hoga.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini bertujuan memperluas khasanah ilmu pengetahuan tentang dampak aktivitas pariwisata,
serta untuk meningkatkan
kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan laut sebagai sumber kehidupan dan sebagai potensi wisata bahari.
1.5.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah : 1) Menambah pemahaman tentang ekowisata, khususnya pariwisata (ekowisata) bahari. 2) Memahami hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam aktivitas pariwisata yang dapat mengancam kelestarian lingkungan.
6
3) Memberikan edukasi bagi masyarakat umum dan calon wisatawan yang akan melakukan kegiatan atau aktivitas wisata bahari, khususnya di kawasan konservasi atau taman nasional, yang bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan.
1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang daya dukung lingkungan dan ekowisata di taman nasional sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa di antaranya: Wijaya (2002) meneliti tentang “Studi Potensi dan Pengembangan Kepariwistaan Alam di Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara”. Penelitian ini memberi kesimpulan bahwa TNKW (Taman Nasional Kepulauan Wakatobi) memiliki banyak objek dengan potensi wisata yang sangat tinggi. Dari hasil inventarisasi penelitian tersebut terdapat 2 (dua) objek wisata alam unggulan, yaitu objek wisata bahari Pulau Hoga dan objek wisata bahari Onemobaa. Selain itu, jumlah wisatawan yang mengunjungi objek wisata alam TNKW pada setiap tahunnya mengalami peningkatan, khususnya wisatawan mancanegara. Diki (2011) meneliti tentang ”Pengembangan Ekowisata Dan Pengaruhnya Pada Perekonomian Daerah Di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi
Tenggara”.
Hasil
penelitian
tersebut menyatakan
bahwa
pengelolaan kepariwisataan di Kabupaten Wakatobi sejauh ini masih belum memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah dan masyarakat
7
lokal, kecuali beberapa masyarakat yang berada di sekitar objek wisata, yang dapat berpartisipasi secara langsung dalam aktifitas ekonomi seperti jasa pemandu, jasa transportasi, pemilik penginapan, rumah makan, pengrajin maupun pedagang yang keliling di sekitar lokasi wisata. Kondisi tersebut menunjukkan belum optimalnya pengelolaan kepariwisataan yang mampu mendorong peningkatan perekonomian daerah dan masyarakat di Kabupaten Wakatobi. Untuk itu, pengelolaan kepariwisataan tersebut diorientasikan pada program ekowisata, agar dapat mencapai tujuan peningkatan perekonomian daerah dan masyarakat. Utina (2010) meneliti tentang “Kajian Potensi Pengembangan Objek Wisata Bahari Di Pulau Hoga Kabupaten Wakatobi”, yang intisarinya: Pulau Hoga merupakan salah satu pulau di Kabupaten Wakatobi yang memiliki potensi objek wisata bahari, baik yang berada di dasar/bawah laut, permukaan laut, maupun panorama pantai serta keunikan budaya bahari. Safiuddin (2010) meneliti tentang “Tinjauan Hukum Sumber Daya Alam Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Untuk Konsevasi Terumbu Karang Di Taman Nasional Wakatobi”. Hasil penelitian ini memberi kesimpulan bahwa program pemberdayaan masyarakat untuk konservasi di TNW dari sisi konservasi terumbu karang relatif baik, namun pada sisi lain belum menunjukkan hasil-hasil konkrit yang bisa diberikan pada masyarakat, khususnya masyarakat adat/lokal Bajo terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
8
Anggraini (2011) meneliti tentang “Analisis Daya Dukung Lingkungan Untuk Kawasan Ekowisata Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. Hasil penelitian ini adalah: (1). Kecenderungan minat wisatawan Pulau Pramuka adalah wisata bahari dan persepsi wisatawan dan masyarakat terhadap ekowisata di Pulau Pramuka adalah positif. (2). Perlu pembatasan pengunjung pada jumlah di bawah daya dukung agar kondisi lingkungan masih dapat menolerir kegiatan pengunjung. Sustri (2009) meneliti tentang “Daya Dukung Wisata Alam di Taman Nasional Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah”. Hasil penelitian ini adalah daya dukung Taman Nasional Kepulauan Togean masih besar sehingga dapat menampung wisatawan dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang lama.
1.7 Landasan Teori 1.7.1 Wisata Bahari (Marine Tourism) Menurut Marine Ecotourism for the Atlantic Area (META, 2011) dalam Anggraini (2013) definisi ekowisata bahari adalah segala bentuk aktivitas ekowisata yang mengambil tempat pada daerah-daerah zona pantai dan lingkungan laut. Pengambilan ikan yang berlebihan dan di luar batas daya dukungnya akan menyebabkan berkurangnya jumlah ikan di laut sehingga dapat menyebabkan rusaknya ekosistem, terlebih lagi penggunaan cara-cara
9
yang dilarang seperti pengeboman terumbu karang untuk mencari ikan, penggunaan asam sianida (HCN) dan kalium oksida (K 2 O), penggunaan pukat harimau, dan sebagainya juga dapat merusak terumbu karang sehingga dapat mempegaruhi minat wisatawan untuk berwisata. Aktivitas wisata yang terlalu berlebihan dan tidak memperhatikan daya dukung suatu kawasan dapat mempengaruhi lingkungan di kawasan tersebut sehingga dapat mengancam kelestarian alam. Apabila lingkungan suatu kawasan wisata rusak, minat wisatawan untuk berkunjung ke kawasan tersebut semakin lama akan semakin berkurang. Wisata bahari merupakan salah satu jenis wisata yang sangat rentan terhadap aktivitas manusia dan perubahan lingkungan. Terumbu karang yang menjadi daya tarik utama wisata bahari bersifat sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Kerusakan terumbu karang bisa disebabkan oleh adanya aktivitas manusia secara langsung maupun adanya proses alami seperti gempa, gelombang dan badai, berbagai jenis penyakit, dan kenaikan suhu akibat perubahan iklim global (Hidayati dkk., 2008).
1.7.2 Daya Dukung Lingkungan Fisik Pariwisata Dalam industri pariwisata, kepuasan wisatawan adalah salah satu faktor penting dan menentukan kualitas dari jasa maupun aktivitas berwisata itu sendiri. Dalam bidang wisata alam atau ekowisata, kualitas lingkungan objek wisata sangat menentukan hal tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas lingkungan tersebut adalah
10
dengan menentukan batas maksimum wisatawan yang dapat diakomodasi oleh suatu objek dan daya tarik wisata. Untuk mengukur batas maksimum tersebut, di dalam ilmu ekologi terdapat istilah ‘Daya Dukung’ atau Carrying Capacity. Daya dukung adalah suatu ukuran jumlah individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu (Manik, 2003: 121). Sedangkan World Tourism Organization (1981) dalam Santonocito (2009) mendefinisikan daya dukung lingkungan sebagai “the maximum number of people that may visit a tourist destination at the same time, without causing destruction of the phsycal, economic, sosio-cultural environment and an unacceptabe decrease in the quality of visitors’ satisfaction”. Sementara itu, menurut seorang ahli lingkungan bernama Soemarwoto (1988) dalam Fandeli (2009: 69), daya dukung lingkungan objek wisata alam adalah kemampuan objek wisata alam untuk dapat menampung jumlah wisatawan pada luas dan satuan waktu tertentu. Daya dukung pariwisata sangat tergantung pada beberapa aspek yaitu kondisi lingkungan, dan jumlah serta perilaku wisatawan (Fandeli, 2009: 70). Untuk mengetahui batas daya dukung suatu kawasan wisata, dapat menggunakan analisis Daya Dukung Fisik dan Daya Dukung Ekologis.
a. Daya Dukung Fisik/ Daya Dukung Kawasan Daya Dukung Fisik (Physical Carrying Capacity) adalah jumlah maksimum pengunjung yang disediakan pada waktu tertentu. Menurut
11
Cifuentes (1992) yang dikutip oleh Wiratno (2000) dalam Fandeli (2009) rumus daya dukung fisik adalah sebagai berikut.
PCC = A x v/a x Rf Di mana: PCC
: physical carrying capacity
A
: area yang digunakan untuk umum
v/a
: 1 pengunjung per m2
Rf
: faktor rotasi
Parameter yang digunakan berdasarkan Yulianda (2007) dalam Anggraini (2013) adalah sebagai berikut. Tabel 1.1 Potensi Ekologis Pengunjung dan Luas Area Kegiatan No.
Jenis Kegiatan
K (Jumlah pengunjung)
Unit Area (Lt) (m2)
1
Selam
2
1000
2
Snorkeling
1
250
3
Wisata Lamun
1
250
4
Rekreasi Pantai
1
20
Keterangan Setiap 2 org dalam 100 m x 10 m Setiap 1 org dalam 50 m x 5 m Setiap 1 org dalam 50 m x 5 m 1 org dalam 2 m x 10 m
Sumber: Yulianda (2007 dalam Anggraini 2013) Tabel 1.2 Prediksi Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata
No. 1 2
Kegiatan Selam Snorkeling
Waktu yang dibutuhkan (Wp) jam
Total Waktu 1 hari (Wt) (jam)
2 3
8 6
12
3 Berenang 2 4 Berperahu 1 5 Berjemur 2 6 Rekreasi Pantai 3 Sumber: Yulianda (2007 dalam Anggraini 2013)
4 8 4 6
b. Daya Dukung Ekologis Daya dukung ekologis merupakan perhitungan angka daya dukung dengan mempertimbangkan faktor pemulihan atau natural recovery atau natural purification yang diperkenalkan oleh Douglass (1975) sebagai turn over factor atau TF. Douglass (1975) menemukan beberapa aktivitas wisata yang menimbulkan usikan atau cekaman terhadap lingkungan dengan nilai turn over factor 1,5 untuk berenang, 2,0 untuk berperahu, 1,5 untuk piknik, dan 1,0 untuk berkemah. Kebutuhan area untuk berwisata dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.3 Kebutuhan Areal untuk Berwisata Alam
No 1 2 3 4
Aktivitas
Kebutuhan Area Berwisata (termasuk areal parkir)
Berenang 302 feet2 Berperahu 544 feet2 Piknik 2725-726 feet’ Berkemah 3640-907 feet’ Sumber: Douglas (1975 dalam Fandeli 2009)
Turnover Factor (TF) 1,5 2,0 1,5 1,0
Dari angka-angka tersebut dapat dihasilkan suatu rumus kebutuhan area suatu kawasan wisata dengan memperhitungkan daya dukung ekologis sebagai berikut.
13
AR = Di mana:
𝐃𝐃 𝐱𝐱 𝐀𝐀 𝐂𝐂𝐂𝐂 𝐱𝐱 𝐓𝐓𝐓𝐓 𝐱𝐱 𝟒𝟒𝟒𝟒,𝟓𝟓𝟓𝟓𝟓𝟓
AR
: Area yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata
D
: Permintaan wisatawan untuk suatu aktivitas
a
: Kebutuhan area setiap wisatawan dalam feet
Cd
: Jumlah hari dalam satu tahun yang dapat dipergunakan untuk kegiatan tertentu
TF
: Faktor pemulihan
43,560 : Konstanta (diperoleh dari konversi acre ke feet2)
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi literatur, observasi, dan wawancara 1) Metode observasi. Metode observasi adalah cara mengumpulkan data berdasarkan pada pengamatan langsung terhadap gejala fisik objek penelitian (Wardiyanta, 2006: 32). Data yang diamati adalah kondisi fisik lingkungan Pulau Hoga, keadaan biota laut perairan Pulau Hoga, ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas wisata, aksessibilitas, dan bentuk pengelolaan Pulau Hoga sebagai objek wisata. 2) Metode Studi Literatur. Metode studi literatur dilakukan sepenuhnya di Yogyakarta. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku mengenai kepariwisataan alam, taman nasional, daya dukung lingkungan,
14
konservasi serta pemanfaatan lahan sebagai daerah wisata, studi literatur melalui skripsi, tesis, surat kabar cetak dan daring, serta artikel dan jurnal ilmiah. 3) Metode Wawancara. Metode wawancara secara personal dilakukan dengan wisatawan, petugas Balai Taman Nasional Wakatobi SPTN II Kaledupa, pihak LSM yang turut serta dalam menjaga kelestarian alam Taman Nasional Wakatobi, yaitu WWF (World Wide Fund for Nature), dan pengelola Operation Wallacea sebagai pengelola Pulau Hoga.
1.8.2 Metode Analisis Data Data-data
yang
diperoleh
peneliti
akan
dikumpulkan
untuk
selanjutnya dikelompokkan berdasarkan jenis data, spesifikasi data, dan periode
atau
waktunya.
Selanjutnya
data-data
tersebut
akan
diimplementasikan ke dalam rumus daya dukung lingkungan. Hasil dari proses olah data tersebut adalah berupa angka-angka yang kemudian diinterpretasikan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan dan saran.