BAB I PENDAHULUAN
A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Masalah Kematian merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari oleh semua orang. Tidak peduli orang tersebut suka atau tidak suka, telah siap atau tidak siap, suatu saat tiap orang harus berhadapan dengan kematian. Menurut Sidi Gazalba, “pengalaman manusia memastikan bahwa maut akan dialami oleh tiap-tiap orang. Soalnya hanya waktu, ada yang cepat setelah lahir, ada yang sedang lamanya dan ada pula yang cukup lama.”1 Senada dengan Gazalba, Tri Subagya mengatakan bahwa: Kemajuan ilmu dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia tidak mampu mengahalangi terjadinya kematian. Perkembangan ilmu kedokteran hanya sampai pada menunda kematian, bukan meniadakannya. Cepat atau lambat kematian menjemput mengakhiri kehidupan manusia yang nampak dari hancurnya tubuh dan berangsur-angsur lumat menjadi tanah. Dalam hal ini, manusia senasib dengan hewan dan tumbuhan karena organisme tubuhnya yang terdiri dari berjuta-juta sel suatu ketika rusak dan sel-sel baru tidak mampu direproduksinya lagi. Akan tetapi kematian manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya Karena hanya manusia yang mengetahui kefanaannya dan sadar akan misteri kematiannya.2 Tidak seorangpun sanggup menolak kematian. Meski ia telah berusaha keras, namun suatu saat kematian pasti akan menimpanya dan merenggut kehidupannya. Hal itu dapat terjadi kapan saja, tanpa bisa direncanakan oleh manusia. Kedatangan kematian yang terjadi secara tiba-tiba ini menyebabkan kematian manusia dipandang sebagai suatu misteri. Kesadaran manusia terhadap misteri kematian inilah yang membuat kematian dipandang sebagai hal yang menakutkan. Subagya3 menyatakan bahwa status misteri
1
Sidi Gazalba, Maut; Batas Kebudayaan dan agama, (Jakarta: Tintamas, 1980), hlm.55 Y.Tri Subagya, Menemui Ajal: Etnografi Jawa Tentang Kematian, (----: Kepel Press, 2005), hlm. 28-29 3 Ibid, hlm. 29-30 2
1
kematian justru tercipta karena tabir di balik kematian tidak pernah ada yang mampu mengungkapnya. Dapat dikatakan, tidak ada suatu teori umum yang bisa menjelaskan tentang keadaan atau kedudukan orang yang mengalami kematian kecuali dalam dogmadogma atau kitab suci. Eksistensi kematian sebagai suatu misteri juga diakui oleh Gladys Hunt. Bagi Hunt, kematian melenyapkan segala kemampuan manusia. Kematian merupakan sesuatu yang belum dimengerti dan menjadi pengalaman yang tidak terjajaki. Kematian juga merupakan musuh menakutkan, yang tidak memandang usia, kekayaan, maupun kedudukan. Oleh karena itu manusia sering tidak merasa nyaman dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan kematian.4 Rasa tidak nyaman dan tidak berdaya itu seringkali ingin ditutupi. Usaha menutupinya menurut E.G. Singgih dilakukan karena ketakutan manusia terhadap kematian akan membawa manusia pada batas Dasein, padahal manusia tidak suka dibatasi.5 Oleh sebab itu muncul berbagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari ketidak-nyamanan tadi kepada hal-hal lain. Salah satu diantaranya misalnya terlihat dari apa yang dilakukan oleh Gereja. Upaya-upaya untuk mengalihkan perhatian dari kengerian akan bayangan kematian sering dilakukan oleh Gereja. E.G. Singgih menunjukkan bahwa “dalam konteks kehidupan orang Kristen, salah satu contoh dapat kita lihat misalnya dalam kotbah-kotbah pada waktu kematian. Saat itu Pendeta memindahkan perhatian dari hal mati ke hal-hal sesudah mati. Jarang bahkan hampir tidak ada, usaha untuk membawa kita berhadapan dengan kematian.”6 Hal ini menjadi
4
Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm.1. Dasein berarti “di sana”, menunjukkan eksistensi manusia yang autentik dan telah menjadi hakikatnya untuk berhubungan dengan dunia. Dasein menunjukkan suatu batas bagi eksistensi manusia. Lih. E.G. Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, (Yogyakarta: Kanisius,1997) hlm.195. 6 Y.Tri Subagya, Menemui Ajal: Etnografi Jawa Tentang Kematian,, hlm. 198. 5
2
bukti bahwa di balik kesadaran manusia atas misteri kematiannya, terbentuk usaha-usaha untuk mengalihkan perhatian terhadap pembuktian keterbatasan manusia yang dilakukan oleh kematian. Persoalan-persoalan tentang bagaimana dan kemana manusia setelah mati adalah wujud dari perpindahan perhatian yang seharusnya diletakkan pada fakta bahwa kematian telah menghancurkan semua tembok kekuatan yang telah dibangun manusia untuk hidup. Kematian seolah mengejek dan menelanjangi manusia dari seluruh atribut yang melekat semasa hidupnya. Keberadaan kematian adalah konkrit dan nyata. Tetapi kematian juga menjadi pokok pembicaraan yang sangat jarang mau disentuh oleh manusia. Contohnya terlihat dalam tulisan tokoh-tokoh berikut. Menurut penyelidikan J.B. Priestly, pokok bahasan tentang “mati” sangat tidak disukai oleh orang Amerika. Arnold Toynbee menulis: “kematian tidak memiliki corak Amerika, karena kematian merupakan suatu sikap mengejek terhadap hak mereka, terhadap hidup, kemerdekaan dan pengejar kebahagiaan yang tidak dapat diganggu gugat.
Dan bagi tokoh seperti Erich Fromm, dukacita
dipandang sebagai dosa. Menurut Fromm, manusia hendaknya menjauhkan diri dari berpikir sesaatpun tentang kematian.7 Hal ini menjadi bukti bahwa perpindahan perhatian itu mampu membuat ketakutan terhadap kematian itu menjadi berkurang. Usaha memindahkan perhatian tadi sekaligus menyebabkan penilaian orang terhadap kehidupan yang dijalaninya terkadang menjadi tidak serius. Pendapat E.G. Singgih mampu menjelaskan keterkaitan masalah ini8. Menurut Singgih, pemahaman yang serius terhadap kematian menyebabkan pemahaman yang serius terhadap kehidupan. Sebaliknya, pemahaman yang tidak serius
7 8
Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian, hlm. 21-22 E.G. Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, hlm.198
3
terhadap kematian menunjukkan bahwa orang tidak serius pada kehidupan. Pemahaman yang serius terhadap kematian memungkinkan manusia hidup secara autentik. Keseriusan tersebut lahir dari kesadaran manusia terhadap eksistensinya sebagai “keberadaan-yangmenuju-kematian.”
Kesadaran ini melahirkan tanggung jawab sehingga manusia tidak
hidup secara dangkal, di mana dalam gaya hidup sehari-harinya ia mengikuti gaya hidup massal dan menjadi budak mode. Manusia seringkali terjebak dalam gaya hidup di mana ukurannya ditentukkan oleh apa yang sedang ngetrend saat ini.9 Artinya, semua dipatok oleh ukuran waktu, sehingga apa yang dibawa dari masa lalu sering dianggap usang dan tidak cocok lagi. Manusia yang tidak menyadari bahwa proses hidupnya sedang berjalan menuju kematian biasanya beranggapan bahwa hidupnya masih panjang. Oleh sebab itu, sekarang adalah waktunya bersenang-senang (dengan berlaku seenaknya). Bertanggung jawab dalam hidup adalah tugas orang-orang yang telah lanjut usia yang tidak lama lagi akan mengalami kematian. Kematian manusia juga menjadi misteri karena dibayangkan adanya kekuatan di luar tubuh yang tidak musnah ditelan kematian. Kekuatan tersebut menurut Subagya terdapat dalam eskatologi kepercayaan atau ditunjukkan melalui sikap dan perilaku yang bersangkutan dengan orang mati. Kepercayaan tentang eskatologi dan reaksi yang terjadi seputar peristiwa kematian dihasilkan oleh proses sosial budaya komunitasnya. Hal ini menurut Subagya menyebabkan kematian kemudian menjadi suatu gagasan yang terkonstruksi secara sosial. Proses sosial budaya komunitas yang menghasilkan kepercayaan dan reaksi terhadap kematian dapat dilihat dalam dua tataran. Tataran pertama adalah antara orang mati dengan yang ditinggalkan. Tataran kedua yaitu antara
9
E.G. Singgih, Berteologi Dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran mengenai kontekstualisasi teologi di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm.24
4
individu dengan komunitasnya. Di sini kematian bukanlah hal yang semu. Akan tetapi kenyataan yang konkrit, dan tidak dapat dielakkan. Kepercayaan dan reaksi yang dimunculkan dalam dua tataran ini berjalan bersamaan dan saling mempengaruhi. Apa yang terjadi pada tataran pertama dapat membawa akibat pada tataran yang kedua, begitupun sebaliknya. Manusia pada akhirnya dituntun utuk melihat bahwa di dalam percaya, kita harus belajar menerima kematian itu sebagai batas, sebagai kesudahan hidup kita ini.10 Dalam rangka kepercayaan dan reaksi yang muncul di sekitar peristiwa kematian, ritus hadir sebagai cultural means and wisdom11 yang lahir dalam budaya masyarakat tertentu. Sebagai cultural means and wisdom, ritus sebetulnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dalam rangka penyembuhan akibat duka yang disebabkan oleh kematian anggota keluarga mereka. Hal ini diakui oleh tokoh-tokoh seperti Totok S. Wiryasaputra, Gerald Arbuckle, serta Kübler-Ross. Dalam tulisannya Wiryasaputra memberi contoh pijakan dari budaya Jawa, khususnya mengenai berbagai upacara peringatan bagi orang meninggal. Menurutnya: Setiap kebudayaan sebenarnya telah mengembangkan berbagai ‘perangkat’ dan ‘kebijaksanaan budaya’ (cultural means and wisdom) untuk membantu warganya dalam menghadapi setiap tahap dari siklus perkembangan manusia. Karena kematian dan kedukaan adalah bagian integral dari siklus perkembangan kehidupan manusia, maka setiap kebudayaan pasti mempunyai perangkat dan kebijaksanaan dalam membantu warganya melewati kematian dan kedukaan. Dengan perangkat dan kebijaksanaan itu diharapkan setiap warga masyarakat tertentu dapat melintasi masamasa sulit, seperti kehilangan dan kedukaan.12 berbagai upacara sekitar perayaan kematian seperti yang ada dalam budaya Jawa, merupakan contoh perangkat dan kebijaksanaan budaya. Upacara tersebut tidak hanya 10
G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm.147 Totok S. Wiryasaputra, Mengapa Berduka-Kreatif Mengelola Perasaan Duka, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm 29 12 Ibid, hlm.29 11
5
ditujukan bagi kepentingan orang yang telah meninggal, tetapi juga bermanfaat bagi keluarga yang masih hidup. Upacara kematian ini dapat menjadi sarana bagi keluarga untuk melewati dan mengatasi kedukaan mereka. Penolakan dan penghancuran ritual di sekitar kematian dan kedukaan dapat membawa dampak buruk. Hal ini dijelaskan oleh Gerald Arbuckle. Menurutnya, mereka yang ada di dunia Barat cenderung menjadi orang-orang yang tidak mengetahui cara berduka. Penghancuran berbagai ritual bagi mereka mengajarkan pengalaman penting. Sebab penerimaan terhadap kematian dan kebutuhan untuk berduka sangat kurang bahkan jarang diterima di dunia Barat. Berbagai ritual kematian oleh dunia barat dianggap hanya membelit orang, atau menciptakan sesuatu yang baru guna menyembunyikan kematian, dan mengecilkan hati dari rasa duka.13 Arbuckle mengakui bahwa dalam budaya tradisional, berbagai ritual dapat menolong orang bagaimana mengatasi dan belajar dari pengalaman dukanya. Dalam hal ini Arbuckle setuju dengan pendapat P. Marris14 yang menyatakan bahwa ritual perkabungan membuka tekanan yang dalam yang dirasakan oleh orang yang kehilangan. Karena di dalam diri orang yang tengah berduka ada dua kekuatan besar yang saling bertolak belakang. Di satu sisi ada dorongan untuk terus berpegang kepada apa yang dinilainya baik dan berharga di masa lalu (sebelum kehilangan itu terjadi), tetapi di sisi yang lain ia ingin terlebih butuh untuk membangun kembali jalan hidupnya atau hubungan yang baru di mana rasa kehilangan itu bisa diterima. Penolakan terhadap ritual sekitar kematian dan dukacita bagi masyarakat Barat telah diikuti oleh berbagai hal yaitu: pertama, kehilangan kemampuan melihat sebab 13
Gerald A. Arbuckle, “Rituals Of Death, Denial, Refounding”, dalam Concilium (majalah), 1995, h.735 Sebagaimana yang dikutip oleh Arbuckle dari P. Marris, Loss and Change, (London: Routledge & Kegan Paul,1974) h.23-42, -Arbuckle, “Rituals Of Death, Denial, Refounding, dalam Concilium, hlm 736
14
6
kematian dianggap sebagai sesuatu yang asing, dan tidak akrab. Pengalaman kematian hanya menjadi milik mereka yang sudah lanjut usia. Kedua, kematian dianggap sebagai masalah pribadi, karena kematian merupakan masalah yang sulit untuk dibicarakan selain oleh orang yang menjelang mati. Ketiga, kematian dapat bersifat komersil, sebab kematian dapat ditutupi dengan berbagai cara komersil misalnya almarhum dibaringkan dalam ruangan yang dihias dan ia dibentuk sedemikian rupa seperti sedang tidur. Hal ini dilakukan guna menghindar dari kesan “kotornya kematian”.
Keempat, mencegah
perkabungan. Berkabung dianggap sebagai hal memalukan, dan lambang kelemahan. Kelima, dampak sekularisme, yang menolak pandangan mengenai kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, jalan untuk menjauhi segala masalah yang tidak tentu adalah dengan menolak kematian, dan segala hal yang berhubungan dengan itu. Keenam, penolakan itu tersimpan dalam waktu yang lama, yaitu sebelum mereka menjadi lanjut usia (70-75 tahun). Apa yang disampaikan oleh Wiryasaputra dan Arbuckle, sebetulnya sama-sama didasarkan pada teori Kübler-Ross. Dalam teorinya Kübler-Ross menyatakan bahwa di dunia Barat, keluarga yang berduka bukan hanya memisahkan diri dari kehidupannya, tetapi mereka juga menjadikannya lebih sulit dalam melihat realita kematian itu. Hal ini disebabkan karena bagi beberapa orang hanya inilah cara untuk mengatasi rasa kehilangan itu. Mereka merasa orang akan menertawakan mereka atau melihat mereka setiap hari jika mengetahui bahwa mereka tidak bisa menerima realita kematian itu. Hal ini akan sangat mempermalukan mereka dan menganggap bahwa orang lain
7
memperlakukan mereka dengan sangat kejam.
15
Perasaan itu menekan mereka dan
menjadikan mereka semakin sulit menghadapinya. Semua hal di atas sebetulnya menyebabkan masyarakat seringkali meninggalkan orang yang berduka sendirian setelah si mati dikuburkan. Akibatnya orang akan berusaha menutupi dan menyembunyikan rasa dukanya masing-masing. Hal ini berakibat buruk karena orang yang berduka itu tidak bisa atau menjadi tidak tahu bagaimana cara mengeluarkan dukacitanya. Dampak selanjutnya adalah orang tersebut tidak bisa mengalami perbaikan the sense of meaning dari hidupnya. Hal ini akan berpengaruh dalam hubungan sosial kemasyarakatan mereka. Masyarakat berhadapan dengan serangan neurosa yang melemahkan dan menjadikan mereka tidak dapat bekerja secara efektif. Proses berduka ternyata sangat bergantung kepada persiapan menghadapi kedukaan itu sendiri. Elisabeth Iskandar yang mengatakan bahwa: Peristiwa kematian membuat kehidupan keluarga menjadi lain; menghadapi situasi baru yang lain sama sekali, harus menjalani hidup tanpa orang yang dicintai dan dibutuhkan. Untuk itu perlu adaptasi/penyesuaian dan ini membutuhkan waktu. Proses berduka sangat bergantung pada persiapan menghadapinya dan bagaimana penerimaan seseorang terhadap realitas kematian itu. Bila kematian diterima, kedukaan menjadi lebih ringan, tetapi bila ditolak proses kedukaan dapat berlangsung lebih lama.16 Proses menerima kenyataan kematian orang yang dicintai adalah hal yang sulit untuk dilakukan oleh orang yang tengah berduka. Untuk itu, proses penerimaan membutuhkan berbagai sarana pendukung di dalamnya. Salah satunya adalah kehadiran, penerimaan, dan pendampingan komunitas (masyarakat sekitarnya) terhadap rasa duka 15
Elisabeth Kübler-Ross, On Death and Dying, (New York: Macmillan Publishing Company, 1970), hlm. 178 16 Elisabeth Iskandar, Berbagi Kasih Dalam Duka: Pendampingan Pasien Sakit Terminal dan Keluarganya, (Jakarta: OBOR, 2003), hlm.56
8
yang sedang dirasakan oleh orang yang tengah berduka. Kehadiran komunitas ini dapat direalisasikan diantaranya melalui wadah pelaksanaan ritus sekitar kedukaan dan perkabungan.
2. Rumusan Masalah 2.1. Upaya GMIST Menuju Teologi Kontekstual: Rawan Terhadap Ancaman Serangan Neurosa? Kesadaran bahwa kekristenan di Indonesia hadir sebagai warisan pekabaran Injil yang ditanam oleh para misionaris dari Barat, telah lama muncul di kalangan Gerejagereja di Indonesia. Kesadaran ini membawa semangat untuk melakukan interpretasi kembali terhadap penyataan Allah berdasarkan identitas dan situasi kita sendiri. Banawiratma mengatakan, mengambil alih teologi Barat begitu saja atau berteologi secara Barat tidaklah sesuai lagi dalam mengupayakan penghayatan iman di Asia.17 Ini bukan berarti teologi Barat tidak lagi mempunyai arti di Asia. Atau teologi Barat harus dihancurkan dan membangun sesuatu yang sama sekali baru, yaitu memulai kontekstualisasi dari nol. Yang harus dilakukan adalah menjaga jangan sampai apa yang datang dari luar itu dianggap sebagai “sesuatu yang turun dari surga” sehingga mesti dianggap benar sendiri dan layak mendominir kehidupan kita, sedangkan apa yang ada di dalam kita sendiri dicela sebagai “datang dari dunia” sehingga mesti dibuang sebagai hasil kehidupan yang lama.18
17
J.B.Banawiratma, “Teologi Fungsional-Teologi Kontekstual” dalam Konteks Berteologi di Indonesia. Peny. Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997). hlm.50 18 E.G.Singgih, Dari Israel Ke Asia: Masalah Hubungan Di Antara Kontekstualisasi Teologia Dengan Interpretasi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), hlm.16
9
Daniel J. Adams menuturkan bahwa cara pandang khas Asia sangat berbeda dengan khas Barat. Ciri khas Asia dalam memandang hubungan-hubungan yang berlawanan adalah apa yang disebut hubungan ‘baik ini-maupun itu’. Sedangkan Barat cenderung untuk melihat kenyataan sebagai dua hal terpisah, ‘ini-atau-itu’.19 Cara pandang dualisme Barat ini menurut Adams telah mempengaruhi Gereja-gereja di Asia. Tidak terkecuali Gereja-gereja di Indonesia. Di masa lalu yaitu masa di mana pekabaran Injil dilakukan oleh para Zendeling VOC, menerima Injil berarti meninggalkan kultur asli dan menerima kultur Eropa.20 Dengan demikian segala bentuk pemahaman dan praktek budaya yang dinyatakan dalam kehidupan orang Kristen harus sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai yang dibawa dari Barat. Pemahaman ini harus dipakai untuk melihat keseluruhan kehidupan orang Kristen, termasuk peristiwa kematian dan perkabungannya. Saat ini cara berpikir dualis ala Barat mulai banyak ditinggalkan orang. Gerejagereja yang dulunya menerapkan cara pandang semacam ini juga mulai menggunakan pandangan yang oleh Adams disebut sebagai cara pandang khas Asia. Gereja mulai melihat bahwa penghayatan iman orang percaya justru akan menjadi lebih dinamis jika ada dialog atau interaksi langsung dengan budaya.21 Iman yang hidup itu membuat orang mampu memandang dan memberi nilai atas kehidupan yang sementara dijalaninya. Hal ini memiliki arti yang sangat penting karena pandangan itu akan sangat menentukan
19
Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya-Refleksi Barat di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1992), hlm.xv. 20 Di masa ini menjadi Kristen berarti melepaskan budaya asli dan nilai-nilainya untuk menerima pengertian baru yang dibawa dalam budaya Eropa. Lih .Dialog Antara Iman dan Budaya, (Jakarta: Komisi Teologi Konferensi Waligereja Indonesia, 2006), h.20 21 Menurut Cf. E. Anati-R. Boyer, kultur merembesi hidup, bahasa, tingkah laku moral, dan religius manusia. Iman pun merambati hidup, bahasa, sikap spiritual, moral, interpretasi dan pemahaman atas kultur. Iman hanya bisa dihidupi dalam dialog dengan kultur, jika tidak iman akan hanya berlalu begitu saja di atas kepala. Lih. Dialog Antara Iman dan Budaya, (Jakarta: Komisi Teologi Konferensi Waligereja Indonesia, 2006), hlm.23
10
bagaimana nantinya orang berhadapan dengan kematian dan mengisi masa-masa dukanya. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pengaruh Eropa yang kuat terhadap masayarakat Siau telah menyebabkan masyarakat menjadi terasing baik dengan budaya dan nilai-nilai asli mereka maupun dengan budaya dan nilai-nilai baru yang mereka terima.22 Mereka terasing dengan diri sendiri karena tekanan dari pihak penguasa mengakibatkan mereka harus meninggalkan atau menekan nilai-nilai yang telah mereka pegang sebelumnya. Tetapi hal inipun tidak bisa dilakukan secara seratus persen. Sebab, pengajaran dan pembimbingan dari pihak yang memberi nilai-nilai baru tersebut sangat minim. Rakyat tidak memiliki tuntunan arah yang jelas bagi budaya yang baru tersebut. Masyarakat sekaligus juga menjadi terasing dengan nilai-nilai dan budaya baru karena budaya dan nilai-nilai baru tersebut dipraktekan berdasarkan pemahaman dan budaya lama mereka. Secara historis Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud merupakan buah pelayanan para misionaris tukang yang terjadi antara tahun 1857-1891. Mereka diutus untuk mengisi kekosongan karena NZG (Nederlansch Zendeling Genootschap) tidak mampu menyediakan tenaga penginjil. Mereka adalah anak didik pendeta Grosner yang berasal dari Jerman diperbantukan atas permintaan Heldring, untuk mewakili Zendeling Tukang yang dibentuknya di Belanda. Setelah para Penginjil Tukang, pelayanan dilanjutkan oleh Comite Zending yang dikenal sebagai STC (Sangi- en Talaud- comite) yang dibentuk pada tahun 1887. Comite 22
Hingga tahun 1850-an para zendeling mengira bahwa mereka hanya menawarkan Injil semata-mata. Dalam kenyataanya, mereka menyajikan Injil itu dalam wadah kebudayaan Barat . hingga tahun 1870-an peradaban Barat secara sadar dianjurkan bersama dengan Injil sebagai dua hal yang tidak terpisahkan.- Th. Van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006) hlm.221
11
ini mendapat tenaga penginjil dari NZV (Nederlansch Zendingsvereeniging atau Badan Pekabaran Injil Belanda), yang bercorak ortodoks. Teologi NZV dalam hal ini lebih cenderung mengikuti paham teolog-teolog Calvinis Belanda yang berkembang pada abad ke 17.
Disamping itu, STC juga mendapat bantuan tenaga dari UZV (Utrechtsche
Zendingsvereeniging atau Badan Pekabaran Injil di Ultrecth), yang lebih bercorak teologi etis. Pemahaman teologi etis UZV yang berbeda dengan paham ortodoks NZV mempengaruhi cara kerja mereka. Teologi etis cenderung bersifat lebih terbuka terhadap bahasa, tingkah laku, dan kebiasaan masyarakat yang dikabari Injil. Hal ini disebabkan karena teologi etis menegaskan bahwa pemberitaan Injil hendaknya dilakukan dalam konteks orang yang dikabari Injil. Oleh karena itu titik berat pemberitaan bukan diletakkan pada dogmatik atau moral, tetapi pada perbuatan-perbuatan Allah, tindakantindakan penyelamatan Allah, yang berkulmunasi pada karya penyelamatan Allah.23 Pekerjaan para zendeling ini sangat nampak di wilayah kepulauan Sangihe dan Talaud secara umum, juga pulau Siau secara khusus. Dampak teologi etis yang dibawa oleh para zendeling UZV membawa perubahan besar di pulau Siau. Hal ini nampak melalui pendirian lembaga pendidikan teologi yang diprakarsai oleh J. Koper pada tahun 1947. Lembaga ini dinamai Sekolah Ilmu Ketuhanan, yang mendidik para pemuda pribumi yang akan menjadi calon penghentar jemaat.24 Hal ini menjadi persiapan bagi berdirinya GMIST sebagai suatu lembaga gereja. Sebab dengan keberadaan sekolah bagi para penghentar jemaat ini, sangat membantu tersedia tenaga pelayan yang cukup guna melayani orang-orang Kristen di wilayah Sangihe dan Talaud.
23 24
Chris Hartono, Teologi Etis, (Yogyakarta: TPK, 1995), hlm.58 Pedoman Dasar Pelayanan GMIST, (Tahuna: Sinode GMIST, 1986), hlm. 262
12
Pada masa sebelum Siau disentuh oleh para zendeling yang memiliki paham teologi etis, adanya perjanjian antara raja Siau (bergelar Franciscus Xaverius Batahi) dengan VOC sangat berpengaruh pada perkembangan kekristenan di Siau. Raja-raja yang memerintah Siau pada masa selanjutnya terus terus memegang perjanjian tersebut. Isi perjanjian tersebut di antaranya menyebutkan bahwa: “Semua pohon Cengkih di pulau Siau dan sekitarnya harus segera dimusnahkan dan tidak boleh ditanam kembali.” Hal yang menyangkut kepentingan rohani juga turut dicantumkan dalam perjanjian ini. Di sana dikatakan bahwa “Agama lain selain Kristen Gereformeerd sesuai keputusan Sidang Sinode Dordrecht tahun 1619 tidak diizinkan masuk. Semua tanda-tanda pemujaan seperti rosario, tanda salib, dan patung-patung harus dimusnahkan.” Selanjutnya, semua pendeta dan pengajar yang akan ditempatkan di Siau harus diperlakukan dengan hormat.25 Hal ini berpengaruh pada bagaimana para misionaris mulai dari para penginjil tukang hingga para tenaga rohani pribumi kemudian diperlakukan. Mereka umumnya dihormati dan disegani di wilayah-wilayah pelayanan mereka. Di masa pelayanan zendeling, baik zendeling tukang maupun NZV hingga kurun waktu 1850-an budaya telah dianggap kafir. Terutama menyangkut tradisi seputar ritus pemakaman dan perkabungan. Pandangan seperti ini masih terus disinggung dan diberi peringatan-peringatan oleh pihak Gereja (GMIST) hingga saat ini. Pengaruh teologi etis rupanya lebih dipahami oleh Gereja sebagai bentuk penerimaan dan penghormatan terhadap kebudayaan. Tetapi karya penyelamatan Allah hanya dapat dibaca dalam kebudayaan yang diterima itu, jika di dalamnya unsur-unsur dari teologi rakyat sama sekali dihilangkan. Semua yang terkandung dalam budaya rakyat harus dapat diterjemahkan dalam hubungannya dengan pengenalan karya penyelamatan Allah, yaitu 25
Monografi Daerah Kab.Satal, hlm 41, bd. Brilman, Kabar Baik di Bibir Pasifik ,hlm.132
13
Allah yang pernah ajarkan oleh para tenaga misi sebelumnya (termasuk para zendeling VOC (Oud Zendeling), NZG, dan NZV). Hal ini berarti Allah tersebut adalah hasil perenungan orang Barat melalui konteks mereka, dan bukan Allah yang merupakan hasil perenungan orang Siau dalam konteks Siau. Upaya berteologi dalam konteks juga terus diupayakan oleh gereja (GMIST). Dalam hubungan dengan keberadaan ritus kematian dan perkabungan, pergumulan ini mencapai puncak dengan disepakatinya upaya memberi makna baru dalam perayaanperayaan kematian dan perkabungan masyarakat. Upaya ini dilakukan melalui kotbah dan pengajaran-pengajaran yang diberikan kepada orang-orang yang tengah berkabung. Upaya yang menurut penulis lebih tepat dikatakan sebagai upaya mengalihkan perhatian sebagaimana yang dijelaskan oleh E.G. Singgih. Upaya Gereja untuk menuju teologi kontekstual lebih menitik-beratkan kepada persoalan dogmatik atau moral. Aspek psykologis dari keberadaan ritus itu sendiri kurang mendapat perhatian, dan cenderung diabaikan. Kurangnya perhatian terhadap aspek psykologis ini, menurut penulis dapat menjadi celah buruk yang rawan terhadap serangan neurosa dalam upaya GMIST menuju teologi kontekstualnya. Pengalihan perhatian dari rasa duka yang ditekankan oleh gereja dapat mendorong jemaat untuk melupakan pengelolaan terhadap rasa dukanya. Rasa duka yang tidak dikelola dengan baik menurut fase-fase semestinya tanpa disadari dapat menyebabkan neurosa masyarakat. Neurosa ini pada akhirnya akan melumpuhkan seluruh kemampuan kerja masyarakat yang pada akhirnya turut melumpuhkan kinerja gereja.
14
2.2. Pemanfaatan Ritual Dalam Masa Berkabung Dalam budaya Siau dikenal adanya ritus seputar perayaan kematian dan perkabungan. Sesuai dengan penamaannya yaitu tiga malam, empat puluh malam, dan satu tahun, ritus tersebut dilakukan pada tiga hari, empat puluh hari, dan satu tahun setelah peristiwa kematian itu terjadi. Sebagai bagian dari budaya masyarakat, praktek pelaksanaan ritus inipun dari waktu-ke waktu telah mengalami berbagai perubahan. Hal ini terjadi sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat Siau. Dalam tiap pergantian generasi, perjalanan budaya masyarakat juga mengalami perubahan. Tidak terkecuali dengan perjalanan ritus perkabungan masyarakat Siau. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, jelas terlihat bahwa ritus perkabungan yang dilakukan pada masa lalu nampak mulai berbeda dengan apa yang masih dilakukan saat ini. Masyarakat Siau di masa lalu merespon budayanya sesuai dengan keadaan pada saat itu, demikian juga pada generasi selanjutnya hingga sekarang. Masing-masing generasi berhadapan dengan dunianya dan menciptakan perubahan sebagai respon terhadap realitas yang ada pada saat itu. Penulis melihat, masyarakat Siau pada masa kini kurang memanfaatkan keberadaan ritus perkabungan mereka. Jika sikap seperti ini terus terpelihara dalam kehidupan masyarakat, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti ritus perkabungan itu akan dihapu karena tidak lagi dianggap penting. Ritus iniakan dianggap tidak cocok lagi perkembangan masyarakat, dan sudah usang. Hal ini dapat menyebabkan gejala seperti yang dialami di dunia Barat juga akan terjadi. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengangkat masalah ini. Penulis menduga ritus perkabungan yang dimiliki oleh
15
masyarakat Siau dapat membantu mereka terhindar dari kenyataan seperti yang telah terjadi di Barat.
3. Batasan Masalah Pembatasan dilakukan oleh penulis sehubungan dengan upaya untuk memfokuskan pengkajian masalah supaya menjadi lebih terarah. Untuk itu penulis mencoba merumuskan permasalahan tersebut dalam beberapa pertanyaan seperti berikut ini: 1. Bagaimana pemahaman masyarakat Siau tentang masa perkabungan dan ritusritus yang dilakukan dalam rangka perkabungan tersebut, serta dampaknya bagi kehidupan mereka? 2. Bagaimana pemahaman Alkitab mengenai perkabungan berdampak pada konteks saat itu? 3. Teologi kontekstual seperti apakah yang bisa dihadirkan dari dialog antara pemahaman mengenai dampak masa perkabungan dalam dua konteks ini, yang bisa sejalan dengan pemikiran GMIST?
4. Tujuan Penulisan tesis ini dilakukan dengan tujuan: 1. Menemukan pemahaman masyarakat Siau tentang perkabungan serta dampak perkabungan dan ritus-ritus yang dilakukan dalam rangka perkabungan tersebut, bagi kehidupan mereka. 2. Menemukan pemahaman mengenai perkabungan dalam Alkitab, dan bagaimana dampak ritus perkabungan bagi konteks saat itu
16
3. Mendialogkan kedua bentuk pemahaman tentang perkabungan dan dampaknya dalam kedua konteks tersebut dengan pemikiran yang sejalan mengenai perkabungan menurut GMIST. Hal ini dilakukan guna memberikan sumbangan pemikiran teologi kontekstual bagi masyarakat dan Gereja di Siau.
5. Hipotesis Perkabungan masyarakat Siau serta ritus-ritus yang dilakukan dalam rangka perkabungan tersebut merupakan hasil pemahaman mereka tentang perkabungan dan dampak perkabungan tersebut bagi kehidupan mereka. Ritus-ritus perkabungan juga dimiliki oleh masyarakat dalam konteks Perjanjian Lama dan Baru. Ritus perkabungan ini juga berdampak bagi kehidupan mereka saat itu. Dialog tentang idea-idea yang terkandung dalam pemahaman tentang perkabungan dan dampaknya dalam dua konteks ini dengan idea yang sama tentang perkabungan dalam pandangan GMIST akan menghasilkan sumbangan pikiran Teologi Kontekstual bagi masyarakat dan Gereja di Siau.
B. JUDUL Keseluruhan penulisan tesis ini dilakukan dengan perumusan judul seperti berikut ini: TEOLOGI PERKABUNGAN MASYARAKAT SIAU: SUATU STUDI TEOLOGIS-KONTEKSTUAL
Adapun alasan-alasan yang ada di balik perumusan judul ini adalah:
17
1. Menarik. Sebab penelitian difokuskan kepada teologi perkabungan masyarakat Siau. Secara khusus penulis mencoba mengamati bagaimana teologi masyarakat Siau ketika berhadapan dengan peristiwa kematian dan perkabungan. Dalam hal ini penelitian dimaksudkan guna mencari what kind of God serta what kind of Church26 bagi masyarakat Siau. Terutama ketika masyarakat sebagai orang Kristen Siau yang memiliki konteksnya sendiri, berhadapan langsung dengan kematian dan perkabungannya. 2. Baru. Penulis tidak menampik adanya kemungkinan tulisan-tulisan lain yang juga berbicara tentang kematian dan perkabungan. Tetapi melalui tesis ini penulis ingin memaparkan sesuatu yang benar-benar baru, dalam kaitannya dengan permasalahan seputar kematian dan perkabungan. 3. Bermanfaat. Karena dengan perumusan judul ini, penulis berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran teologis yang bernilai ilmiah bagi masyarakat Siau secara umum dan Gereja (GMIST) secara khusus.
C. METODE 1. Metode Pembahasan Dalam pemaparan tesis penulis menggunakan metode deskriptif yang dibarengi dengan upaya mengkritisi permasalahan yang ada melalui langkah analisa. Secara garis besar pembahasan tesis ini dibagi atas dua kelompok yaitu: pembahasan hasil penelitian lapangan, dan pembahasan hasil penelitian pustaka. Masing-masing bagian disertai dengan hasil analisa penulis.
26
Kedua istilah ini diangkat penulis dari bentuk pertanyaan yang sering dipakai oleh E.G. Singgih dalam mata kuliah Teologi Dalam Konteks
18
B. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Di dalamnya usaha mengumpulkan data merupakan usaha untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan makna yang ada dibelakang tindakan atau perilaku manusia.27 Untuk itu pengumpulan data akan dilakukan melalui pengamatan, wawancara, dan pemeriksaan dokumen lain.28 Penelitian ini juga dapat digolongkan dalam penelitian kebudayaan di mana asumsi dasar peneliti adalah pengetahuan kebenaran itu bersifat interpretatif.29 Artinya, kebenaran penelitian ini diletakkan pada aspek-aspek humanistik manusia. Di dalamnya disadari benar bahwa antara manusia satu dengan yang lainnya tidak harus sama. Oleh karena itu dalam penelitian ini penafsiran logik kadang-kadang dapat bercampur dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas. Penelitian ini akan dilakukan melalui telaah budaya (etnografi).30 Model Etnografi adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa cultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Dalam rangka pelaksanaan metode ini maka penulis akan melakukan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Hasil penelitian lapangan akan menjadi dokumen primer, sehingga data yang terkumpul akan diolah melalui pendekatan emik dan etik struc
27
Asnath N.Natar, dkk (peny), Teologi Operatif: Berteologi dalam Konteks Kehidupan Yang Pluralistik di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm.16 28 Andreas B. Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif-Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004), hlm.223 29 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2003), hlm.29 30 Ibid, hlm.50
19
ktural31 dengan turut melibatkan hasil penelitian kepustakaan baik yang bersifat teologis maupun non teologis. Penelitian biblis termasuk dalam penelitian kepustakaan. Di sini penulis secara khusus akan menggunakan metode tafsir kritik historis untuk melihat teks-teks Alkitab yang menunjukkan adanya bentuk perkabungan dalam pengaruh budaya dan keyakinan iman di masyarakat tertentu. Selanjutnya akan dilihat juga apa dampak bentuk perkabungan seperti itu bagi masyarakat tersebut. Hasil penafsiran ini akan dijadikan model untuk mendekati perkabungan masyarakat Siau dalam rangka membangun suatu bentuk teologi perkabungan yang kontekstual.
D. SISTIMATIKA Keseluruhan pokok pikiran dalam tesis ini disajikan dalam sistematika sebagai berikut: BAB I
menguraikan tentang permasalahan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, hipotesis, perumusan
judul
beserta
alasan-alasan
yang
melatar-belakangi
perumusan judul tersebut, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II
menguraikan tentang ritus perkabungan masyarakat Siau yang meliputi gambaran geografis masyarakat serta bagaimana konsep mereka mengenai Ketuhanan, mistisisme dan magi, jugakonsep tentang kematian membentuk praktek ritual perkabungan dalam pertemuannya dengan GMIST. Berikut catatan analisisnya.
31
Pendekatan emik adalah pendekatan dengan berkonsentrasi pada fenomena atau fakta sebagaimana diartikan oleh masyarakat setempat. Pendekatan etik structural merupakan pendekatan dengan mengambil jarak dan memberikan interpretasi tingkah laku seturut arti yang diberikan oleh peneliti. Lih. John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, Pedoman Riset Partisipatoris. (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.12
20
BAB III
menguraikan tentang tinjauan teologis terhadap praktek perkabungan dalam rangka memperlihatkan bagaimana ritus berfungsi dalam perkabungan masyarakat baik dalam konteks teks, maupun konteks Gereja Siau, disertai dengan penutup.
BAB IV
merupakan kesimpulan dan saran
21