BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Masalah Serangan udara yang dilakukan Israel ke Jalur Gaza pada Sabtu, 27 Desember 2008
lalu, merupakan suatu peristiwa yang menarik perhatian semua orang di berbagai negara di dunia dan menjadi sumber pemberitaan yang bernilai tinggi bagi setiap media massa. Bukan hanya karena ada konflik yang menyertainya, tetapi juga karena akibat yang ditimbulkannya. Bahkan gempuran rudal milik Israel yang berjatuhan di Gaza City merupakan serangan Israel yang paling dahsyat terhadap Palestina sejak 25 tahun terakhir dengan jumlah korban jiwa yang sungguh di luar akal sehat: lebih dari 400 orang dalam tempo sepekan! PBB memperkirakan, setidaknya ada 100 anak-anak Palestina dari 442 korban tewas dalam serangan Israel hingga hari ketujuh. Korban cedera akibat serangan tersebut dari yang ringan hingga parah sekitar 2.000 orang.1 Selain menimbulkan banyaknya korban jiwa, peristiwa ini juga memunculkan kekalutan luar biasa. Banyak warga Gaza yang berniat mengungsi ke wilayah Mesir melalui perbatasan Rafah. Namun, adanya kebijakan negara Mesir yang menutup perbatasan tersebut malah meluapkan kemarahan negara-negara Arab terhadap Israel dan Mesir. Kejadian ini menimbulkan kecemasan, wilayah Timur Tengah akan kembali terjerumus dalam ketidakstabilan baru. Agresi yang dilakukan Israel ke Jalur Gaza sejak 27 Desember lalu ini merupakan bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas dan konflik berkelanjutan antara bangsa Israel dan Palestina. Jalur Gaza yang merupakan daerah konflik Israel-Hamas adalah wilayah yang 1 1
Surat Kabar Harian Kompas, 3 Januari 2009, PT Kompas Media Nusantara, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
2 terletak di bagian Tenggara Tanah Palestina dengan panjang sekitar 35 kilometer dan lebar antara lima sampai tujuh kilometer. Daerah ini pernah dikuasai Kekhalifahan Utzmaniah (Otoman) sejak tahun 1517 sampai tahun 1917 saat kekhalifahan itu runtuh. Setelah itu masuk dalam mandat Inggris sampai tahun 1947. Pada 2 November 1917, Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan “tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina. Selang 30 tahun berlalu, tepatnya pada 14 Mei 1948, Israel secara sepihak mengumumkan diri sebagai negara Yahudi dan Inggris keluar dari Palestina. Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Yordania dan Arab Saudi pun menabuh genderang perang melawan Israel. Sejak tahun 1948 tersebut, nyaris Tanah Palestina tidak pernah sepi dari peperangan. Setelah perang, Gaza dikuasai Mesir hingga 1948, lalu direbut Israel pada tahun 1967. Perang besar Arab-Israel yang berlangsung pada tahun 1967, membuat perjuangan bangsa Palestina untuk mewujudkan sebuah negara Palestina semakin berat. Israel masih tetap menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur yang merupakan wilayah Negara Palestina Merdeka. Berbagai perundingan damai turut digalakkan untuk mengakhiri konflik IsraelPalestina. Seperti misalnya, pada 13 September 1993, Israel dan PLO bersepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Hasilnya adalah Kesepakatan Oslo. Namun, perseteruan kembali terjadi ketika pada 25 Januari 2006, faksi Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah, Gerakan Perlawanan Islam) memenangkan pemilu legislatif Palestina dan menyudahi dominasi faksi Fatah (faksi terbesar dalam PLO, Organisasi Pembebasan Palestina yang didirikan oleh Yaser Arafat) selama 40 tahun. Perpecahan kedua faksi di Palestina ini mencapai puncaknya ketika Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza pada Juni 2007.
Universitas Sumatera Utara
3 Ketegangan di Gaza kian meningkat memasuki awal hingga pertengahan tahun 2008. Israel memutus suplai gas dan listrik. Hingga pada November 2008, Hamas kemudian membatalkan keikutsertaannya dalam pertemuan unifikasi Palestina di Kairo, Mesir. Hamas menolak memperbaharui perjanjian gencatan senjata enam bulan dengan Israel yang akan berakhir pada 19 Desember 2008. Serangan roket kecil oleh Hamas yang berjatuhan di wilayah Israel pun menjadi awal dimulainya agresi Israel ke Jalur Gaza. Balasan atas serangan roket dan aktivitas teror yang berkelanjutan yang dilakukan Hamas dari Jalur Gaza, dengan kerapnya peluncuran roket dengan target warga sipil, diklaim Israel sebagai alasan membombardir Jalur Gaza akhir Desember lalu. Sebaliknya, Deputi Kepala Biro Politik Hamas, Musa Abu Marzouq, menyatakan keputusan Hamas membidikan roket-roket ke Israel tanpa memastikan itu sasaran militer, adalah upaya pertahanan diri Palestina dari intimidasi Israel yang selalu menyerang kaum sipil pendukung Hamas. Memasuki hari ke-14, pasukan militer Israel yang disebut Operation Cast Lead ini kembali melancarkan serangan udara ke setidaknya 40 titik di Jalur Gaza. Pertempuran pada Sabtu, 10 Januari 2009 ini berkobar setelah Israel dan Hamas tidak mempedulikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan agar gencatan senjata di Gaza diberlakukan. Resolusi yang ditandatangani 14 negara anggota DK tersebut menyerukan agar gencatan senjata harus diterapkan segera dengan durasi lama, sehingga Israel mau menarik pasukannya keluar dari Gaza. Berita penyerangan Israel ke Jalur Gaza yang sudah menelan korban jiwa hingga 1.245 orang, mencederai sekitar 5.300 orang serta menimbulkan kerugian material sekitar Rp 5,2 triliun, turut memenuhi ruang dan waktu dalam pemberitaan di setiap media. Tak terkecuali media nasional dan media-media lokal di Indonesia. Hal ini terlihat dari maraknya
Universitas Sumatera Utara
4 media tersebut yang menjadikan topik penyerangan Israel ke Jalur Gaza sebagai berita utama (headline) surat kabar mereka. Tak salah jika media berlomba-lomba untuk menampilkan pemberitaan seputar agresi Israel ke Jalur Gaza ini sebagai headline di surat kabar mereka. Masing-masing media berusaha menyediakan ruang dan waktu demi mendapatkan berita yang utuh terkait peristiwa tersebut. Namun dalam hal ini, media massa dituntut untuk bekerja secara profesional dengan tidak melakukan pemberitaan yang memihak atau menyudutkan salah satu pihak. Walau pada kenyataannya, tiap-tiap institusi media seringkali memiliki kepentingan sendiri-sendiri dalam menempatkan dan menonjolkan isu-isu tertentu. Menurut Antonio Gramsci, media dapat dilihat sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, media bisa menjadi sarana penyebaran ideologis penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. 2 Artinya berita yang diproduksi tidak dihasilkan dalam sebuah ruang hampa. Ada orang-orang atau pihak yang terlibat dalam proses melahirkan sebuah berita berikut aspek kepentingan dan konflik yang menyertainya. Beberapa media dalam menyajikan pemberitaan “Agresi Israel ke Jalur Gaza” mungkin saja bersifat netral dan bukan tidak mungkin berpihak terhadap Palestina ataupun Israel. Keberpihakan tersebut dapat terlihat melalui frekuensi kemunculan pemberitaan “Agresi Israel ke
Jalur
Gaza”,
ataupun
dari bagaimana
masing-masing
media
menggambarkan pihak yang terlibat konflik, apakah media tersebut memberikan gambaran 2
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
5 yang positif atau negatif atau justru memberikan porsi yang sama antara gambaran yang positif dan negatif dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Dengan menggunakan metode analisis isi diharapkan dapat mengetahui bagaimana media menyajikan pemberitaan “Agresi Israel ke Jalur Gaza”. Sisi penting metode analisis isi dapat dilihat dari sifatnya yang khas. Pertama, dengan metode ini, pesan media bersifat otonom, sebab peneliti tidak bisa mempengaruhi objek yang dihadapinya. Kedua, dengan metode ini materi yang tidak berstruktur dapat diterima tanpa si penyampai harus memformulasikan pesannya sesuai dengan struktur si peneliti. Penelitian ini secara umum berusaha melihat bagaimana sikap media Indonesia terhadap agresi yang dilakukan Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza. Dalam melakukan pemberitaan tentang konflik Israel dan Palestina ini, media tertentu harus adil dan berupaya agar berita tersebut tidak mengunggulkan ataupun menjatuhkan salah satu pihak yang bertikai. Dua surat kabar yang menjadi objek penelitian ini adalah Surat Kabar Harian (SKH) Kompas dan Waspada. Pemilihan SKH Kompas adalah karena harian ini berskala nasional dan kualitas pemberitaannya sudah diakui masyarakat Indonesia. Sedangkan SKH Waspada, harian terbesar di Sumatera Utara, peneliti anggap dapat mewakili harian lokal dalam memberitakan peristiwa tersebut. Selain itu, dari perspektif sejarah, kedua harian ini telah lama berdiri dan mapan. Hal-hal yang terurai di atas kemudian melatarbelakangi ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian tentang pemberitaan yang berkaitan dengan agresi Israel ke Jalur Gaza di Surat Kabar Harian Kompas dan Waspada yang terbit dari edisi 28 Desember 2008 sampai dengan 28 Januari 2009 dengan menggunakan metode analisis isi.
I.2.
Perumusan Masalah
Universitas Sumatera Utara
6 Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana frekuensi kemunculan dan posisi penempatan berita "Agresi Israel ke Jalur Gaza" di SKH Kompas dan Waspada? 2. Bagaimana bentuk penyajian berita "Agresi Israel ke Jalur Gaza" di SKH Kompas dan Waspada? 3. Bagaimana isi pesan pemberitaan "Agresi Israel ke Jalur Gaza" di SKH Kompas dan Waspada dilihat dari penggambaran terhadap pihak yang berkonflik serta ada tidaknya pemakaian kata-kata atau kalimat yang menunjukkan kekerasan simbolik?
I.3.
Pembatasan Masalah Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas dan memfokuskan arah penelitian
yang akan dilakukan, maka peneliti menetapkan pembatasan masalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi kuantitatif. Artinya bahwa penerapan metode analisis isi ini sebatas melihat kecenderungan isi media terhadap isu-isu atau topik permasalahan tertentu, yang kemudian mengkuantifikasikan isi pemberitaan media dengan menghitung jumlah frekuensi tema-tema atau topik-topik tertentu. 2. Penelitian hanya dilakukan pada SKH Kompas dan Waspada. 3. Penelitian hanya dilakukan pada pemberitaan mengenai “Agresi Israel ke Jalur Gaza” yang terbit pada 28 Desember 2008 - 28 Januari 2009. 4. Penelitian dilakukan pada berita “Agresi Israel ke Jalur Gaza” dengan memuat kategori yang meliputi posisi penempatan berita, bentuk penyajian berita, narasumber berita, penggambaran terhadap pihak yang berkonflik dan penggunaan kekerasan simbolik.
Universitas Sumatera Utara
7 I.4.
Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui frekuensi kemunculan berita “Agresi Israel ke Jalur Gaza” di SKH Kompas dan Waspada. 2. Untuk mengetahui isi pesan pemberitaan "Agresi Israel ke Jalur Gaza" di SKH Kompas dan Waspada dilihat dari posisi penempatan berita, bentuk penyajian berita, narasumber berita, penggambaran terhadap pihak yang berkonflik serta ada tidaknya pemakaian kata-kata atau kalimat yang menunjukkan kekerasan simbolik. 3. Untuk mengetahui arah pemberitaan “Agresi Israel ke Jalur Gaza” di SKH Kompas dan Waspada
I.4.2. Manfaat Penelitian 1. Menguji pengalaman teoritis penulis selama mengikuti studi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU terutama dalam bidang Jurnalistik. 2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbang pikir penulis dalam melengkapi perbendaharaan penelitian mengenai analisis media.
3. Secara praktis, diharapkan penelitian ini menjadi suatu referensi bagi pengelolaan berita politik luar negeri di kedua harian tersebut.
I.5.
Kerangka Teori Rancangan penelitian yang baik dan memenuhi standar ilmiah haruslah menyertakan
kajian teori atau perspektif teoritik yang dipandang relevan untuk membantu memahami atau menjelaskan fenomena sosial yang diteliti. 3
3
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.
45
Universitas Sumatera Utara
8 Adapun fungsi teori disini juga untuk memberi bantuan dalam ketajaman analisis peneliti terhadap masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, teori yang relevan digunakan adalah:
I.5.1
Pendekatan Isi Media
Dalam pembentukan sebuah berita, terlebih dahulu melewati proses yang rumit dan banyaknya faktor yang berpotensi untuk mempengaruhi berita tersebut. Ada banyak kepentingan dan pengaruh yang dapat mengintervensi media, sehingga pasti akan terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dalam presentasi media. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. 4 Ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi, yaitu:
Gambar 1.1 Reference Of Influence Individual Rutinitas Media Organisasi Media Ekstramedia Ideologi
4
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, LkiS, Yogyakarta, 2001, hlm. 7-12.
Universitas Sumatera Utara
9
1. Faktor individual Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level ini melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Aspek persona tersebut secara hipotetik mempengaruhi skema pemahaman pengelola media.
2. Level rutinitas media Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media karenanya mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita.
3. Level organisasi
Universitas Sumatera Utara
10 Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri. Berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
4. Level ekstramedia Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media yaitu sumber berita, sumber penghasil media, dan pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber penghasil media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/ pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Sementara, pengaruh pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media.
5. Level ideologi
Universitas Sumatera Utara
11 Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Ideologi berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan berita. Pada level ini akan terlihat siapa yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan.
I.5.2
Media Massa dan Surat Kabar
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang secara harfiah diartikan sebagai perantara atau pengantar. Media adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memperjelas materi atau mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Effendy mendefinisikan media massa sebagai media yang mampu menimbulkan keserempakan di antara khalayak yang sedang memperhatikan pesan yang dilancarkan oleh media tersebut. 5 Mengenai jenis atau bentuknya, media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media elektronik. Media massa cetak berupa surat kabar, majalah, tabloid, buletin dan sebagainya. Sedangkan media massa elektronik berupa film, radio, televisi, dan lainnya. Perkembangan masyarakat yang dipacu oleh kemajuan teknologi yang semakin canggih telah memunculkan internet sebagai bentuk dari media massa online. Media massa hadir sebagai sebuah institusi sosial, dan menjalankan fungsinya untuk menyediakan informasi bagi orang-orang yang berada dalam berbagai institusi sosial. Media menjadi bagian dari tataran institusional, yang melayani warga masyarakat dalam keberadaannya sebagai bagian dari suatu institusi sosial.
5
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hlm. 26.
Universitas Sumatera Utara
12 Sebagai institusi media, media massa berbeda dengan institusi pengetahuan lainnya (misalnya seni, agama. ilmu pengetahuan, pendidikan, dan lain-lain) karena media massa memiliki
fungsi
pengantar
bagi
segenap
macam
pengetahuan,
media
massa
menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik serta media massa dapat menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya. Media massa juga dapat berperan sebagai penengah atau penghubung antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Konsep yang memandang media massa sebagai institusi yang berada di “antara” kita dengan orang lain, dan segala sesuatunya yang ada dalam ruang dan waktu, merupakan suatu metafora yang mengundang hadirnya penggunaan metafora lainnya untuk menggambarkan pesan yang dimainkan oleh media massa dan konsekuensi yang mungkin ada dalam peran tersebut. Harsono Suwardi menyatakan bahwa ada beberapa aspek dari media massa yang membuat
dirinya
penting. 6
Pertama,
daya
jangkaunya
yang
amat
luas
dalam
menyebarluaskan informasi yang mampu melewati batas wilayah (geografis), kelompok umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi (demografis) dan perbedaan paham dan orientasi (psikologis). Kedua, kemampuan media untuk melipatgandakan pesan yang luar biasa. Satu peristiwa dapat dilipatgandakan pemberitaannya sesuai jumlah eksemplar koran, tabloid dan majalah yang dicetak; serta pengulangannya (di radio dan televisi) sesuai kebutuhan. Ketiga, setiap media massa dapat mewacanakan sebuah peristiwa sesuai pandangan masing-masing. Keempat, dengan fungsi penetapan agenda (agenda setting) yang dimilikinya, media massa mempunyai kesempatan yang luas untuk memberitakan sebuah peristiwa. Kelima, pemberitaan peristiwa oleh suatu media biasanya berkaitan dengan media
6
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa, Granit, Jakarta, 2004, hlm. xv-xvi.
Universitas Sumatera Utara
13 lainnya, sehingga membentuk rantai informasi (media as link in other chains). Hal ini akan menambah kekuatan pada penyebaran informasi dan dampaknya terhadap publik. Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya. Sejarah telah mencatat keberadaan surat kabar dimulai sejak ditemukannya media cetak oleh Johannes Guternberg di Jerman. Menurut Agee seperti dikutip Ardianto, secara kontemporer surat kabar memiliki tiga fungsi utama dan fungsi sekunder. 7 Fungsi utama surat kabar adalah: (1)
to inform (menginformasikan kepada pembaca secara objektif tentang apa yang terjadi dalam suatu komunitas, negara dan dunia;
(2)
to comment (mengomentari berita yang disampaikan dan mengembangkannya ke dalam fokus berita;
(3) to provide (menyediakan keperluan informasi bagi pembaca yang membutuhkan barang dan jasa melalui pemasangan iklan media.
Sedangkan fungsi sekunder surat kabar, adalah: (1) untuk kampanye proyek-proyek yang bersifat kemasyarakatan, yang diperlukan sekali untuk membantu kondisi-kondisi tertentu, (2) memberikan hiburan kepada pembaca dengan sajian khusus; (3) melayani pembaca sebagai konselor yang ramah, menjadi agen informasi dan memperjuangkan hak. Perkembangan surat kabar di Indonesia ditandai dengan adanya surat kabar nasional (yang terbit di ibukota Jakarta). Umumnya, surat kabar ini memiliki jumlah pembaca yang cukup banyak meliputi di seluruh daerah sebarannya. Selain itu, juga ditandai dengan adanya surat kabar lokal (yang terbit di luar ibukota Jakarta). Pembaca surat kabar lokal ini memiliki jumlah pembaca yang lebih sedikit karena pangsa pasarnya sesuai dimana surat kabar tersebut didirikan.
7
Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2004, hlm. 98
Universitas Sumatera Utara
14 Untuk dapat memanfaatkan media massa secara maksimal demi tercapainya tujuan komunikasi, maka seorang komunikator harus memahami kelebihan dan kekurangan media tersebut. Dengan kata lain, komunikator harus mengetahui secara tepat karakteristik media massa yang akan digunakannya. Karakteristik surat kabar sebagai media massa mencakup: 1. Publisitas Publisitas adalah penyebaran pada publik atau khalayak. Salah satu karakteristik komunikasi massa adalah pesan dapat diterima oleh sebanyak-banyaknya khalayak yang tersebar di berbagai tempat, karena pesan tersebut penting untuk diketahui umum, atau menarik bagi khalayak pada umumnya. Pesan-pesan melalui surat kabar harus memenuhi kriteris tersebut.
2. Periodesitas Periodesitas menunjukkan pada keteraturan terbitnya, bisa harian, mingguan atau dwi mingguan. 3. Universalitas Universalitas menunjuk pada kemestaan isinya, yang beraneka ragam dan dari seluruh dunia. Dengan demikian, isi surat kabar meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, seperti masalah sosial, ekonomi, budaya, agama, pendidikan, keamanan dan lain-lain. 4. Aktualitas Fakta dan peristiwa penting atau menarik tiap hari berganti dan perlu untuk dilaporkan, karena khalayak pun memerlukan informasi yang paling baru. Hal ini dilakukan surat kabar, karena surat kabar sebagian besar memuat berbagai jenis berita. 5. Terdokumentasikan
Universitas Sumatera Utara
15 Dari berbagai fakta yang disajikan surat kabar dalam bentuk berita atau artikel, dapat dipastikan ada beberapa diantaranya yang oleh pihak-pihak tertentu dianggap penting untuk diarsipkan atau dikliping. 8 Surat kabar dapat dikelompokkan pada berbagai kategori. Dilihat dari ruang lingkupnya, maka kategorisasinya adalah surat kabar nasional, regional dan lokal. Ditinjau dari bentuknya, ada bentuk surat kabar biasa dan tabloid. Sedangkan dari bahasa yang digunakan, ada surat kabar berbahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa daerah. Pada dasarnya isi surat kabar bisa dilihat sebagai berikut: 1) Pemberitaan (news getter), 2) Pandangan atau pendapat (opinion) yang dibagi atas pendapat masyarakat (public opinion) berupa komentar, artikel dan surat pembaca dan opini penerbit (press opinion) meliputi tajuk rencana, pojok dan karikatur, dan 3) Periklanan (advertising) yang berbentuk iklan display, iklan baris dan iklan pariwara atau advertorial.
I.5.3
Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi Bahasa
Manusia adalah makhluk berpikir, demikian menurut dunia filsafat. Konsekuensi dari kenyataan ini adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa. Manusia mengucapkan pikirannya melalui bahasa. Dalam filsafat bahasa dikatakan bahwa orang menciptakan realitas dan menatanya melalui bahasa. Bahasa mengangkat hal yang tersembunyi ke permukaan sehingga menjadi suatu kenyataan. Tetapi selain itu bahasa yang sama juga dapat menghancurkan realitas orang lain. Menurut Halliday, saat seseorang menggunakan bahasa, berarti ia menggunakan bahasa tersebut untuk menggambarkan pengalaman. 9 Pengalaman tersebut adalah pengalaman tentang abtraksi-abstraksi, tentang kualitas, tentang keadaan dan
8 9
Elvinaro Ardianto, Ibid., hlm. 104-106 Alex Sobur, Op.cit, hlm.17
Universitas Sumatera Utara
16 hubungan –hubungan dunia sekitar kita. Berdasarkan penggambaran-penggambaran tersebut maka menurut Halliday sangat perlu dibuat suatu acuan khusus yang disepakati untuk menghindari kesalahpahaman. Paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahasa. 10 Pandangan pertama diwakili oleh pandangan kaum Positivisme. Menurut pandangan ini, bahasa dinilai sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat diekspresikan melalui penggunaan bahasa secara langsung tanpa ada kendala. Salah satu ciri dari aliran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas, dimana orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan tersebut dinyatakan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Pandangan kedua disebut sebagai pandangan konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Menurut aliran ini bahasa tidak dilihat hanya sebagai alat untuk memahami realitas objektif saja dan dipisahkan dari subjek yang menyampaikan pernyataan. Tetapi justru menganggap subjek merupakan faktor sentral dalam kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Aliran konstruktivisme memahami bahasa adalah sesuatu yang diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Dan setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna yaitu tindakan pembentukan diri dan pengungkapan jati diri oleh si pembicara. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Menurut aliran ini individu tidak dianggap sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai pikirannya, tetapi sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dalam aliran ini tidak dipahami sebagai medium yang netral tetapi merupakan representasi yang berperan
10
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LkiS, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-6
Universitas Sumatera Utara
17 dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu maupun strategis-strategis di dalamnya.
Kekuasaan
Kekuasaan menurut Max Weber adalah kemungkinan seorang aktor dalam antarhubungan sosial akan berada pada suatu posisi untuk melaksanakan kehendaknya sendiri, meski terdapat perlawanan tanpa menghiraukan landasan tempat meletakkan kemungkinan tersebut. Galtung membangun konsep kekuasaan bertolak dari dua prinsip dasar dalam kehidupan manusia. Yaitu ada (being) dan memiliki (having). Kekuasaan terjadi dalam relasi yang tidak seimbang yaitu terdapat perbedaan dari segi being dan segi having serta kedudukan (position) dalam struktur sosial. 11 Kekuasaan yang sudah dimiliki sejak lahir dari pembawaan keturunan disebut being power, kekuasaan yang diperoleh dari “memiliki” sumber-sumber kemakmuran disebut having power dan kekuasaan karena kedudukan dalam suatu struktur disebut structure power. Galtung juga membagi kekuasaan menjadi kekuasaan atas diri sendiri dan kekuasaan atas orang lain. Kekuasaan atas diri sendiri adalah kemampuan menentukan dan mengejar tujuan bagi dirinya. Selanjutnya Galtung membagi kekuasaan atas orang lain menjadi tiga macam yaitu: a. Kekuasaan ideologis, orang yang berkuasa karena sebagai pemberi kekuasaan ide atau gagasan mampu menyusup dan emmbentuk kehendak orang lain yang menerimanya. b. Kekuasaan renumeratif, kekuasaan yang terjadi karena memiliki pemikat untuk diberikan sebagai ganjaran yang dapat berupa barng-barang, jabatan dan sebaginya.
11
Hotman Siahaan, Pers yang Gamang, LSPS, Jakarta, 2001, hlm. 13
Universitas Sumatera Utara
18 c. Kekuasaan punitif, kekuasaan yang terjadi karena memiliki sarana untuk menghancurkan orang lain ataupun barang milik orang lain jika orang tersebut tidak menaati kehendak pemberi kekuasaan.
Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana adalah terjadinya kontrol. Dimana satu orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain melalui wacana. Dan ini tidak harus selalu dalam bentuk fisik tetapi dapat juga secara mental. Kelompok dominan mungkin membuat kelompok lain berbicara, bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Hal ini dapat terjadi karena sebagai kelompok dominan mereka lebih mempunyai akses yang dapat berupa pengetahun, uang, pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan. 12 Bentuk kekuasaan ini dalam media dapat dilihat dari siap yang boleh dan harus berbicara, siap yang hanya bisa mendengar dan mengiyakan. Dalam lapangan berita, pemilik atau politisasi yang posisinya kuat menentukan siapa narasumber atau bagian mana yang harus diliput dan mana yang tidak perlu atau bahkan dilarang untuk diberitakan. Selain itu seorang yang mempunyai kekuasaan dapat juga menentukan bagaimana ia harus ditampilkan, hal ini misalnya terlihat dari penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu dalam berita.
Ideologi
Eriyanto menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. 13 Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa
12
Eriyanto, Op.cit, hlm. 12
13
Eriyanto, Ibid, hlm. 13
Universitas Sumatera Utara
19 ideologi dibangun oleh kelompok-kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegatimasi dominasi mereka. Perkembangan teori komunikasi dan budaya yang kritis pada tahun-tahun terakhir telah membawa serta perhatian pada ideologi, kesadaran dan hegemoni. Ideologi sebagai sistem ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi. Kesadaran adalah esensi atau totalitas dari sikap, pendapat dan perasaan yang dimiliki oleh individu-individu atau kelompokkelompok. Hegemoni adalah proses dimana ideologi “dominan” disampaikan, kesadaran dibentuk dan kuasa sosial dijalankan. Harus disadari betul bahwa teks media yang tersusun atas seperangkat tanda yang membentuk bahasa tidak pernah membawa makna tunggal di dalamnya. Kenyataannya, teks media selalu memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut.14 Kecenderungan atau perbedaan setiap media dalam memprodukasi informasi kepada khalayak dapat diketahui dari pelapisan-pelapisan yang melingkupi institusi media.
I.5.4
Berita
J. B. Wahyudi mendefinisikan berita sebagai laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memiliki nilai penting dan menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan secara luas melalui media massa. Perisiwa atau pendapat tidak akan menjadi berita, bila tidak dipublikasikan media massa secara periodik. 15 Sumadiria mendefinisikan berita sebagai laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik, dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media online internet.16
14
Alex Sobur, Op.cit, hlm. 138
15
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 47
16
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2005, hlm. 65
Universitas Sumatera Utara
20 Untuk membuat sebuah berita harus berdasarkan kriteria umum nilai berita. Sumadiria menyebutkan sebelas nilai berita yaitu keluarbiasaan (unusualness), kebaruan (newness), akibat (impact), aktual (timeliness), kedekatan (proximity), konflik (conflict), orang penting (prominance), ketertarikan manusiawi (human interest), kejutan (surprising), dan seks (sex). Dalam membuat berita, paling tidak harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) Faktanya tidak boleh diputar sedemikian rupa sehingga kebenaran tinggal sebagian saja; 2) Berita itu harus menceritakan segala aspek secara lengkap. Seorang pembuat berita harus menjaga objektivitas dalam pemberitaannya. Artinya, penulis berita hanya menyiarkan berita apa adanya. Jika materi berita itu berasal dari dua pihak yang berlawanan, harus dijaga keseimbangan informasi dari kedua belah pihak yang berlawanan tadi. Penulis berita tidak memberi kesimpulan atas dasar pendapatnya sendiri. Ada tiga kaidah visibilitas berita yaitu: kaitannya dengan peristiwa atau kejadian (komponen tindakan), kehangatannya, dan keberhargaannya sebagai berita atau kaitannya dengan beberapa hal atau orang penting. 17 Dalam dunia jurnalisme, ada dua cara pandang berbeda dalam melihat konsep yang bermakna “berita”. Pertama, berita dianggap sebagai cerminan dari realitas (mirror of reality), yaitu potret dari realitas sosialnya. Kedua, berita sebagai hasil rekonstruksi realitas yang akan mengakibatkan produksi dan pertukaran makna (constructed reality). Maksudnya adalah berita merupakan hasil konstruksi realitas dari sebuah proses manajemen redaksional. Pada akhirnya, berita tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperi yang diharapkan oleh wartawan dalam diri khalayak pembaca.
17
Menurut Hall, bahwa berita itu sendiri bertanggung jawab menciptakan pengetahuan 'konsensus' di sepanjang waktu, atas dasar nama keberhargaan berita dikenali oleh para wartawan dan diterima oleh publik. Lihat Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1996, hlm. 191.
Universitas Sumatera Utara
21 I.6.
Kerangka dan Operasionalisasi Konsep Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam
memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Dalam penelitian ini, kerangka konsep yang akan dirumuskan terdiri dari kategorisasi berita secara umum dan menurut jenisnya. 18 Dalam analisis isi, validitas metode dan hasil-hasilnya sangat tergantung dari kategori-kategori yang dibuat. Selain itu, suatu kategorisasi diperlukan untuk memudahkan peneliti menganalisa isi media yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, terdapat lima kategori yang dijadikan rujukan, yaitu posisi penempatan berita, bentuk penyajian berita, narasumber berita, penggambaran terhadap pihak yang terlibat konflik dan kekerasan simbolik.
I.6.1
Posisi Penempatan Berita
Frekuensi dan penempatan berita adalah hal penting yang perlu dimonitoring dalam pemberitaan Agresi Israel ke Jalur Gaza, untuk melihat pihak mana dalam konflik tersebut yang paling banyak diberitakan oleh media dan bagaimana posisi penempatan beritanya. Posisi penempatan berita Agresi Israel ke Jalur Gaza di Harian Kompas dan Waspada dapat dilihat dari: 1. Halaman depan headline, yaitu berita yang dianggap sangat layak diletakkan di halaman depan surat kabar dengan judul yang dapat menarik perhatian masyarakat dan menggunakan huruf relatif lebih besar.
18
Menurut Rakhmat, analisis isi kuantitatif hanya memproses dan mengukur data agenda media dalam tabulasi khusus, dengan dimensi-dimensi khusus pula dan melalui beberapa tahapan yaitu mengukur agenda media dengan menentukan batas waktu tertentu, meng-coding berbagai isi media dan menyusun (ranking) isu itu berdasarkan panjang (waktu dan ruang), penonjolan (ukuran) headline, lokasi dalam surat kabar, frekuensi pemunculan berita, posisi dalam surat kabar, dan konflik (cara penyajian berita). Lihat Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi: Dilengkapi Contoh Analisis Statistik, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 68-69.
Universitas Sumatera Utara
22 2. Halaman depan, bukan headline, yaitu berita yang ditampilkan mendampingi headline sehingga tampak semarak berita yang ada pada halaman depan suatu harian tanpa mengurangi nilai berita tersebut. 3. Halaman khusus, yaitu berita-berita yang ditempatkan pada salah satu rubrik dalam surat kabar yang khusus membahas mengenai tema dari rubrik tersebut. 4. Halaman lain, yaitu berita-berita tentang Agresi Israel ke Jalur Gaza yang disajikan di luar dari halaman depan dan halaman khusus (rubrik internasional/ luar negeri).
I.6.2
Bentuk Penyajian Berita
Dalam pemberitaan mengenai Agresi Israel ke Jalur Gaza di Harian Kompas dan Waspada, bentuk penyajian beritanya dapat dikelompokkan atas: 1. Straight news (berita langsung), yaitu laporan langsung mengenai suatu peristiwa yang memuat unsur 5W+1H. 2. Feature, yaitu berita-berita yang disajikan dengan mengetengahkan sisi humanis atau ketertarikan manusiawi dari suatu peristiwa. 3. News Analysis, yaitu berita yang merupakan analisis lanjutan wartawan tentang suatu peristiwa. Unsur subjektivitas menonjol dan cenderung berbau opini wartawan, pakar atau pengamat.
I.6.3
Narasumber Berita
Woseley dan Campbell menulis: orang banyak ini, yaitu konsumen surat kabar dan majalah serta alat-alat komunikasi lainnya, merupakan narasumber berita bagi si wartawan. 19 Kompetensi pihak yang dijadikan narasumber untuk mendapatkan informasi yang digunakan untuk mengetahui validitas suatu kronologi peristiwa (berita yang menyangkut 19
Haris Sumadiria, Op.cit., hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
23 peristiwa dengan kronologi kejadiannya), apakah berasal dari narasumber yang menguasai persoalan, atau hanya sekedar kedekatannya dengan media yang bersangkutan atau karena jabatannya. 20 Kategori ini dibagi dalam: 1. Pelaku langsung, apabila peristiwa yang diberitakan merupakan hasil wawancara dengan sumber berita yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Dalam penelitian ini, pelaku langsungnya meliputi Pemerintah Palestina, Pemerintah Israel, Kelompok Hamas, warga sipil Gaza, paramedis Gaza, dan warga asing yang turut menjadi korban dari agresi tersebut. 2. Bukan pelaku langsung, yaitu apabila peristiwa yang diberitakan merupakan hasil wawancara dengan sumber berita yang tidak mengalami langsung peristiwa tersebut. Hanya karena jabatan atau memiliki akses informasi lalu menjadi sumber berita. Misalnya: PBB, Negara Arab, pemerintah luar negeri, masyarakat atau tokoh luar negeri, dan relawan medis luar negeri.
I.6.4
Penggambaran Pihak yang Berkonflik
Kategori ini meliputi bagaimana penggambaran yang diberikan sebuah media cetak melalui pemberitaannya terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik dalam Agresi Israel ke Jalur Gaza. Misalnya penggambaran terhadap tindakan pemerintah Israel yang melakukan penyerangan ke Jalur Gaza, atau terhadap pemerintah Palestina yang dipimpin oleh Faksi Fatah, yang menjadi saingan Faksi Hamas dalam pemerintahan Palestina, serta terhadap Faksi Hamas yang menjadi target utama dari serangan tersebut. Penggambaran untuk masing-masing pihak tersebut meliputi: 1. Positif, yaitu dalam berita yang disajikan terdapat gambaran yang baik atau positif terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masing-masing pihak. 20
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2008, hlm.
215-216.
Universitas Sumatera Utara
24 2. Negatif, yaitu dalam berita yang disajikan terdapat gambaran yang buruk atau tidak baik terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masing-masing pihak. 3. Positif+negatif, yaitu dalam berita yang disajikan di media terdapat gambaran yang baik serta gambaran yang buruk terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masing-masing pihak. 4. Tidak ada penggambaran, berarti dalam berita tersebut tidak terdapat penggambaran terhadap pemerintah Palestina, pihak Israel maupun pihak Hamas.
I.6.5
Kekerasan Simbolik
Manipulasi fakta melalui bahasa atau wacana oleh penguasa (kepemimpinan intelektual dan moral) demi mempertahankan kekuasaan dan menaklukkan kemampuan berpikir kritis masyarakat dengan cara menggunakan kekerasan simbolik dalam sebuah pemberitaan di media massa. 21 Kekerasan simbolik dalam penelitian ini dibagi atas:
1. Stigmatisasi/ Labelisasi Penggunaan kata atau istilah opensif (dicapkan atau dilabelkan) kepada seseorang atau kelompok atau tindakan sehingga melahirkan pengertian lain dari keadaan sesungguhnya. Misalnya kaum zionis, provokator. 2. Eufemisme Menghaluskan fakta melalui penggunaan kata atau kalimat sehingga maknanya berbeda dari sesungguhnya. Misalnya dibombardir menjadi diserang, mengutuk menjadi mengecam keras. 21
Jurnal Sendi No. 3 Tahun 2000, Penerbit: Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS), Surabaya, hlm.
30
Universitas Sumatera Utara
25 3. Disfemisme Mengeraskan atau mengasarkan fakta melalui kata-kata atau kalimat sehingga maknanya berbeda dari sesungguhnya. Misalnya serangan membabi buta, penjahat perang. 4. Jargon Kata atau istilah khas yang digunakan sebuah kelompok masyarakat tertentu yang kemudian dipakai dalam konteks ideologi kekuasaan dan diadopsi oleh masyarakat luas. Misalnya jihad dengan jalan Tuhan, dan sebagainya. 5. Metafora Dipahami sebagai cara memindah dengan merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti ibarat, bak, sebagai umpama.
I.7.
Sistematika Penulisan Sistematika laporan penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab sesuai dengan
kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah.
Bab I Pendahuluan; pada bab ini akan dipaparkan latar belakang masalah, perumusan
masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka dan operasionalisasi konsep, dan sistematika penulisan.
Bab II Uraian Teoritis; bab ini akan memaparkan mengenai pemahaman akademik
mengenai media massa dalam studi analisis isi yang digunakan dalam penelitian.
Bab III Metodologi Penelitian; dalam bab ini akan diuraikan mengenai deskripsi
objek penelitian, metode penelitian, operasional konsep, metode pengumpulan data dan metode analisa data.
Bab IV Hasil dan Pembahasan; bab ini memaparkan tentang hasil penelitian serta
pembahasan dengan menggunakan analisa data deskriptif.
Universitas Sumatera Utara
26
Bab V Penutup; pada bab ini berisikan kesimpulan hasil penelitian dan memberikan
saran yang dapat bermanfaat kepada berbagai pihak.
Universitas Sumatera Utara