BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat itu meninggal dunia. Membicarakan faraidh atau kewarisan adalah membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Dengan demikian fiqh Mawarits mengandung arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih hidup.1 Hasbi ash-Shiddieqy mendefinisikan fiqh mawaris sebagai “ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang diterima oleh setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya”.2 Dalam istilah sehari-hari fiqh mawaris disebut juga dengan hukum warisan yang sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari kata fiqh mawaris. Bedanya, fiqh mawaris menunjuk identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan mempunyai konotasi umum, bisa mencakup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata. Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan, “warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
1 2
Amir Syarifuddin, 2003, Garis-garis Besar Fiqh, Prenada Media, Jakarta, hlm. 147 Hasbi Ash-Shiddieqy, 1997, Fiqh Mawaris, PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, hlm. 6.
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.3 Menurut Ahmad Rofiq beberapa pengertian yang dikemukakan para sarjana tentang fiqh mawaris dapat ditegaskan bahwa pengertian fiqh mawaris adalah fiqh yang mempelajari tentang siapa-siapa orang yang termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima mereka, siapa-siapa yang tidak termasuk ahli waris, dan bagaimana cara penghitungannya. 4 Dalam hubungannya dengan keterangan di atas, dalam hukum waris Islam ada ketentuan halangan untuk menerima warisan. Halangan untuk menerima warisan atau disebut dengan mawani‟ al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris. Hal-hal yang dapat menghalangi tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu 1). Pembunuhan (al-qatl), 2). Berlainan agama (ikhtilaf al-din), 3). Perbudakan (al-‟abd), dan yang tidak disepakati ulama adalah 4). Berlainan negara.5 Dalam hubungannya dengan waris mewarisi antara muslim dengan non muslim (waris beda agama) telah ditentukan bahwa berlainan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan al-muwarris, salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya, ahli waris beragama Islam, muwarissnya beragama Kristen, atau sebaliknya. Demikian kesepakatan mayoritas Ulama. Demikian juga tidak termasuk dalam pengertian berbeda agama, orang-orang Islam yang berbeda mazhab, satu bermazhab Sunny dan yang lain Syi‟ah.
3
Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hlm.13 Ahmad Rofiq, 2001, Fiqh Mawaris, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.4 5 Muslich Maruzi, 1981, Pokok-pokok Ilmu Waris, Pustaka Amani, Semarang, hlm. 13. 4
Dasar hukumnya adalah hadits Rasulullah riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Nabi saw. Bersabda: Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim. (Muttafaq „alaih). Hadits riwayat Ashhab al-Sunan (penulis kitab-kitab al-Sunan) yaitu Abu Dawud, al-Tirmizi, alNasa‟i, dan Ibnu Majah. Hal ini diperkuat lagi dengan petunjuk umum surat an-Nisa‟ ayat 141 sebagai berikut : “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang mukmin) (QS. al-Nisa: l4l)”.6 Nabi SAW. sendiri mempraktikkan pembagian warisan, di mana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang mewarisi. Ketika paman beliau, Abu Thalib orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Nabi SAW. meninggal sebelum masuk Islam, oleh Nabi SAW. harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu „Uqail dan Thalib. Sementara anak-anaknya yang telah masuk Islam, yaitu „Ali dan Ja‟far, oleh beliau tidak diberi bagian. Dari harta warisan tersebut7 Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi pertimbangan apakah antara ahli waris dan muwarris berbeda agama atau tidak, adalah pada saat muwarris meninggal. Karena pada saat itulah hak warisan itu mulai berlaku. Jadi misalnya ada seorang muslim meninggal dunia, terdapat ahli waris anak laki-laki yang masih kafir, kemudian seminggu setelah itu masuk Islam, meski harta warisan belum dibagi, anak tersebut tidak berhak mewarisi harta peninggalan si mati. Dan bukan pada saat pembagian warisan yang dijadikan pedoman. Demikian kesepakatan mayoritas Ulama.8
6
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, 1986, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Depag RI, hlm. 103 7 Ahmad Rofiq, op. cit, hlm.36 8 Ibid, hlm. 36
Terhadap kesepakatan mayoritas ulama di atas, ternyata ada cendekiawan muslim Indonesia yaitu Nurcholis Madjid, dkk, justru mengemukakan pendapat yang menyentak sebagian umat Islam. Pendapatnya ia ungkapkan dalam buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama, yang mengatakan “Dalam pandangan yang lebih mendasar, ayat yang digunakan para ulama fikih merupakan ayat yang tidak menunjuk langsung pada pengharaman waris beda agama, melainkan hadits yang bersifat umum, karenanya, ayat tersebut tidak bisa serta merta bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda agama. Dalam banyak ayat, Tuhan justru mengakomodasi agama-agama langit (Kristen, Yahudi dan Shab‟ah) dan mereka yang beramal shaleh. Mereka pun akan mendapatkan surga di hari kiamat nanti. Dengan demikian, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu al-arham), keturunan (nasab) dan menantu (shakhr), apapun agamanya. Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga. Dan Logikanya, bila Islam menghargai agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan”.9 Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pembagian Harta Warisan Untuk Ahli Waris Yang Berbeda Agama (Muslim dan Non Muslim) (Studi kasus Putusan PA Jakarta Pusat No. 377/Pdt.G/1993/PA.JP dan PTA Jakarta No. 014/Pdt.G/1994/PTA.Jk)”.
B Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
9
Nurcholish Madjid, et al., 2004, Fiqih Lintas Agama, Paramadina, cet ke-5, Jakarta, hlm. 167
1.
Apakah Dasar Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara pewarisan untuk ahli waris yang berbeda agama?
2.
Bagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dalam perkara pewarisan untuk ahli waris yang berbeda agama?
C Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan penelitian ini antara lain: 1.
Mengetahui dasar putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara pewarisan untuk ahli waris yang berbeda agama?
2.
Untuk mengetahui hasil putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dalam perkara pewarisan untuk ahli waris yang berbeda agama?
D Keaslian Penelitian Kajian tentang Pembagian Harta Warisan untuk Ahli Waris yang berbeda Agama telah banyak dilakukan, sepengetahuan Peneliti ada beberapa penelitian dalam bentuk disertasi yang mengkaji hal tersebut yang dilakukan oleh: 1. HM. Sutomo, dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam penelitian disertasinya yang berjudul “Dinamika Hukum Kewarisan Islam di Indonesia” pada tahun 2011. Disertasi ini membahas hak kewarisan ahli waris dzawil furud perempuan khususnya anak perempuan ketika bersama paman atau bibi, anak perempuan ketika bersama anak laki-laki dan hak ahli waris janda terkait dengan harta bersama. Disamping itu juga dibahas Hak Kewarisan ahli waris bukan ahli waris
dzawil furud . yakni ahli waris pengganti, anak angkat, status hibah wasiat kepada ahli waris, dan ahli waris beda agama. Dalam penelusurannya terhadap Yurisprudensi MA tahun 1992-2002 terkait dengan hak ahli waris beda agama disimpulkan, putusan-putusan tersebut menunjukkan adanya dinamika pemikiran yang progresif di kalangan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, yakni berpaling dari fiqh mazhab dan KHI. Keduanya baik fiqh mazhab maupun KHI sama sekali tidak memberi bagian kepada ahli waris non muslim, baik dengan jalan pewarisan maupun wasiat wajibah, sedangkan MA memberi bagian kepada ahli waris non muslim dengan jalan wasiat wajibah yang besarannya sama dengan bagian ahli waris muslim. Meskipun sepakat dengan penerapan wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim, namun HM. Sutomo tidak menjelaskan apa alasan dan pertimbangan hukumnya, dan dampaknya terhadap aturan-aturan hukum mengenai Hukum Kewarisan Islam yang berlaku selama ini. 2. Sidik Tono dari Universitas Islam Indonesia dalam penelitian disertasinya yang berjudul “Wasiat Wajibah sebagai Alternatif Mengakomodasi Bagian Ahli Waris non Muslim di Indonesia.” pada tahun 2013. Dalam karyanya, Sidik Tono membahas penerapan
wasiat wajibah bagi ahli waris
non Muslim dalam
penyelesaian sengketa di lingkungan Peradilan Agama, dengan mengkaji putusan MA No. 51 K/AG/1999. Dalam kajiannya terhadap putusan tersebut, ia sepakat dengan MA yang memberikan bagian kepada ahli waris non muslim yang terhalang menerima warisan dari pewaris muslim dengan sarana wasiat wajibah. Menurutnya wasiat wajibah untuk ahli waris non muslim merupakan produk penemuan hukum
abad ke-20 yang adil dan responsif. Kebolehan memberi wasiat kepada ahli waris non muslim disimpulkan dari ketentuan QS: Al-Baqarah (2) : 180 dan QS Al-Maidah (5) : 106. Namun meskipun sepakat dengan keputusan MA tersebut, ia tidak menjelaskan apa alasan dan pertimbangan hukumnya, dan dampaknya terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku mengenai Hukum Kewarisan Islam selama ini. Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan kedua penelitian di atas, dalam penelitian ini, penulis menitikberatkan pada dasar dan alasan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam membuat keputusan tentang bagian ahli waris yang berbeda agama dari si Pewaris. Bagaimana keputusan dari kedua institusi Pengadilan ini berbeda satu dengan lainnya, pertimbangan-pertimbangan hukum apa saja yang menjadi landasan hukumnya, dan apa dampaknya terhadap Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.
E Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh bagi beberapa pihak dari penelitian mengenai “Pembagian Harta Warisan Untuk Ahli Waris Yang Berbeda Agama (Muslim dan Non Muslim)”. 1. Bagi penulis, dengan melakukan penelitian ini penulis memperoleh pengalaman dan ilmu pengetahuan baru mengenai pewarisan dengan ahli waris yang berbeda agama. 2. Bagi Pengadilan Agama dan Pengadilian Tinggi Agama, dapat dijadikan sebagai catatan/koreksi dan yurisprudensi perkara sejenis, sekaligus memperbaiki apabila ada kelemahan dan kekurangan.
3. Bagi ahli waris, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan atau untuk bahan pertimbangan dan masukan apabila ternyata mengalami kasus yang sejenis.