1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kegiatan pengelolaan terhadap tinggalan arkeologi yang ditemukan di berbagai pelosok tanah air termasuk daerah Bali, sesungguhnya sudah sejak lama dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingannya. Oleh karena semakin hari semakin banyak ditemukan kembali tinggalan arkeologi baik yang bersifat artefaktual maupun monumental, maka para peneliti dan pemerhati benda-benda budaya berkeinginan untuk membentuk lembaga-lembaga resmi yang menangani tinggalan-tinggalan tersebut. Lembaga pengelola tersebut kemudian secara resmi berdiri sekitar awal abad ke 20, yakni dengan dikeluarkannya surat keputusan Pemerintah tanggal
14 Juni
1913 Nomor 62
ditandai
dengan
berdirinya
”Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie” (Jawatan Purbakala) sebagai badan tetap yang bertugas dalam bidang kepurbakalaan dengan pemimpin pertama yaitu Dr.N.J.Krom. Jawatan Purbakala bertugas menyusun data, mendaftar, dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala diseluruh kepulauan, membuat rencana serta mengambil tindakan-tindakan pada peninggalan purbakala dari bahaya runtuh lebih lanjut, melakukan pengukuran dan penggambaran dan selanjutnya melakukan penelitian kepurbakalaan dalam arti yang seluas-luasnya (Soekmono, 1976:1). Di masa pemerintahannya Krom meletakkan dasar-dasar organisasi baru yang menjamin tugas dapat berlangsung sebaik mungkin. Pada perkembangan selanjutnya wadah instansional
2
ini meneruskan, menyempurnakan serta mengisi kekosongan kegiatan arkeologi dan menciptakan berbagai hipotesa atau teori dan metode kerja. Sejak lahirnya ”Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie” sebagai lembaga ilmiah arkeologi banyak hasil yang dicapai dan dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan arkeologi di Indonesia. Demikian seterusnya hingga masa kini berkembang penanganan dari para ahli yang menguasai pengetahuan dalam pengumpulan dan pengolahan data serta penyusunan dan penyesuaian teori terhadap hasil-hasil baru. Upaya perlindungan kerusakan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala untuk pertama kalinya dengan membentuk peraturan Monumenten Ordonnantie Stbl. Nomor 238 tahun 1931. Pengertian peninggalan purbakala menurut undang-undang MO tersebut tertuang pada pasal 1 ayat (1) yang dianggap sebagai Monumen dalam pengertian ini (a) benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibuat oleh tangan manusia, bagian atau kelompok benda-benda dan juga sisa-sisanya pokoknya berumur 50 tahun atau memiliki masa langgam yang sedikit-dikitnya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah atau kesenian; (b) bendabenda
yang
dianggap
mempunyai
nilai
penting
dipandang
dari
sudut
palaeoanthropologi; (c) situs yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa di dalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada a dan b. Segala sesuatu bilamana benda-benda tersebut baik tetap maupun sementara, telah dicantumkan dalam daftar, disebut Daftar Monumenten Umum Pusat yang disusun dan dikelola atas usaha Kepala Dinas Purbakala. Monumenten Ordonnantie Stbl. Nomor 238 tahun 1931 hanya memberikan sanksi hukuman yang sangat ringan terhadap perusak benda cagar budaya, berupa
3
hukuman tahanan setinggi-tingginya 3(tiga) bulan dan atau denda yang tidak lebih dari 500 Gulden seperti yang tertuang pada pasal 12 ayat (1) Monumenten Ordonnantie (Nurbaiti, 1998:475-476). Monumenten Ordonnantie Stbl. Nomor 238 tahun 1931 kemudian menjadi kurang efektif pelaksanaannya dan dianggap tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian benda cagar budaya. Maka pemerintah sejak tanggal 21 Maret 1992 mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam Undang-undang ini dijelaskan pada pasal 1 ayat (1) bahwa benda cagar budaya adalah (a) benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; (b) benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 mencantumkan sanksi pidana maupun pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yaitu. ”Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)” (Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1992). ”Barangsiapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari
4
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)” (Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1992). Menimbang bahwa Undang-undang Nomor 5 tahun 1992
tentang Benda
Cagar Budaya sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu disempurnakan, maka dilakukan revisi atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, menjadi Undangundang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam Undang-undang Nomor 11 pada pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa ”Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan”. Dalam Undang-Undang ini juga
terkandung pengertian mengenai benda cagar budaya yang diuraikan pada Pasal 1 ayat (2) bahwa ” Benda manusia, baik
Cagar
Budaya adalah benda alam dan/atau benda
bergerak maupun
tidak
bergerak,
berupa kesatuan
buatan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia”. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mencantumkan sanksi pidana terkait dengan pengamanan cagar budaya berupa. ”Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” (Pasal 104 UU No. 11 Tahun 2010)
5
”Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)” (Pasal 105 UU No. 11 Tahun 2010).
Revisi atas berbagai peraturan seperti Monumenten Ordonnantie Stbl. Nomor 238 tahun 1931, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dan kemudian menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa Benda Cagar Budaya dan Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga patut dilestarikan. Perubahan pada undang-undang tersebut terjadi karena undang-undang sebelumnya sudah tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian benda cagar budaya di masa kini. Perbedaan juga terjadi pada sanksi pidana pada pasalpasal yang berlaku, yaitu lama masa hukuman dan jumlah nominal denda, serta peraturan yang dibuat lebih mendetail sesuai dengan tindakan pidananya. Sejak tahun 1953 tugas-tugas arkeologi mulai ditangani oleh para ahli secara formal dan institusi arkeologi yang berganti nama menjadi Dinas Purbakala. Surat-surat keputusan Menteri P dan K nomor 22/O/1975 dan nomor 79/O/1975 memisahkan kegiatan arkeologi menjadi dua jenis yaitu badan yang menampung kegiatan administratif ialah Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah) dan yang melakukan kegiatan ilmiah adalah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) (Tim Penyusun, 1999:7-8). Keberadaan lembagalembaga tersebut merupakan pengelola sumberdaya arkeologi yang telah dirintis sejak awal berdiri hingga masa sekarang.
6
Berdasarkan hasil penelitian para ahli arkeologi benda cagar budaya di daerah Bali meliputi masa prasejarah, masa klasik, masa Islam dan masa kolonial. Hasil penelitian inilah kemudian digunakan sebagai data dalam merekonstruksi sejarah perkembangan suatu bangsa dan kebudayaan khususnya di daerah Bali. Oleh karena itu perlu adanya wujud nyata dan kebersamaan antara masyarakat dan pemerintah untuk menjaga, diantaranya melalui pelestarian dan pemanfaatan secara bijaksana sesuai dengan kaidah yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Tugas dari ilmu arkeologi tidak hanya terbatas dalam merekonstruksi sejarah masa lalu melainkan mengupayakan usaha pelestarian benda-benda purbakala. Kearifan lokal maupun tradisi yang berkembang di masyarakat bersangkutan dalam pengelolaan sumberdaya budaya harus tetap terpelihara (Ardika, 2002:21). Keberadaan tinggalan arkeologi sebagai bagian dari sumberdaya budaya di Bali masih sangat dilestarikan mengingat di daerah ini memiliki tradisi dan adat istiadat yang masih tetap terjaga. Benda-benda purbakala di Bali sebagian besar dimanfaatkan sebagai living monument.. Sebagai monumen hidup benda-benda purbakala di Bali berada di kawasan pura yang digunakan sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Secara tidak langsung keberadaan tradisi yang masih berkelanjutan di masyarakat, dapat dijadikan suatu upaya agar tetap terpeliharanya suatu tinggalan arkeologi. Tradisi ini sangat berhubungan dengan masyarakat pendukung yang menjadi pelaksana dalam setiap kegiatannya. Tradisi masa lampau itu memang tidak semuanya cocok dengan kebutuhan pembangunan masyarakat modern, tetapi masa lampau telah mewariskan
7
nilai-nilai luhur yang justru perlu dipelihara untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam pembangunan masyarakat (Bagus, 2002:73-74). Masyarakat sebagai salah satu stakeholder harus dilibatkan dalam pengelolaan sumberdaya budaya yang terdapat di daerah atau wilayah mereka (Ardika, 2007: 118). Hal ini sebagai suatu upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap peninggalan purbakala. Pemanfaatan tinggalan arkeologi adalah untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pemanfaatan dan pelestarian diwujudkan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan pelestarian, sehingga masyarakat menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan tinggalan arkeologi yang ada di lingkungannya.
Masyarakat pendukung menjadi
penopang utama dalam keberadaan peninggalan purbakala baik dari keberlanjutan hingga pelestariannya. Pelestarian suatu tinggalan arkeologi tidak hanya melalui campur tangan pemerintah, namun masyarakat yang merasa memiliki dan melakukan aktivitas langsung pada tinggalan arkeologi juga wajib untuk ikut terlibat dalam upaya pelestarian tinggalan arkeologi di daerahnya. Kearifan lokal maupun lembaga tradisional yang berkembang di masyarakat bersangkutan dalam pengelolaan peninggalan purbakala harus tetap dipelihara dan dilibatkan. Pemerintah ataupun instansi yang berwenang diharapkan hanya sebagai fasilitator dalam pengelolaan tinggalan arkeologi bersangkutan (Ardika dalam Suarbhawa, 2006: 4). Dengan adanya suatu kerjasama dan hubungan yang baik antara stakeholder yang terlibat dalam penanganan suatu peninggalan purbakala yaitu masyarakat dan pemerintah maka kegiatan pengelolaan yang berkaitan dengan
8
pelestarian tinggalan arkeologi dapat berjalan dengan baik sehingga terciptanya pemikiran-pemikiran baru mengenai pemanfaatan bagi tinggalan arkeologi tersebut. Pura Sada Kapal merupakan salah satu pura kuna yang masih bersifat living monument bagi masyarakat pendukungnya dan dimanfaatkan sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Bangunan prasada dan candi bentar yang ada di Pura Sada Kapal merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang terdaftar dalam buku Daftar Inventarisasi Situs di Provinsi Bali Tahun 2007, sebagai Benda Cagar Budaya di Kabupaten Badung dengan nomor inventaris lama 3/14-03/ST/7a. Beberapa hal yang menarik pada pura tersebut antara lain terdapat di dalam lingkungan pura berupa bangunan prasada yang terbuat dari batu bata, dan berdasarkan data dari BP3 memiliki tinggi 17,5 meter. Bangunan tersebut aslinya dipercaya berasal dari jaman Majapahit, karena bentuknya seperti candi bergaya Jawa Timur dengan atap ramping meninggi. Sebagai penghubung antara jaba sisi dan jaba tengah pura terdapat gapura candi bentar dengan menggunakan hiasan kepala bhoma yang terbelah menjadi dua bagian disisi-sisi dalam dan luarnya. Beberapa bangunan purbakala lainnya yang terdapat di Pura Sada yaitu bangunan paduraksa (candi kurung) yang merupakan pintu masuk sebagai penghubung antara jaba tengah dan jeroan, pelinggih Mekel Mesatya yang berada di bagian dalam pura (jeroan) berbentuk seperti padma capah berukuran kecil-kecil dan keseluruhannya berjumlah 64 buah. Pada areal pura juga terdapat sejumlah pelinggih baik yang terbuat dari batu bata, batu padas, bangunan kayu, dan bangunan dengan konstruksi beratap ijuk, yang berada di jaba sisi, jaba tengah, maupun di jeroan. Bangunan-bangunan yang terdapat pada Pura Sada Kapal baik yang kuna maupun baru merupakan satu
9
kesatuan yang utuh dan mempunyai keterkaitan satu sama lain serta berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya hingga saat ini. Keberadaan tinggalan-tinggalan kepurbakalaan tersebut menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk mengetahui bagaimana struktur, fungsi, dan status dari Pura Sada Kapal. Data struktur, fungsi, dan status pura menjadi dasar pengetahuan mengenai nilai-nilai penting yang terdapat di Pura Sada Kapal. Penulis juga ingin mengetahui bagaimana bentuk pengelolaan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan Pura Sada Kapal. Harapan penulis yaitu dapat terciptanya suatu model pengelolaan yang saling bersinergi antara pemerintah dan masyarakat pendukung pura. Mengingat Pura Sada Kapal merupakan Cagar Budaya yang patut dijaga kelestariannya sebagai suatu warisan budaya khususnya di daerah Bali. Upaya pelestarian yang tidak hanya menyelamatkan bendanya namun dapat menyelamatkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, penulis lebih khusus memaparkan mengenai pengelolaan Pura Sada Kapal dari sudut pandang ilmu arkeologi dan berdasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sebelum penelitian ini dilaksanakan telah dilakukan penelitian oleh beberapa peneliti antara lain yang membahas mengenai Tinjauan Arkeologi Mengenai Prasada di Pura Sada Kapal sebagai skripsi dari Ni Luh Suiti (1979). Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai prasada sebagai suatu bangunan terpenting di Pura Sada Kapal, baik dari latar belakang historis, hubungan dengan beberapa pura lainnya serta bentuk dan fungsi prasada. Selanjutnya penelitian oleh I Wayan Srijaya (2000) yang mengkaji mengenai Potensi Sumberdaya Budaya di Situs Pura Sada Kapal dalam Pengembangan Pariwisata Budaya di Kabupaten Badung. Penelitian sebagai skripsi juga dilakukan oleh Ni Putu
10
Septhi Antari (2001) dengan judul Pengembangan Kawasan Pura Sada Sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata Di Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Skripsi ini menjelaskan kajian terhadap pengembangan potensi Pura Sada Kapal sebagai daya tarik wisata budaya. I Putu Anom (2006) juga melakukan penelitian mengenai Potensi Pura Sada dan Pura Beji Langon sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Laporan penelitian ini menjelaskan mengenai potensi pura, penilaian atau persepsi wisatawan terhadap keberadaan potensi Pura Sada sebagai daya tarik wisata dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan potensi Pura Sada dan Pura Beji Langon. Atas dasar pertimbangan ini maka Pura Sada Kapal kemudian dijadikan sebagai objek penelitian.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas ada beberapa permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana struktur, fungsi, dan status Pura Sada Kapal sebagai salah satu pura kuna di Kabupaten Badung ? 2. Bagaimana bentuk pengelolaan Pura Sada di Desa Kapal terkait dengan upaya pelestariannya ? 3. Bagaimana bentuk pengelolaan Pura Sada di Desa Kapal terkait dengan upaya pemanfaatannya ?
11
1.3 Tujuan Penelitian Sebuah penelitian memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai begitu pula pada penelitian ini, berdasarkan tujuan inilah dapat memudahkan penulis untuk menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh. Secara garis besar penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut yaitu sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Arkeologi
mempelajari
kebudayaan
masyarakat
masa
lalu
melalui
peninggalan yang terbatas. Oleh karena itu untuk mengungkap hal tersebut para arkeolog harus merumuskan tujuan penelitiannya ke dalam tiga pokok tujuan ilmu arkeologi menurut Binford, yaitu rekonstruksi sejarah kebudayaan, menyusun kembali cara-cara hidup masyarakat masa lalu, serta memusatkan perhatian pada proses dan berusaha memahami proses perubahan budaya, sehingga dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa kebudayaan masa lalu mengalami perubahan bentuk, arah, dan kecepatan perkembangannya (Tim Penyusun, 1999:8). Tujuan umum penelitian ini mempelajari tingkah laku manusia masa lampau dan masa kini yang dalam wujudnya sekarang yaitu tindakan pengelolaan terkait pelestarian dan pemanfaatan Pura Sada di Desa Kapal. Dalam hal ini penulis juga ingin mengetahui keterlibatan langsung masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan.
12
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pencapaian akhir berupa jawaban terhadap tiga permasalahan yang dikemukakan sebagai berikut. 1.
Mengetahui struktur, fungsi, dan status Pura Sada di Desa Kapal sebagai salah satu pura kuna di Kabupaten Badung.
2.
Mengetahui dan mengungkapkan bentuk pengelolaan Pura Sada di Desa Kapal terkait dengan upaya pelestariannya.
3.
Mengetahui dan mengungkapkan bentuk pengelolaan Pura Sada di Desa Kapal terkait dengan upaya pemanfaatannya.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis 1.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi tambahan kepada kaum akademisi, masyarakat umum, dan pihak pemerintah khususnya mengenai pengelolaan Pura Sada Kapal.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan berupa referensi dan kepustakaan
dalam
kajian
pengelolaan
tinggalan
arkeologi.
Sehingga
berguna untuk kepentingan penelitian ilmu arkeologi Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.
13
3.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan panduan untuk penelitian-penelitian selanjutnya mengenai pengelolaan pura Cagar Budaya yang juga dapat dimanfaatkan untuk perkembangan pengetahuan di bidang ilmu lainnya.
1.4.2 Manfaat Praktis 1.
Sebagai bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam upaya menyusun kebijakan-kebijakan terkait pelestarian dan pemanfaatan Pura Sada Kapal yang merupakan salah satu Cagar Budaya.
2.
Menambah pemahaman bagi masyarakat umum dan khususnya masyarakat Desa Kapal mengenai nilai-nilai budaya yang terkandung pada tinggalan arkeologi di Pura Sada Kapal. Sehingga dapat menumbuhkan rasa ingin melestarikan pura sebagai suatu kebanggaan bagi daerahnya.
3.
Sebagai sumber acuan bagi pengembangan pelestarian dan pengembangan pariwisata di Pura Sada Kapal agar lebih tertata dengan baik.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Pembatasan ruang lingkup objek dan permasalahan yang akan diteliti dapat mempermudah penulis dalam menyajikan penulisan yang sistematis dan terarah. Ruang lingkup dapat diartikan sebagai suatu batas kewilayahan dalam arti sempit pada suatu objek penelitian serta permasalahan yang akan dibahas mengenai objek tersebut. 1.5.1 Ruang Lingkup Objek Ruang lingkup objek pada penelitian ini yaitu pada Pura Sada di Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Pura Sada merupakan salah satu Cagar
14
Budaya. Objek penelitian pada pura ini yaitu struktur pura, bangunan, dan tinggalan arkeologis yang terdapat dalam tiap halaman pura. Tinggalan arkeologis berupa candi bentar dengan menggunakan hiasan kepala bhoma yang terbelah menjadi dua bagian sesuai dengan pembagian belahan gapura tersebut. Candi bentar difungsikan sebagai pintu masuk dari jaba sisi ke jaba tengah pura. Prasada yang terbuat dari batu bata terdapat di jeroan pura yang merupakan bangunan utama dan berdasarkan data dari BP3 memiliki tinggi 17,5 meter. Beberapa bangunan purbakala lainnya yang terdapat di Pura Sada yaitu bangunan paduraksa (candi kurung) yang merupakan pintu masuk sebagai penghubung antara jaba tengah dan jeroan, pelinggih Mekel Mesatya yang berada di bagian dalam pura (jeroan) yang berbentuk seperti padma capah berukuran kecil-kecil yang berjumlah keseluruhan 64 buah. Disamping tinggalan berupa bangunan di Pura Sada Kapal juga terdapat dua buah arca perwujudan terdiri dari sebuah arca perwujudan laki-laki dan sebuah arca perwujudan wanita yang terdapat pada pelinggih Bhatara Manik Galih di jeroan pura. Arca-arca lainnya seperti arca melambangkan Sapta Rsi yang terdapat menghiasi badan prasada. Bangunan-bangunan yang ada di Pura Sada Kapal baik yang kuna maupun baru merupakan satu kesatuan yang utuh dan mempunyai keterkaitan satu sama lain dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya. Objek penelitian lainnya yaitu masyarakat pendukung Pura Sada yang berstatus sebagai pengempon, pengemong, dan penyiwi pura, pihak pemerintah seperti Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Bali.
15
1.5.2 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup permasalahan meliputi struktur, fungsi, dan status Pura Sada Kapal sebagai salah satu pura kuna di Kabupaten Badung dan bentuk pengelolaan di Pura Sada Kapal. Pembahasan mengenai permasalahan stuktur, fungsi dan status pura akan dikaji melalui sumber-sumber tertulis, studi lapangan, dan wawancara. Permasalahan mengenai bentuk pengelolaan Pura Sada Kapal terkait dengan upaya pelestarian dan pemanfaatannya akan dikaji melalui hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan pihak-pihak pengelola pura.