BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjian-
perjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian tersebut merupakan hukum yang harus dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Tidaklah berkelebihan jika dikatakan, bahwa selama masih tetap berlangsungnya hubungan-hubungan antara bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia ini, selama itu pula masih tetap akan selalu muncul perjanjian-perjanjian internasional.1 Globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah pula menciptakan interaksi yang intensif antara Indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antar pemerintah tetapi juga antar individu. Interaksi ini akan mengakibatkan meningkatnya persentuhanpersentuhan hukum antara Indonesia dengan negara-negara lainnya dan bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan tumpang tindih antara hukum internasional termasuk perjanjian internasional dengan hukum nasional. 2 Yang kemudian menarik untuk menjadi pembahasan lebih lanjut dan mendetail adalah terkait dengan perjanjian internasional itu sendiri. Berkaitan dengan perjanjian internasional terdapat unsur-unsur penting yang harus kita perhatikan sebagai ukuran agar suatu perjanjian internasional dapat dikatakan sempurna. Adapun unsur-unsur tersebut antara lain:3
1
Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Mandar Maju, Bandung, h. 1.
2 Damos Dumoli Agusman, 2010, Hukum Perjanjian Internasional (Kajian Teori dan Praktik Indonesia) , Refika Aditama, Bandung, h. 3. 3 Ibid, h. 14.
1
a. b. c. d. e.
kata sepakat; subyek-subyek hukum; berbentuk tertulis; obyek tertentu; tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional. Akan tetapi mengingat hukum perjanjian internasional yang mengatur perjanjian antar
negara berbeda atau diatur dalam bentuk yang berbeda dengan perjanjian antara negara dan organisasi
internasional
atau
perjanjian
antara
organisasi
internasional
dan
organisasi
internasional, akan lebih baik lagi jika pengertian perjanjian internasional tersebut di atas dibedakan menjadi dua macam.4 Selain itu kita dapat merujuk pengertian dari perjanjian internasioanl itu sendiri kepada berbagai instrumen hukum baik nasional maupun internasional. Berkaitan dengan dibedakannya dua macam perjanjian internasional, yang pertama kita dapat mengacu kepada ketentuan Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut dengan Konvensi Wina 1969) yang menyatakan sebagai berikut: “Treaty means an international agreement conclude between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever is particular designation” Yang artinya bahwa perjanjian internasional adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya. Yang kedua kita dapat pula mengacu kepada ketentuan Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional (selanjutnya disebut dengan Konvensi 1986) yang menyatakan sebagai berikut: ”Treaty means an international agreement governed by international law and conclude in written form: (i) between one or more States and one or more international organizations; or 4
Wayan Parthiana, op.cit, h. 14.
(ii) between international organizations, whether that agreement is embodied in a single instruments and whatever its particular designation.” Yang artinya bahwa Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: (i) antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau (ii) sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya. Selain pengertian yang terdapat dalam instrumen hukum internasional tersebut, secara nasional kita juga dapat menemukan pengertian dari Perjanjian Internasional dari ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut dengan UU Perjanjian Internasional) yang menjelaskan bahwa Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Kemudian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (selanjutnya disebut dengan UU Hubungan Luar Negeri) khususnya dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan pengertian Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat publik. Dari pengertian hukum tersebut, maka terdapat beberapa kriteria dasar atau parameter yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan UU Perjanjian Internasional yakni:5
5
Damos Dumoli Agusman, op.cit, h. 20.
1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international agreement), sehingga tidak mencakup perjanjian-perjanjian yang berskala nasional seperti perjanjian antarnegara bagian atau antara Pemerintah Daerah dari suatu negara nasional; 2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law), sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non subyek hukum internasional, seperti perjanjian antara negara dan perusahaan multinasional; 3. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional (government by international law) yang oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. Perjanjian-perjanjian yang tunduk pada hukum perdata nasional tidak tercakup dalam kriteria ini. Pengertian yang berkenaan dengan Perjanjian Internasional, juga dikemukakan oleh para ahli diantaranya T. May Rudy yang menjelaskan bahwa Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu.6 Sementara Wayan Parthiana membagi pengertian perjanjian internasional menjadi pengertian dalam arti luas dan arti sempit. Yang pada pokoknya menjelaskan bahwa Perjanjian Internasional merupakan kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. 7 Namun Mochtar Kusumaatmadja memberikan batasan Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan
6
T. May Rudy, 2001, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, h. 123.
7
Wayan Parthiana, op.cit, h. 12.
antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.8 Dari berbagai pengertian perjanjian internasional baik yang dijelaskan melalui instrumen hukum nasional maupun internasional, serta berbagai pendapat ahli maka unsur-unsur yang penting dan kemudian menarik untuk menjadi pembahasan adalah: a. subyek hukum yang dapat mengadakan Perjanjian Internasional; b. bentuk-bentuk dari Perjanjian Internasional. Subyek hukum yang dimaksud dalam konteks Perjanjian Internasional jika mengacu kepada pendapat para ahli dan apa yang dijelaskan dalam berbagai instrumen hukum baik nasional maupun internasional adalah subyek hukum internasional. Ian Brownlie menjelaskan bahwa subyek hukum internasional merupakan entitas yang menyandang hak-hak dan kewajibankewajiban internasional, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-haknya dengan mengajukan klaim internasional.9 Adapun subyek-subyek hukum internasional yang selama ini dikenal adalah sebagai berikut:10 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Negara; Organisasi Internasional; Tahta Suci; Organisasi Pembebasan (bangsa yang sedang berjuang); Kaum Beligerensi; Individu yang memiliki kriteria tertentu. Kemudian diantara berbagai subyek hukum internasional tersebut, jika mengacu kepada
pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Negara dan
8
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Pengantar Hukum Internasional Buku 1-Bagian Umum, Alumni, Bandung, h.
9
Ian Brownlie, 1990, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Oxford University Press, h. 5.
18.
10
F. A Whisnu Situni, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, h. 6.
Organisasi Internasional dikatakan sebagai pihak yang dapat mengadakan perjanjian internasional. Adapun alasan negara dapat menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional antara lain, bahwa negara mempunyai kedaulatan yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam batas-batas wilayahnya. Kedua bahwa negara menentukan keberadaan subyek hukum internasional lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan perkataan lain negara merupakan entitas dasar dan awal bagi terbentuknya masyarakat internasional. 11 Dalam hal ini jika mengacu kepada UU Perjanjian Internasional, dalam konteks subyek atau pihak yang dikatakan sebagai pembentuk perjanjian internasional adalah Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana yang di nyatakan dalam Pasal 4. Berkaitan dengan Organisasi Internasional sebagai pihak dalam pembentukan perjanjian internasional, hal tersebut berasal dari adanya kehendak negara-negara anggota yang dirumuskan dalam konstitusi (Constituent Treaty) suatu organisasi dan organisasi tersebut hanya dapat melakukan kegiatannya di bidang-bidang yang termasuk dalam wewenangnya. 12 . Unsur kedua yang harus diperhatikan dalam perjanjian internasional adalah bentuk-bentuk dari perjanjian internasional itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk perjanjian internasional yang dikenal antara lain:13 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Treaty Konvensi Protokol Persetujuan Arrangement Proses Verbal Statuta Deklarasi Modus Vivendi 11
Ibid, h. 7.
12 Boer Mauna, 2008, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global), PT Alumni, Bandung, h. 86. 13
T. May Rudy, op.cit, h. 123.
10. Pertukaran Nota atau Surat 11. Ketentuan Penutp (Final Act) Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang tingkatannya berbeda. Namun demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak relevan dan tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional pada dasarnya menunjukan keinginan dan maksud para pihak terkait, serta dampak politis dan hukum bagi para pihak tersebut. 14 Berdasarkan uraian diatas kemudian timbulah suatu permasalahan yakni berkaitan dengan praktik pembuatan perjanjian internasional di Indonesia yang tidak sesuai dengan berbagai ketentuan atau instrumen hukum nasional maupun internasional. Permasalahan pertama berkaitan dengan subyek atau pihak yang dapat dikatakan dapat membentuk suatu perjanjian internasional. Mengacu pada ketentuan Konvensi Wina 1969 yang dikatakan menjadi pihak atau subyek dapat mengadakan suatu perjanjian internasional adalah Negara. Sementara dalam konteks peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada UU Perjanjian Internasional yang menjadi pihak dalam pembentukan Perjanjian Internasional adalah Pemerintah Republik Indonesia. Namun jika kita menelaah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut dengan UU PEMDA) khususnya dalam Pasal 101 ayat (1) huruf f dan Pasal 154 ayat (1) huruf f yang menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah dapat mengadakan rencana Perjanjian Internasional dengan terlebih dahulu meminta pendapat dan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kota/Kabupaten terkait. Kemudian
14
Damos Dumoli Agusman, op.cit, h. 32.
dalam praktik pembentukan perjanjian internasional di Indonesia, ternyata ditemukan berbagai jenis dokumen yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah, yaitu:15 1. Memorandum Of Understanding (MOU) Kota Kembar (Sister City/ Sister Province), yang telah banyak dibuat oleh berbagai Pemerintah Daerah; 2. Perjanjian Kerjasama Teknik antara Pemerintah Daerah Aceh dengan Pemerintah Daerah Antwerpen Belgia 1984. Berdasarkan contoh dokumen perjanjian internasional tersebut, telah terjadi suatu pertentangan bahwa pemerintah daerah dapat menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional. Padahal baik dalam UU Perjanjian Internasional maupun Konvensi Internasional tidak dinyatakan bahwa pemerintah daerah dapat menjadi subyek atau pihak yang memiliki kemampuan dalam pembentukan perjanjian internasional. Yang kemudian lebih lanjut menarik adalah, berdasarkan contoh dokumen perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah daerah sampai sejauh mana kebolehan serta larangan mengenai obyek dari perjanjian internasional yang pihak atau subyeknya adalah pemerintah daerah. Hal tersebut dikarenakan tidak ada pembatasan yang jelas mengenai obyek dari perjanjian internasional itu sendiri. Terelebih yang pembentukannya diadakan oleh pemerintah daerah. Hal tersebut jelas saja dapat mengakibatkan adanya tumpang tindih antara perjanjian internasional yang sebelumnya telah di adakan oleh pemerintah pusat jika nyatanya ada perjanjian internasional baru yang di adakan oleh pemerintah daerah yang kemudian obyek atau substansi dari keduanya bertentangan atau bahkan bertolak belakang terhadap suatu bidang tertentu. Sehingga berdasarkan segala uraian diatas, penulis tertarik untuk menelusuri aspek hukum perjanjian internasional dalam konteks pemerintah daerah dalam bentuk skripsi dengan judul
15
Ibid, h. 40.
“ANALISA
YURIDIS
TENTANG
PERJANJIAN
INTERNASIONAL
YANG
PEMBENTUKANNYA DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH DAERAH“.
1.2
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan
masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan hukum pemerintah daerah dalam pembentukan perjanjian internasional ditinjau dari instrumen hukum nasional dan internasional?
2. Apakah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah dalam mengadakan perjanjian internasional?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan skripsi ini, perlu ditegaskan materi yang diatur didalamnya. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari pembahasan materi yang terlalu melebar dan pada akhirnya menyimpang dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan. Karenanya, ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Akan dibahas mengenai kedudukan pemerintah daerah dalam pembentukan perjanjian internasional sesuai dengan praktik yang terjadi di Indonesia. Adapun mengenai kedudukan pemerintah
daerah
tersebut
akan
dianalisis
melalui instrumen
hukum nasional
dan
internasional yang relevan. 2. Akan dibahas mengenai batasan dari obyek perjanjian internasional yang diadakan oleh pemerintah daerah agar nantinya tidak bertentangan dengan perjanjian internasional yang diadakan oleh pemerintah pusat (Pemerintah Republik Indonesia).
1.4
Tujuan Penulisan Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut: a. Tujuan Umum Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu: 1. Untuk lebih memahami dan memperdalam pemahaman mengenai pengaturan dalam hukum internasional terkait dengan perjanjian internasional dan sebagai sumbangan ilmu
pengetahuan bagi masyarakat tentang pentingnya perjanjian internasional bagi Negara Indonesia.
b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Untuk mengenalasis bagaimana kedudukan pemerintah daerah dalam konteks pembuatan perjanjian internasional, serta relevansinya menurut instrumen hukum nasional dan internasional 2. Untuk menganalisis bagaimana batasan obyek dari perjanjian internasional yang dapat diadakan oleh pemerintah daerah agar nantinya tidak bertentangan dengan perjanjian internasional yang diadakan oleh pemerintah pusat.
1.5
Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai hukum perjanjian internasional. Selain itu diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan ilmu hukum secara umum, khususnya di bidang hukum internasional.
b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dan ketelitian dalam lapangan hukum perjanjian
internasional. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan acuan dalam praktik-praktik
pembuatan
perjanjian
internasional dalam rangka
memajukan
Negara
Indonesia melalui perjanjian internasional yang menguntungkan dan tidak bertolak belakang dengan Undang-Undang Negara Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) dan Pancasila.
1.6
Landasan Teoritis Dalam skripsi ini penulis menggunakan beberapa landasan teori sebagai dasar untuk
mengembangkan informasi yang didapat, diantaranya: 1. Teori Pacta Sun Servanda Teori ini menjelaskan bahwa Setiap Perjanjian atau kesepakatan yang di buat oleh para pihak secara sah mengikat dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak serta menjadikan perjanjian tersebut seperti Undang-Undang bagi para pihak. 2. Teori Monisme Teori ini menjelaskan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya. 16 3. Teori Dualisme
16 J. G Starke, 2012, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, h. 96.
Teori ini menjelaskan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda secara intrinsic (intrinsically) dari hukum nasional. Karena melibatkan sejumlah besar sistem hukum domestik. 17 4. Teori Kehendak Negara Teori ini menjelaskan bahwa mengikatnya hukum internasional bukan karena kehendak Negara-negara secara sendiri-sendiri, melainkan karena kehendak Negara secara bersamasama atas dasar kepentingan bersama Negara-negara. 5. Teori Kedaulatan dan Tanggung Jawab Negara (Sovereignity and State Responsibilty) Teori ini menjelaskan bahwa tiap Negara diakui kedaulatannya untuk memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berada dalam batas-batas teritorial atau yurisdiksi Negara yang bersangkutan.18 Namun, kedaulatan atau hak pemanfaatan itu harus disertai dengan tanggung jawab, yaitu pemanfaatan itu tidak boleh menimbulkan kerugian terhadap Negara-negara lain atau wilayah-wilayah di luar batas yurisdiksi Negara itu. 19
1.7
Metode Penelitian Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan
penelitian secara ilmiah, hal tersebut berarti suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa permasalahan dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang
17 18 19
Ibid. Takdir Rahmadi, 2013, Hukum Lingkungan Di Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta, h. 14. Ibid.
timbul.20 Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi, maka diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah sebagai berikut:
a. Jenis Penelitian Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan dan ditujukan hanya pada peraturan–peraturan yang tertulis atau bahan–bahan hukum yang lain disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan, yang termasuk pada data sekunder meliputi buku–buku, buku–buku harian, surat–surat pribadi dan dokumen–dokumen resmi dari pemerintah.21 b. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendekatan Pendekatan Pendekatan Pendekatan Pendekatan Pendekatan
Kasus (the case approach). perundang-undangan (the statutory approach). Fakta (the fact approachi). analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach). Frasa (word and phrase approach). Sejarah (historical approach).
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Pendekatan Perundang-undangan (the statutory approach) 2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual approach) 3. Pendekatan Sejarah (historical approach) c. Sumber Bahan Hukum
20 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 74. 21 Philips Dillah dan Suratman, 2013, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Jakarta, h. 51.
Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif, haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 22 Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan tiga sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. 1. Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu:
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerja Sama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah Vienna Covention on The Law of Treaties 1969 (Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional) Vienna Covention on The Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986 (Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dengan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional). Vienna Covention on Diplomatic Relations 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik).
2. Sumber bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.23 3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.24
22
23
24
Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Jogjakarta, h. 51. Soerjono Soekanto, 2013, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Jakarta, h. 13. Ibid.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Sistem ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu: 1. Menggunakan kartu pengarang. Cara ini dilakukan apabila penulis telah mengetahui dengan pasti nama pengarang atau penulis dari bahan pustaka yang diketahuinya. 2. Menggunakan kartu judul. Hal ini dapat dilakukan apabila penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namun penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari. 3. Menggunakan kartu subjek. Yang dimaksud dengan kartu subjek adalah pokok bahan atau bidang ilmu yang menjadi isi dari suatu bahan. Dari subjek ini, penulis tidak perlu mengetahui nama pengarang ataupun judul dari suatu bahan pustaka. 25 Ketiga teknik pengumpulan bahan tersebut dipakai dalam penelitian ini oleh penulis dalam mengumpulkan bahan hukum baik di perpustakaan hukum, internet dan lain sebagainya. e. Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 23.
1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisiproposisi hukum atau non-hukum. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal,
penafsiran sistematis,
penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya. 2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. 3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permsalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. 4. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang berurutan secara hierarkis.