BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keberadaan yayasan sudah dikenal sejak lama, dimana tujuan didirikannya suatu yayasan untuk kepentingan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Dalam sejarahnya sejak awal tentang yayasan, misalnya Pharaoh telah memisahkan sebagian dari kekayaannya untuk tujuan terkait ritual
keagamaan.
Xenophon
mendirikan
yayasan
dengan
cara
menyumbangkan sebagian tanah dan mendirikan bangunan berupa kuil yang diperuntukkan sebagai tempat pemujaan bagi dewa arthenis, juga untuk keperluan pemberikan makanan dan minuman bagi orang-orang yang membutuhkan dan hewan-hewan kurban. Sedangkan Plato memberikan hasil pertanian dan tanah-tanah yang dimilikinya untuk tujuan pengembangan dunia akademis. 1 Di Indonesia, keberadaan yayasan diakui sejak jaman Belanda, istilah yayasan dapat ditemukan pada Pasal 899 KUHPerdata, Pasal 900 KUHPerdata, Pasal 1680 KUHPerdata, Pasal 1852 KUHPerdata, Pasal 1854 KUHPerdata, dimana penyebutannya berbeda-beda antara lain “Stichgen, Stichting, Gesticnen dar armeneh, Richtingen”. 2 Dalam pandangan Arie Kusumastuti bahwa munculnya yayasan di Indonesia sering tidak diimbangi dengan terbentuknya suatu Peraturan 1
Cartamarasdjid Ais, 2000, Tujuan sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 1. 2 Ibid, hlm. 2.
1
2
Perundang-undangan, sehingga mengakibatkan adanya suatu kecenderungan pergeseran tujuan dan fungsi serta nilai dari suatu yayasan, dimana yayasan banyak tidak berfungsi sebagai kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, tapi sudah berubah fungsi menjadi kegiatan komersil (profit oriented), bahkan yayasan banyak digunakan sebagai sarana bentuk usaha lain untuk menghindari perpajakan, selain itu yayasan juga sering digunakan untuk mendapatkan dan mendistribusikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pendiri, pembina dan pengurus yayasan sehingga terjadi apa yang dinamakan pergeseran nilai yayasan. 3 Seiring dengan itu bahwa pendirian yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan di dalam masyarakat, karena memang belum adanya suatu Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang yayasan, akan tetapi yayasan di Indonesia telah berkembang dengan pesat dengan berbagai kegiatan, maksud dan tujuan serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, maka perlu sekiranya untuk membentuk Undang-Undang tentang Yayasan dan lahirlah Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Dua tahun setelah Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 berlaku, maka pembentuk Undang-Undang merasa perlu untuk mengubah beberapa ketentuan pasal yang ada pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan tersebut. Perubahan yang dimaksud diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2004
3
Gunawan Wijaya, 2002, Yayasan Di Indonesia ,PT. Gramedia Jakarta, hlm. 1.
3
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Alasan diadakannya perubahan secara mutatis mutandis dapat dilihat pada bagian Konsideran Undang-Undang tersebut, yaitu bahwa Undang-Undang No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan perkembangan hukum dalam masyarakat, sehingga ada beberapa substansi yang menimbulkan berbagai macam penafsiran kepada masyarakat mengenai kelembagaan yayasan, maka oleh itu perlu dilakukan guna lebih menjamin kepastian dan ketertiban serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat. Dengan hadirnya Undang-Undang yang baru ini (Undang-Undang No. 28 Tahun 2004) maka akan memperkuat dasar hukum bagi yayasan untuk mencapai cita-citanya, serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum. Lahirnya undang-undang ini (Undang-Undang No. 28 Tahun 2004) dapat menjadi kontrol bagi yayasan dalam menjalankan roda usahanya dengan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan pendiriannya. Untuk mewujudkan mekanisme pengawasan publik terhadap yayasan yang diduga merugikan kepentingaan umum, dengan keluarnya UndangUndang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001, maka Undang-Undang mengatur tentang kemungkinan pemeriksaan terhadap yayasan yang dilakukan oleh ahli berdasarkan penetapan pengadilan berdasarkan permohonan pihak ketiga (3) yang berkepentingan atau atas penetapan permintaan kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan negara.
4
Yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yayasan mempunyai organ yang terdiri dari organ pembina, organ pengawas, dan organ pengurus. Pemisahan yang tegas antara fungsi dan kewenangan serta tugas masingmasing organ tersebut serta pengaturan mengenai hubungan antara ketiga (3) organ yayasan yang dimaksud untuk menghindarkan kemungkinan konflik intern yayasan yang tidak hanya merugikan kepentingan yayasan melainkan juga pihak lain di luar yayasan. Peranan yayasan yang begitu besar dalam masyarakat, terutama dalam menciptakan kesejahteraan di masyarakat, maka penyempurnaan UndangUndang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimaksud pula agar yayasan tetap dapat berfungsi dalam usaha mencapai maksud dibidang sosial, keagamaan
dan
kemanusiaan
berdasarkan
prinsip
keterbukaan
dan
akuntabilitas. Dengan adanya perubahan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2004, maka notaris sebagai pejabat umum yang berwenang dalam melayani yayasan-yayasan yang ada dalam melakukan proses perubahan anggaran dasar sehingga pelayanan jasa publik semakin meningkat. Notaris sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan oleh Negara untuk melayani masyarakat di bidang perdata, khususnya pembuatan akta otentik, sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan-kewenangan yang lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
5
Pendirian yayasan yang menggunakan jasa notaris dalam memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham RI) atau Pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi dari pengesahan suatu yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik sehingga tidak ditemukan lagi yayasan yang berdiri tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan ketentuan dari UndangUndang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan yang berlaku saat ini. Dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 disebutkan bahwa bahwa penyesuaian atas perubahan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) dan telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI), atau yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) dan mempunyai ijin melakukan kegiatan dari instansi terkait adalah masih tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang ini. Selanjutnya berdasarkan Pasal 71 ayat (2) bahwa yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan anggaran dasar dengan ketentuan undang-undang ini dan mengajukan
6
permohonan kepada menteri dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku. Berdasarkan Pasal 71 ayat (4), bahwa yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), maka tidak dapat menggunakan kata yayasan lagi di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak lain yang berkepentingan. Perubahan-perubahan radikal dan penting dalam kelembagaan yayasan berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 seperti yang telah diuraikan di atas tentu merupakan suatu kewajiban bagi yayasan-yayasan sebelumnya untuk menyesuaikan terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan
uraian
yang
telah
dikemukakan
di
atas,
maka
permasalahan yang hendak diteliti oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peran notaris pasca berlakunya Undang-Undang Yayasan di Kabupaten Magetan terhadap proses penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan di daerah Kabupaten Magetan? 2. Bagaimana upaya dari Kanwil Hukum dan HAM dalam mensosialisasikan tentang berlakunya Undang-Undang Yayasan di Kabupaten Magetan terhadap proses penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan?
7
3. Bagaimana penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan berdasarkan Undang-Undang Yayasan, dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan dengan Undang-Undang Yayasan di daerah Kabupaten Magetan, serta bagaimana upaya dalam mengatasi kendala-kendala tersebut?
C. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran kepustakaan dapat dijumpai beberapa penelitian yang membahas masalah tentang yayasan, diantaranya: 1. Nama: Mozedayen Eirene Alfalande, tahun 2006, Dampak UndangUndang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan Terhadap Yayasan-Yayasan Sosial Yang Telah Berdiri. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai akibat yang dialami oleh yayasan-yayasan sosial lama dengan berlakunya Undang-Undang No. 28 Tahun 2004. Lokasi yang diambil dalam penelitian ini adalah pada yayasan-yayasan sosial yang ada di Solo. Adapun mengenai hasil dari penelitian tersebut adalah membahas tentang Peraturan Peralihan Pasal 71 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 dan langkah-langkah yang dilakukan oleh yayasan sosial yang telah berdiri sebelumnya. 4 2. Nama: Doden Almury BJ, tahun 2005, Upaya Penyesuaian Yayasan Lama Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 Terhadap Yayasan Yang Ada Di Kota Singkawang (Studi Kasus Pada Yayasan Dharma Persada, 4
Mozedayen Eirene Alfalande, 2006, Dampak Undang-undang No. 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan-Yayasan Sosial Yang Telah Berdiri.
8
membahas tentang upaya penyesuaian yayasan lama dengan UndangUndang Yayasan No. 16 Tahun 2001. Lokasi yang diambil dalam penelitian ini adalah di Kota Singkawang. Adapun hasil penelitian tersebut adalah membahas terhadap yayasan yang telah berdiri sebelum UndangUndang no.16 Tahun 2001 di Kota Singkawang. 5 3. Nama: Gina Indri Andriyana, tahun 2007, Tinjauan Tentang Pembatalan Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor: 12/PDT.G/2001/PN.YK, Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor: 30/PDT/2002/PT.Y, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 318K/PDT/2003). Permasalahan dalam penelitian ini lebih menekankan pada pembatalan perubahan anggaran dasar yayasan dengan keluarnya putusan Pengadilan. Penelitian ini diambil berdasarkan dari adanya sengketa antara para pendiri yayasan. Lokasi dari penelitian ini di Yogyakarta, dan diteliti pada tahun 2007. Adapun hasil dari penelitian ini adalah tentang pembatalan akta perubahan anggaran dasar yayasan yang berawal dari sengketa diantara para pendiri yayasan. 6 4. Nama: Nur Azrani, tahun 2010, Peranan Notaris Terhadap Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Yang Berbadan Hukum Setelah Undang-Undang Nomor 28 Tahun Tentang Yayasan di Tanjung Pinang Kepulauan Riau. Permasalahan dalam penelitian ini hanya menekan pada penyesuaian
5
Dodon Almury BJ, 2005, Upaya Penyesuaian Yayasan Lama Dengan Undang-undang No.16 Tahun 2001 terhadap Yayasan Yang Ada di Kota Singkawang (Studi Kasus pada Yayasan Dharma Persada). 6 Gina Indri Andriyana, 2007, Tinjaun Tentang Pembatalan Akta Perubahan Anggaran Dasar (Studi Kasus Pengadilan Negeri Yogyakarta No.12/PDT.6/2001 PN YK, Putusan Pengadila Tinggi Yogyakarta No. 30/PDT/2007/PT.YK, Putusan Mahkamah Agung No. 318 K/PDT/2003).
9
yayasan yang sudah berbadan hukum saja dengan berdasarkan pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2008. Lokasi yang diteliti dalam penelitian ini di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Hasil yang dicapai hanya menitik beratkan apakah yayasan yang sudah berbadan hukum di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, sudah apa belum dalam menjalankan proses penyesuaian anggaran dasarnya sesuai dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2008. 7 Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah di dalam penelitian dengan mengambil judul “PERAN NOTARIS PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DI KABUPATEN MAGETAN“, membahas mengenai lebih dalam lagi dari upaya yang dilakukan para Notaris/PPAT, dinas terkait yang dalam ini Kantor Kanwil Hukum Dan HAM Surabaya dalam mensosialisasikan mengenai penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan Undang-Undang Yayasan (Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Jo Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan), dan aturan pelaksana dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan. Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Magetan sebagai batasan daerahnya.
7
Nur Azrani, 2010, Peranan Notaris Terhadap Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Yang Berbadan Hukum Setelah Undang-Undang Nomor 28 Tahun tentang Yayasan di Tanjung Pinang Kepulauan Riau.
10
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui sampai sejauh mana peran notaris pasca berlakunya Undang-Undang Yayasan terkait proses penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan di Kabupaten Magetan. 2. Untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya yang sudah dilakukan oleh dinas terkait, yang dalam hal ini Kanwil Hukum dan HAM mengenai sosialisasi Undang-Undang Yayasan di Kabupaten Magetan. 3. Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya prosedur penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan, mengetahui bagaimana nasib jika suatu yayasan belum disesuaikan anggaran dasarnya berdasarkan UndangUndang Yayasan, dan mengetahui kendala-kendala apa saja yang muncul, serta mengetahuin pula upaya-upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan kendala tersebut.
E. Manfaat/Faedah Penelitian Faedah yang diharapkan dalam penulisan tesis ini adalah mencoba untuk membantu menambah khasanah ilmu pengetahuan dibidang badan usaha terkait badan hukum khususnya tentang yayasan dan untuk kemajuan pembangunan Negara dan Bangsa.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Notaris 1. Pengertian dan Wewenang Notaris Kata notaris berasal dari kata notarius dan notariui yang berarti orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Sedangkan kata notariat berasal dari kata latijnse Notariaat. Pada zaman Romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Istilah notaris sebenarnya berasal dari akta “notarius” sesuai dengan nama pengabdinya yaitu Notarius yang ada pada jaman Romawi. Nama ini dimaksudkan untuk menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa istilah notaris berasal dari perkataan Notaliteraria, yang berarti tanda atau karakter (letter mark) yang menyatakan suatu perkataan. 1 Di Indonesia, asal mula diaturnya mengenai notarus itu diatur pada Ordonantie Stb. 1860 Nomor 3 dengan judul “Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesia”, yang mulai berlakunya pada tanggal 1 Juli 1860. Di Indonesia lebih dikenal dengan Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Pada Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris diberikan definisi mengenai notaris, yaitu yang dimaksud dengan:
1
Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan). PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13
11
12
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain. Berdasarkan pengertian notaris sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Notaris adalah pejabat umum b. Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik c. Akta-akta yang berkaitan dengan perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta otentik d. Adanya kewajiban untuk menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan akta, memberikan groose, salinan dan kutipannya e. Terhadap pembuatan akta-akta itu tidak juga ditegaskan atau dikecualikan oleh suatu peraturan umum kepada pejabat atau orang lain. Dalam pengertian notaris di atas dapat dijelaskan pula bahwa notaris merupakan pejabat umum (openbare ambtenaar), dan seorang pejabat umum tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan pegawai negeri. Meskipun pegawai negeri sebagai pejabat juga yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan umum, tetapi pegawai negeri dalam
13
hal ini tidak seperti yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata. Notaris bukan pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud oleh perundangundangan kepegawaian karena notaris tidak menerima gaji, melainkan menerima honorarium dari kliennya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dapat pula dijumpai pada Pasal 1 ditegaskan pula tentang Pengertian Notaris dinyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Hal ini pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan pengertian notaris yang dirumuskan dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan peraturan pelaksanaannya. Kewenangan lain dari notaris dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN. Berdasarkan pengertian di atas, notaris sebagai pejabat umum merupakan suatu jabatan bukan sekedar suatu profesi karena notaris adalah suatu jabatan umum sehingga notaris disebut pula sebagai Pejabat Umum. Istilah notaris publik menurut sistem common law dengan notaris sistem civil law yang dianut di Indonesia adalah sama-sama pejabat umum atau public officer atau openbaar ambtenaar. Notaris tidak boleh membuat akta kalau diminta. Akta Notaris harus ditulis dan dapat dibaca serta harus memenuhi ketentuan dari 2
Liliana Tedjosaputro, 1995, Etika Profesi Notaris Dalam Penengakan Hukum Pidana, BIGRAF Publishing, Yogyakarta, hlm. 28
14
undang-undang yang berlaku. Bahkan untuk melindungi agar akta notaris tidak mudah dipalsukan dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum tersebar dalam beberapa pasal sebelum UUJN terdapat pada Peraturan Jabatan Notaris yakni diantaranya dalam Pasal 26, 27, 32, 33 dan 34 yang berisikan peraturan-peraturan yang mengatur perihal bentuk dari akta notaris, dan setelah lahirnya UUJN kepastian hukum tersebut terdapat dalam Pasal 42, 43, 48, 49 dan 50. Pengertian notaris menurut Sarman Hadi secara tegas diungkapkan bahwa: 3 Notaris bukanlah pihak dalam akta yang dibuat dihadapannya, karena tidak memihak. Notaris tidak mempunyai pihak, namun dapat memberikan jalan dalam jalur hukum yang berlaku, agar maksud pada pihak yang meminta bukti tertulis akan terjadinya hubungan hukum diantara para pihak, dapat dibantu melalui jalur hukum yang benar. Dengan demikian maksud para pihak tercapai sesuai dengan kehendak para pihak, di sinilah dituntut pengetahuan hukum yang luas dari seorang notaris untuk dapat meletakkan hak dan kewajiban para pihak secara proporsional. Pengertian
notaris
menurut
H.R.
Purwanto
Gandasubrata4
menyatakan bahwa “notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada masyarakat”. Di dalam tugasnya sehari-hari ia menerapkan hukum dalam aktanya sebagai akta otentik yang merupakan alat bukti yang kuat sehingga
memberikan
pembuktian
lengkap
kepada
para
pihak
pembuatnya. 3
Koesbiono Sarman Hadi, 1996, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang, Makalah pada Seminar Nasional “Profesi Notaris Menjelang Tahun 2000”, 15 Juni 1996, Yogyakarta, hlm. 7 4 H.R. Purwanto Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm. 484
15
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN. 5 Berbeda dengan rumusan UUJN yang baru tersebut Peraturan Jabatan Notaris yang lama (PJN, Ordonansi Staatsblad 1860 Nomor 3) mendefinisikan notaris sebagai pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Bila rumusan ini diperbandingkan, maka rumusan UUJN yang baru lebih luas dibandingkan dengan PJN yang lama namun keduanya memiliki esensi yang sama tentang notaris yakni sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta. Terminologi berwenang (bevoegd) dalam PJN 5
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hlm. 14
16
maupun UUJN diperlukan karena berhubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu akta otentik adalah yang sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat akta itu dibuat. Untuk pelaksanaan Pasal 1868 KUH Perdata tersebut pembuat undang-undang harus membuat peraturan perundangundangan untuk menunjuk para pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan oleh karena itulah para notaris ditunjuk sebagai pejabat yang sedemikian berdasarkan PJN maupun UUJN. 6 Melalui pengertian notaris tersebut terlihat bahwa tugas seorang notaris adalah menjadi pejabat umum, sedangkan wewenangnya adalah membuat akta otentik. Sedangkan akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Akta notaris sebagai akta otentik dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh UUJN. Rumusan UUJN dan PJN menyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar). Seseorang menjadi pejabat umum, apabila ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu. Karena itu notaris sebagai pejabat umum ikut serta melaksanakan kewibawaan (gezag) dari pemerintah. Notaris disebut sebagai pejabat
6
GHS Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm. 33
17
umum dikarenakan kewenangannya untuk membuat akta otentik. Meskipun disebut sebagai pejabat umum namun notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepegawaian. Notaris merupakan swasta yang terikat dengan peraturan jabatannya dan selanjutnya notaris bebas dalam menjalankan profesinya. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Pendapatan notaris diperoleh dari honorarium kliennya. Arti penting dari profesi notaris disebabkan karena notaris oleh undang-undang diberi wewenang untuk menciptakan alat pembuktian yang mutlak, dalam pengertian bahwa apa yang disebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk sesuatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha. Untuk kepentingan pribadi misalnya adalah untuk membuat testament, mengakui anak yang dilahirkan di luar pernikahan, menerima dan menerima hibah, mengadakan pembagian warisan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kepentingan suatu usaha misalnya adalah akta-akta dalam mendirikan suatu PT (Perseroan Terbatas), Firma, CV (Comanditer Vennotschap) dan lain-lain serta akta-akta yang mengenai transaksi dalam bidang usaha dan perdagangan, pemborongan pekerjaan, perjanjian kredit dan lain sebagainya. 7
7
Soegondo Notodisoerjo, 1993, Op. Cit, hlm. 9
18
Sehubungan dengan wewenang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris hanya diperbolehkan untuk melakukan jabatannya di dalam daerah tempat kedudukannya. Dengan demikian, notaris wajib mempunyai hanya satu kantor dan dengan hanya mempunyai satu kantor, berarti notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya. Selain itu notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya. Artinya akta notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan di kantor notaris kecuali pembuatan aktaakta tertentu. Apabila hal ini dilanggar, maka akta yang dibuat oleh notaris tersebut tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan sebagaimana akta di bawah tangan.
2. Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Mengenai kedudukan notaris sebagai pejabat umum, R. Soegondo Notodisoerjo menyatakan bahwa: 8 Lembaga Notariat telah dikenal di negara Indonesia, yaitu sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, semula lembaga ini diperuntukkan bagi golongan Eropa terutama dalam bidang hukum perdata, yaitu Burgerlijk Wetboek. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa meski sebenarnya hanya diperuntukkan bagi golongan Eropa, masyarakat Indonesia secara umum pun dapat membuat suatu perjanjian yang dilakukan dihadapan notaris. Hal ini menjadikan lembaga notariat sangat dibutuhkan keberadaannya
8
Ibid, hlm. 1
di
tengah-tengah
masyarakat.
Kemudian
dalam
19
perkembangannya, lembaga notariat yang mula-mula muncul pada zaman Romawi, diadopsi menjadi Hukum Indonesia, yaitu Hukum Notariat Indonesia dan berlaku untuk semua golongan. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum memberikan wewenang kepada notaris untuk dapat membuat akta-akta otentik. Sebelum menjalankan jabatannya, notaris harus disumpah terlebih dahulu. Hal ini sebagai konsekuensi bahwa dalam menjalankan jabatannya, notaris sebagai pejabat umum harus senantiasa menghayati sumpah jabatannya yang termuat dalam Pasal 4 UUJN. Sebagaimana dikatakan oleh Liliana Tedjosaputro bahwa: 9 Pada asasnya jabatan notaris ini juga seharusnya memberikan keadilan yang menuju kepada keselarasan, keserasian, keseimbangan, tidak memihak kepada para pihak dan juga bebas dari kekuasaan eksekutif. Hal ini sebenarnya menegaskan bahwa jabatan sebagai notaris haruslah independen, dalam arti kata tidak memihak kepada pihak-pihak tertentu, sehingga notaris menjadi jabatan kepercayaan. Selain sebagai jabatan kepercayaan, notaris juga berperan sebagai pelayan kepentingan umum serta mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris, maka notaris dituntut mempunyai pengetahuan yang luas serta tanggung jawab yang besar terhadap segala hal yang telah dilakukannya. Notaris sebagai pejabat umum menjalankan sebagian dari fungsi negara terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, 9
Liliana Tedjosaputro, 1995, Op. Cit, hlm. 89
20
khususnya membuat alat bukti tertulis dan otentik dari perbuatan hukum yang dibuat atau diadakan oleh para pihak. Hal demikian menjadi keharusan oleh karena akta otentik lahir jika dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Penunjukan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik berkaitan erat dengan wewenang atau kewajibannya yang utama. Kewenangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 huruf 1 UUJN dikaitkan dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang memuat ketentuan akta otentik dan syarat-syarat agar supaya sesuatu akta dapat dikatakan dan berlaku sebagai akta otentik adalah akta yang dalam bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapa pejabat umum yang berwenang untukitu, di tempat di mana akta dibuat. Ketentuan mengenai kedudukan sebagai pejabat umum dapat dilihat pada Pasal 1 angka (1) UUJN di sana dinyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Dengan demikian ditugaskan untuk menjalankan kekuasaan pemerintah, notaris memperoleh kekuasaan tersebut dari eksekutif, artinya notaris diberi kekuasaan langsung sebagian hak dan wewenang eksekutif. Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah yaitu oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI dengan suatu surat keputusan. Hal ini berarti turut serta melaksanakan kewibawaan dari pemerintah, meski demikian notaris bukanlah pegawai negeri tetapi merupakan pejabat negara, notaris tidak tunduk pada undang-undang kepegawaian, melainkan
21
tunduk pada UUJN dan ia tidak menerima gaji dari pemerintah tetapi menerima honorarium dari klien atas jasanya. Berkaitan dengan honorarium bagi notaris, diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUJN yaitu bahwa “notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai kewenangannya”. Pasal 36 ayat (2) menyatakan bahwa “besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya”. Sedangkan Pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa “Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dari objek setiap akta sebagai berikut: (a) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen gram emas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah 2,5% (dua koma lima persen); (b) di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima paling besar 1,5 % (satu koma lima persen); atau (c) di atas Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1 % (satu persen) dari objek yang dibuatkan aktanya. Pasal 36 ayat (4) menyatakan bahwa “nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”. Seorang notaris meskipun sudah diangkat secara resmi dengan suatu surat keputusan dari pejabat yang berwenang namun belum disumpah, maka ia belum bisa melakukan tugas jabatannya, oleh karena
22
itu setelah ia menerima surat keputusan seorang notaris harus mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui kantor pemerintah daerah di mana notaris yang bersangkutan ditempatkan. Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya. Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, Nico membedakannya menjadi empat poin, yakni: 10 a. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya; b. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya; c. Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran maeriil dalam akta yang dibuatnya; d. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris. Mengenai tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum dalam pembahasan ini meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta. Pembahasan tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum dapat dijelaskan sebagai berikut: 11 a. Tanggung jawab notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya Konstruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuat oleh 10
Nico, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta 11 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hlm. 35
23
notaris adalah konstruksi perbuatan melawan hukum. Konstruksi yuridis mengenai perbuatan melawan hukum ini memang memiliki jangkauan
yang
begitu
luas
sehingga
memungkinkan
untuk
menjangkau perbuatan apapun asalkan merugikan pihak lain dan kerugian tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan perbuatan apapun tersebut. Apa yang disebut dengan perbuatan melawan hukum memiliki sifat aktif maupun pasif. Aktif dalam artian melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, jadi sengaja melakukan gerakan, maka dengan demikian perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan yang aktif. Kecuali itu perbuatan melawan hukum juga dapat bersifat pasif. Pasif dalam artian tidak melakukan perbuatan namun sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan kewajiban baginya atau dengan tidak melakukan suatu perbuatan tertentu – suatu yang merupakan keharusan – maka pihak lain dapat menderita suatu kerugian. Unsur dari perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Sebagaimana perkembangan lembaga perbuatan melawan hukum kontemporer, maka apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan melawan hukum dalam arti luas. Arti luasnya perbuatan melawan hukum ini adalah tidak semata melanggar undang-undang untuk dapat dikatakan sebagai melanggar hukum, namun dapat juga karena melanggar kepatutan, kesusilaan atau
24
hak orang lain, sehingga menimbulkan kerugian. Secara lebih rinci perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah apabila perbuatan tersebut: 1) Melanggar hak orang lain Perbuatan melawan hukum berkaitan dengan dicederainya hak orang lain. Hak dalam hal ini adalah hak subjektif (subjectief recht). Hak subjektif pada hakikatnya merujuk pada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk melindungi kepentingannya. Beberapa hak subjektif mendasar yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah hak-hak pribadi misalnya hak kebebasan, hak atas kehormatan dan nama baik serta hak-hak atas kekayaan. 2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku Kewajiban
hukum
pelaku
artinya
pelaku
memiliki
kewajiban hukum untuk berbuat atau tidak berbuat menurut hukum. Sehingga maksud dari bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku adalah berbuat atau tidak berbuat yang melanggar suatu kewajiban yang telah diatur oleh hukum. 3) Bertentangan dengan kesusilaan Kesusilaan dalam hal ini adalah norma preskriptif yang diakui dalam kehidupan pergaulan sehari-hari. Norma kesusilaan merupakan norma yang relatif artinya sesuai dengan waktu dan tempat tertentu. Apa yang dianggap patut pada saat ini di tempat
25
ini mungkin dapat berbeda atau menjadi tidak patut pada waktu yang akan datang atau di tempat lain. 4) Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan bula seseorang dalam suatu perbuatan mengabaikan kepentingan orang lain dan membiarkan kepentingan orang lain terlanggar begitu saja. Hal demikian merupakan tindakan yang tidak patut dan oleh karenanya merupakan perbuatan melawan hukum. Bila dikaitkan dengan profesi notaris maka berdasarkan konstruksi yuridis perbuatan melawan hukum dapat dikatakan bahwa apabila notaris di dalam menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak atau para pihak yang menghadap kepadanya di dalam pembuatan suatu akta dan hal tersebut benar-benar dapat diketahui bahwa perbuatan notaris tersebut bertentangan dengan hukum, maka notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan konstruksi perbuatan melawan hukum. Termasuk dalam perbuatan melawan hukum apabila notaris yang memiliki tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta, kemudian di dalam akta tersebut terdapat suatu klausula yang bertentangan dengan hukum sehingga menimbulkan
26
kerugian terhadap orang lain sedangkan para pihak penghadap sama sekali tidak mengetahuinya, maka dengan sikap pasif dan diam itu notaris yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan melalui perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat terjadi dikarenakan notaris memiliki pengetahuan yang kurang, pengalaman yang kurang, dan/atau memiliki pengertian yang kurang. 12 Meskipun demikian Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa mengingat notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para penghadap dan tidak diwajibkan menyelidiki kebenaran
materiil
isinya,
maka
tidaklah
tepat
jika
hakim
membatalkannya (atau menyalahkan notaris tersebut dan menuduhnya melakukan perbuatan hukum). Notaris mungkin dapat berbuat salah mengenai isi akta karena informasi yang salah (sengaja atau tidak) dari para
pihak.
Kiranya
kesalahan
demikian
ini
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada notaris karena isi akta itu telah dikonfirmasikan kepada para pihak oleh notaris. 13 Pendapat Sudikno Mertokusumo tersebut sejalan dengan rumusan penjelasan umum UUJN yang menyatakan bahwa akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Namun, notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya 12 13
S. Soetrisno, dalam Nico, Op. Cit, hlm. 98 Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 149
27
sehingga menjadi jelas isi akta notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundangundangan terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta notaris yang akan ditandatanganinya. Penjelasan UUJN tersebut menunjukkan bahwa notaris hanya sekedar bertanggung jawab terhadap formalitas dari suatu akta otentik dan tidak terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada notaris yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut, maka notaris dapat dipertanggungjawabkan atas kebenaran materiil suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian hari merupakan sesuatu yang keliru. Melalui konstruksi penjelasan UUJN tersebut pula dapat ditarik kesimpulan bahwa notaris dapat pula dimintai pertanggungjawaban atas kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya bila ternyata notaris tersebut tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya,
sehingga
salah
satu
pihak
merasa
tertipu
atas
ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi notaris untuk memberikan informasi hukum yang penting (necesary) yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang berurusan dengan masalah hukum.
28
Berkaitan dengan pertanggungjawaban secara perdata terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuat dihadapan notaris meskipun pada dasarnya notaris tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuat dihadapannya, bukan berarti notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat dengan sekehendaknya dan tidak dengan sungguh-sungguh dalam melakukan pembuatan suatu akta otentik. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh notaris, yaitu yang berkaitan dengan perlindungan hukum notaris itu sendiri. Berdasarkan pada pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan adanya ketidak hati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan notaris, sebenarnya notaris telah membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh notaris dapat dibuktikan, maka notaris daat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana telah ditentukan dalam undang-undang. b. Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya Mengenai ketentuan pidana tidak diatur di dalam UUJN namun tanggung jawab notaris secara pidana dikenakan apabila notaris melakukan perbuatan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap UUJN. Sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di
29
bawah tangan. Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhantian dengan tidak hormat. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Tentu pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta dan tidak dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Unsur-unsur dalam perbuatan pidana meliputi: 14 1) Perbuatan (manusia) Perbuatan adalah tindakan dan kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Menurut Moeljatno, di dalam hukum pidana perbuatan ada yang bersifat positif maupun negatif. Positif berarti terdakwa berbuat sesuatu sedankan negatif berarti seseorang tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan atasnya. Adapun yang dimaksud dengan kelakuan (perbuatan) adalah suatu sikap jasmani, sebab tidak berbuat sesuatu tidak dapat dimasukkan dalam pengertian tersebut dan yang termasuk dalam kelakuan tersebut terbatas hanya pada sikap jasmani yang disadari saja. 2) Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan Agar suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana harus memenuhi rumusan undang-undang artinya berlaku asas
14
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Op. Cit, hlm. 38
30
legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang memiliki makna bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam suau aturan undangundang. Arti penting adanya asas legalitas adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dan demi keadilan. Memenuhi peraturan perundang-undangan sebagai syarat dari tindak pidana adalah merupakan syarat formil. 3) Bersifat melawan hukum Adanya sifat melawan hukum dalam tindak pidana merupakan syarat mutlak dan juga merupakan syarat materiil. Setidaknya ada dua pendapat mengenai arti dari unsur sifat melawan hukum yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda wederrechtelijk. Pendapat tersebut adalah ajaran mengenai wederrechtelijk dalam arti formil dan dalam arti materiil. Menurut ajaran wederrechtelijk dalam arti formil suatu perbuatan dapat dipandang sebagai bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang. Sedangkan ajaran wederrechtelijk dalam arti materiil menilai suatu perbuatan digolongkan sebagai bersifat melawan hukum atau tidak, perbuatan tersebut tidak hanya ditinjau dari segi yuridis formal semata namun juga harus ditinjau dan diukur menggunakan asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis.
31
Indonesia sendiri menganut ajaran sifat ajaran melawan hukum dalam arti materiil namun dalam fungsinya yang negatif. Artinya meskipun apa yang dituduhkan adalah suatu delik formal namun hakim secara materiil harus memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaan dari terdakwa atas dasar mana mereka tidak dapat dihukum, sehingga terdakwa bebas dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan pengertian dari tindak pidana maka konsekuensi dari perbuatan pidana dapat melahirkan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ada apabila subjek hukum melakukan kesalahan, karenanya dikenal adanya pameo yang mengatakan geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan dapat berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa). Sebagai contoh kasus perbuatan pidana yang dilakukan oleh notaris antara lain membuat akta notaris palsu atau membuat akta yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya berdasarkan permintaan para pihak. c. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UUJN) Kebutuhan akan jasa notaris dalam masyarakat modern tidak mungkin dihindarkan. Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah dan pemerintah sebagai organ negara mengangkat notaris bukan semata untuk kepentingan notaris itu sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat luas. Jasa yang diberikan oleh notaris
32
terkait erat dengan persoalan trust (kepercayaan) antara para pihak, artinya negara memberikan kepercayaan yang besar terhadap notaris dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian kepercayaan kepada notaris berarti notaris tersebut mau tidak mau telah dapat dikatakan memikul pula tanggung jawab atasnya. Tanggung jawab ini dapat berupa tanggung jawab secara hukum maupun moral. 15 Peraturan jabatan notaris adalah peraturan-peraturan yang ada dalam kaitannya dengan profesi notaris di Indonesia. Regulasi mengenai notaris di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Ketentuan penutup UUJN (Pasal 91) dengan tegas mencabut dan menyatakan tidak berlaku peraturan-peraturan pendahulunya yang meliputi: 1) Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101; 2) Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; 3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); 4) Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
15
Ibid, hlm. 43
33
34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan 5) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris. Hal ini dikarenakan berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku bagi semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum di bidang kenotariatan tersebut, dibentuklah UUJN. Mengenai tanggung jawab notaris secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 65 UUJN yang menyatakan bahwa notaris (notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris) bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris. Ketentuan sanksi dalam UUJN diatur dalam BAB XI Pasal 84 dan Pasal 85. Pasal 84 menyatakan bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 atau Pasal 52 yang
34
mengakibatkan suatu aka hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris. Mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada notaris sebagai pribadi menurut Pasal 85 UUJN dapat berupa: 1) Teguran lisan; 2) Teguran tertulis; 3) Pemberhentian sementara; 4) Pemberhentian dengan hormat; atau 5) Pemberhentian dengan tidak hormat. Penjatuhan sanksi ini dapat diberikan bila notaris melanggar ketentuan yang diatur oleh UUJN yakni melanggar Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59 dan/atau Pasal 63. 16 Ketentuan normatif ini mengatur notaris agar notaris dalam menjalankan profesinya selalu terkontrol dengan formalitas yang telah digariskan. Artinya tuntutan profesi notaris lebih merujuk pada bentuk dari akta yang dihasilkan bukan substansi (materi) akta. Materi akta 16
Ibid, hlm. 47
35
dan tanggung jawab atas isinya berada di pundak para pihak yang mengadakan perjanjian. Namun terkadang dalam suatu akta memuat konstruksi-konstruksi hukum tertentu dalam konstelasi hukum perjanjian yang barangkali dilanggar oleh para pihak. Mengenai hal ini notaris berkewajiban untuk mengingatkan atau memberitahu kepada para pihak bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum yang berlaku. Mengenai tanggung jawab materiil terhadap akta yang dibuat dihadapan notaris perlu ditegaskan bahwa dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta otentik bukan berarti notaris dapat secara bebas sesuai kehendaknya membuat akta otentik tanpa adabnya para pihak yang meminta untuk dibuatkan akta. Akta notaris dengan demikian sesungguhnya adalah aktanya pihak-pihak yang berkepentingan, bukan aktanya notaris yang bersangkutan. Karena itulah dalam hal terjadinya sengketa dari perjanjian yang termuat dalam akta notaris yang dibuat bagi mereka dan dihadapan notaris maka yang terikat adalah mereka yang mengadakan perjanjian itu sendiri, sedangkan notaris tidak terikat untuk memenuhi janji atau kewajiban apapun seperti yang tertuang dalam akta notaris yag dibuat dihadapannya dan noaris sama sekali di luar mereka yang menjadi pihak-pihak. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan akan adanya akta notaris yang tendensius. Maksudnya adalah dalam pembuatan akta keterlibatan notaris tidak sekedar legislasi suatu akta namun
36
menyangkut substansi akta. Hal ini bisa terjadi ketika notaris sebagai pihak yang semestinya netral melakukan hal-hal tertentu yang menyebabkan salah satu pihak diuntungkan dan di satu sisi merugikan pihak lainnya dengan akta notariil tersebut. Ketidaknetralan notaris dalam membuat suatu akta ini dapat menjadikan notaris dikenai tanggung jawab atas materi akta yang dibuatnya. Perbuatan notaris yang demikian melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Selain Pasal 16 ayat (1) huruf a tersebut merupakan pelanggaran yang bersifat prosedural. d. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasrakan kode etik notaris Profesi notaris sebagaimana telah diterangkan dapat dilihat dalam perspektifnya secara integral. Melalui perspektif terintegrasi ini maka profesi notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi, masyarakat pada umumnya dan Negara. Tindakan notaris akan berkaitan dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang keliru dari notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan notaris itu sendiri namun dapat juga merugikan organisasi profesi, masyarakat dan Negara. Hubungan profesi notaris dengan masyarakat dan Negara telah diatur dalam UUJN berikut peraturan perundang-undangan lainnya.
37
Sementara hubungan profesi notaris dengan organisasi profesi notaris diatur melalui kode etik notaris. Keberadaan kode etik notaris merupakan konsekuensi logis dari untuk suatu pekerjaan disebut sebagai profesi. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa notaris sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan harus berpegang teguh tidak hanya pada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada kode etik profesinya, karena tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang. Terdapat hubungan antara kode etik dengan UUJN. Hubungan pertama terdapat dalam Pasal 4 mengenai sumpah jabatan. Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris. Kode etik profesi notaris ditetapkan dan ditegakkan oleh organisasi notaris. Adanya hubungan antara kode etik notaris dengan UUJN memberikan arti terhadap profesi notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik notaris menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap Negara. Dengan adanya hubungan ini maka terhadap notaris yang mengabaikan keluhuran dari martabat jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril, ditegur atau
38
dipecat dari keanggotaan profesinya juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai notaris. Menurut Muhammad sebagaimana dikutip Nico, notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: 17 1) Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena jabatannya 2) Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kehendak pihakpihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu 3) Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna. Pelanggaran terkait dengan kode etik notaris adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi. Ruang lingkup dari kode etik berlaku bagi seluruh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
17
Nico, Op. Cit, hlm. 269-270
39
Terkait dengan sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik notaris atas pelanggaran kode etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin notaris. Sanksi dalam kode etik notaris dituangkan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari
keanggotaan
perkumpulan,
onzetting
(pemecatan)
dari
keanggotaan perkumpulan. 3. Sumpah Jabatan Notaris Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa sebelum menjalankan jabatannya, notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Adapun sumpah/janji tersebut berbunyi sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji: Bahwa saya akan patuh dan setiap kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mendiri dan tidak berpihak. Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris. Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun”.
40
Pengucapan sumpah/janji jabatan notaris tersebut di atas dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai notaris. Dalam hal pengucapan sumpah/janji tidak dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, maka keputusan pengangkatan notaris dapat dibatalkan oleh menteri. Selanjutnya menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal
pengambilan
sumpah/janji
jabatan
notaris,
yang
bersangkutan wajib: a. menjalankan jabatannya dengan nyata; b. menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan notaris kepada menteri, organisasi notaris dan majelis pengawas daerah; dan c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf, serta teraan cap/stempel jabatan notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria pertanahan, organisasi notaris, ketua pengadilan negeri, majelis pengawas daerah, serta bupati atau walikota di tempat notaris diangkat. Dalam sumpah jabatan notaris yang bersangkutan ditetapkan, bahwa notaris berjanji di bawah sumpah untuk merahasiakan serapatrapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturanperaturan itu. Dalam pada itu, apabila secara teliti dibaca isi sumpah jabatan tersebut, maka di dalamnya hanya dikatakan “isi akta-akta selaras dengan
41
ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan tadi”, dengan peraturan-peraturan mana tentunya dimaksudkan peraturan-peraturan dalam P.J.N., khususnya Pasal 40 yang berisikan larangan bagi para notaris untuk memberikan grosee, salinan atau kutipan atau memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-aktanya selain kepada orang-orang yang langsung berkepentingan pada akta itu, para ahli waris dan para penerima hak mereka, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam peraturan-peraturan umum, dengan ancaman dikenakan denda uang sebesar Rp. 100,- sampai Rp. 200,- dan dalam hal pelanggaran itu terulang, dengan ancaman dipecat dari jabatannya selama tiga sampai enam bulan, semuanya dengan tidak mengurangi kewajiban membayar biaya, kerugian dan bunga. Sebagaimana dikatakan di atas, di dalam sumpah jabatan itu hanya dikatakan “isi akta-akta“ dan oleh karena undang-undang tidak menyebutkan tentang kewajiban merahasiakan semua apa yang tidak dicantumkan dalam akta, maka timbul pertanyaan, apakah hal ini berarti bahwa tidak ada kewajiban bagi notaris untuk merahasiakan apa yang tidak tercantum dalam akta, yang diberitahukan kepadanya selaku notaris oleh kliennya. Ada beberapa penulis yang berpendapat, bahwa tidak ada kewajiban bagi para notaris untuk merahasiakan apa yang tidak tercantum dalam akta, yang diberitahukan kepadanya selaku notaris oleh kliennya, dengan menunjuk kepada Pasal 40 P.J.N., di dalam pasal mana hanya dikatakan isi akta-akta.
42
Sebagian besar dari para penulis berpendapat bahwa sekalipun hal itu tidak dinyatakan secara tegas dalam sumpah jabatan notaris yang diatur dalam Pasal 17 dan dalam Pasal 40 P.J.N., namun tidaklah berarti bahwa notaris dan para pembantunya tidak diwajibkan untuk merahasiakan apa yang dibicarakan atau yang terjadi di kantor notaris, yang tidak dicantumkan dalam akta. Dalam hubungan dengan yang dikemukakan di atas, Melis mengatakan bahwa baik sifat dari jabatan notaris itu sendiri maupun “de eer en de waardigheid” dari jabatan notaris itu, demikian juga “de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk” verkeer betaamt ten aanzien van eens anders persoon of goed”. 18, sebagai suatu perjanjian yang tidak diungkapkan (stilzwijgend) yang diadakan mengenai itu dengan kliennya, mengharuskan juga dalam hal itu kewajiban merahasiakan serapat-rapatnya. GHS Lumban Tobing 19 tidak sependapat dengan mereka yang mengatakan, bahwa oleh karena di dalam sumpah jabatan notaris, demikian juga di dalam Pasal 40 P.J.N., hanya disebutkan isi akta-akta, maka tidak ada kewajiban bagi para notaris untuk merahasiakan apa yang diberitahukan kepadanya selaku notaris oleh kliennya. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam praktek adalah merupakan kenyataan, bahwa sebelum dibuat sesuatu akta oleh notaris, senantiasa diadakan pembicaraan terlebih dahulu mengenai segala sesuatu yang diinginkan 18 19
GHS Lumban Tobing, Op. Cit, hlm. 116 Ibid, hlm. 117
43
oleh klien dan yang juga perlu diketahui oleh notaris untuk kemudian dituangkan dalam suatu akta, yang mana justru pada umumnya lebih banyak dan lebih luas dari pada apa yang kemudian dicantumkan dalam akta itu dan yang mana semuanya itu pada hakekatnya sangat erat hubungannya dengan isi akta itu. Apabila notaris membocorkan apa yang tidak tercantum dalam akta, yang mana seperti dikatakan di atas pada hakekatnya sangat erat hubungannya dengan apa yang tercantum dalam akta ini, maka kiranya tidak dapat disangkal, bahwa sebenarnya notaris dalam hal itu telah pula membocorkan isi akta itu sendiri, kalaupun tidak seluruhnya, sekurang-kurangnya sebagian dari isi akta itu. Walaupun diakui, bahwa baik Pasal 17 maupun Pasal 40 P.J.N., adalah kurang sempurna, akan tetapi hal itu kiranya tidaklah dapat dijadikan alasan untuk mengambil kesimpulan, bahwa seorang notaris dengan mendasarkannya kepada kata-kata dari sumpah jabatan itu dapat secara bebas, tanpa dapat dihukum, untuk memberitahukan setiap rahasia yang dipercayakan kepadanya selaku notaris oleh kliennya, yang tidak dicantumkan dalam akta. Jabatan yang dipanggu notaris adalah jabatan kepercayaan (vertrouwensambt) dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang kepercayaan, notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku notaris, sekalipun ada sebagian tidak dicantumkan dalam akta. Notaris tidaklah bebas untuk memberitahukan apa yang diberitahukan kepadanya selaku notaris oleh kliennya pada waktu
44
diadakan pembicaraan-pembicaraan sebagai persiapan untuk pembuatan sesuatu akta, sekalipun tidak semuanya dicantumkan dalam akta. Kewajiban untuk merahasiakannya, selain diharuskan oleh undangundang, juga oleh kepentingan notaris itu sendiri. Seorang notaris yang tidak dapat membatasi dirinya akan mengalami akibatnya di dalam praktek, ia akan segera kehilangan kepercayaan publik dan ia tidak lagi dianggap sebagai orang kepercayaan (vertrouwenspersoon). Dalam hubungannya mengenai janji di bawah sumpah untuk merahasiakan isi akta serapat-rapatnya, Bertling mengatakan: 20 Sesuai dengan Pasal 1, yang menyebutkan notaris sebagai pejabat yang membuat akta, maka Pasal 18 (Pasal 17 P.J.N) mewajibkan notaris untuk bersumpah merahasiakan isi akta-akta. Ketidaksempurnaan dari Pasal 1 juga menimpa Pasal 18. Ketidaksempurnaan dari Pasal 1 tersebut tidak mempunyai akibat bahwa notaris diperkenankan untuk memberitahukan semua apa yang diberitahukan kepadanya dalam jabatannya tersebut. Sebaliknya jabatan yang dipangkunya, sebagaimana juga jabatan pengacara, dokter dan petugas-petugas agama, adalah jabatan kepercayaan. Sebagai orang kepercayaan, notaris wajib untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya dalam jabatannya tersebut. Kewajiban untuk merahasiakan itu ada, tidak menjadi soal apakah itu oleh mereka terhadap siapa itu ditentukan atau dibebankan secara tegas atau tidak. Jabatan notaris sebagai jabatan kepercayaan dengan sendirinya melahirkan kewajiban itu. Kewajiban itu akan berakhir, apabila pada umumnya ada 20
Ibid, hlm. 118
45
suatu kewajiban menurut hukum untuk bicara, yakni apabila seseorang dipanggil sebagai saksi. Sekalipun demikian, notaris masih dapat merahasiakannya dengn mempergunakan hak yang diberikan kepadanya dalam Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata) untuk mengundurkan diri sebagai saksi. Kewajiban untuk memberikan kesaksian baginya adalah fakultatif, artinya hal itu tergantung pada penilaian dari notaris itu sendiri. Hal itu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Van Bovenal Faure: “Akhirnya notaris adalah “meester” dari kesaksiannya, akan tetapi kepadanya dibebankan dua kewajiban : ditempatkan di antara kepentingan umum
dan
kepentingan
khusus,
diserahkan
kepadanya
untuk
menyesuaikannya dengan hati nuraninya”. 21 Di dalam hubungannya dengan hal tersebut di atas, van Bemmelen mempertanyakan: apakah kewajiban merahasiakan itu hanya mengenai hal-hal yang diberitahukan atau dipercayakan kepada pemegang rahasia atu juga apa yang diketahuinya dalam hubungannya dengan apa yang diberitahukan kepadanya atau yang diketahuinya pada pemeriksaan yang dilakukannya berkenaan dengan itu? Dikemukakan olehnya, bahwa setelah Rechter Commisaris dan Rechtbank di ‘s-Hetogenbosch melakukan penyanderaan terhadap seorang medicus, oleh karena ia tidak bersedia untuk memberikan keterangan-keterangan, juga mengenai apa yang diketemukannya pada pasiennya, maka Hof ‘s-Hertogenbosch dan HR (21 April 1913 W. 9484) menetapkan bahwa rahasia jabatan seorang medicus
21
Ibid, hlm. 119
46
juga meliputi hal-hal yang diketahuinya pada pemeriksaan yang dilakukannya terhadap pasiennya dan karenanya ia dapat menolak untuk memberikan keterangan-keterangan mengenai itu. 22 Van Bemmelen sebagaimana yang dikutip oleh GHS Lumban Tobing berpendapat bahwa seorang medicus juga dapat mempergunakan hak ingkarnya, apabila ia ditanyai mengenai penyakit dan simptomsimptom yang diketahunya pada famili, teman-teman dan kenalan-kenalan. Ditambahkannya bahwa juga memberikan keterangan mengenai itu, sekalipun ia bukan dokter yang merawatnya, dokter tersebut dengan melakukan sedemikian telah dapat merusak kepercayaan terhadap kedudukan para medici dan juga dengan berbuat demikian ia telah memberitahukan apakah seseorang adalah pasiennya, hal mana juga telah merupakan sesuatu yang dapat merupakan pelanggaran terhadap rahasia jabatan.
4. Hak Ingkar Notaris Dalam sejarahnya hak ingkar (verschoningsrecht) ini diatur dalam Pasal 1909 KUH Perdata, Pasal 146 dan Pasal 277 HIR. Pasal 1909 KUH Perdata mewajibkan setiap orang yang cakap untuk menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan ketentuan-ketentuan perundangundangan tidak diperbolehkan untuk berbicara, demikian juga tidak berlaku terhadap mereka yang berdasarkan Pasal 1909 ayat (2) KUH 22
Ibid
47
Perdata dan Pasal-pasal 146 dan 227 HIR yang disebut di atas, dapat mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya. Hak ingkar merupakan pengecualian terhadap ketentuan umum yang disebut tadi, yakni bahwa setiap orang yang dipanggil sebagai saksi, wajib memberikan kesaksian. Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh GHS Lumban Tobing 23 ada 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan hak ingkar ini, yakni: a. hubungan keluarga yang sangat dekat b. bahaya dikenakan hukuman pidana c. kedudukan-pekerjaan dan rahasia jabatan. Notaris di dalam prakteknya sering terjadi perlakuan-perlakuan yang kurang wajar terhadap para notaris dalam hubungannya dengan hak ingkar
ini.
Apabila
seorang
notaris
dipanggil
untuk
dimintai
keterangannya mengenai atau dipanggil sebagai saksi dalam hubungannya dengan suatu perjanjian yang dibuat dengan akta di hadapan notaris yang bersangkutan. Bagi pihak-pihak tertentu, apakah itu oleh karena disengaja atau karena tidak mengetahui tentang adanya peraturan perundangundangan mengenai itu, seolah-olah dianggap tidak ada rahasia jabatan notaris, demikian juga tidak ada hak ingkar dari notaris. Dalam pada itu adalah juga merupakan suatu kenyataan yang pahit, bahwa di kalangan para notaris sendiri ada yang tidak atau kurang memahami tentang hak
23
Ibid, hlm. 120
48
ingkar ini dan baru kemudian setelah mengetahuinya mempergunakannya di dalam persidangan, setelah ia sebelumnya memberikan keteranganketerangan di hadapan penuntut umum, hal mana selain merupakan pelanggaran terhadap sumpah rahasia jabatan notaris, juga dapat menimbulkan kesan bahwa bagi para notaris tidak ada hak ingkar. Adapun yang menjadi dasar untuk hak ingkar bagi jabatan-jabatan kepercayaan terletak pada kepentingan masyarakat, agar apabila seseorang yang berada dalam keadaan kesulitan, dapat menghubungi seseorang kepercayaan untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya di bidang yuridis, medis atau kerohanian, dengan keyakinan bahwa ia akan mendapat nasehat-nasehat, tanpa yang demikian itu akan merugikan baginya. Ada pihak yang mengemukakan pendapat bahwa hak ingkar ini hanya bagi kepentingan individu dan bukan kepentingan masyarakat umum, sehingga mereka menganggap tidak ada gunanya hak ingkar ini. Pendapat sedemikian, apabila dipikirkan lebih mendalam, adalah tidak benar dan tidak dapat diterima, oleh karena dibalik kepentingan individu ini adalah kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat dan individu, di mana individu adalah bagian dari masyarakat itu, dalam hal ini pada hakekatnya adalah sama. Lagi pula sesuatu peraturan atau undang-undang tidaklah dibuat hanya unutk dan bagi kepentingan individu, akan tetapi adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat. Mengenai pendapat yang umum dianut, hak ingkar tidak hanya dapat diperlakukan terhadap keseluruhan kesaksian, akan tetapi juga
49
terhadap beberapa pertanyaan tertentu, bahkan hak ingkar dapat diperlakukan terhadap tiap-tiap pertanyaan. Tuntutan untuk menggunakan hak ingkar harus dinyatakan secara tegas. Pernyataan dari seorang saksi, yang menuntut penggunaan hak ingkarnya dengan hanya menyatakan bahwa untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya, sangat meyakinkan baginya, menurut HR tidak cukup untuk dapat diterima sebagai pernyataan hendak mempergunakan hak ingkarnya. Dalam pada itu, apabila seorang saksi, yang semula tidak mengetahui adanya hak ingkarnya, telah memberikan keteranganketerangan dihadapan polisi dan pengadilan, kemudian di dalam persidangan saksi yang bersangkutan mempergunakan hak ingkarnya, maka hakim tidak diperkenankan untuk juga menggunakan keteranganketerangan dalam berita acara yang diberikan oleh saksi tersebut di hadapan polisi dan pengadilan sebagai pembuktian. Terdapat 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan hak ingkar. Dalam rangka pembahasan hak ingkar ini, yang diutamakan dalam hal ini ialah hak ingkar dari para notaris. Hak ingkar para notaris didasarkan pada Pasal 17 dan Pasal 40 P.J.N. Di dalam membahas masalah hak ingkar notaris ini, pertanyaan yang penting yang perlu mendapat jawaban ialah, apakah hak ingkar ini merupakan suatu hak untuk tidak bicara atau suatu kewajiban untuk tidak bicara. Hal ini penting untuk diketahui dalam hubungannya dengan berbagai ketentuan dalam perundang-undangan yang
50
berlaku, antara lain dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1909 ayat (2) butir 3 KUH Perdata dan Pasal 43 HIR berhubungan dengan Pasal 322 ayat (1) KUH Pidana dan Pasal 40 PJN. Kiranya tidak perlu diragukan bahwa bagi notaris tidak ada kewajiban
untuk
memberikan
kesaksian,
yakni
sepanjang
yang
menyangkut isi akta-aktanya. Sumpah jabatan notaris, sebagaimana itu tercantum dalam Pasal 17 PJN dan ketentuan dalam Pasal 40 PJN mewajibkan notaris untuk tidak bicara, sekalipun di muka pengadilan, artinya notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam aktanya. Notaris tidak hanya berhak untuk tidak bicara, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak bicara. Hal ini tidak didasarkan pada Pasal 1909 ayat (2) KUH Perdata yang hanya memberikan hak untuk menuntut penggunaan hak ingkar, akan tetapi berdasarkan sumpah rahasia jabatan (Pasal 17 PJN dan Pasal 40 PJN) kewajiban untuk merahasiakan yang ditentukan secara tegas dalam pasalpasal tersebut mengenyampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 1909 ayat (1) KUH Perdata, terkecuali dalam hal-hal tertentu, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini dalam membahas sampai berapa jauh jangkauan hak ingkar para notaris. Hak untuk tidak bicara didasarkan atas kepercayaan yang diperlukan untuk kepentingan baik jalannya suatu pekerjaan atau jabatan dan karenanya juga mempunyai batas ruang lingkup yang lebih luas, akan tetapi hal itu belum berarti adanya kewajiban untuk tidak bicara.
51
Dikatakan demikian, oleh karena siapa yang berhak untuk tidak bicara, berhak juga untuk bicara, akan tetapi siapa yang diwajibkan untuk tidak bicara, tidak berhak untuk bicara. Itulah sebabnya maka perlu diketahui, apakah hak ingkar yang diberikan oleh undang-undang bagi para notaris merupakan hak untuk tidak bicara atau merupakan kewajiban untuk tidak bicara dan sebagaimana telah diuraikan di atas, hak ingkar dari notaris didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 17 dan 40 PJN) merupakan kewajiban untuk tidak bicara. Pitlo di dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1946 sub 3 (Pasal 1909 sub 3 KUH Perdata) mempertanyakan apa yang dimaksudkan oleh pasal tersebut dengan “het recht om zich van het afleggen van getuigenis te verschonen”, apakah itu “verschoningsrecht” atau “verschoningsplicht”. 24 Pitlo mengatakan bahwa kewajiban untuk merahasiakan antara lain berlaku bagi dokter, notaris dan petugas agama, yang diletakkan kepada mereka oleh undang-undang dan pergaulan hidup untuk memungkinkan agar seseorang tanpa perlu memikirkan sesuatu dapat pergi meminta bantuan di bidang kerohanian dan kebendaan kepada mereka, yang karena pekerjaan
kemasyarakatannya
memungkinkan
meberikan
bantuan
sedemikian. Menurut pendapat Pitlo, seseorang kepercayaan tidak berhak untuk begitu saja menurut sekehendaknya mempergunakan hak ingkarnya.
24
Ibid, hlm. 124
52
Kewajiban merahasiakan ini mempunyai dasar yang bersifat hukum publik yang kuat. Sungguhpun “in concreto” seseorang individu memperoleh keuntungan daripadanya, akan tetapi kewajiban merahasiakan itu bukan dibebankan untuk melindungi individu itu, melainkan dibebankan untuk kepentingan masyarakat umum. Dengan demikian, maka jelaslah bagaimana perlindungan dari kepentingan individu itu selalu mempunyai kepentingan umum sebagai latar belakangnya. Orang kepercayaan dari masyarakat umum itu harus mempertimbangkan, apa yang dalam sesuatu hal tertentu yang harus lebih diutamakan : kepentingan dari masyarakat umum ditambah dengan kepentingan dari individu itu dalam hal ia tidak bicara atau kepentingan dari masyarakat dalam hal ia bicara. Dari hasil penilaian ini ia harus menentukan, apakah ia akan mempergunakan hak ingkarnya. Hukum publik adalah kewajiban publik. Mereka yang dimaksud dalam kategori ketiga wajib untuk bicara atau wajib untuk tidak bicara. Kewajiban yang mana dari yang dua ini dibebankan kepadanya, harus ditentukan oleh mereka sendiri hal demi hal. Pendapat Pitlo ini pada garis besarnya bersamaan dengan pendapat dari Prof. Van Bovenal Faure yang telah dikemukakan di atas yang mengatakan bahwa kepada orang kepercayaan itulah diserahkan penentuannya dengan menyesuaikannya dengan hati nuraninya. Mengenai hak ingkar ini, khususnya mengenai hal-hal yang diberitahukan oleh klien kepada notaris dalam jabatannya yang tidak dicantumkan dalam aktanya, Mr. C. Asser mempunyai pendapat yang sama dengan penulis-penulis yang disebut tadi.
53
Asser
sebagaimana
dikutip
oleh
GHS
Lumban
Tobing25
mengatakan bahwa kepada mereka yang disebut dalam Pasal 1946 sub 3 (Pasal 1909 sub 3 KUH Perdata) diberikan hak ingkar oleh undangundang, bukan untuk kepentingan mereka sendiri, akan tetapi adalah untuk kepentingan masyarakat umum. Hak ingkar itu hanya berlaku untuk halhal yang disampaikan dengan pengetahuan kepada orang yang mempunyai kewajiban
untuk
merahasiakan
dalam
kedudukannya
sedemikian,
mengenai kedudukan itu hendaknya jangan diberi batas formal yang sempit. Juga kenyataan bahwa sesuatu pemberitahuan tidak dilakukan secara sangat rahasia tidaklah berarti, bahwa ia begitu saja dapat melepaskan haknya untuk menggunakan hak ingkarnya, demikian juga dalam hal yang mempunyai persoalan telah diketahui sejak dari mulanya oleh para pihak yang berperkara. Dalam hal-hal ini mereka yang dimaksud dalam Pasal 1946 sub 3 (Pasal 1909 sub 3 KUH Perdata) sekalipun keputusan terakhir ada di tangan hakim, harus diberikan kebebasan tertentu, oleh karena mereka akan merahasiakan atau memberitahukan halhal yang mereka ketahui itu. Bukanlah tanpa alasan hak ingkar itu oleh undang-undang dinamakan sebagai hak. Penentuan batas-batasnya secara bebas harus diberikan secara khusus kepada mereka, apabila orang yang memberitahukan hal yang menjadi persoalan itu kepada mereka, membebaskan mereka dari kewajiban untuk merahasiakan. Dalam konteks kekinian hak ingkar yang dimiliki oleh notaris untuk mengantisipasi apabila dikemudian hari ada potensi masalah maka 25
Ibid, hlm. 125
54
dapat ditambahkan dalam perjanjian tersebut pembacaan akta oleh para pihak sendiri dengan klausal “ Atas permintaan para pihak “ dan para pihak menparaf seluruh akta perjanjian tersebut halaman demi halaman.
B. Tinjauan Umum tentang Yayasan 1. Pengertian dan Dasar Hukum Yayasan Sebelum lahirnya undang-undang yayasan di Indonesia, tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang yayasan yang dapat dijadikan acuan tentang apa pengertian yayasan itu, meskipun dalam Pasal 365 dan Pasal 899 Kitab Undang-Undang Perdata menyebutkan istilah yayasan, sehingga sama sekali tidak diatur perihal keberadaan sebuah yayasan. Pengertian yayasan di Indonesia masih berpedoman pada Yurisprudensi dan Kebiasaan yang muncul di dalam masyarakat. Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang ada pada waktu itu tidak satupun yang memberikan rumusan tentang arti dari yayasan. Seorang ahli bernama Paul Scholten berpandapat bahwa yayasan adalah suatu badan yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak, pernyataan tersebut berisikan tentang pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu dengan penunjukan bagaimanakah kekayaan diurus dan digunakan. 26 Menurut Ali mengenai pengertian yayasan,para sarjana hukum belanda berpendapat Stichting adalah suatu badan hukum yang berbeda 26
Ali Ridho, 1986, Badan Hukum Dan Kedudukan Hukum Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, hlm. 112.
55
dengan badan hukum suatu perkumpulan/perseroan terbatas, karena yayasan tidak mempunyai anggota/persero, sehingga apa yang hal Stichting dianggap badan hukum adalah sejumlah kekayaan berupa uang dan sebagainya sebagai benda kekayaan. 27 Sehingga dengan demikian yayasan adalah badan hukum yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Yayasan mempunyai harta kekeyaan tersendiri, yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan b. Yayasan mempunyai tujuan sendiri (tertentu) c. Yayasan mempunyai alat perlengkapan (organisasi) Pengertian yayasan menurut CST. Kansil dan Christine CST. Kansil adalah suatu badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang sosial. 28 Adapun pengertian yayasan menurut Rochmat Soemitro yaitu bahwa yayasan merupakan suatu badan usaha yang lazimnya bergerak dibidang sosial dan bukan bertujuan untuk mencari keuntungan. 29 Setelah adanya Undang-Undang Yayasan, maka definisi yayasan dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, yaitu yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusian yang tidak mempunyai anggota. 27
Chaidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 86. CST. Kansil dan Christine CST, 2002, Pokok-Pokok Badan Hukum Yayasan, Perguruan Tinggi, Perseroan Terbatas, dan Koperasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 18. 29 Chartamarasdjid Ais, 2000, Op. Cit, hlm. 8. 28
56
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 telah dijelaskan mengenai struktur organisasi dari sebuah yayasan, yang meliputi: a. Pembina b. Pengurus c. Pengawas Ketiga
struktur
tersebut
disebut
sebagai
organ
yayasan.
Kelangsungan dari sebuah yayasan sangat tergantung pada ketiga organ tersebut karena masing-masing mempunyai peran yang begitu besar terhadap jalannya yayasan.
2. Cara Mendirikan Yayasan a. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Yayasan Sebelum berlakunya UU Yayasan, belum ada keseragaman tentang cara mendirikan yayasan. Pendirian yayasan hanya didasarkan pada kebiasaan dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang cara pendirian yayasan, serta keharusan pembentukan yayasan melalui akta notaris. Akibatnya perdebatan mengenai status yayasan sebagai badan hukum atau bukan, masih terus berlangsung. Lebih parah lagi, karena tidak ada suatu ketentuan yang menyebutkan bahwa yayasan konkordan mengikuti hukum Belanda, apalagi di Belanda sendiri pengaturan yayasan sudah mengalami perubahan setelah Indonesia merdeka. Sebelum membahas mengenai cara mendirikan yayasan sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001,
57
maka terlebih dahulu dijelaskan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Ada beberapa syarat agar perkumpulan atau badan/badan usaha disebut sebagai badan hukum. Hal ini berkaitan dengan sumber hukum, khususnya dalam kaitan dengan sumber hukum yang formal. Tentang syarat badan hukum yang dikaji dari sumber hukum formal memberikan beberapa kemungkinan, bahwa badan hukum tersebut telah memenuhi: 30 1) Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan 2) Syarat berdasar pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi 3) Syarat berdasar pada pandangan doktrin
ad.1) Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan Syarat-syarat berdasarkan undang-undang mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata, maka dapat disimpulkan adanya 2 (dua) cara yaitu: 1) Dinyatakan dengan tegas (uitdrukkelijk), bahwa suatu organisasi adalah merupakan badan hukum. 2) Tidak secara tegas disebutkan, tetapi dengan peraturan sedemikian rupa bahwa badan itu adalah badan hukum. Oleh karena itu, dengan peraturan dapat ditarik kesimpulan, bahwa badan itu adalah badan hukum.
30
Chidir Ali, Op. Cit., hlm. 79-98.
58
Badan hukum dengan konstruksi keperdataan yang di atur dalam Pasal 1653 KUH Perdata itu meliputi semua perkumpulan swasta yang menurut Stb. 1870-64 dianggap sebagai badan hukum dan untuk itu diperlukan pengesahan aktanya dengan meninjau atas tujuan, asas lapangan kerja dan aturan-aturan lainnya dari perkumpulan tersebut. Pengesahan (bewilliging; perizinan) itu merupakan syarat formal yang harus dipenuhi oleh perkumpulan yang berbadan hukum. Jadi untuk mendirikan suatu badan hukum, mutlak diperlukan pengesahan pemerintah. Dalam perkembangan yurisprudensi Indonesia dicapai suatu pendapat Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman adalah syarat mutlak bagi berdirinya suatu Perseroan Terbatas. (Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 224/1950/Perdata-tertanggal 17 Maret 1951).
ad.2) Syarat berdasar pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi Kebiasaan dan yurisprudensi merupakan sumber hukum yang formal, sehingga apabila tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam perundang-undangan dan doktrin, maka diusahakan untuk mencarinya dalam kebiasaan dan yurisprudensi. Berdasarkan pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi yang ada, maka suatu badan dikatakan ada bilamana telah memenuhi syarat sebagai berikut: 31
31
Lisman Iskandar. 1977, Aspek Hukum Yayasan Menurut Hukum Positif Di Indonesia, Majalah Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997, hlm. 24.
59
1) Harus terdapat pemisahan kekayaan; 2) Penunjukan suatu tujuan tertentu; 3) Penunjukan suatu organisasi tertentu Salah satu contoh tentang penentuan badan hukum melalui yurisprudensi, yaitu yayasan. Putusan Mahkamah Agung No. 124 K/Sip/1973, tanggal 27 Juni 1973 tentang kedudukan suatu yayasan sebagai badan hukum dalam kasus Yayasan Dana Pensiun HMB. Keputusan
lainnya
adalah
Putusan
Mahkamah
Agung
No.
476K/Sip/1975, tanggal 8 Mei 1975, tentang kasus perubahan Wakaf Al Is Af menjadi Yayasan Al Is Af. Walaupun sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan, peraturan perundang-undangan di Indonesia juga di Belanda sebelum adanya Wet op Stichtingen belum mengatur secara khusus pada waktu itu, tetapi hukum kebiasaan dan yurisprudensi telah memperkukuh eksistensi yayasan dalam pergaulan hukum sebagai suatu badan hukum. Berdasarkan pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi yang ada, maka suatu badan dikatakan sebagai badan hukum, bilamana telah memenuhi syarat sebagai berikut: 32 1) Syarat-syarat materiil yang terdiri atas: a) harus ada suatu pemisahan kekayaan; b) suatu tujuan; c) suatu organisasi. 2) Syarat formal: dengan akta autentik.
32
Ibid., hlm. 90.
60
Para pengurus tidak diwajibkan untuk mendaftarkan dan mengumumkan akta pendiriannya, juga pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagai tindakan preventif tidak disyaratkan. Akan tetapi, di dalam praktik tidak sedikit yang melakukan pendaftaran. Setelah keluarnya
Undang-Undang
Yayasan,
maka
pengesahan
dan
pengumuman merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh yayasan.
ad.3) Syarat berdasarkan pandangan doktrin Mengenai syarat-syarat yang menentukan suatu organisasi, badan/atau perkumpulan itu adalah badan hukum, di kalangan para ahli/doktrin berpendapat sebagai berikut: 1) Menurut Meijers. 33 Untuk dapat dikatakan ada suatu badan hukum harus dipenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: a) Terkumpulnya jadi satu hak-hak subjektif untuk suatu tujuan tertentu, dengan cara yang demikian, sehingga kekayaan yang bertujuan itu dapat dijadikan objek tuntutan utang-utang tertentu. Dengan kata lain, bahwa terdapat harta kekayaan yang terpisah, lepas dari kekayaan anggota-anggotanya. b) Harus ada kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan 1 (satu) orang atau beberapa orang saja. c) Meskipun kepentingan itu tidak terletak pada orang-orang tertentu, namun kepentingan itu harus stabil, artinya tidak 33
Ibid., hlm. 97.
61
terikat pada suatu waktu yang pendek saja, tetapi untuk jangka waktu yang panjang. d) Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri, yang tidak saja untuk obyek tuntutan, tetapi juga yang dapat dianggap
oleh
hukum
kepentingan-kepentingan
sebagai tertentu,
upaya yang
pemeliharaan terpisah
dari
kepentingan anggotanya. 2) Menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan 34 bahwa, status sebagai badan hukum dapat diberikan kepada wujud-wujud tertentu yaitu: a) Kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu berwujud perhimpunan; b) Kumpulan harta kekayaan yang tersendirikan untuk tujuantujuan tertentu. 3) Menurut Ali Rido. 35 Untuk dapat dikatakan sebagai badan hukum, sesuatu perkumpulan/perhimpunan harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: a) Adanya harta kekayaan yang terpisah b) Mempunyai tujuan tertentu c) Mempunyai kepentingan sendiri d) Adanya organisasi yang teratur
34
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, t.th., Hukum Badan Pribadi, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 29. 35 Ali Ridho. Op. Cit., hlm. 50.
62
4) Menurut Soeroso 36 Untuk keikutsertaannya dalam pergaulan hukum, maka suatu badan hukum harus mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu: a) Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotaanggotanya. b) Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya 5) Menurut Rudhi Prasetya. 37 Atribut badan hukum hanya ada manakala undang-undang telah menentukannya demikian, dan undang-undang menentukan demikian manakala dipandang perlu. Untuk itu ada 2 teknik yang dilakukan oleh perundang-undang. Pertama, secara tegas undangundang menyatakan bahwa suatu badan adalah badan hukum. Kedua, dengan melihat karakteristik yang diberikan oleh ketentuan undang-undang atas sesuatu badan. Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan, bahwa pada umumnya menekankan pada adanya pemisahan kekayaan. Syarat lainnya yang mendapat perhatian dari para ahli, yaitu adanya tujuan tertentu, tetapi Soeroso tidak mencantumkan syarat tujuan ini, namun lebih menekankan pada pemisahan hak dan kewajiban para anggotanya. Syarat organisasi sangat diperlukan, sehingga walaupun 36
Soeroso, 1999, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 147. Rudhi Prasetya, 1995, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 30-31. 37
63
dalam praktik pihak yang memisahkan kekayaannya hanya satu orang, namun dalam operasionalnya selalu dilakukan dalam bentuk organisasi, sekalipun dalam bentuk yang paling sederhana, yang terdiri atas, ketua, sekretaris, dan bendahara. Sementara syarat formal yaitu, adanya akta tidak satu pun dari para ahli yang mempersyaratkannya. Hal ini disebabkan Ontwerp BW, Meijers menempatkan badan hukum di luar hukum perjanjian. Menurut Meijers 38 badan hukum tidak terjadi dengan persetujuan, tetapi terjadi karena perbuatan hukum. Scholten mendukung pendapat Meijers dengan mengatakan, bahwa perbuatan pendirian badan hukum korporasi itu bukan persetujuannya menciptakan suatu perikatan di antara para pendiri. Pada pendirian korporasi sama sekali tidak ada yang menawarkan atau menerima tawaran. 39 Pendapat ini lebih dikuatkan dengan tidak berlakunya beberapa pasal di dalam KUH Perdata, seperti Pasal 1321 tentang Cacat Kehendak, Pasal 1266 tentang Syarat Batal, dan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata. Oleh karena itu, selain dengan akta ada pula beberapa yayasan yang didirikan berdasarkan peraturan pemerintah, seperti yayasan yang diperuntukkan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia, serta yayasan yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden (Keppres), seperti yayasan yang didirikan oleh Soeharto. 38
E.M. Meijers, 1948, De Algemene Begrippen van het Burgerlijk Recht, Leiden Universitaire Press, sebagaimana dikutip Ali Ridho. Op. Cit., hlm. 47. 39 C. Asser’s Scholten,. Handleiding tot de Beoefening van het Nederlandsch Burgerlijk Recht, sebagaimana dikutip dari Ali Ridho. Op. Cit., hlm. 48.
64
Dari semua syarat yang dipaparkan di atas, baik syarat yang ditetapkan dalam UU, yurisprudensi, juga doktrin dapat disimpulkan, bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai badan hukum. Adapun syarat-syarat tersebut sebagai berikut: 1) Adanya Harta Kekayaan yang Terpisah Pemisahan kekayaan merupakan syarat yang mutlak untuk suatu badan hukum, walaupun cara dan akibat pemisahan ini tidak sama untuk setiap badan hukum. Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota maupun perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang untuk suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan dan merupakan sumber dari segala hubungan hukum. Adanya hak hidup bagi suatu badan hukum, seperti halnya juga dengan yayasan, tergantung dari adanya hubungan-hubungan hukum. Kekayaan yang dipisahkan itulah yang menimbulkan hubungan-hubungan hukum antara yayasan dengan pihak luar. Hubungan-hubungan hukum ini ada juga pada perkumpulan, meskipun dalam hal ini tidak terdapat kekayaan yang dipisahkan. Hubungan-hubungan hukum yang ada pada perkumpulan yaitu hubungan antara badan hukum itu dan para anggotanya. Kekayaan yang dipisahkan harus mempunyai hubungan yang erat dengan tujuan dan organisasi dari yayasan, karena kegunaan dari kekayaan yang dipisahkan adalah untuk mencapai tujuan dari yayasan.
65
Adapun yang dimaksud dengan pemisahan kekayaan ialah melepaskan sesuatu kekayaan (barang) dari pemilikan orang yang mendirikan Yayasan, sehingga menjadi milik dari Yayasan itu sendiri.
Barang
itu
dapat
diganti,
dipertukarkan
atau
dipindahtangankan dengan cara lain, asal saja menguntungkan bagi Yayasan, kecuali jika peraturan Yayasan tidak mengizinkannya. Selaras dengan praktik yang berjalan sampai sekarang, yayasan dengan sendirinya badan hukum. Justru karena yayasan adalah badan hukum, yakni satu kesatuan yang berwenang untuk memperoleh dan melakukan hak-hak perdata, maka diperlukan adanya kekayaan yang dipisahkan. Dengan kekayaan yang dipisahkan inilah menimbulkan adanya hubungan-hubungan hukum antara yayasan dengan dunia luar, sedang adanya hak hidup bagi suatu yayasan tergantung dari adanya hubungan hukum itu. Walaupun harta kekayaan ini berasal dari pemasukan anggota, namun terpisah dengan harta kekayaan kepunyaan pribadi anggotanya. Perbuatan pribadi anggotanya tidak mempunyai implikasi terhadap harta kekayaan yang terpisah itu. Sebaliknya, perbuatan badan hukum yang diwakili oleh pengurusnya, tidak mengikat harta kekayaan anggotanya. Dalam praktik selama ini, selalu ada kekayaan yang dipisahkan sebagaimana dicantumkan di dalam akta pendirian. Besarnya kekayaan yang dipisahkan tidak ada batas minimum atau
66
maksimum, tetapi semuanya tergantung kepada para pengurus, terkecuali untuk mendirikan Perguruan Tinggi. Bagi organisasi non-pemerintah (Ornop), besarnya kekayaan yang dipisahkan bervariasi, mulai dari Rp 10.000,- sampai dengan di atas Rp 15 juta. Apabila hendak mendirikan perguruan tinggi, maka selain telah ditentukan syarat minimal kekayaan yang harus dimiliki oleh yayasan, juga ada persyaratan-persyaratan lainnya yang harus dipenuhi.
Dalam
Keputusan
Menteri
Pendidikan
Nasional
Republik Indonesia Nomor 234/U/2000, tanggal 20 Desember 2000, tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi, ditentukan syarat pendirian/perubahan perguruan tinggi meliputi: a) rencana induk pengembangan; b) kurikulum; c) tenaga kependidikan; d) calon mahasiswa; e) statuta; f) kode etik sivitas akademika; g) sumber pembiayaan; h) sarana dan prasarana; dan i) penyelenggara perguruan tinggi; Keputusan Menteri Pendidikan tersebut, dijabarkan oleh Kopertis Wilayah IX dengan menetapkan persyaratan modal yang harus dimiliki untuk mendirikan perguruan tinggi adalah minimal
67
Rp 85 juta yang dibuktikan dengan referensi Bank. Selain itu, persyaratan-persyaratan lainnya yang wajib dipenuhi adalah luas lahan yang harus dimiliki adalah 5.000 m2 yang dibuktikan dengan fotocopi sertifikat, gedung, tenaga administrasi, serta dosen. Dari penelitian ini ternyata bahwa jauh lebih sulit untuk mendirikan Perguruan
Tinggi daripada mendirikan Ornop.
Persyaratan yang agak ketat ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum. Beratnya persyaratan ini diakui oleh pendiri perguruan tinggi, tetapi ini bukan berarti bahwa peraturan tersebut tidak memiliki celah untuk disimpangi. Celah inilah yang sering dimanfaatkan
oleh
pendiri
untuk
menghindari
persyaratan
khususnya mengenai dana. Cara yang dilakukan adalah dengan meminjam uang pada keluarga atau kerabatnya untuk kemudian dimasukkan ke bank atas nama yayasan untuk mendapatkan bukti rekening bank. Setelah terbit referensi rekening bank yang akan dijadikan bukti lampiran persyaratan, maka keesokan harinya dana ini ditarik kembali dan dikembalikan kepada yang empunya. Tidak adanya batas minimum inilah, yang merupakan salah satu penyebab pertumbuhan Ornop semakin subur di masyarakat. Sungguh suatu hal yang tidak rasional apabila hendak mendirikan suatu badan hukum dalam hal ini yayasan yang hanya didukung oleh dana Rp 10.000,-. Apalagi jika dikaitkan dengan tujuan mulia yang hendak dicapai yang memerlukan dana yang begitu besar. Tidak mengherankan pula apabila banyak Ornop yang hanya sekali
68
menjalankan kegiatan, sesudah itu namanya tidak pernah terdengar lagi, sebab mereka hanya menggantungkan eksistensi yayasannya dari bantuan pihak lain (donatur). 2) Mempunyai Tujuan Tertentu Orang mendirikan badan hukum harus diketahui tujuannya. Tujuan tersebut dapat berupa tujuan idiil atau tujuan komersial yang merupakan tujuan tersendiri bagi badan hukum. Jadi tidak bertujuan untuk kepentingan anggota. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum melalui organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas di dalam Anggaran Dasar badan hukum yang bersangkutan. 3) Mempunyai Kepentingan Sendiri Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan tersebut merupakan hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa hukum, sehingga dapat dituntut dan dipertahankan terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan badan hukum harus berkesinambungan (kontinu), dan untuk jangka waktu yang lama. 4) Ada Organisasi yang Teratur Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Oleh karena itu badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan
69
perantaraan organnya. Segala hak atau kewenangan dan kewajiban dari para organ ditentukan di dalam anggaran dasar dan peraturan lainnya atau keputusan rapat anggota. Dengan demikian, badan hukum mempunyai organisasi. Dari sekian banyak syarat yang ada di atas, pada akhirnya yang menentukan suatu badan/perkumpulan sebagai badan hukum atau bukan, adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu. Misalnya, di Indonesia mengakui yayasan sebagai badan hukum (Pasal 365 KUH Perdata), sedang hukum yang berlaku di Inggris tidak mengakui seluruh yayasan sebagai badan hukum. Contoh lain, hukum positif Indonesia masih belum mengakui firma sebagai badan hukum, sedangkan di Perancis dan Belgia hukum positif mengakuinya sebagai badan hukum. Perbedaan ini disebabkan, dari sisi sejarah KUH Perdata yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih menggunakan KUH Perdata yang berasal dari Belanda, dan belum mengalami perubahan. Penyebab lain, karena UU khusus yang mengatur tentang firma belum ada. Jadi untuk mendirikan yayasan harus memenuhi beberapa syarat, yakni: 1) Syarat materiil yang terdiri dari; a) harus ada suatu pemisahan harta kekayaan, b) adanya suatu tujuan, dan c) mempunyai organisasi; 2) Syarat formal, yaitu harus dengan akta autentik
70
b. Setelah Berlakunya Undang-Undang Yayasan Dalam keterangan pemerintah di hadapan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-Undang Yayasan tanggal 26 Juni 2000 dijelaskan bahwa, penyusunan UndangUndang Yayasan dilandasi oleh beberapa pokok pikiran, yaitu; pertama, untuk memenuhi kebutuhan perkembangan hukum dalam masyarakat mengenai pengaturan tentang Yayasan. Kenyataan dalam masyarakat menunjukkan, Yayasan sekarang ini tumbuh bagaikan cendawan dan berkembang begitu pesat dengan berbagai kegiatan, maksud dan tujuan. Namun pendirian yayasan selama ini hanya berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai yayasan. Kedua, untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta berfungsinya yayasan sesuai maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas bagi masyarakat dalam mendirikan yayasan. Di samping itu, untuk memberikan pemahaman dan kejelasan kepada masyarakat mengenai maksud, tujuan, dan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan yayasan. Ketiga, berkaitan dengan arahan-arahan yang terdapat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, bahwa pembangunan hukum harus mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran. Sehubungan dengan itu, maka pembangunan terhadap materi hukum sebagai salah
71
satu aspek pembangunan hukum diarahkan pada pengembangan peraturan
perundang-undangan
yang
mendukung
kegiatan
perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka setelah berlakunya Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, di dalamnya telah dicantumkan dengan jelas syarat untuk mendirikan yayasan. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1) Didirikan oleh 1 (satu) orang atau lebih. 2) Ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya. 3) Harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. 4) Harus memperoleh pengesahan menteri. 5) Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. 6) Tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan lain, atau bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. 7) Nama yayasan harus didahului dengan kata yayasan;
ad.1) Didirikan oleh satu orang atau lebih Syarat yang pertama memperlihatkan, bahwa setiap orang dapat mendirikan yayasan, baik secara sendiri atau bersama. Orang yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah baik perorangan maupun badan
72
hukum. Menurut Tumbuan, 40 perbuatan hukum pendirian yayasan pada dasarnya adalah perbuatan hukum sepihak. Juga apabila yayasan didirikan oleh dua (2) atau lebih pendiri, sifat perbuatan hukum dimaksud secara esensial berbeda dengan perbuatan hukum pendirian perseroan terbatas. Pendirian yayasan juga tidak memandang kewarganegaraan seseorang, sehingga baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dapat mendirikan yayasan. Namun ada perbedaan persyaratan jika yayasan didirikan oleh pihak asing. Dalam hal yayasan didirikan oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, maka syarat dan tata cara pendirian yayasan tersebut diatur dengan peraturan pemerintah. 41 Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang yayasan dibedakan antara yayasan yang didirikan oleh orang perseorangan asing dan badan hukum asing. Bagi yayasan yang didirikan oleh orang perseorangan asing dipersyaratkan harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam PP Nomor 63 Tahun 2008 sebagai berikut: 1) Identitas pendiri yang dibuktikan dengan paspor yang sah; 2) Yayasan yang didirikan oleh orang asing atau orang asing bersama orang Indonesia, salah satu anggota pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara wajib dijabat oleh warga negara Indonesia. 40
Fred B.G. Tumbuan, 2001, “Mencermati Yayasan sebagaimana Dimaksudkan oleh UndangUndang Yayasan.” Makalah disampaikan pada Seminar Pengelolaan Asset Gereja Menyongsong Berlakunya UU Yayasan, diselenggarakan oleh Suara Pembaruan bekerja sama dengan Kantor Hukum Aldentua Siringoringo, S.H. & Partners dan Irnet, Jakarta 31 Agustus, hlm. 5. 41 Pasal 9 ayat (5) UU Yayasan No. 16 Tahun 2001.
73
3) Anggota pengurus yayasan yang didirikan oleh orang asing atau orang asing bersama orang Indonesia wajib bertempat tinggal di Indonesia. 4) Anggota pengurus yayasan yang berkewarganegaraan asing harus pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara. Ketentuan ini tidak berlaku bagi pejabat korps diplomatik beserta keluarganya yang ditempatkan di Indonesia.
ad.2) Ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya Syarat yang kedua mengharuskan adanya kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri. Perbuatan hukum orang atau badan hukum sebagai pendiri suatu yayasan untuk memisahkan kekayaan yang kemudian dijadikan sebagai kekayaan awal yayasan merupakan elemen penting dalam pendirian yayasan. Dengan pemisahan kekayaan, maka hubungan antara pendiri dengan kekayaannya terputus. Oleh karena itu, pendiri yayasan bukanlah pemilik yayasan yang didirikan, sehingga di dalam Undang-Undang Yayasan tidak dikenal istilah pemilik (ownership). Berbeda dengan pemisahan kekayaan dalam pendirian perseroan terbatas, karena pada pendirian perseroan terbatas, pemisahan ini sekaligus mengandung penyertaan dalam perseroan selaku persekutuan modal. 42 Persekutuan ini
42
Asser-Van Der Grinten II. 1980. Vertegenwoordiging en Rechtspersoon, 2-II, De Rechtspersoon, bewerkt door W.C.L. van der Grinten, 5 druk, hlm. 325-326. sebagaimana dikutip oleh Fred B.G. Tumbuan. 2001. Mencermati Yayasan Sebagaimana Dimaksudkan oleh Undang-Undang Yayasan. hlm. 5.
74
bertujuan
untuk
mendapatkan
keuntungan. 43
Anggapan
yang
berkembang selama ini, bahwa seolah-olah yayasan mempunyai pemilik yaitu pendiri, sehingga sering kali pendiri melakukan tindakan sebagai layaknya seorang pemilik yayasan, misalnya menjual atau mewariskan yayasan. Dalam UU Yayasan No. 16 Tahun 2001 ini telah disyaratkan adanya batas minimum kekayaan yang harus dipisahkan untuk mendirikan yayasan. Jumlah minimum harta kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Penentuan batas minimum perlu ditetapkan dengan maksud, untuk menjaga kesinambungan kegiatan yayasan, serta untuk menghindari penyalahgunaan pendirian yayasan, atau dengan kata lain tameng bagi pihak-pihak yang hanya ingin mengambil manfaat dari keberadaan yayasan. Walaupun telah ditentukan batas minimum modal, namun tetap perlu diantisipasi kemungkinan dilakukannya cara-cara yang tidak benar sekedar untuk memenuhi syarat formalitas seperti yang telah terjadi untuk pendirian perguruan tinggi. Berdasarkan PP Nomor 63 Tahun 2008 ditetapkan besarnya kekayaan awal yayasan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri jika pendirinya adalah orang perorangan atau Badan Indonesia adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sedangkan jika yayasan didirikan oleh orang asing atau badan hukum asing besarnya kekayaan
43
A. G. Lubbers, 1986, Vereniging en Stichting, Gewoon in Praktijk. Van Loghum Slaterus/W.E.J. Tjeenk Willink. hlm. 15.
75
awal yang dipisahkan adalah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pemisahan kekayaan awal ini harus disertai dengan surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan. Selain itu bagi yayasan yang didirikan oleh orang asing atau orang asing bersama dengan orang Indonesia harus ada surat pernyataan pendiri/pengurus badan hukum bahwa kegiatan yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Di Jepang, walaupun tidak ada batas minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, tetapi sejak tanggal 20 September 1966, anggota kabinet mengadopsi resolusi yang berjudul “Standar Perizinan Pendirian dan Panduan Pengelolaan Badan Hukum untuk Kepentingan Publik,” menyatakan bahwa sumbangan harus cukup besar untuk memungkinkan badan hukum beroperasi. Mengingat adanya tingkat suku bunga yang saat ini rendah di Jepang, administrator mensyaratkan sumbangan awal paling tidak beberapa ratus juta yen. 44 Di Belanda tidak terdapat persyaratan modal, walaupun yayasan adalah badan hukum yang memiliki tujuan, dan untuk merealisasikan tujuan diperlukan modal yang dialokasikan pada tujuan itu. Namun demikian, di dalam Pasal 301 NBW Belanda, ditetapkan, bahwa yayasan dapat dibubarkan oleh Pengadilan atas permintaan setiap orang yang berkepentingan atau atas tuntutan pihak kejaksaan, maupun secara ex officio, jika kekayaan yayasan sama sekali tidak 44
Lester M. Salamon, 1997, The International Guide to Non Profit Law, John Wiley & Sons Inc, New York, hlm. 233.
76
memadai untuk merealisasikan tujuannya, kemungkinan untuk memperoleh kekayaan yang cukup melalui sumbangan atau cara lain dalam waktu singkat diragukan, namun demikian, kasus yang didasarkan pada pasal ini sangat langka. Di Inggris dan Amerika walaupun besarnya modal juga tidak disyaratkan, tetapi modal pendirian Yayasan selalu dalam jumlah yang sangat besar.
ad.3) Harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia Syarat yang ketiga mengenai keharusan membuat akta untuk mendirikan yayasan telah lama dilakukan jauh sebelum UndangUndang Yayasan No. 16 Tahun 2001 diundangkan. Pembuatan akta pendirian yayasan dilakukan oleh pendiri atau orang lain yang mendapatkan kuasa dari pendiri. Akta pendirian yayasan memuat anggaran dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu, seperti; nama,
alamat,
pekerjaan,
tempat
dan
tanggal
lahir,
serta
kewarganegaraan pendiri, pembina, pengurus dan pengawas. Akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu yang sekurang-kurangnya memuat: 1) Nama dan tempat kedudukan; 2) Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut; 3) Jangka waktu pendirian; 4) Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi, pendiri dalam bentuk uang atau benda;
77
5) Cara memperoleh dan penggunaan kekayaan; 6) Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota pembina, pengurus, dan pengawas; 7) Hak dan kewajiban anggota pembina, pengurus, dan pengawas; 8) Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan; 9) Ketentuan mengenai pengubahan anggaran dasar; 10) Penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan 11) Penggunaan kekayaan sisa likuidasi, atau penyaluran kekayaan yayasan setelah pembubaran. Akta autentik merupakan syarat formal pendirian yayasan. Permasalahannya, apakah adanya akta ini merupakan syarat untuk pendirian suatu yayasan? Apabila diperhatikan ketentuan Pasal 9 Ayat (2), bahwa yayasan harus didirikan dengan akta notaris dan harus dibuat dalam bahasa Indonesia, berarti bahwa tanpa adanya akta notaris, maka pendirian yayasan tidak akan pernah ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Tumbuan 45 yang mengatakan, bahwa UU yayasan mengamanatkan bahwa pendirian yayasan harus dengan akta notaris, ini berarti bahwa apabila pendirian yayasan tidak dilakukan dengan akta notaris, maka perbuatan hukum tersebut bukan perbuatan hukum pendirian yayasan, sebagaimana dimaksud dalam UU yayasan. Oleh karena itu, perbuatan hukum tersebut tidak
45
Fred B.G. Tumbuan. Op. Cit., hlm. 6.
78
melahirkan yayasan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa akta notaris merupakan syarat bagi adanya yayasan (bestaansvoorwaarde). Selain itu, yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat. Mengingat bahwa bentuk surat wasiat bermacam-macam, yaitu; wasiat terbuka/umum (openbaar testamen), wasiat olografis/holografis, dan wasiat rahasia (geheim testamen), maka wasiat yang dimaksud harus merupakan wasiat terbuka/umum (openbaar testamen), karena wasiat ini dibuat di hadapan notaris, sedangkan kedua surat wasiat lainnya bukan merupakan akta notaris melainkan akta di bawah tangan yang dideponir pada kantor Notaris. Di Belanda yayasan dibuat dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Belanda yang memuat anggaran dasar yayasan yang memuat: 1) Nama yayasan, dengan kata yayasan yang merupakan bagian dari nama tersebut. 2) Tujuan yayasan; 3) Cara pengangkatan pengurus; 4) Kota tempat kedudukan yayasan.
ad.4) Harus memperoleh pengesahan menteri Pengesahan menteri yang dimaksudkan oleh syarat yang keempat ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Segala
79
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan sebelum yayasan memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pengurus secara tanggung renteng. Untuk memperoleh pengesahan, pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan kepada menteri melalui notaris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut. 46
Notaris
tersebut
wajib
menyampaikan
permohonan
pengesahan kepada menteri dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan ditandatangani. 47 Dalam memberikan pengesahan akta pendirian yayasan, menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi yang terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. 48 Instansi terkait yang dimintai pertimbangan wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima. 49 Permohonan pengesahan akta pendirian dapat diperoleh apabila pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan secara tertulis kepada menteri. 50 Pengesahan terhadap permohonan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. 51
46
Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 48 Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 49 Pasal 11 Ayat (4) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 50 Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 51 Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 47
80
Permohonan
pengesahan
menteri
yang
memerlukan
pertimbangan dari instansi terkait, pengesahan akta pendirian yayasan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima. 52 Dalam hal jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan pertimbangan disampaikan kepada instansi terkait. 53 Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian yayasan ditolak, maka menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada pemohon mengenai penolakan pengesahan akta pendirian yayasan tersebut. Alasan penolakan permohonan pengesahan adalah bahwa permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Yayasan dan/atau peraturan pelaksanaannya. Walaupun telah diatur demikian, namun belum ada kepastian hukum. Bagaimana seandainya dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan itu secara lengkap, namun tidak ada jawaban dari Pemerintah? Hal ini tidak diatur di dalam UUY, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Seharusnya ada pengaturan, bahwa jika seandainya dalam jangka waktu tertentu pemerintah tidak memberikan jawaban tentang 52 53
Pasal 12 Ayat (3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pasal 12 Ayat (4) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
81
diterima atau tidaknya permohonan pengesahan itu, maka permohonan pengesahan itu dianggap telah diterima oleh pemerintah. Menurut Lisman Iskandar, 54 sebagai persyaratan terakhir untuk suatu badan hukum, haruslah mendapat persetujuan/pengakuan dari Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM), dalam kenyataannya jarang dimintakan, sehingga menurut hukum positif Indonesia, belumlah dapat dikatakan sebagai badan hukum sebagaimana mestinya.
ad.5) Diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Permohonan untuk pengumuman ini diajukan oleh pengurus yayasan atau kuasanya. 55 Selama pengumuman belum dilakukan, pengurus yayasan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas seluruh kerugian yayasan. 56 Jika membaca ketentuan dalam Pasal 25 UU Yayasan, maka akan menimbulkan keragu-raguan karena di situ dicantumkan bahwa, selama pengumuman belum dilakukan, maka pengurus yayasan secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala kerugian yayasan.
54
Lisman Iskandar, 1997, Aspek Hukum Yayasan Menurut Hukum Positif di Indonesia, Majalah Yuridika, Universitas Airlangga, No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember, hlm. 26. 55 Pasal 24 Ayat (1) UU Yayasan menyatakan sebagai berikut: Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Ayat (2). Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diajukan permohonannya oleh pengurus yayasan atau kuasanya kepada Kantor Percetakan Negara Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan yang disahkan atau anggaran dasar yang disetujui. 56 Pasal 25 UU Yayasan.
82
Di Belanda, kewajiban untuk mendaftarkan yayasan yang didirikan dengan akta notaris dibebankan kepada pengurus. Para anggota pengurus wajib menyuruh mendaftarkan yayasan dalam register umum yang diadakan oleh Kamar Dagang dan Pabrik (Kadin di Indonesia) yang di dalam wilayah pelayanannya yayasan berkedudukan. Salinan autentik atau suatu petikan autentik dari akta pendirian yayasan yang memuat anggaran dasar diletakkan di kantor register. Selama pendaftaran tidak dilakukan, maka di samping yayasan juga setiap anggota pengurus, bertanggung jawab renteng atas perbuatan hukum yang mengikat yayasan. Dengan pendaftaran ini, maka setiap orang, demikian pula pihak kejaksaan dan Kamar Dagang dan Pabrik, yang merasa bahwa apa yang didaftarkan itu mengandung kekeliruan atau tidak lengkap, dapat mengajukan permohonan atau tuntutan kepada pengadilan yang di dalam wilayah hukum yayasan berkedudukan, sesuai dengan situasi dan
kondisi
masing-masing.
Isi
permohonan
tersebut
adalah
memerintahkan dilakukannya pencoretan, penambahan atau perubahan dari apa yang telah didaftarkan itu. Di Indonesia, kewajiban untuk didaftarkan bagi yayasan tidak terdapat di dalam UU Yayasan.
ad.6) Tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan lain atau bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan
83
Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesamaan nama dengan yayasan lain. Hal ini berkaitan pula dengan perlindungan merek. Larangan ini dimaksudkan agar tidak menyesatkan masyarakat atau pihak lain yang berkepentingan atau berhubungan dengan yayasan. Selama ini sering kali dijumpai persamaan nama beberapa yayasan walaupun kegiatan atau tujuannya berbeda. Dengan adanya ketentuan ini, kiranya perlu pula mendapat perhatian khusus dari pemerintah, sekurang-kurangnya harus ada sistem administrasi hukum oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM) untuk persiapan teknis yang memadai dan informatif kepada masyarakat, yang dapat diakses dengan mudah dan komprehensif
terhadap
keberadaan
yayasan-yayasan
tersebut. 57
Sebenarnya cara yang demikian bukanlah hal yang berat di era komputerisasi, sebab dengan sistem online, semua kantor Departemen Hukum dan HAM dapat mengakses dan bertukar informasi, sehingga tidak mungkin terjadi ada nama yayasan yang sama di seluruh Indonesia. Apalagi dengan perubahan UUY, maka pendaftaran ini tidak lagi dilakukan pada kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM, melainkan pada Kantor Departemen Hukum dan HAM di Jakarta, sehingga penggunaan nama yang sama mudah dikontrol
ad.7) Nama yayasan harus didahului dengan kata Yayasan
57
L. Boedi Wahyono & Suyud Margono, 2001, Hukum Yayasan, Antara Fungsi Karikatif atau Komersial. CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hlm. 29.
84
Persyaratan
ini
dimaksudkan
untuk
lebih
memberikan
penegasan identitas bagi yayasan. Ketentuan ini sama dengan penyebutan untuk Perseroan Terbatas (PT), Firma (Fa), atau Perseroan Komanditer (CV).
3. Status Hukum Yayasan a. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Yayasan Untuk mengetahui status hukum suatu badan, maka dapat secara jelas dilihat dalam undang-undang. Beberapa badan/atau perkumpulan dengan tegas dinyatakan oleh undang-undang sebagai badan hukum. Contoh, UU No. 1 Tahun 1995 dengan tegas menyatakan bahwa PT adalah badan hukum. Demikian pula dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1985, menyatakan bahwa koperasi adalah
badan
hukum.
Kadang-kadang
undang-undang
tidak
menyebutkan secara tegas, tetapi dengan peraturan yang ada dapat disimpulkan bahwa badan tersebut adalah badan hukum. Pada badan-badan, perkumpulan-perkumpulan yang tidak dengan tegas-tegas dinyatakan sebagai badan hukum, penetapan kedudukan sebagai badan hukum dapat ditentukan dengan jalan melihat hukum-hukum yang mengaturnya, dan jika dari peraturanperaturan itu diambil konklusi adanya sifat-sifat, ciri-ciri atau dengan kata lain adanya unsur-unsur badan hukum, maka badan-badan (perkumpulan) itu adalah suatu badan hukum.
85
Oleh karena itu, selain dari undang-undang, dapat pula diketahui dari kebiasaan, doktrin, dan yurisprudensi. Seperti halnya yayasan untuk mengetahui status hukumnya, maka harus disimak kembali uraian terdahulu, baik dari undang-undang, teori, doktrin, dan yurisprudensi. Di Belanda, Wet op Stichtingen dengan tegas menyebutkan bahwa yayasan itu adalah sebuah badan hukum. Jika dikaitkan dengan pendapat Rudhi Prasetya, maka yayasan di Belanda adalah badan hukum, karena secara tegas disebutkan di dalam undangundang. Berbeda halnya dengan di Indonesia, sebelum berlakunya UU Yayasan, maka dari sisi undang-undang, jelas tidak ada satu pun ketentuan yang menyebut secara tegas, bahwa yayasan adalah badan hukum, tetapi beberapa peraturan perundang-undangan secara tidak tegas mengakui, bahwa Yayasan adalah badan hukum, contoh dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (LN 1955-27) Pasal 15 mengatur tentang penghukuman terhadap badan hukum yayasan. Demikian pula UUPA No. 5 Tahun 1960 (LN 1960164 TLN 2043) Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 49 jo Pasal 1 PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, mengakui bahwa Yayasan dapat memiliki hak atas tanah dan juga di dalam UU Kepailitan telah menyejajarkan yayasan sebagai badan hukum yang dapat dijatuhkan
86
putusan pailit, asal saja sebagai debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar. Status hukum yayasan sebagai badan hukum dapat pula diketahui dari berbagai teori mengenai badan hukum. Dalam kaitan dengan badan hukum dapat dikemukakan teori-teori sebagai berikut.
1) Teori Fiksi Teori ini dipelopori oleh von Savigny. Menurutnya, bahwa badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu suatu fiksi, yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu badan hukum yang dianggapnya sama dengan manusia. Dengan kata lain, sebenarnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum, sedang badan hukum hanya sebagai subjek. Jadi orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi dengan wujud yang tidak riil, sehingga tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan. Untuk melakukan perbuatan tersebut, maka manusialah yang melakukannya sebagai wakil-wakilnya. Pengikut dari teori ini adalah Opzomer, Diephuis, Land, Houwing serta Langemeyer. Kini teori fiksi tidak banyak lagi mempunyai pengikut. Biasanya badan hukum ini dipandang orang sebagai badan yang riil,
terpisah
dari
orang-orang
yang
merupakan
anggota
87
persekutuan itu. Menurut Van Apeldoorn 58 konstruksi ini tidak tepat dari kenyataan, bahwa sejumlah purusa bersama-sama dapat mempunyai
hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban
yang
tidak
merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban purusa-purusa itu individual. Subjek hukum yang berdiri sendiri di samping purusapurusa individual sebenarnya tidak ada. Scholten
beserta
dengan
beberapa
sarjana
lainnya
menyatakan, bahwa badan hukum adalah konstruksi, suatu pengertian, dan bukan sesuatu makhluk yang hidup, sesuatu leiblichgeistige Lebenseinkeit. Walaupun demikian ia memandang purusa hukum sebagai sesuatu subjek hukum yang nyata, sesuatu subjek yang baru, yang dibedakan dari orang-orang yang bersamasama merupakan coorporasi itu. Menurut van Apeldoorn, bagaimana sesuatu pengertian jadi sesuatu abstraksi, dapat merupakan pendukung hak. Dengan memberikan peranan yang demikian pada pengertian tersebut, ilmu pengetahuan hukum menjauhkan diri dari hidup sebenarnya. 2) Teori Orgaan Sebagai reaksi atau lawan dari teori fiksi menimbulkan ajaran yang disebut teori realitas. Ajaran (teori) ini kemudian lebih dikenal dengan nama teori orgaan. Ajaran ini dipelopori oleh Von Gierke di Jerman.
58
L.J. van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 207.
88
Menurut ajaran ini, badan hukum itu merupakan suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia di dalam pergaulan hukum. Badan hukum ini mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui perantaraan alat-alat perlengkapannya (organnya) seperti pengurus atau anggota-anggotanya. Kehendak atau kemauan dari badan hukum identik dengan kehendak atau kemauan dari pengurus atau anggota. Teori ini sekaligus menggambarkan tidak adanya perbedaan antara manusia dan badan hukum. Pengikut ajaran ini di Belanda yaitu, L.C. Polano yang terkenal dengan ajarannya leer der volledige realiteit (ajaran realitas sempurna). 3) Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteit) Dari teori organ muncullah suatu teori baru yang merupakan penyempitan dari teori organ yang disebut teori kenyataan yuridis. Ajaran ini dikemukakan oleh E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten, dan sudah merupakan ajaran yang diterima umum (heersende leer). Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkret, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori tersebut, teori kenyataan yang sederhana (eenvoudige realiteit). Disebut sederhana
karena
menekankan
bahwa
hendaknya
dalam
mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai
89
pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis badan hukum adalah wujud yang riil, seperti halnya dengan manusia. Teori yang dianut oleh Paul Scholten ini berasal dari teori organ yang dipersempit, artinya tidak begitu mutlak lagi, artinya sekedar diperlukan untuk hukum, sehingga tidak perlu lagi ditanyakan di mana tangan, kaki, dan otaknya. Oleh karena itu menurut Paul Scholten, jika ada masalah yang timbul dalam badan hukum tidak perlu dipersulit, tetapi semuanya dikembalikan kepada perwakilannya. 4) Teori Kekayaan Kolektif (Leer van de Collectieve Eigendom) Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering. Pembela teori ini adalah Marcel Planiol (Perancis) dan Mollenggraaff (Belanda), kemudian diikuti pula Star Busmann, Kranenburg, Paul Scholten dan Apeldoorn. Menurut teori ini, hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Mereka bertanggung jawab bersama-sama. Di samping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Dengan kata lain, bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Oleh sebab itu, badan hukum adalah
90
suatu konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum adalah sesuatu yang abstrak. 5) Teori Kekayaan Bertujuan (Doel vermogen) Teori ini dipelopori oleh Brinz. Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum, karena itu badan hukum bukan subjek hukum dan hak-hak yang diberikan kepada badan hukum pada hakikatnya hak-hak tanpa subjek hukum. Namun demikian, tidak dapat disangkal adanya hak-hak atas kekayaan, sedangkan tidak ada manusia yang menjadi pendukung hak-hak itu, dengan kata lain, kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya. Jadi hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang mempunyainya, dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan. Di sini yang terpenting kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu tanpa peduli siapakah badan hukum itu apakah manusia atau bukan, apakah kekayaan itu merupakan hakhak normal atau tidak. 6) Teori tentang Harta Kekayaan yang Dimiliki oleh Seseorang dalam Jabatannya (leer van Het Ambtelijk Vermogen) Pelopor teori ini adalah Holder dan Binder. Menurut ajaran ini, tidak mungkin mempunyai hak jika tidak dapat melakukan hak itu, dengan kata lain tanpa daya kehendak (wilsvermogen), tidak
91
ada kedudukan sebagai subjek hukum. Ini merupakan konsekuensi terluas dari teori yang menitikberatkan pada daya berkehendak. Untuk badan hukum, yang berkehendak adalah para pengurus, maka pada badan hukum semua hak itu diliputi oleh pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka berhak, karena itu disebut ambtelijk vermogen. Konsekuensi ajaran ini ialah, bahwa orang belum dewasa, di mana wali melakukan segala perbuatan hukum, eigendom ada pada curatele eigenaarnya atau kuratornya. Teori ambtelijk vermogen ini mendekati teori kekayaan bertujuan (doel vermogen). 7) Teori Leon Duguit Duguit tidak mengakui hak yang oleh hukum diberikan kepada subjek hukum, tetapi hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilakukan oleh subjek hukum itu. Di samping itu, Duguit menegaskan pula bahwa hanya manusia dapat menjadi subjek hukum tanpa menjadi pendukung hak. Oleh karena itu Duguit hanya menerima manusia sebagai subjek hukum, maka baginya juga hanya manusia menjadi subjek hukum internasional. 59 Walaupun banyak teori tentang badan hukum, namun tidak seluruh teori cocok untuk diterapkan pada badan hukum. Teori yang ada tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki oleh badan hukum tertentu. Teori propriete collective misalnya, cocok 59
Pitlo hanya mengenal teori 1, 2, 3, 4, dan 5, sedangkan Ali Ridho mengenal teori 1, 2, 4, dan 5. Utrecht mengenal teori 1, 2, 4, 5, dan 7 sedangkan Chidir Ali mengenal seluruhnya.
92
diterapkan untuk badan hukum yang mempunyai anggota, tetapi untuk yayasan teori tidak banyak bermanfaat. Sementara teori harta kekayaan bertujuan (doelvermogens theorie) hanya tepat untuk badan hukum yayasan yang tidak mempunyai anggota. Selain teori harta kekayaan bertujuan, teori harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang dalam jabatannya dapat pula diterapkan pada badan hukum yayasan. Hal ini dikarenakan teori ini mendekati teori kekayaan bertujuan. Baik teori fiksi maupun teori kekayaan kolektif pada hakikatnya memandang bahwa sebenarnya badan hukum itu tidak ada atau sesuatu yang abstrak. Sebaliknya, teori organ memandang bahwa badan hukum adalah suatu realitas yang sebenarnya sama dengan manusia. Pandangan yang demikian ini sebenarnya terlalu jauh. Walaupun badan hukum dalam kenyataan yuridis sama dengan manusia dalam lapangan hukum kekayaan, seperti mempunyai hak kebendaan dan turut serta dalam pergaulan hukum sebagai pihak dalam suatu perjanjian, namun tidak semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia dapat pula dilakukan oleh badan hukum. Misalnya dalam lapangan hukum keluarga, badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Menurut J.H.P. Bellefroid, 60 untuk ilmu hukum yang sekarang, teori-teori tersebut tidak berlaku, karena hukum yang berlaku
60
Chidir Ali. Op. cit., hlm. 39.
93
memperbolehkan badan hukum yang terdiri (didirikan) oleh manusia, turut serta dalam pergaulan hukum di samping orang. Selain dari undang-undang dan teori status hukum yayasan dapat pula diketahui dengan menelusuri pengertian dan unsur-unsur yayasan. Beberapa pengertian yayasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar antara lain: Pitlo memberikan uraian tentang yayasan sebagai berikut: 61 Sebagaimana halnya untuk tiap-tiap perbuatan hukum, maka untuk pendirian yayasan harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah. Pertama-tama harus ada maksud untuk mendirikan suatu Yayasan, selanjutnya perbuatan hukum itu harus memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan kekayaan, tujuan dan organisasi, dan satu syarat formal, yakni surat. Lemaire juga memberikan uraian tentang yayasan yang lebih perinci, sebagai berikut: 62 Yayasan diciptakan dengan suatu perbuatan hukum, yakni dengan pemisahan suatu harta kekayaan untuk tujuan yang tidak mengharapkan keuntungan (altruistische doel) serta penyusunan suatu organisasi (berikut pengurus), dengan mana sungguh-sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu. Scholten mengatakan: 63 Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan tersebut harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan menunjukkan cara kekayaan itu diurus dan digunakan.
61
G.H.S. Loemban Tobing, 1990, Beberapa Tinjauan Mengenai Yayasan (Stichting). Makalah pada Penataran Corporation Law, Kerja sama Hukum Indonesia-Belanda, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 5-17 Februari, hlm. 5. 62 Ibid. 63 Ibid., hlm. 6.
94
Selanjutnya Bregstein menyatakan tentang yayasan sebagai berikut: 64 Yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan/atau penghasilannya kepada pendiri atau penguasanya di dalam yayasan atau kepada orang-orang lain, terkecuali sepanjang yang mengenai terakhir ini, yang demikian adalah untuk kegunaan tujuan idiil. Mengikuti pandangan Meijers, maka pada Yayasan terdapat pokok-pokok sebagai berikut: 65 1) Penetapan tujuan dan organisasi oleh para pendirinya. 2) Tidak memiliki anggota. 3) Tidak ada hak bagi pengurusnya untuk mengadakan perubahan yang berakibat jauh dalam tujuan dan organisasi. 4) Perwujudan dari suatu tujuan, terutama dengan modal yang dimaksudkan untuk itu. Van Apeldoorn menjelaskan sebagai berikut: 66 Yayasan (stichting) adalah harta yang mempunyai tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya. Adanya harta yang demikian, adalah suatu kenyataan, dan juga suatu kenyataan bahwa dalam pergaulan hukum ia diperlakukan seolah-olah ia suatu purusa. Jadi konstruksi yuridisnya adalah, ada harta dengan tujuan tertentu, tetapi tidak dapat ditunjuk sesuatu subjek, sehingga dalam pergaulan diperlakukan seolah-olah adalah subjek hukum. Emerson Andrews mengemukakan definisi Yayasan sebagai berikut: 67
64
Ibid. Ibid. 66 van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 209. 65
95
A nongovernmental, nonprofit organization having a principal fund of its own, managed by its own trustees or directors, and estabilished to maintain or aid social, educational, charitable, religious, or other activities serving the common welfare. Yayasan atau foundation tidak dapat dipisahkan dari pengertian charity. A charity in the legal sense, may be more fully defined as a gift, to be applied consistenly with existing laws, for the benefit of an indefinite number or persons, either by bringing their minds or hearts under influence of education or religion, by relieving their bodies from disease, suffering or constraint, by assisting them to establish themselves in life, or by erecting or maintaining public buildings or works or otherwise lessening the burdens of government. Di Belanda, pengertian yayasan atau stichtingen dapat dilihat dalam Pasal 285 Ayat (1) NBW sebagai berikut: een stichting is een door een rechtshandeling in het leven geroepen rechtspersoon, welke geen leden, kent en beoogt met behulp van een door toe bestemd vermogen een in de statuten vermeld doel te verwezenlijken. Dari berbagai definisi yang ada hanya beberapa di antaranya yang menyebut, bahwa yayasan adalah badan hukum, itu pun hanya para pakar yang berasal dari manca negara. Sementara pakar yang berasal dari Indonesia hanya mengemukakan definisi yayasan dengan menonjolkan unsur/syarat yang harus dimiliki oleh yayasan terutama mengenai adanya pemisahan kekayaan yang dipisahkan. Hal ini kemungkinan disebabkan ketidakjelasan status yayasan sebagai badan hukum di dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, 67
Emerson Andrews, 1958, Philantropic Foundation. New York, Russel Sage Foundation, sebagaimana dikutip oleh Hayati Soeroredjo, 1989, Status Hukum dari Yayasan dalam Kaitannya dengan Penataan Badan-badan Usaha di Indonesia. Makalah pada Temu Karya; Yayasan, Status Hukum dan Sifat Usahanya. Jakarta 15 Desember 1989, hlm. 4.
96
status badan hukum yayasan tidak ditentukan di dalam undang-undang melainkan melalui yurisprudensi, sementara di Belanda status badan hukum yayasan jelas ditentukan dalam undang-undangnya. Dari pendapat para ahli dan dari peraturan perundang-undangan yang ada, baik di Belanda maupun di Indonesia dapat disimpulkan, bahwa yayasan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1) Badan hukum. 2) Tidak mempunyai anggota. 3) Ada harta kekayaan yang dipisahkan. 4) Mempunyai tujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Pada badan-badan, perkumpulan-perkumpulan yang tidak dengan tegas-tegas dinyatakan sebagai badan hukum, penetapan kedudukan sebagai badan hukum dapat ditentukan dengan jalan melihat hukum-hukum yang mengaturnya, dan jika dari peraturanperaturan itu diambil konklusi adanya sifat-sifat, ciri-ciri atau dengan kata lain adanya unsur-unsur badan hukum, maka badan-badan (perkumpulan) itu adalah suatu badan hukum. Dari seluruh teori yang disebutkan di atas, jelas terlihat bahwa teori yang paling tepat untuk yayasan yang tidak mempunyai anggota adalah teori kekayaan bertujuan. Teori kekayaan bertujuan jelas membenarkan bahwa yayasan merupakan suatu badan hukum, sebab menurut teori ini, hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak jelas pemiliknya, dan sebagai penggantinya adalah
97
suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan. Pada yayasan, tujuan yang dimaksud adalah tujuan yang bersifat idiil, sosial, dan kemanusiaan. Dari sudut doktrin, para ahli sepakat bahwa yayasan adalah badan hukum, sebab telah memenuhi syarat-syarat untuk dikatakan sebagai suatu badan hukum, walaupun tidak semua pendapat ahli menyebutkan di dalam definisinya bahwa yayasan adalah badan hukum. Di dalam praktik memang yayasan didirikan dengan akta notaris dengan memisahkan suatu harta kekayaan oleh pendiri, yang kemudian tidak boleh dikuasai lagi oleh pendiri tersebut. Akta notaris memuat anggaran dasar yayasan, sehingga ketentuan yang terdapat di dalam anggaran dasar itu merupakan ketentuan yang mengikat yayasan serta pengurusnya, dan bila ada juga memuat ketentuan tentang orangorang yang mendapat manfaat dari harta yayasan. Apabila diperhatikan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yayasan adalah badan hukum. Di dalam beberapa ketentuan perundang-undangan juga telah mengelompokkan yayasan dalam badan hukum. Demikian pula dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 27 Juni 1973 No. 124 K/Sip/1973, telah berpendapat bahwa yayasan adalah badan hukum, hanya saja tidak diketahui dengan pasti saat yayasan memperoleh status sebagai badan hukum.
98
Dari penelitian yang dilakukan di Sulawesi Selatan, ternyata para responden telah mengakui bahwa status badan hukum diperoleh dengan sendirinya setelah selesai dibuatkan aktanya, tanpa ada kewajiban
untuk
mendaftarkan.
Apabila
ada
yayasan
yang
mendaftarkan di Panitera Pengadilan untuk kemudian diumumkan dalam Tambahan Berita Negara, maka itu bukanlah keharusan, melainkan karena keinginan sendiri dari pengurus. Demikian pula tidak ada satu akta yang menyebutkan di dalamnya bahwa yayasan adalah badan hukum. Dengan demikian, yayasan menjadi badan hukum sejak saat berdirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Paul Scholten yang mengatakan, bahwa harus diterima, bahwa Yayasan sudah lebih dahulu berkedudukan sebagai badan hukum dan memperoleh kedudukan itu dari sumber lain. Badan hukum yayasan dapat didirikan tanpa adanya campur tangan dari penguasa, dan bahwa kebiasaan dan yurisprudensi bersama-sama yang menetapkan aturan itu. Dengan demikian kedudukan badan hukum itu diperoleh bersama-sama dengan berdirinya yayasan itu. Berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Abdul Muis, 68 yang hasilnya menyebutkan bahwa dari 24 yayasan yang diteliti, 21 di antaranya menyebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum. Sebaliknya dalam penelitian ini, dari 50 buah yayasan yang 68
Abdul Muis, 1987, Yayasan sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat (Suatu Tinjauan Mengenai Yayasan sebagai Badan Hukum dalam Menjalankan Kegiatan Sosial), Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 17.
99
dijadikan responden, hanya ada satu yayasan yang menyebutkan di dalam aktanya bahwa yayasan ini adalah badan hukum. Namun mereka mengakui bahwa yayasan ini adalah berbadan hukum. Walaupun Paul Scholten berpendapat yayasan sudah lebih dahulu berkedudukan sebagai badan hukum dan memperoleh kedudukan badan hukum dari sumber lain, sehingga tanpa didaftarkan di Pengadilan dan diumumkan dalam Berita Negara. Bahkan sebenarnya tanpa akta, yayasan sudah berstatus sebagai badan hukum, tetapi beberapa pengurus yayasan tetap melakukan pendaftaran dan pengumuman. Dari penelitian yang dilakukan di Sulawesi Selatan terlihat, bahwa di era Orde Baru organisasi massa yang terbentuk selalu harus dilakukan dengan izin dari pemerintah daerah (Bagian Sosial Politik), sehingga setiap organisasi yang terbentuk selalu dengan izin Pemerintah Daerah. Setelah era reformasi, jumlah organisasi yang mendaftar, tidak sebanyak di zaman Orde Baru. Tetapi sejak awal tahun 2001, pendaftaran di Kantor Sospol ini mulai ramai lagi. Menurut Abdul Rahman, selama ini pihak penyandang dana tidak mensyaratkan pendaftaran tapi cukup, dengan akta saja. Namun akhir-akhir ini ada kekhawatiran pihak Ornop jika suatu saat pihak penyandang dana mulai jenuh di Indonesia dan akan berpaling ke negara lain, sehingga Ornop tersebut akan kesulitan untuk bantuan dana dari masyarakat. Sementara jika ingin mendapatkan bantuan dari
100
pemerintah salah satu syaratnya adalah harus terdaftar pada bagian Sospol. Apabila dikaitkan dengan sistem yang digunakan oleh suatu negara dalam penentuan status hukum suatu badan/atau perkumpulan, maka dikenal dua sistem, yaitu, sistem terbuka dan sistem tertutup yang
dapat
digunakan
untuk
menentukan
status
badan/atau
perkumpulan. Yayasan dapat menjadi badan hukum, baik berdasarkan sistem terbuka maupun sistem tertutup, tergantung sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui, bahwa sistem hukum Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat menganut sistem tertutup (de gesloten Systeem van rechtspersonen), artinya tidak ada badan hukum lain, selain daripada yang disebutkan dalam undang-undang. Dengan kata lain, sistem ini tidak memperbolehkan suatu perbuatan hukum perdata semata-mata yang dilakukan seseorang dengan tujuan membentuk badan hukum dapat menciptakan badan hukum. Dengan demikian, jika mendirikan yayasan dengan menyatakan bentuknya adalah badan hukum, maka hal itu tidak diterima dalam sistem tertutup, sebab sistem tertutup hanya mengakui suatu badan hukum apabila didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi badan tersebut dan menyatakannya atau dapat disimpulkan dari ketentuannya, bahwa badan tersebut adalah badan hukum. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara
101
menganut sistem tertutup, maka tidak akan ada badan berstatus badan hukum bila tidak diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan badan hukum adalah subjek hukum yang menciptakannya harus dengan undang-undang (bij wet) atau berdasarkan undangundang (krachtens wet). Maksudnya dengan undang-undang adalah pemberian status atau pengaturan menjadi badan hukum dilakukan dengan undang-undang yang khusus misalnya, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Dengan memerhatikan Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan Undang-Undang Yayasan terlihat bahwa Indonesia menganut sistem tertutup dalam penentuan status hukum suatu organisasi. Apabila dianut sistem terbuka badan hukum, maka tanpa adanya peraturan perundang-undangan suatu badan/atau perkumpulan dapat dinyatakan sebagai badan hukum, sebab ada kemungkinan ditunjang oleh yurisprudensi. Akan tetapi, ketidakpastian hukum menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam sistem ini. Buku kedua NBW (BW Baru) Belanda yang berlaku sejak tahun 1976 bertitik tolak dari pengaturan badan hukum dengan sistem tertutup. Apabila seseorang bermaksud mendirikan suatu badan hukum, maka dapat memilih di antara bentuk-bentuk badan hukum seperti yang disebutkan di dalam undang-undang. Orang tidak dapat mendirikan badan hukum lain selain bentuk yang dicantumkan dalam undang-undang.
102
Sebaliknya, dalam suasana perundang-undangan yang berlaku sebelum tahun 1976, yakni sebelum adanya suatu perundang-undangan yang bersifat integral tentang badan hukum, bentuk atau jenis badan hukum tidak semata-mata terdiri dari bentuk yang ditentukan dalam undang-undang
melainkan
ditentukan
juga
oleh
doktrin
dan
yurisprudensi (het open systeem van rechtspersonen). Dengan demikian ada pengakuan bentuk badan hukum lain di luar bentuk yang disebutkan di dalam undang-undang. Pada satu sisi syarat badan hukum dihadapkan dengan sistem yang menyatakan bahwa status sebagai badan hukum diperoleh dengan sendirinya sejak saat perbuatan hukum pendiriannya, di sisi lain terdapat sistem yang dikenal sebagai sistem konsesi. Dalam batas-batas tertentu (Pasal 285 Buku II NBW), status sebagai badan hukum timbul sejak saat perbuatan hukum privat pendiriannya. Menurut sistem Buku II NBW, bentuk badan hukum tidak dapat tercipta semata-mata karena kehendak pihak yang bersangkutan saja. Status sebagai badan hukum hanya dapat diperoleh apabila dipenuhi persyaratan-persyaratan formal tentang pendirian badan hukum sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Selain itu, suatu badan hukum harus juga memenuhi persyaratan-persyaratan materiil tertentu. Ketentuan-ketentuan tentang persyaratan formal dan materiil merupakan peraturan hukum yang bersifat memaksa. Semenjak berlakunya Wet op Stichtingen sudah ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu yayasan.
103
Syarat pendirian badan hukum dalam sistem konsesi, diatur sedemikian rupa sehingga suatu organisasi hanya memperoleh status sebagai badan hukum setelah diperoleh pengesahan/pengakuan dari penguasa. Sistem ini memudahkan pengawasan. Indonesia telah pernah menggunakan sistem konsesi ini dalam perundang-undangannya, seperti pada ketentuan Pasal 1 Koninklijk Besluit No. 2 Tahun 1870 (Stb. 1870 No. 64 jo. 1913 No. 87), yang menyatakan, bahwa tidak ada perkumpulan, di luar yang dibentuk menurut peraturan perundangundangan, bertindak selaku badan hukum, kecuali setelah diakui oleh gubernur jenderal atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Selanjutnya Pasal 10 Stb. 1939 No. 570 mengatakan kedudukan Badan Hukum perkumpulan Bumi Putera tercipta setelah adanya persetujuan dari Pengadilan Negeri. Pasal 7 ayat (2) Stb. 1939 No. 569 jo. 117 menyatakan bahwa kedudukan Badan Hukum Indonesische Maatschapij Aandelen (IMA) tercipta setelah adanya persetujuan Menteri Kehakiman dan Pendaftaran status Badan Hukum pada Pengadilan Negeri. Sistem konsesi ini juga dianut oleh UndangUndang No. 12 Tahun 1967 (LN. 1967-No. 23, TLN No. 2832) jo. Undang-Undang No. 25 tahun 1992 (LN 1992-No. 116 TLN No. 3502) tentang Koperasi, mengatakan bahwa koperasi memperoleh status hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah. Demikian pula halnya dengan sistem yang diikuti oleh KUH Dagang tentang Perseroan Terbatas. Sebelum suatu perseroan terbatas bisa berdiri
104
dengan sah, maka akta pendiriannya atau naskah dari akta tersebut disampaikan terlebih dahulu kepada Menteri Kehakiman, untuk mendapat pengesahannya. Hal yang sama diikuti oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 7 Ayat (6), bahwa Perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) disahkan Menteri. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di Indonesia selain menganut sistem terbuka, juga menganut sistem konsesi yang tidak mutlak. Dikatakan sistem terbuka, karena pengakuan terhadap badan hukum tidak hanya yang telah diatur dalam undang-undang, tetapi juga dapat melalui yurisprudensi. Sistem konsesi karena beberapa ketentuan perundang-undangan menetapkan bahwa status badan hukum diperoleh setelah mendapatkan pengesahan dari menteri, tetapi kewajiban tersebut tidak diperlakukan untuk semua jenis badan hukum. Badan hukum yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan dan sekaligus tidak memerlukan izin/pengesahan dari pejabat. Seperti halnya yayasan, sebelum berlakunya UU Yayasan, maka yayasan menjadi badan hukum sejak saat berdirinya yayasan itu.
b. Setelah Berlakunya Undang-Undang Yayasan Dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan telah menyebutkan dengan jelas, bahwa yayasan adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota, yang didirikan dengan
105
pemisahan kekayaan pendirinya, dan tidak diarahkan kepada pencapaian keuntungan, melainkan untuk tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. 69 Dengan demikian baik, sebelum maupun setelah berlakunya Undang-Undang Yayasan, telah diakui bahwa yayasan adalah badan hukum. Perbedaannya adalah sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan, masih terdapat keragaman tentang saat yayasan menjadi badan hukum, tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Yayasan telah jelas bahwa Yayasan memperoleh status sebagai pada saat mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 70 Pengesahan dari Pemerintah cq. Menteri Hukum dan HAM merupakan syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum bagi himpunan
atau
perkumpulan/badan
usaha
seperti;
Perseroan
Terbatas, 71 Koperasi, 72 dan yang terakhir adalah yayasan. 73 Fungsi pengesahan antara lain adalah, untuk keabsahan keberadaan badan hukum sehingga badan hukum itu mempunyai kelayakan bahkan harus dilakukan secara luas, meliputi seberapa jauh tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang ada. Bahkan lebih luas lagi daripada itu adalah dilakukannya pengujian secara materiil tentang kebenaran yang tercantum dalam Akta Pendirian termasuk permodalan yang dicantumkan. Malah jika perlu 69
Pasal 1 angka (1) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Pasal 11 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. 71 Pasal 7 Ayat (6) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). 72 Pasal 9 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 73 Pasal 11 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. 70
106
jangan hanya terbatas pada akta pendirian yang dimohonkan pengesahan melainkan meliputi pula hal-hal yang di luar akta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penipuan. Fungsi lainnya adalah sebagai alat pengamanan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang negatif yang tidak diinginkan. 74 Hanya saja jika membaca lebih jauh UUPT khususnya ketentuan dalam Pasal 23, maka akan menimbulkan keragu-raguan karena dicantumkan bahwa, selama pendaftaran dan pengumuman seperti dimaksudkan dalam Pasal 21 dan Pasal 22 belum dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang telah dilakukan perseroan itu. Sistem pendaftaran pada daftar perusahaan menurut Pasal 21 serta pengumuman dalam Tambahan Negara manurut Pasal 22, adalah suatu syarat yang lazim diminta agar dapat berlaku terhadap umum. Akan tetapi, ketentuan Pasal 23 yang mengatakan bahwa direksi bertanggung jawab secara renteng berarti,, jika ada salah satu yang memenuhi, maka yang lain terbebas membuat ketentuan Pasal 7 ayat (6) menjadi kabur. Bahkan dapat dikatakan bahwa status badan hukum yang diperoleh dengan pengesahan Menteri Kehakiman menjadi tidak ada artinya sama sekali tanpa pendaftaran dan pengumuman. Persoalannya sekarang, apakah yayasan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan dan 74
belum terdaftar di
H. F. A. Vollmar. et. al., Vennootschappen, Vereniging, en Stichtingen, Band A, Kluwer Deventer, sebagaimana dikutip Rudhi Prasetya, 1995, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Penerbit. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 153.
107
Pengadilan masih diakui sebagai badan hukum? Jika tidak, bagaimana status hukum yayasan tersebut? Jika hanya dilihat dari bunyi ketentuan Undang-Undang Yayasan, maka dapat disimpulkan bahwa yayasan yang tidak terdaftar di Pengadilan Negeri tidak tercakup dalam ketentuan tersebut. Dengan kata lain, dari sisi kepastian hukum, maka yayasan tersebut tidak diakui sebagai badan hukum. Mengingat bahwa tujuan hukum tidak hanya kepastian hukum, melainkan juga, keadilan dan kemanfaatan, perlu dicari jalan keluar agar tidak hanya sisi kepastiannya yang dapat dicapai, melainkan juga sisi keadilan dan kemanfaatannya. Untuk menjawab persoalan ini, perlu ditinjau kembali cara perolehan status badan hukum yayasan, dikaitkan dengan sistem yang digunakan oleh suatu negara. Melihat sistem yang dianut oleh Indonesia dalam menentukan status
badan
menghubungkan
hukum
tidak
dengan
ada
pendapat
yang dari
bersifat Paul
mutlak,
Scholten,
dan serta
memperhatikan sisi tujuan hukum yaitu keadilan dan kemanfaatannya, maka ketentuan peralihan akan banyak menimbulkan masalah. Apalagi jika isi ketentuan tersebut diartikan sesuai dengan yang tertulis. Masalah yang mungkin timbul adalah berkaitan dengan status yayasan, harta kekayaan yayasan, serta tanggung jawab yayasan. Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
persoalan
ini,
antara
lain
dengan
mengambil
108
perbandingan dengan negara lain seperti halnya di Belanda sebagaimana telah dibahas pada awal Bab II ini yang tetap mengakui yayasan-yayasan yang telah ada sebelum mulai berlakunya undangundang yang baru dengan persyaratan harus mengadakan penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut, antara lain untuk menyusun kembali anggaran dasarnya dalam suatu akta autentik (akta notaris), dengan tetap mempertahankan sebagai badan hukum. 75 Tindakan ini sangat tepat, sebab jika tidak demikian, maka akan timbul kekacauan dan ketidakpastian hukum mengenai kedudukan hukum dari yayasan-yayasan yang telah ada sebelum terbentuknya undang-undang tersebut, dan akibat hukum dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh yayasan-yayasan tersebut. Di Inggris, status hukum untuk organisasi tanpa tujuan laba ada yang berbentuk badan hukum, ada pula yang tidak menikmati status badan hukum. Hal ini mungkin memiliki tujuan komersial atau bisnis murni, atau mungkin juga tidak. Namun demikian, istilah “asosiasi tak berbadan hukum” umumnya mengacu pada bentuk tertentu yang ada untuk tujuan non komersial. Asosiasi tak berbadan hukum secara yuridis didefinisikan sebagai berikut: 76 Two or more persons bound together for one or more purposes, not being business purposes, by mutual undertaking, each having mutual duties and obligations, in an organization which has rules which identify in whom control of it and its funds rests and upon whats terms and which can be joined or left at 75 76
Ali Ridho. Op. cit., hlm. 113. Lester M. Salamon, 1997, Op. Cit, hlm. 313.
109
will. The bond of union between members of an unincorporated association has to be contractuall. Definisi ini membedakan asosiasi tak berbadan hukum dengan perseroan, individu, partnership, dan lain-lain. Asosiasi tidak dapat menggugat atau digugat atas namanya. Proses hukum biasanya harus dilakukan oleh, atau diarahkan pada anggota individu atau para pejabatnya. Asosiasi juga tidak dapat dipersalahkan atas suatu tindakan kriminal. Di Inggris, secara umum tidak ada undang-undang yang berkaitan dengan badan hukum, dan sebagian besar hukum yang berkaitan dengan badan hukum dibuat oleh hakim. Namun demikian, badan
hukum
tertentu
dipisahkan
oleh
undang-undang
dan
diperlakukan sebagai “quasi-corporation”. Walaupun bukan badan hukum yang sebenarnya, tetapi dapat menikmati beberapa atribut yang diberikan kepada badan hukum. Jadi pembagian organisasi tanpa tujuan laba (non-profit organisation) di Inggris dibagi atas 2 (dua) tipe, yaitu yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Demikian juga halnya di Amerika, walaupun sebagian besar organisasi nirlaba sekarang ini tunduk pada undang-undang negara bagian, hal ini tidak disyaratkan dalam fungsi sebagai organisasi nirlaba di Amerika. Sebaliknya, sekelompok orang dapat dengan mudah menyusun sebuah Anggaran Dasar” dan Anggaran Rumah Tangga dan berfungsi sebagai sebuah organisasi tanpa mencari pengakuan formal. Sejauh ini, dengan keberadaan Anggaran Rumah
110
Tangga lembaga seperti itu dapat melakukan “organisational test” yang disyaratkan untuk kualifikasi status pengecualian pajak menurut undang-undang pajak negara bagian dan federal. Banyak kelompok masyarakat akademik dan profesional seperti klub, beroperasi dalam status
pengecualian
pajak
tanpa
berbentuk
perseroan
(unincorporation). Bentuk perseroan yang demikian ini tidak terikat pada Undang-Undang Negara Bagian yang berkaitan dengan kewajiban sebagai sebuah perseroan. Namun demikian, mereka juga menolak pembatasan kewajiban pribadi para pejabat dan direktur dengan status tidak berbentuk perseroan. Suatu hal yang kontradiktif yang terdapat di dalam UndangUndang Yayasan adalah tentang pendaftaran yayasan. Di dalam UU Yayasan No. 16 Tahun 2001 tidak ada satu pasal pun yang mengatur adanya kewajiban bagi yayasan yang baru, untuk didaftarkan setelah mendapatkan pengesahan dari menteri, seperti halnya pada Koperasi dan Perseroan Terbatas. Kewajiban yang dibebankan kepada yayasan setelah disahkan adalah hanya kewajiban untuk mengumumkan. Sementara bagi yayasan yang sudah ada, salah satu syaratnya untuk diakui sebagai badan hukum adalah harus sudah terdaftar pada pengadilan negeri dan/atau mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi yang terkait. Mengingat pentingnya fungsi pendaftaran, maka seharusnya kewajiban untuk didaftar tidak hanya ditekankan pada yayasan yang sudah ada, tetapi juga menjadi kewajiban bagi yayasan yang baru. Ketika hal ini dipertanyakan kepada salah seorang yang
111
terlibat dalam Rancangan Pembahasan Undang-Undang Yayasan, tidak juga mendapatkan jawaban yang memuaskan melainkan hanya dikatakan bahwa pertanyaan ini nantinya akan menjadi bahan masukan untuk revisi. Demikian pula di dalam risalah pembahasan UndangUndang Yayasan, tidak satu pun dari fraksi dan juga dari pemerintah yang mempermasalahkan tentang pendaftaran untuk yayasan baru, tetapi yang dipersoalkan adalah tentang pendaftaran yayasan yang telah ada sebelumnya. Untuk mengurangi/mencegah masalah yang mungkin timbul dari ketentuan peralihan tersebut, dapat dilakukan dengan mengikuti pendapat dari Paul Scholten yang dari awal mengakui yayasan sebagai badan hukum, serta ditambah dengan model penyelesaian yang pernah dilakukan oleh Belanda, yaitu dengan tetap mengakui yayasan yang lama sebagai badan hukum, dan hanya diminta untuk menyesuaikan anggaran dasarnya. Selain cara itu, dapat juga dilakukan dengan mengambil model di Amerika dan Inggris, sebenarnya bagi yayasan yang telah terbentuk sebelum keluarnya UU Yayasan dapat tetap berbentuk badan hukum asal saja memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh ketentuan peralihan dari UU Yayasan. Jika tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan di dalam UU Yayasan, maka Yayasan tersebut dapat juga tidak dalam bentuk badan hukum, tetapi keistimewaankeistimewaan yang diberikan kepada yayasan yang berbadan hukum
112
diperlakukan juga terhadap yayasan yang tidak berbadan hukum, seperti pengurangan pajak dan sebagainya. Mengingat bahwa pengecualian dan pengurangan pajak tidak lagi dapat sepenuhnya dinikmati oleh Yayasan, maka cara terbaik yang dapat dilakukan adalah, bagi Yayasan yang telah ada sebelum berlakunya UU Yayasan tanpa melihat terdaftar atau tidak-sekalipun fungsi pendaftaran itu penting-hendaknya tetap diakui sebagai badan hukum, kemudian diberi kesempatan untuk menyesuaikan dengan UU Yayasan seperti halnya yang pernah terjadi di Belanda. Bagi Yayasan yang belum terdaftar, harus melakukan pendaftaran lebih dahulu, kemudian menyesuaikan anggaran dasarnya, sedangkan bagi yang sudah terdaftar hanya menyesuaikan anggaran dasarnya. Dengan demikian bagi Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya akan dibubarkan. Cara pembubaran serta penyelesaiannya dapat berpedoman/dilakukan berdasarkan cara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Yayasan. Seharusnya penekanan aturan peralihan bukan pada terdaftar atau tidaknya, melainkan pada syarat jumlah minimal kekayaan yang dimilikinya serta prospek kegiatan yayasan itu sendiri. Bagi yayasan yang tidak memenuhi syarat jumlah minimal kekayaan yang harus dimiliki oleh yayasan dan/atau prospek kegiatan yayasan tidak mungkin untuk dikembangkan, maka yayasan tersebut dapat dibubarkan berdasarkan cara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Yayasan, sehingga lebih memudahkan dalam penyelesaian. Dengan
113
demikian, kerugian yang mungkin timbul baik bagi organ yayasan maupun dengan pihak ketiga dapat diminimalisir. Dengan berlakunya UUY yang baru, terlihat ada perubahan dengan mengakomodasi yayasan yang tidak terdaftar dan tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71. Dalam arti bahwa yayasan yang tidak didirikan dan tidak memenuhi Pasal 71 dapat memperoleh status badan hukum asal dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya saja dengan ketentuan UU Yayasan.
BAB III METODE PENELITIAN
Metodologi merupakan cara untuk menyelidiki suatu masalah dan juga merupakan cara untuk mengumpulkan data dari masalah yang akan di teliti agar dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Sedang penelitian adalah suatu proses dalam suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara sistematis guna mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu. Dari definisi metodologi dan definisi penelitian di atas, maka dapat menjelaskan bahwa metodologi penelitian adalah suatu cara jalan yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Sutriso Hadi, penelitian berdasarkan tujuanya harus dikaitkan dengan sifat dan fungsi penelitian, terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Penelitian yang bersifat Exploratif (Menemukan) 2. Penelitian yang bersifat Developmental (Mengembangkan) 3. Penelitian yang bersifat Verifikatif (Uji Hipotesa) Penelitian menurut sifatnya dapat dibagi dalam beberapa golongan. Soerjono Soekanto membaginya dalam tiga golongan, yaitu: 1. Penelitian Eksploratois 2. Penelitian Deskriptif 3. Penelitian Eksplantoris Penelitian hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau ein prif 1. Penelitian yang akan dilakukan oleh
1
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm 52.
113
114
penulis adalah penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang mengutamakan penelitian lapangan untuk mendapatkan data primer. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung data-data yang berupa fakta tentang peran notaris serta dinas terkait tentang sosialisasi dan perubahan terhadap penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan. Sedangkan yang menjadi sasaran dalam penelitian ini ada 2, yaitu norma (Das Sollen) untuk memperoleh kepustakaan dan perilaku (Das Sein) untuk memperoleh penelitian lapangan. Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang bersifat Diskriptif Empiris. Bersifat Diskriptif karena dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijabarkan tentang azas hukum, kaidah hukum, serta pengaturan-pengaturan yang berkaitan dengan peran notaris pasca berlakunya Undang-Undang Yayasan terkait penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan di daerah Kabupaten Magetan. Selain hal tersebut juga diharapkan dapat mengkaji dan menganalisa kendala-kendala yang muncul, serta dapat menyelesaikannya. A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah studi pustaka dan studi lapangan. Dalam hal studi lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi secara langsung pada lokasi penelitian yang dilakukan dengan mendapatkan data primer yang meliputi: 1. Yayasan-yayasan di daerah Kabupaten Magetan 2. Notaris/PPAT yang bertempat kedudukan di daerah Kabupaten Magetan 3. Kasie Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Hukum dan HAM Surabaya 4. Ikatan Notaris Indonesia 5. Para Ahli atau Dosen
115
Studi
kepustakaan
adalah
penelitian
yang
dilakukan
dengan
menggunakan bahan-bhan hukum yang berkaitan dengan judul permasalahan yang akan diteliti penulis. Adapun data sekunder tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: a. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan b. Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UndangUndang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan c. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris d. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan e. Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang berupa makalah dan artikel baik yang tertulis maupun yang melalui media internet, hasil karya ilmiah lainnya. 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer maupun sekunder, yaitu : a. Kamus Umum Bahasa Indonesia b. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia c. Kamus Hukum
116
B. Cara Pengumpulan Data Data primer diperoleh dengan cara wawancara (interview) terhadap para narasumber. Pedoman wawancara tersebut dilakukan dengan membuat daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi terstruktur yaitu pedoman wawancara yang merupakan kombinasi dari pedoman terstruktur, yakni pedoman yang berisi pertanyaan lengkap dan terperinci serta pedoman yang tidak terstrukutr yakni pedoman yang hanya memuat garis besar wawancara. 2
C. Lokasi Penelitian Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Empiris, maka harus menunjuk lokasi tertentu atau khusus. Adapun lokasi atau tempat penelitian tersebut adalah mengambil sample kasus yang ada di daerah Kabupaten Magetan yang kemudian dianalisa dengan Peraturan PerundangUndangan.
D. Subyek Penelitian Adapun yang menjadi Subyek Penelitian ini adalah: 1. Yayasan-yayasan yang telah dipilih untuk diteliti di Kabupaten Magetan 2. Notaris/PPAT yang berkedudukan di daerah Kabupaten Magetan, berjumlah 4 orang 3. Kantor Wilayah Hukum dan HAM Surabaya 2
Maria S.W Sumarjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian (Sebuah Panduan Dasar), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 35.
117
4. Undang-Undang Yayasan (UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Jo UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001) 5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 6. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UndangUndang Yayasan.
E. Alat Penelitian Pada penelitian kepustakaan digunakan studi dokumentasi yakni mempelajari bahan-bahan yang berupa data-data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier yang berhubungan dengan penelitian. Pada penelitian lapangan alat yang digunakan adalah pedoman wawancara yaitu suatu pedoman yang memuat pertanyaan yang akan digunakan
sebagai
panduan
dalam
melakukan
tanya-jawab
dengan
narasumber.
F. Jalannya Penelitian Dengan melakukan wawancara terhadap para notaris/PPAT yang berkedudukan di daerah Kabupaten Magetan mengenai perannya dalam menjalankan jabatan notaris terkait sosiolisasi Undang-Undang Yayasan terkait penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan. Juga melakukan wawancara tehadap Kasi Pelayanan Hukum Kanwil Surabaya mengenai upaya yang telah ditempuh
dalam
mensosialisasikan
Undang-Undang
Yayasan
terkait
118
penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan. Serta melakukan wawancara dengan pengurus yayasan mengenai apakah yayasan tersebut sudah atau belum dalam melaksanakan Undang-Undang Yayasan terkait penyesuaian anggaran dasar suatu yayasan.
G. Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah dengan metode Kualitatif yang menghasilkan data deskriptif-analistis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh. Penjabarannya adalah sebagai berikut, penelitian hukum ini bersifat yuridis empiris, maka data yang diperoleh dari hasil penelitian dikumpulkan, baik itu dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan, kemudian dikelompokkan serta dianalisis secara kualitatif, yaitu suatu metode analisis data dengan cara melakukan seleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut kwalitatif dan kebenarannya,
kemudian
dihubungkan
dengan
Peraturan
Perundang-
Undangan beserta teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga didapatkan jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini, kemudian dibuat dalam bentuk laporan hasil penelitian yang bersifat deskritif yang memuat suatu kerangka konseptual mengenai peran notaris paska berlakunya Undang-Undan Yayasan yang mengambil tempat di Kabupaten Magetan.
119
H. Jadual Penelitian 1. Tahap Persiapan Pada
tahap
ini
diawali
dengan
mengumpulkan
dan
menginventarisir bahan-bahan kepustakaan, kemudian dilanjutkan dengan menentukan topik penelitian dan penyusunan serta pengajuan altenatif judul, kemudian mengajukan proposal untuk didiskusikan. 2. Tahap Pelaksanaan Adapun dalam tahap pelaksanaan terdiri dari: a. Pelaksanaan penelitian kepustakaan, yaitu pertama adalah dengan pengumpulan dan pengkajian terhadap data sekunder yang tentunya meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. b. Pelaksanaan penelitian lapangan, ini dilakukan dengan penelitian responden dan pengumpulan data primer. Hal ini dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan alat berupa kerangka wawancara yang telah dibuat sebelumnya. 3. Tahap Penyelesaian Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah pengolahan, analisa data dan kontruksi data agar dapat dikonsultasikan dengan dosen pembimbing tesis.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peran Notaris Pasca Berlakunya Undang-Undang Yayasan di Kabupaten Magetan Terhadap Proses Penyesuaian Anggaran Dasar Suatu Yayasan di Daerah Kabupaten Magetan Pengertian notaris sebagai pejabat umum satu-satunya yang berwenang membuat akta dalam rumusan PJN tidak lagi digunakan dalam UUJN. Penggunaan kata satu-satunya (uitsluitend) dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, tidak turut pejabat lainnya. Semua pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu yang artinya wewenang mereka tidak meliputi lebih daripada pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang. Perkataan uitsluitend dengan dihubungkan dengan bagian kalimat terakhir PJN mempunyai arti dengan mengecualikan setiap orang lain. Dengan perkataan lain, wewenang notaris bersifat umum sedang wewenang para pejabat lainnya adalah pengecualian. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam peraturan perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta otentik, maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta notaris, terkecuali peraturan perundang-undangan ada yang menyatakan dengan tagas, atau sebagai yang satu-satunya berwenang untuk itu. 1 Dalam hal demikian berlaku asas lex specialis derogate legi generali
1
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hlm. 34
120
121
yakni notaris sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta disimpangi oleh adanya pejabat lain yang berwenang untuk membuat akta pengecualian ini dengan didasarkan pada peraturan perundang-undangan (khusus) lainnya. Dalam UUJN terminologi satu-satunya (uitsluitend) tidak lagi dicantumkan. Meskipun demikian pengertian notaris tidak berubah secara radikal. Hal ini dikarenakan terminologi uitsluitend telah tercakup dalam penjelasan UUJN yang menyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Selanjutnya dalam penjelasan UUJN diterangkan pentingnya profesi notaris yakni terkait dengan pembuatan akta otentik. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Kewenangan notaris, menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN adalah membuat akta otentuk mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
122
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut Pasal 15 ayat (2) Notaris memiliki wewenang pula untuk: 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 7. Membuat akta risalah lelang. Sedangkan Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pendirian mengenai yayasan secara umum diatur dalam UndangUndang yayasan, yaitu: pertama, adanya pendiri, diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (5). Kedua harus dengan akta notaris, dan yang ketiga, adanya modal. Prosedur umum untuk dapat mendirikan yayasan harus melalui beberapa tahap, yaitu: 1. Pembuatan akta pendirian dihadapan notaris
123
2. Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian 3. Pengesahan akta pendirian 4. Harus diumumkan di Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Seperti keterangan di atas, bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Yayasan diakui sebagai badan hukum yang berarti dianggap sebagai subyek hukum mandiri, seperti halnya orang, karena secara teoritik dan kenyataan terdiri dari: 1. Adanya kekayaan yang terpisah 2. Mempunyai tujuan tertentu 3. Mempunyai organisasi yang teratur yang diuraikan dengan akta notaris Sehingga dari ketiga ciri-ciri di atas tersebut, suatu yayasan sudah sepantasnya dapat dijadikan suatu badan hukum. Sebagai badan hukum, yayasan cakap melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan hukum tersebut terdapat didalam maksud dan tujuan yayasan yang tertuang dalam anggaran dasar yayasan tersebut. Yayasan harus didirikan dengan akta notaris dan dibuat dengan dalam bahasa Indonesia, diuraikan tentang pokok-pokok pendirian yayasan serta berapa besar harta kekayaan dari para pendirinya yang nantinya dijadikan harta kekayaan awal dari yayasan tersebut. Anggaran dasar merupakan bagian dari isi akta pendirian yayasan, anggaran dasar tersebut haruslah sesuai dengan aturan dasar yayasan yang
124
wajib dipatuhi oleh pembina, pengurus, dan pengawas yang mana anggaran dasar tersebut berlaku setelah mendapat pengesahan dari menkumham RI. 2 Di dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, anggaran dasar yayasan yang dituangkan didalam akta pendirian yayasan, harus memuat antara lain: 1. Nama dan tempat kekdudukan 2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut 3. Jangka waktu pendirian 4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang dan benda 5. Cara memperoleh dan menggunakan kekayaan 6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota pembina, pengurus, dan pengawas 7. Hak dan kewajiban anggota pembina, pengurus, dan pengawas 8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan 9. Ketentuan mengenai perubahan anggaran dasar 10. Penggabungan dan perubahan anggaran dasar 11. Penggunaan sisa hasil likuidasi atau penyatuan kekayaan setelah pembubaran 12. Keterangan lain yang memuat sekurang-kurangnya nama, alamat, pekerjaan, tempat tanggal lahir, serta kewarganegaran dari Pembina, pengurus, dan pengawas 2
Gatot Supramono, 2008, Hukum Yayasan di Indonesia, Reneke Cipta, Jakarta, hlm. 48.
125
Perubahan substansi anggaran dasar suatu yayasan dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu: 1. Hal yang tidak boleh dirubah, yaitu tentang maksud dan tujuan yayasan 2. Hal yang boleh dirubah dengan mendapat persetujuan menteri, yaitu tentang nama dan kegiatan yayasan 3. Hal yang boleh dirubah cukup dengan diberitahukan kepada menteri, yaitu tentang perubahan tempat kedudukan yayasan. 3 Pembentukan yayasan di dalam hukum perdata terjadi dengan surat pengakuan (akta) di antara para pendirinya, atau dengan surat hibah/wasiat yang dibuat di hadapan notaris. Dalam surat-surat itu ditentukan maksud/tujuan, nama, susunan dan badan pengurus, juga adanya kekayaan yang mewujudkan yayasan tersebut. Dengan kata lain, bagi yayasan sebagai badan hukum disyaratkan adanya: 4 1. penunjukan suatu tujuan tertentu, 2. penunjukan suatu organisasi, dan 3. harus terdapat pemisahan harta kekayaan. Ketiadaan aturan ini menimbulkan keragaman di dalam pendirian Yayasan. Ada yang setelah memiliki akta notaris dianggapnya sudah cukup, dan pada saat yang sama telah berstatus sebagai badan hukum. Ada pula yang melakukan
pendaftaran
di
Pengadilan
Negeri,
bahkan
ada
yang
mengumumkan dalam Berita Negara. Walaupun terjadi keanekaragaman di dalam cara pendirian yayasan, serta saat penentuan status badan hukum, 3
Rita M.L & J Law Firm,2009, Resiko Hukum Bagi Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan, Forum Sahabat, Jakarta, hlm. 17. 4 Chaidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 88.
126
namun telah diakui bahwa yayasan adalah badan hukum, dan pendirian yayasan selalu dilakukan dengan akta notaris. Praktik hukum yang berlaku di Indonesia selama ini, yayasan selalu didirikan dengan akta notaris, baik yayasan yang didirikan oleh pihak swasta atau perorangan maupun oleh pemerintah. Dalam perkembangannya, yayasan yang didirikan oleh badan-badan pemerintah dilakukan dengan suatu surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk itu atau dengan akta notaris sebagai syarat terbentuknya suatu yayasan. Misalnya yayasan yang dimiliki oleh Soeharto, Tentara, Yarnati DPRD, dan yayasan-yayasan yang dibentuk oleh instansi-instansi pemerintah. Menurut Hayati Suroredjo, 5 sebenarnya karena masih vormvrij atau bebas bentuk, maka yayasan dapat juga didirikan dengan akta di bawah tangan, atau dapat disimpulkan dari aktivitas dan stationary. Kepala surat pun yang digunakan oleh yayasan bahkan dapat dikatakan sebagai bukti bahwa yayasan memang ada dan aktif melakukan kegiatan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Muis terhadap beberapa orang notaris di Surabaya, ternyata masih terdapat perbedaan pendapat tentang keharusan akta untuk pendirian yayasan. Ada yang berpendapat, bahwa akta notaris bukan merupakan syarat mutlak, sementara itu ada pula yang berpendapat harus dibuat dengan akta notaris. Namun jumlah yang berpendapat bahwa akta itu merupakan keharusan jauh lebih
5
Majalah Forum Keadilan Nomor 15 Tahun 1990, hlm. 80.
127
banyak daripada yang menyatakan bahwa yayasan tidak harus dilakukan dengan akta. 6 Hasil penelitian yang dilakukan di Magetan, terlihat bahwa semua pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris. Isi akta pada umumnya dibuat menurut format yang sudah ada di kantor notaris. Hal-hal yang berbeda, hanya mengenai nama yayasan, nama para pengurus, jumlah kekayaan yang dipisahkan, dan tujuan. Bahkan beberapa kesalahan sering kali dibuat dengan mencantumkan di dalam akta misalnya; adanya anggota di dalam kepengurusan yayasan, modal, dan kewajiban adanya iuran anggota. Pendapat para pakar pun masih berbeda mengenai akta notaris ini. Ada yang berpendapat, bahwa karena undang-undang secara khusus mengatur tentang yayasan tidak ada, maka seyogianya tidak dapat dikatakan suatu yayasan harus dibuat dengan suatu akta tertulis. Namun untuk memudahkan pembuktian, biasanya pendirian yayasan dilakukan oleh para pendirinya di depan notaris. 7 Sebelum berlakunya Wet op Stichtingen 1956, di Belanda juga tidak diperlukan pengesahan untuk menjadikan suatu yayasan sebagai badan hukum. Berdasarkan kebiasaan dan yurisprudensi yang berlaku di Belanda sebelum tahun 1957, yayasan-yayasan yang didirikan dengan sendirinya adalah badan hukum. Yayasan di Belanda memperoleh status sebagai badan
6
Abdul Muis, 1987, Yayasan sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat (Suatu Tinjauan Mengenai Yayasan sebagai Badan Hukum dalam Menjalankan Kegiatan Sosial), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 48-49. 7 Rudhi Prasetya, dan A. Oemar Wongsodiwiryo, 1976, Dasar-dasar Hukum Persekutuan, Departemen Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 65-66.
128
hukum berdasarkan akta notaris, sedangkan pendaftaran dan pengumuman hanya sebagai pengawasan oleh pemerintah. 8 Setelah berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan timbul persoalan, apakah yayasan yang telah ada sebelumnya, masih dapat diakui sebagai badan hukum? Ketentuan peralihan Undang-Undang Yayasan, memberikan jalan keluar untuk persoalan ini. Dari ketentuan Pasal 71 UU Yayasan dapat disimpulkan bahwa yayasan yang telah ada tetap diakui sebagai badan hukum, asal saja memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Yayasan. Persyaratan yang dimaksud, adalah yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin operasi dari instansi terkait, dinyatakan sebagai badan hukum. Dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya undang-undang ini, yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan. Setelah diadakan penyesuaian, maka paling lambat 1 (satu) tahun harus sudah disampaikan keadaan tersebut kepada Menteri. Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya, dapat dibubarkan bukan bubar demi hukum oleh Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, Undang-Undang Yayasan masih mengakui dan menerima yayasan yang sudah ada sebelum diundangkannya UndangUndang Yayasan sebagai badan hukum asal memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 71 Ayat (1). 8
Pandangan Fraksi TNI/Polri dalam pembahasan RUU Yayasan.
129
Ketentuan ini belum menuntaskan permasalahan, sebab yayasan yang ada selama ini sebagian besar tidak terdaftar di Pengadilan Negeri. Para pengurus menganggap sudah cukup dengan akta notaris saja. Selain itu, untuk diakui sebagai badan hukum, yayasan tidak diwajibkan untuk mendaftarkan dan mengumumkan dalam Berita Negara.
B. Upaya dari Kanwil Hukum dan HAM Dalam Mensosialisasikan Tentang Berlakunya Undang-Undang Yayasan di Kabupaten Magetan Terhadap Proses Penyesuaian Anggaran Dasar Suatu Yayasan Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum, maka yayasan harus mendapat pengesahan dari pemerintah cq. Menteri Hukum dan HAM. Pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM menimbulkan reaksi terutama di kalangan organisasi non-pemerintah (Ornop) berupa penolakan dan meminta agar pasal tersebut ditiadakan (dihapuskan). Menurut T. Mulya Lubis, 9 Yayasan adalah organisasi yang sifatnya self-governing, sehingga semestinya tidak memerlukan izin, tetapi cukup dengan akta notaris, lalu diumumkan di dalam Tambahan Berita Negara. Birokrasi pengesahan ini bisa menjadi pintu masuk campur tangan pemerintah dalam urusan operasional yayasan. Hal ini membuat yayasan tidak efektif menjalankan aktivitasnya karena selalu dibayang-bayangi kemungkinan intervensi (oleh pemerintah). Apalagi kejaksaan bisa menggugat pembubaran sebuah yayasan ke pengadilan untuk dan atas nama kepentingan umum.
9
Todung Mulya Lubis, 2001, Forum Keadilan. No. 15, 15 Juli 2001, hlm. 17.
130
Yayasan-yayasan yang selama ini dikenal kritis kepada pemerintah, seperti YLBHI, YLKI, ICW, Walhi, bisa melakukan self-censorship. Hal ini dibantah oleh Abdul Gani Abdullah, Direktur Jenderal perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM. Menurut Abdul Gani Abdullah, 10 bahwa keharusan adanya pengesahan dari pemerintah, bukanlah campur tangan pemerintah, tetapi hal itu merupakan konsekuensi dari status yayasan sebagai badan hukum. Suatu badan hukum harus mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Mengenai pengesahan ini Hayati 11 berpendapat, bahwa jika memilih sistem pengesahan yayasan menjadi badan hukum, sebagaimana di negaranegara lainnya, maka pengesahan dapat dilakukan oleh Menteri Kehakiman, tetapi apabila akan memulai aktivitasnya, maka mungkin yayasan harus lebih dahulu mendapat izin dari departemen teknis dalam bidang gerak yayasan. Misalnya yayasan yang bergerak dalam bidang sosial perlu mendapat izin dari Departemen Sosial, Yayasan yang bergerak dalam lapangan pendidikan perlu mendapat izin Departemen Pendidikan dan sebagainya. Dalam jawaban pemerintah atas pemandangan umum Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat dinyatakan, bahwa sistem pemberian status badan hukum didasarkan pada pemikiran, bahwa fungsi dan peran pemerintah masih sangat diperlukan dalam pengawasan terutama mengenai tujuan pendirian yayasan. Keterlibatan pemerintah di dalam yayasan ini tidak hanya terjadi di
10 11
Ibid., hlm. 15. Hayati Suroredjo, 1990, Forum Keadilan, Op. cit., hlm. 81.
131
Indonesia, sebab di negara maju sekalipun keterlibatan pemerintah masih tetap ada. Di Amerika Serikat misalnya, semula yayasan memperoleh status badan hukum melalui undang-undang yang dibuat oleh Kongres Amerika Serikat, tetapi kemudian dalam perkembangannya status badan hukum diperoleh berdasarkan undang-undang negara bagian. Badan hukum yayasan (incorporated foundation) lebih sukar didirikan, tetapi lebih fleksibel daripada trust. Dalam batasan anggaran Dasar (charter) yang dapat sangat luas seperti “kesejahteraan
umat
manusia,”
ia
dapat
mensubsidi
atau
mengerjakan/melaksanakan berbagai program cukup dengan putusan dari Board of Trustees (Dewan Penyantun). 12 Hukum yang mengatur organisasi nirlaba (nonprofit corporations) berbeda antara berbagai yurisdiksi. Akibatnya, beberapa yayasan menjadi badan hukum di negara bagian yang berbeda dari kantor cabang utamanya (main office) dan pusat kegiatannya. Sebagai contoh negara bagian Massachussets semua surat-surat charitable corporations harus disetujui oleh Departemen Kesejahteraan Umum (The Departement of Public Welfare), membuat laporan tahunan ke Departemen ini, modalnya tidak lebih dari lima juta dollar. Negara bagian Texas tidak memberikan pembebasan pajak terhadap derma (charitable gifts) yang digunakan di luar negara Texas. Oleh karena itu, suatu Yayasan yang didirikan dengan hibah atau wasiat, harus
12
Warta Ekonomi, No. 22/Tahun II/29 Oktober 1990.
132
menggunakan dananya di dalam negara bagian, bila ingin menghindarkan pajak negara bagian tersebut. 13 Sekarang ini untuk memperoleh status badan hukum, yayasan harus memperoleh/memiliki incorporation
yang
articles
of
menyatakan
incorporation tujuan
dasar
atau dari
certificate organisasi
of dan
mengindikasikan kegiatan yang dilakukan untuk kepentingannya. Isinya berbeda dari satu negara bagian ke negara bagian yang lain. Selain itu, dipersyaratkan serangkaian aturan terpisah yang disebut anggaran rumah tangga yang merupakan gambaran detail dari struktur internal organisasi dan aturan-aturan yang mengarahkan usahanya. Di Inggris, demikian pula dengan Wales dan Skotlandia, walaupun peraturan umum (general law) masih memainkan peranan penting, tetapi administrasi badan amal di Inggris dan Wales, sebagian besar diatur oleh Undang-Undang Amal 1993, Undang-Undang Perwalian 1925, UndangUndang Investasi Perwalian 1926, Undang-Undang Amal 1985, dan UndangUndang Badan Amal 1992. Melalui undang-undang itu, wewenang untuk mengawasi administrasi organisasi amal di Inggris berada dalam komisioner badan amal (Charity Commissioners) yang di angkat oleh Sekretaris Majelis (Home Secretary). Kekuasaan tambahan berada dalam Jaksa Agung, petugas resmi, peninjau, dan badan-badan lokal. 14 Di Irlandia Utara, Charity Act 1993 tidak diperlakukan, maka yang digunakan adalah Charity Act 1964 yang memberikan kekuasaan 13 14
Chatamarrasjid, Op. cit., hlm. 36. Lester M. Salamon, 1997, Op. Cit., hlm. 322.
133
tertentu kepada Departemen Keuangan dan Kepegawaian memberikan rekomendasi kepada badan amal tertentu atau trustee. Rekomendasi tersebut kemudian dikirimkan kepada Jaksa Agung untuk menetapkannya, dan diproses jika dianggap tetap. 15 Proses untuk memperoleh pengakuan sebagai charitable trust adalah persoalan administratif dan berada di luar kontrol dari pengadilan, walaupun dalam hal terdapat keraguan apakah suatu kegiatan bersifat amal (charity) atau tidak akan diputuskan oleh pengadilan. Berdasarkan Charity Act 1960, organisasi
yang
menginginkan
charitable
status
mengajukan
permohonan/pendaftaran pada Charity Commissioners untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan. Pendaftaran
yang diterima sekaligus
memberikan charitable status kepada organisasi tersebut. Di Belanda izin dari pemerintah tetap pula diperlukan yaitu dari Menteri Kehakiman. Demikian pula di Perancis yayasan ini di bawah kontrol dari Menteri Dalam Negeri. Di Jepang, pendirian organisasi seperti itu bukanlah merupakan hak warga negara di Jepang, sebaliknya, merupakan sesuatu yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini terefleksikan dalam prinsip-prinsip hukum dari perizinan dan persetujuan yang pada intinya menganggap bahwa pendirian organisasi nirlaba mensyaratkan persetujuan khusus, dan kebijakan dari pihak berwenang, sekalipun kondisi-kondisi yang telah dirumuskan secara hukum telah terpenuhi.
15
Ibid., hlm. 325.
134
Persetujuan eksplisit dari penguasa yang berkompeten disyaratkan untuk mendirikan organisasi seperti itu. Dalam konteks ini, “penguasa yang kompeten” mengacu pada badan pemerintahan nasional, yaitu kantor perdana menteri atau menteri-menteri
yang berwenang atas aktivitas untuk
kepentingan publik dari badan hukum tertentu. Sebagai contoh, jika aktivitas untuk kepentingan publik adalah pertukaran internasional, penguasa yang kompeten adalah Kementerian Luar Negeri. Penguasa yang berwenang dalam dunia budaya, seni, dan ilmu adalah Kementerian Pendidikan, ilmu dan budaya, dan dalam dunia kesejahteraan adalah Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan, dan lain-lain. Jika badan hukum menjalankan tujuan yang berada di bawah yurisdiksi dua atau lebih lembaga, izin harus diperoleh dari masing-masing kementerian yang berwenang. Kasus seperti itu dinamakan yurisdiksi bersama (kyoken). Wewenang untuk memberikan izin mungkin diwakilkan oleh ordonansi pemerintah kepada Departemen Lokal, Gubernur Provinsi, atau Dewan Pendidikan Provinsi Pemerintah Nasional. 16 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengesahan bukan sesuatu yang berlebih-lebihan dan tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi di negara maju sekalipun pendirian badan hukum tetap memerlukan campur tangan pemerintah. Menurut Hayati, mengingat yayasan merupakan suatu badan hukum yang bertujuan sosial, dan tidak mempunyai pemilik, maka setelah pengesahan akta pendirian, perlu diumumkan dalam Tambahan Berita Negara (TBN)
16
Ibid., hlm. 201.
135
sebagai suatu pengumuman resmi. Kemudian agar betul-betul diketahui banyak orang atau masyarakat, di samping pengumuman dalam TBN perlu pula diumumkan dalam satu atau beberapa surat kabar harian yang peredarannya meliputi tingkat nasional, bukan lokal. 17 Di dalam penjelasan Pasal 23 tidak ditegaskan tentang cara penyelesaiannya jika terjadi hal demikian, tetapi hanya menyebutkan bahwa, selain sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan, pasal ini mengatur sanksi perdata dalam hal kewajiban sebagai dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 tidak terpenuhi. Jika melihat ketentuan Pasal 23 UUPT yang bersifat memaksa, maka hendaknya persyaratan pengesahan dan pendaftaran jangan dilihat sebagai perbuatan sendiri-sendiri, melainkan satu kesatuan. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar perlu ada pengaturan lebih lanjut, bahwa badan hukum yang belum menuntaskan seluruh tahapan persyaratan pendirian badan hukum, tidak boleh melakukan perbuatan hukum yang melibatkan pihak ketiga. Pendaftaran ini dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga jika belum didaftarkan maka belum mempunyai daya mengikat terhadap pihak ketiga. Berbeda dengan UUPT, kewajiban untuk melakukan pendaftaran, tidak ditemukan di dalam UU Yayasan, tetapi cukup dengan pengesahan dari Menteri (Pasal 11 Ayat (1)). Menurut Rudhi Prasetya, 18 di Belanda ketentuan yang demikian ini tercantum di dalam Pasal 36 g W.v.K. Menurut ketentuan Pasal 36 g, selama pengurus belum mendaftarkan pada pengadilan dan belum mengumumkannya 17 18
Forum Keadilan No. 25 Tahun 1990. Op. cit., hlm. 81. Rudhi Prasetya, 1995, Op. cit., hlm. 165.
136
dalam Berita Negara, maka pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi terhadap pihak ketiga untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan pengurus, dengan tidak mengenyampingkan tanggung jawab N.V. sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam batas-batas akta pendirian. Dalam ketentuan ini terkandung pengertian, bila harta kekayaan yang sudah terhimpun belum cukup untuk membayar utang PT, maka barulah mengenai kekurangannya harus dibayar lunas dengan harta kekayaan pribadi pengurus. Hal yang sama juga terjadi jika membaca ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Yayasan, sebagaimana telah dibahas pada sub bab B angka 2 halaman 63 sampai dengan halaman 64 tentang cara mendirikan yayasan setelah berlakunya Undang-Undang Yayasan. Namun demikian, terdapat perbedaan, sebab di dalam Undang-Undang Yayasan tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang kewajiban untuk mendaftar bagi yayasan yang baru didirikan. Namun dalam UUY yang baru ketentuan ini telah dihapuskan. Bahkan jika mengikuti ketentuan tentang Pendaftaran dan Pengumuman dalam UUPT yang baru, maka pendaftaran dan pengumuman ini telah menjadi tugas dari Menteri Hukum dan HAM. 19 Sistem Pengumuman dalam Tambahan Negara, adalah suatu syarat yang lazim diminta agar dapat berlaku terhadap umum. Ketentuan Pasal 25 berarti, jika ada salah seorang yang memenuhi tanggung jawabnya, maka yang lain sudah terbebas, membuat ketentuan Pasal 11 Ayat (1) menjadi kabur. Bahkan dapat dikatakan bahwa status badan hukum yang diperoleh dengan
19
Pasal 29 dan Pasal 30 UUPT No. 40 Tahun 2007.
137
pengesahan Menteri Hukum dan HAM menjadi tidak ada artinya sama sekali, tanpa pengumuman. Di
dalam
penjelasan
Pasal
25
tidak
ditegaskan
bagaimana
penyelesaiannya jika terjadi hal demikian, tetapi hanya menyebutkan bahwa, Pasal ini mengatur sanksi perdata kepada pengurus apabila tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 24, maka pengurus secara tanggung renteng atas segala tindakan hukum yang mengikat yayasan. Mungkin kelemahan ini didasari oleh pembuat UU sehingga pada revisi UUY, pasal tersebut telah dihapus. Walaupun persyaratan adanya pengumuman di dalam Berita Negara Republik Indonesia dianggap penting, sebab dengan pengumuman ini, pihak ketiga akan terikat dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum yang bersangkutan. Dengan kata lain, tanpa pengumuman, maka pihak ketiga tidak akan terikat dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum tersebut. Namun janganlah seolah-olah bahwa tanpa pengumuman, yayasan menjadi kehilangan eksistensinya sebagai yayasan, atau dengan kata lain, tahap penentuan status badan hukum bergeser dari tahap pengesahan ke tahap pengumuman. Menurut Sudargo Gautama 20 keharusan pengumuman ini adalah wajar untuk memenuhi asas publisitas. Dengan adanya asas publisitas ini, kiranya wajar jika pihak ketiga menjadi terikat dengan apa yang ditentukan dalam akta pendirian, termasuk anggaran dasarnya. Hal ini dikarenakan semua pihak 20
Sudargo Gautama, 1995, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan Terbatas (Baru) Tahun 1995 No. 1 Perbandingan dengan Peraturan Lama. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 28.
138
sebagai umum yang tidak ikut dalam akta ini, dapat mengetahui apa yang merupakan isi dari badan hukum, karena pengumuman dalam Tambahan Berita Negara yang juga adalah untuk diketahui oleh umum. Selanjutnya
dikemukakan
oleh
Soedargo
Gautama, 21
bahwa
pencantuman dari setiap akhir dari produk perundang-undangan bahwa agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara. Dengan demikian, tidak dapat dikemukakan oleh khalayak ramai, bahwa mereka tidak mengetahui isi dari badan hukum itu. Dengan adanya pengumuman dalam tambahan berita negara, maka setiap orang dianggap mengetahui menurut hukum sesuai asas “Setiap orang dianggap menurut hukum mengetahui hukum.”
C. Penyesuaian Anggaran Dasar Suatu Yayasan Berdasarkan UndangUndang
Yayasan,
dan
Kendala-Kendala
yang
Dihadapi
Dalam
Penyesuaian Anggaran Dasar Suatu Yayasan Dengan Undang-Undang Yayasan di Daerah Kabupaten Magetan, serta Upaya Dalam Mengatasi Kendala-Kendala Tersebut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
21
Ibid.
139
115; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430; serta Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UndangUndang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894) menegaskan Yayasan yang tidak pernah menyesuaikan anggaran dasarnya sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan dalam angka 20 tentang perubahan terhadap Pasal 71 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, maka Yayasan tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 undang-undang. Terhadap substansi Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 tersebut dapat ditafsirkan bahwa yayasan dalam keadaan seperti itu dapat langsung dilikuidasi tanpa ada pembubaran, yang berarti yayasan tersebut dianggap telah bubar demi hukum. Dengan demikian, terhadap yayasan tersebut dapat dipergunakan kalimat “yayasan dalam likuidasi”. Hal ini berkaitan dengan penggunaan kalimat “tidak dapat lagi menggunakan kata yayasan di depan namanya”. Meskipun begitu, agar sesuai dengan kaidah berakhirnya suatu institusi yang berbadan hukum, setiap pembubaran wajib diikuti atau ditindaklanjuti dengan likuidasi. Maka, untuk yayasan seperti tersebut di atas harus dilakukan likuidasi dan dibentuk likuidator.
140
Implementasi ketentuan-ketentuan sebagaimana terurai di atas, saat ini menimbulkan permasalahan hukum sebagaimana disebutkan di bawah ini, secara umum, berlaku untuk semua yayasan dengan maksud dan tujuan atau kegiatan apa pun. Dalam hal ini perlu diberi perhatian untuk yayasan-yayasan yang menyelenggarakan pendidikan formal dan mempunyai izin penyelenggaraan pendidikan formal yang masih berlaku, tetapi tidak berbadan hukum. Jika ketentuan yang tersebut dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132) dan angka 20 Perubahan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430) serta Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UndangUndang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894) diberlakukan sebagaimana “seharusnya” dan “maunya” aturan hukum tersebut (dengan pendekatan formal legalistik), akan banyak yayasan yang menyelenggarakan pendidikan formal (atau-pun maksud dan tujuan yang nonformal), yang masih mempunyai izin yang masih berlaku, tetapi tidak berbadan hukum, tidak dapat lagi menggunakan kata yayasan di depan namanya dan wajib dilikuidasi, maka akan banyak terjadi:
141
1. Pemutusan hubungan kerja dengan para pendidik (guru/dosen), karyawan. 2. Banyak biaya yang harus dikeluarkan yayasan (dalam likuidasi) untuk memberikan pesangon kepada guru/dosennya. 3. Peserta didik (siswa/mahasiswa) harus pindah ke sekolah/perguruan tinggi yang lain untuk melanjutkan pendidikannya. 4. Banyak biaya yang akan dikeluarkan oleh orang tua murid/siswa untuk pindah sekolah/perguruan tinggi. 5. Kepala
sekolah/rektor/direktur/ketua
yang
diangkat
yayasan
tidak
berwenang lagi melakukan tindakan hukum apa pun karena yayasan yang mengangkatnya harus bubar. 6. Sekolah/perguruan tinggi yang diselenggarakan yayasan dan yayasan harus bubar, tetapi masih menerima siswa/mahasiswa baru, akan dipermasalahkan pihak lain, dengan alasan yayasannya sudah bubar. 7. Karena yayasannya sudah bubar, kepada siapa pihak perbankan atau lembaga keuangan yang memberikan/mengucurkan kredit kepada yayasan penyelenggara pendidikan formal tersebut harus segera menagih utangnya. 8. Jika jaminan atas utang tersebut berupa sertifikat tanah dengan pemilik yayasan sendiri, dapatkah dieksekusi oleh pihak perbankan berdasarkan sertifikat hak tanggungan untuk pelunasan utangnya, padahal yayasannya sudah bubar? 9. Bagaimanakah kedudukan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh yayasan dengan pihak lain, baik yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan maupun yang lainnya?
142
10. Bagaimanakah pertanggungjawaban pembina, pengawas, dan pengurus yayasan yang masih melakukan tindakan hukum, padahal diketahui yayasannya sudah bubar? Dapatkah persoalan pertanggungjawaban pembina, pengawas, dan pengurus sebagai: a. Tindakan atau perbuatan hukum pembina, pengawas, dan pengurus tersebut sebagai ultra vires; atau b. Tindakan atau perbuatan hukum pembina, pengawas, dan pengurus tersebut sebagai zaakwaarneming; atau c. Tindakan atau perbuatan hukum pembina, pengawas, dan pengurus tersebut sebagai onrechtmatigedaad. Ada batasan secara umum jika tindakan atau perbuatan hukum pembina, pengawas, dan pengurus tersebut di atas ternyata tidak merugikan yayasan, baik secara materiil maupun imateriil dan tidak ada pihak lain yang dirugikan, baik secara materiil dan imateriil, maka perbuatan atau tindakan tersebut dapat dibenarkan dan salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak perlu diterapkan. Meskipun demikian, apa pun yang terjadi, yayasan yang tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum di atas tetap harus bubar. Dalam kaitan ini perlu dilihat dan dikaji ketentuan-ketentuan mengenai pembubaran yayasan sebagaimana tersebut pada Pasal 62 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UUY), menentukan alasan yayasan bubar, antara lain, karena: a. jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir; b. tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
143
c. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan: 1) yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan; 2) tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau 3) harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Bahwa alasan yayasan bubar, juga dapat berdasarkan alasan lain, yaitu sebagaimana tersebut dalam Pasal 71 ayat (3) UUY yang dikaitkan kedudukan yayasan tidak memenuhi prosedur yang sudah ditentukan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 ayat (2) dan (3), antara lain: (1) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, yayasan yang telah: a. didaftarkan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau b. didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya undang-undang ini yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini. (2) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian. (3) Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Ketentuan Pasal 71 UUY dapat diuraikan atau ditafsirkan sebagai berikut: 1. Pasal 73 UUY mulai berlaku satu tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. UUY diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dan mulai berlaku setahun kemudian atau pada tanggal 6 Agustus 2002. 2. Pasal 71 ayat (1) huruf b UUY, menegaskan bahwa yayasan yang didaftarkan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita
144
Negara Republik Indonesia atau didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait, agar tetap diakui sebagai badan hukum. Dalam jangka waktu lima tahun sejak berlakunya UUY, wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan UUY. 3. UUY mulai berlaku 6 Agustus 2002, masa penyesuaian anggaran dasar yayasan, yaitu lima tahun, maka berakhir 6 Agustus 2007. 4. Pasal 71 ayat (2) UUY menegaskan penyesuaian anggaran dasar yayasan wajib dilaporkan kepada menteri paling lambat satu tahun setelah penyesuaian. Jangka waktu terakhir penyesuaian 6 Agustus 2007 dan jangka waktu pelaporan terakhir 6 Agustus 2008. 5. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 71 UUY, masa penyesuaian anggaran dasar yayasan telah berakhir pada tanggal 6 Agustus 2007 dan pelaporan penyesuaian anggaran dasar yayasan juga telah berakhir pada tanggal 6 Agustus 2008. Pasal 71 UUY diubah sebagaimana tersebut dalam angka 20 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, yayasan yang: a. telah didaftarkan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau b. telah didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal undangundang ini mulai berlaku, yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini.
145
(2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini, dan mengajukan permohonan kepada menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku. (3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian. (4) Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata “yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.” Pasal II Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UUPY) menegaskan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.” Substansi kedua pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut: 1. Pasal II UUPY mulai berlaku satu tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. UUPY diundangkan 6 Oktober 2004 dan mulai berlaku 6 Oktober 2005. 2. Angka 20 UUPY menegaskan bahwa yayasan yang didaftarkan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait, maka agar tetap diakui sebagai badan hukum, dalam jangka waktu tiga tahun sejak berlakunya UUPY wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan UUPY.
146
3. UUPY mulai berlaku 6 Oktober 2005, masa penyesuaian anggaran dasar, yaitu tiga tahun, maka berakhir 6 Oktober 2008. 4. Pasal 71 ayat (2) dan (3) UUPY menegaskan penyesuaian anggaran dasar yayasan wajib dilaporkan kepada menteri paling lambat satu tahun setelah penyesuaian. 5. Jangka waktu terakhir penyesuaian 6 Oktober 2008 dan jangka waktu pelaporan hasil penyesuaian berakhir tanggal 6 Oktober 2009. 6. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 71 UUPY, masa penyesuaian anggaran dasar yayasan telah berakhir pada tanggal 6 Oktober 2008 dan jangka waktu pelaporan penyesuaian anggaran dasar akan berakhir pada tanggal 6 Oktober 2009. Dengan kata lain, yayasan yang didirikan sebelum berlakunya UUY wajib menyesuaikan anggaran dasarnya pada tanggal 6 Oktober 2008
dan melaporkan hasil
penyesuaiannya paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2009. Dalam kaitan ini patut disimak Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta Nomor 207/B/2009/PT TUN Jkt. Tanggal 17 November 2009 (meskipun putusan tersebut sekarang dalam proses kasasi), yang memutuskan, antara lain: DALAM POKOK PERKARA: 1. Mengabulkan gugatan penggugat/pembanding seluruhnya; 2. Menyatakan batal Surat Keputusan Pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-4962.AH.01.02. Tahun 2008 tertanggal 23 Desember 2008 tentang Pengesahan Akta Pendirian Yayasan Ta’mirul Masjid Kemayoran Surabaya.
147
3. Mewajibkan kepada tergugat/terbanding (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) mencabut Objek Sengketa Nomor AHU4962.AH.01.02. Tahun 2008 tertanggal 23 Desember 2008 tentang Pengesahan Akta Pendirian Yayasan Ta’mirul Masjid Kemayoran Surabaya. 4. Menghukum tergugat/terbanding I dan tergugat II intervensi/terbanding II untuk membayar ongkos perkara dalam dua tingkat peradilan, untuk peradilan banding ditetapkan sebesar Rp 250.000,00. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut diuraikan bahwa: Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang dijadikan dasar dalam permohonan penerbitan objek sengketa in litis menunjukkan bahwa penerbitan objek sengketa adalah dalam rangka penyesuaian yayasan agar sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004. Menimbang, bahwa oleh karena maksud dari permohonan pemohon untuk penyesuaian yayasan agar sebagai yayasan badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, maka seharusnya permohonan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, yaitu dalam jangka waktu paling lambat tiga tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku, yayasan wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini. Menimbang, bahwa apabila dihitung masa tenggang waktu pengajuan permohonan objek sengketa in litis tanggal 1 Desember 2008 dengan masa
148
yang ditetapkan Pasal 71 ayat (1), yaitu masa akhir penyesuaian tanggal 7 Oktober 2007, maka permohonan tersebut telah melebihi waktu atau kadaluarsa, demikian juga penerbitan objek sengketa in litis tanggal 23 Desember 2008 diterbitkan dalam kurun waktu yang tidak diperkenankan lagi oleh undang-undang. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas, dengan demikian prosedur penerbitan objek sengketa tidak sesuai dan bertentangan dengan maksud dari Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 karena haruslah dibatalkan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka ada konsekuensi hukum, yaitu yayasan yang tidak memenuhi ketentuan di atas harus mengikuti ketentuan yang tersebut dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan, yaitu: “Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) undangundang tidak dapat menggunakan kata ‘Yayasan’ di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 undang-undang.” Pasal 68 UUY berbunyi sebagai berikut: (1) Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar. (2) Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan tersebut.
149
Dengan demikian, alasan yayasan bubar secara limitatif ada enam alasan berdasarkan Pasal 62 dan Pasal 71 UUY serta angka 20 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yaitu: 1. Jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir; 2. Tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai; 3. Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan; 4. Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau 5. Harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut; 6. Tidak memenuhi Pasal 71 UUY dan angka 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Menyimak alasan-alasan yayasan bubar, perlu ditegaskan siapa yang berhak atau punya kewenangan (subjek hukum) untuk membubarkan yayasan. Jika alasan yayasan bubar sebagaimana tersebut di atas dipenuhi, apakah pembina, pengawas, pengurus yayasan, kejaksaan, atau pihak ketiga yang berkepentingan dan dalam bentuk apa? Apakah dengan/berdasarkan akta notaris atau putusan atau penetapan pengadilan? UUY dan perubahannya telah memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk
membubarkan yayasan untuk yayasan yang tidak memenuhi syarat
150
sebagaimana tersebut dalam Pasal 71 ayat (3) UUY dan Pasal 71 ayat (4) angka 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Secara terbatas hanya kewenangan seperti itu yang diberikan kepada kejaksaan, sedangkan di luar alasan yayasan bubar sebagaimana tersebut di atas, kejaksaan tidak berwenang. Dalam kaitan ini perlu ditegaskan bahwa tidak serta-merta kewenangan kejaksaan langsung berlaku untuk diterapkan ketika kejaksaan mengetahui ada yayasan yang harus bubar karena tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 71 ayat (3) UUY dan Pasal 71 ayat (4) angka 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Kejaksaan harus dapat memastikan kepentingan siapa dan kepentingan apa sehingga harus mengajukan permohonan seperti itu. Sebaiknya ada penjelasan atau alasan tertentu yang bisa dijadikan pegangan sehingga kejaksaan ketika menerapkan alasan yayasan dapat diketahui untuk siapa dan kepentingan siapa. Kalau tanpa ada kejelasan seperti itu, dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh kejaksaan. Permohonan pembubaran yayasan dengan alasan yang sama dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan (Pasal 71 ayat (3) UUY dan Pasal 71 ayat (4) angka 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan). Dengan alasan yang sama, maka pihak yang berkepentingan pun dapat mengajukan permohonan pembubaran. Akan tetapi, dalam hal ini perlu
151
diberi batasan dan dapat dibuktikan bahwa pihak yang berkepentingan tersebut sebelumnya memang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan yayasan, misalnya, mantan para pendiri yayasan. Bahwa subjek hukum dan alasan sebagaimana tersebut di atas, akan menjadi masalah jika ternyata ada yayasan yang harus bubar karena telah memenuhi syarat (Pasal 71 ayat (3) UUY dan Pasal 71 ayat (4) angka 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan). Namun, ternyata tidak ada yang mengajukan permohonan pembubaran, baik dari kejaksaan maupun dari pihak ketiga, sedangkan yayasan harus segera bubar, misalnya, agar kegiatan dan aset Yayasan untuk diserahkan kepada yayasan yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang bubar tersebut. Jika ternyata ada yayasan yang harus bubar karena alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 71 ayat (3) UUY dan Pasal 71 ayat (4) angka 20 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah terpenuhi, tetapi ternyata tidak ada permohonan ke pengadilan negeri setempat dari kejaksaan atau pihak yang berkepentingan untuk membubarkan yayasan, dalam hal ini permohonan pembubaran yayasan ke pengadilan negeri setempat sesuai domisili yayasan dapat diajukan oleh mantan pembina, pengawas, dan pengurus (secara bersama-sama) untuk mengajukan permohonan tersebut. Pengajuan permohonan pembubaran yayasan dengan alasan bahwa mantan pembina, pengawas, dan pengurus tersebut dikategorikan sebagai pihak yang
152
berkepentingan dengan yayasan. Dengan demikian, tujuan pembubaran yayasan dengan alasan tersebut di atas tetap tercapai, yaitu dengan penetapan pengadilan sebagai bentuk tertulis pembubarannya dan subjek hukum yang mengajukan permohonan pembubaran, yaitu mantan pembina, pengawas, dan pengurus yayasan sebagai pihak yang berkepentingan dengan yayasan. Khusus untuk pembubaran yayasan dengan alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 62 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UUY), antara lain, karena: a. jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir; b. tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai. Siapakah (subjek hukum) yang mengajukan pembubaran dan bentuk surat pembubaran seperti apa? Dalam Pasal 62 huruf a dan b UUY tidak disebutkan subjek hukum yang berwenang untuk membubarkan dan bentuknya surat pembubaran harus seperti apa. Substansi Pasal 62 huruf a dan b UUY dapat ditafsirkan bahwa yang berwenang untuk membubarkan yayasan dengan alasan seperti itu adalah pembina, pengawas, dan pengurus. Mengapa harus pembina, pengawas, dan pengurus? Karena pembina, pengawas, dan pengurus yang
paling
tahu
kondisi
yayasan
yang
mereka
jalankan
beserta
penyelenggaraan kegiatannya. Artinya, kondisi intern dan ekstern yayasan hanya diketahui oleh pembina, pengawas, dan pengurus. Adapun bentuk pembubarannya dengan akta notaris. Mengenai pembubaran yang tercantum dalam Pasal 62 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UUY), menentukan alasan yayasan bubar, antara lain, karena:
153
c. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan: 1) yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan; 2) tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau 3) harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melinasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Pembubaran yayasan dengan alasan tersebut dalam Pasal 62 huruf c UUY ditegaskan harus dengan putusan pengadilan (bukan penetapan). Maka, kewenangan tersebut diserahkan atau diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (sebagai penggugat) dan yayasan sebagai tergugat bahwa yayasan telah merugikan para pihak tersebut, misalnya, kegiatan yayasan sangat meresahkan masyarakat di sekitarnya atau karena yayasan sudah tidak mampu membayar utangnya atau dinyatakan pailit. Bahwa yayasan yang bubar dengan alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas wajib melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 UndangUndang Yayasan. Dalam kaitan ini perlu dicermati ada akibat hukum tertentu khusus untuk yayasan yang belum memberitahukan kepada menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang (Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
154
2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan). Bahwa batas akhir Yayasan (lama) untuk menyesuaikan diri dengan UUY telah berakhir pada tanggal 6 Oktober 2008 dan batas akhir yayasan untuk melaporkan hasil penyesuaian anggaran dasar tersebut telah berakhir pada tanggal 6 Oktober 2009 sebagaimana terurai di atas. Maka dari itu, sudah ada lagi yayasan yang tidak menggunakan kata “yayasan” di depan namanya (dan tidak ada istilah mantan yayasan) karena semua telah berakhir, tetapi sekarang yang berlaku yayasan yang seperti itu harus dilikuidasi. Bahwa dalam rangka menyelamatkan, meneruskan, atau melanjutkan satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh yayasan yang “bernasib” seperti di atas, yaitu tidak dapat lagi menggunakan yayasan di depan namanya dan harus dilikuidasi, dengan niat dan tujuan baik (khususnya, yayasan yang menyelenggarakan pendidikan formal serta demi kemaslahatan peserta didik, pendidik, dan hal lainnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan, harus kita sepakati bahwa yayasan yang “nasibnya” sebagai diuraikan di atas, harus diselamatkan), yaitu dengan cara mendirikan yayasan baru untuk meneruskan atau melanjutkan kegiatannya yang sebelumnya diselenggarakan oleh yayasan yang harus bubar tersebut. Cara seperti tersebut di atas, dapat dilakukan untuk semua yayasan, yang menyelenggarakan kegiatan yang sebelumnya dilakukan yayasan yang bersangkutan. Hal tersebut dapat dikonstruksikan sebagai berikut-jika yayasan yang selama ini: 1. telah menyelenggarakan pendidikan formal dan atau kegiatan lainnya;
155
2. khusus dalam penyelenggaraan pendidikan formal-izin penyelenggaraan pendidikan formalnya masih berlaku; 3. tetapi ternyata yayasannya tidak berbadan hukum. maka untuk menyelamatkan serta meneruskan penyelenggaraan kegiatan tersebut, para pembina, pengawas, dan pengurus (secara pribadi tidak dalam jabatannya), dan mantan pendiri (jika masid ada-untuk bukti kesejarahan yayasan tersebut), datang menghadap dan berkonsultasi dengan notaris untuk mendirikan yayasan baru dengan maksud dan tujuan, domisili yayasan dan nama yang sama dengan yayasan yang sebelumnya. Kalaupun nama tersebut telah dipakai pihak lain, diusahakan ada nama pembeda dan jika hal ini terjadi, para premisse akta pengalihan dari tim likuidator kepada yayasan baru, hal tersebut harus diuraikan. Adapun unsur dari badan hukum itu sendiri, yaitu: 1. Maksud dan tujuan yang hendak dicapai. 2. Mempunyai harta kekayaan tersendiri. 3. Mempunyai organ/pengurus. 4. Mempunyai akta pendirian. 5. Memperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang. 6. Memenuhi asas publisitas dalam berita negara dan tambahan berita negara Republik Indonesia Untuk para pendiri tersebut sebagai kekayaan awal yayasan, para pendiri wajib menyisihkan harta kekayaan pribadinya sebagai kekayaan awal yayasan dan bukan berasal dari harta kekayaan yayasan yang bubar/dilikuidasi
156
tersebut karena prinsip dari yayasan sebagai badan hukum, yaitu ada penyisihan harta kekayaan dari para pendirinya dan juga untuk menghindari tuntutan dari pihak ketiga sehingga harta kekayaan yayasan (dalam likuidasi) tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu oleh tim likuidator. Pendirian yayasan yang berasal dari yayasan yang bubar tersebut agar tidak terjadi kekosongan hukum yang cukup lama. Setelah yayasan baru didirikan, bagaimanakah izin penyelenggaraan pendidikan formal tersebut, begitupun aset atau harta kekayaan yang lainnya. Misalnya, sertifikat yang tertulis pemiliknya yayasan (lama), kemudian bangunan/gedung/rumah milik yayasan, deposito milik yayasan, termasuk utang-utang kepada pihak lainnya? Asset bisa diberikan batasan merupakan semua hak dan kewajiban dari institusi yang bersangkutan yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang dapat dijadikan milik institusi tersebut yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Secara khusus untuk yayasan yang menyelenggarakan pendidikan formal dan nonformal, berpijak pada kemaslahatan untuk dunia pendidikan, peserta didik (murid/siswa/mahasiswa), pendidik (guru/dosen), ataupun karyawan yayasan tersebut, khusus untuk yayasan yang bubar tadi yang kegiatannya berupa penyelenggaraan pendidikan formal saja atau ada penyelenggaraan
pendidikan
formal
dan
kegiatan
lainnya,
untuk
pembubarannya tidak diperlukan lagi. Maka, mantan pembina, pengawas, dan pengurus membentuk tim likuidasi dari mereka sendiri atau pihak lainnya
157
yang ditunjuk oleh mereka dan memberikan kewenangan kepada tim likuidasi untuk mengalihkan semua izin penyelenggaraan pendidikan formal dan aset yayasan yang bubar tersebut hanya kepada yayasan baru yang telah didirikan tadi (bukan kepada yayasan atau badan hukum yang lain). Izin yang dikeluarkan oleh suatu institusi yang tunduk pada ketentuan hukum publik (administrasi/tata usaha negara) sehingga ketika suatu izin tidak diperlukan lagi, maka izin wajib dikembalikan kepada institusi yang menerbitkannya dan izin tidak termasuk pada benda bergerak yang dapat diperjualbelikan. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak sedikit izin menjadi barang bergerak yang bernilai ekonomis yang dapat diperjualbelikan meskipun tidak dengan istilah “jual beli”, tetapi menggunakan istilah lain, seperti alih kelola, yang sebenarnya perbuatan hukumnya adalah jual beli izin satuan pendidikan formal. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka: 1. Pengalihan izin-izin penyelenggaraan pendidikan formal dengan akta notaris. 2. Untuk tanah-tanah yang tertulis pemegang haknya Yayasan, dapat dialihkan dalam bentuk akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan akta hibah. Dalam kaitan ini tim likuidasi diberi kewenangan untuk menghibahkan tanah-tanah tersebut kepada yayasan (baru). Penghibahan sebagaimana tersebut di atas (untuk tanah dan bukan) tanah, sudah tentu akan dikenakan pajak, baik SSB/BPHB maupun SSP. Dalam kaitan ini Menteri Keuangan-Direktorat Jenderal Pajak untuk
158
memikirkan, apakah perlu dalam kejadian seperti itu dikenakan SSB dan SSP seperti biasanya ataukah perlu diberikan potongan pajak karena kejadian tersebut bukan keinginan para pembina, pengawas, dan pengurus yayasan, melainkan keinginan pembuat undang-undang yang bersangkutan yang tidak pernah memikirkan akibat hukumnya. Oleh karena itu, Menteri Keuangan-Direktorat Jenderal Pajak perlu diajak bicara oleh Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Ikatan Notaris Indonesia (INI), dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) untuk membicarakan persoalan tersebut. Dalam penghibahan tanah yang dilakukan dengan akta hibah PPAT, maka Badan Pertanahan Nasional, khususnya kantor pertanahan agar mengetahui dan memahami persoalan tersebut, terutama berkaitan dengan balik nama (peralihan hak) dari yayasan (yang bubar) kepada Yayasan (baru) tersebut. Oleh karena itu, BPN perlu diajak bicara oleh Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Ikatan Notaris Indonesia (INI), dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) 3. Untuk bangunan/rumah/gedung (yang bukan tanah), deposito/tabungan, saham-saham dapat dialihkan dalam bentuk akta hibah dengan akta notaris kepada yayasan baru. 4. Untuk pengalihan debitur dapat dialihkan dalam bentuk akta delegatie (penggantian debitur) dengan akta notaris atau sesuai dengan tindakan hukum yayasan (dalam likuidasi) yang pernah dilakukannya.
159
Delegatie adalah pengambilalihan utang (schuldoverneming), pemindahan suatu utang dari pengutang lama kepada pengutang baru dengan
persetujuan
dari
penagih
utang
(overzetting).
Dalam
schuldoverneming ini perikatan yang lama tetap berlaku (utuh, tidak musnah) dengan penempatan debitur baru, sedangkan debitur yang lama dibebaskan dari kewajibannya karena perikatan yang lama tetap ada (berlaku), maka semua accessoir-nya tetap ada dan tidak berubah. Jadi, schuldoverneming ini merupakan suatu perjanjian yang berakibat bahwa suatu utang beralih kepada debitur baru, sedangkan kreditur tetap berhak atas segala sesuatu yang merupakan accessoiren yang lama, sedangkan debitur yang lama dibebaskan dari kewajibannya. Untuk mengadakan schuldoverneming harus ada persetujuan dari kreditur. Bahwa tindakan hukum tersebut (tidak hanya delegatie) mungkin ada tindakan hukum lainnya yang perlu diselesaikan secara cessie, novasi, dan subrogasi. Untuk menyelesaikan permasalahan seperti itu, maka pihak perbankan diajak berbicara/berdiskusi oleh Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Ikatan Notaris Indonesia (INI), dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta (IPPAT) bahwa ada kenyataan seperti itu yang dihadapi dunia perbankan atau lembaga keuangan lainnya Mekanisme pendirian yayasan baru yang berasal dari yayasan yang bubar adalah sebagai berikut: 1. Mantan pembina, pengawas, dan pengurus (serta mantan pendiri, jika masih ada) yayasan datang ke hadapan notaris untuk membuat mendirikan
160
yayasan baru dengan maksud dan tujuan serta nama dan domisili yang sama dengan yayasan yang bubar tadi. 2. Urus/selesaikan yayasan sampai memperoleh status sebagai badan hukum. 3. Mantan pembina, pengawas, dan pengurus yayasan datang ke hadapan notaris untuk membuat akta berita acara: a. Menentukan aset-aset yayasan dalam likuidasi untuk dihibahkan kepada yayasan baru. b. Penyelesaian utang-utang yayasan dalam likuidasi kepada kreditur. c. Membentuk tim likuidasi. d. Menentukan honor tim likuidasi. 4. Tim Likuidator menghadap notaris lagi untuk membuat akta: a. Mengalihkan/menyerahkan izin penyelenggaraan pendidikan formal (beserta tenaga pendidik/tenaga kependidikan/siswa/mahasiswa) juga (nonformal) kepada yayasan yang sudah berbadan hukum tadi. b. Mengalihkan/menyerahkan aset (bergerak dan tidak bergerak) kepada yayasan yang sudah berbadan hukum tadi. c. Pengalihan debitur (utang) yayasan yang bubar kepada yayasan (baru). d. Jika berkaitan dengan bidang tanah sudah terdaftar (bersertifikat) atau belum, maka dilakukan dengan hibah akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Penghibahan (tanah dan bukan tanah) sebagaimana tersebut tetap dikenakan pajak (jika terkena pajak) sebagaimana biasanya. Dengan konstruksi penyelesaian likuidasi seperti itu, maka notaris dan PPAT untuk para pihak wajib mempersiapkan akta-aktanya, antara lain:
161
1. Pendirian yayasan baru. 2. Berita acara rapat pembina, pengawas, pengurus, dan para pendiri. 3. Pengalihan/penyerahan izin penyelenggaraan pendidikan formal (beserta tenaga pendidik/tenaga kependidikan/siswa/mahasiswa) juga (nonformal) kepada yayasan baru. 4. Hibah PPAT (kepada yayasan baru). 5. Hibah notaris (kepada yayasan baru). 6. Serah terima (levering) (kepada yayasan baru). 7. Delegatie (ataupun bentuk hukum lainnya sesuai dengan tindakan hukum yang pernah dilakukan oleh yayasan dalam likuidasi tersebut). 8. Berita acara pemberesan dari likuidator. Pembentukkan tim likuidator yang tercantum dalam akta berita acara rapat tersebut sebaiknya diumumkan pada koran setempat (lokal) atau nasional dengan maksud dan tujuan jika ada pihak lain yang berkepentingan dengan yayasan yang dilikuidasi tersebut dan juga sebagai dasar hukum untuk melikuidasi yayasan. 9. Berita acara penerimaan laporan dari likuidator dan pengakhiran yayasan oleh pembina, pengawas, dan pengurus yayasan dalam likuidasi. Penerima laporan likuidator dan pengakhiran yayasan tersebut sebaiknya diumumkan pada koran setempat (lokal) atau nasional sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.