BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan migrasi manusia akhir-akhir ini telah mengalami peningkatan yang signifikan. Seiring dengan adanya arus globalisasi yang mendorong perubahan di berbagai bidang seperti teknologi, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga perpindahan manusia lintas-batas negara menjadi semakin banyak dilakukan. Alasan pendorong migrasi ada beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, dimana kebutuhan ekonomi manusia tidak terbatas sedangkan minimsnya lapangan pekerjaan di negara asal kurang mampu memfasilitasi jumlah penduduk yang ada. Selain itu, ada juga faktor sosial dan budaya yang tidak kalah penting. Keadaan sosial dan budaya yang tidak jauh berbeda antara negara tujuan dengan negara asal akan lebih menarik bagi para imigran. Sebab hal ini membuat imigran tidak terlalu sulit dalam beradaptasi dengan lingkungan baru. Misalnya saja Malaysia yang memiliki bahasa dan budaya yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia, atau Arab Saudi yang samasama negara mayoritas muslim seperti Indonesia. Ada juga faktor pribadi yang berasal dari masing-masing individu. Peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan di daerah tujuan merupakan hal yang diharapkan oleh semua orang yang melalukan migrasi. Termasuk imigran yang berasal dari Indonesia. Dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia yaitu
1
sebanyak 250 juta jiwa1, bagaimana ketersediaan lapangan kerja di Indonesia dengan pengangguran yang semakin sulit dipecahkan sehingga tak jarang masyarakat dan pemimpin bangsa menjadikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sebagai solusi. Akan tetapi hal yang masih disayangkan seringkali pengiriman tenaga kerja ini tidak diikuti dengan sistem dan mekanisme untuk memperbaiki perlindungan bagi TKI. Fenomena tersebut dapat terlihat dari meningkatnya arus migrasi dari tahun ke tahun. BNP2TKI mencatat penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke berbagai negara di dunia dari tahun 2011 hingga 2014 sebanyak 2.023.341 orang 2. Menurut Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sebanyak 588.075 orang TKI berada di Arab Saudi3. Begitu banyaknya jumlah tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi tak jarang membuat para TKI ini mengalami persoalan. Pada tahun 2013 tercatat 3.769 TKI di Arab Saudi menghadapi permasalahan4. Persoalan yang dihadapi oleh pekerja pada umumnya seputar PHK sepihak oleh majikan, gaji yang tidak dibayarkan dan perlakuan tidak manusiawi oleh majikan. Dibandingkan tahun 2012, pada tahun 2013 ini persoalan TKI di Arab Saudi menurun sebab diterapkannya moratorium dan ketatnya proses seleksi pengiriman dan penempatan TKI.
1
TKI di 3 Negara Arab ini Paling Sering Hadapi Masalah | http://bisnis.liputan6.com/read/809548/tkidi-3-negara-arab-ini-paling-sering-hadapi-masalah diakses pada 20/10/2015 jam 8.52 am 2 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI | www.bnp2tki.go.id/readfull/980/sepanjang2014-BNP2TKI-Mencatat-Penempatan-TKI-429.872-Orang diakses pada 20/10/2015 jam 2.36 am 3 Siaran Pers Nomor : 01/Humas PMK/1/2015| http://www.kemenkopmk.go.id diakses pada 20/10/2015 jam 2.58 am 4 TKI di 3 Negara Arab ini Paling Sering Hadapi Masalah | http://bisnis.liputan6.com/read/809548/tkidi-3-negara-arab-ini-paling-sering-hadapi-masalah diakses pada 20/10/2015 jam 8.52 am
2
Menanggapi hal tersebut tentu pemerintah Indonesia tidak tinggal diam, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk melindungi warga negaranya di luar negeri. Berdasarkan UU Nomor 39 tahun 2004 perlindungan TKI dijelaskan sebagai upaya untuk “melindungi kepentingan calon TKI/TKW dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum selama maupun sesudah bekerja”. Akan tetapi dalam upayanya pemerintah Indonesia juga menemui hambatan dan benturan diantaranya adalah problematika kultural, dimana di Arab Saudi umumnya TKI dianggap sebagai budak.Hal ini menimbulkan adanya eksploitasi terhadap TKI tanpa mengindahkan hak-hak TKI tersebut. Salah satu hak TKI yang acap kali menimbulkan permasalahan adalah upah. Besarnya upah yang diterima dianggap terlalu kecil jika dibandingkan dengan beban pekerjaan yang harus ditanggung. Bahkan terkadang upah yang seharusnya dibayarkan tidak diberikan sebagaimana semestinya. Budaya di Arab Saudi berpandangan bahwa budak merupakan hak majikan sepenuhnya, sehingga bagaimana cara memperlakukannya juga menjadi urusan pribadi masing-masing majikan. Selain kendala dalam hal perbedaan pandangan budaya, ada juga hambatan dalam hal hukum. Antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi belum ada pernjanjian atau MoU Ketenagakerjaan.Dalam prinsip hukum internasional, suatu negara berdaulat dilarang melakukan tindakan yang bersifat pelaksanaan kedaulatah terhadap negara berdaulat lainnya. Oleh sebab itu Indonesia tidak bisa memberlakukan hukumnya di negara lain, termasuk Arab Saudi.
3
Di tengah sistem kapitalisme dan neoliberalisme sendiri hambatan bagi Indonesia untuk memperjuangkan keadilan bagi para pekerjanya semakin kompleks. Potensi sumber daya alam yang seharusnya dapat dimaksimalkan oleh negara untuk mencukupi kebutuhan warga negaranya justru semakin terkikis oleh kerakusan perusahaan berskala multinasional dan transnasional ataupun skala nasional semakin memperparah nasib buruh. Dimana operasional perusahaan-perusahaan besar tersebut melekat sekali dengan image “eksploitasi buruh”. Dilihat dari segi pemerintah Indonesia, menurut BPK yang dikutip dari News Letter Migrant CARE pada tahun 2011, BPK menekankan bahwa kedua lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk mengurusi TKI tidak benar-benar menjalankan tugas utama mereka dalam melindungi dan menjamin keselamatan TKI yang bekerja di luar ngeeri sesuai hak-hak dasar mereka.
5
Penyelesaian dan penanganan TKI
bermasalah di luar negeri masih bersifat parsial, pemerintah Indonesia juga tidak memiliki kebijakan tegas dan sistem yang terintegrasi sehingga tidak mendukung penyiapan tenaga kerja yang legal dan prosedural. Dalam penempatannya data yang dimiliki juga tidak akurat dan menyebabkan semakin kesulitan dalam upaya perlindungan TKI. Pemberangkatan TKI seharusnya disertai dengan dokumen dan data-data yang resmi dari pemerintah Indonesia. Hal ini diperlukan untuk mempermudah apabila terjadi masalah yang tidak diduga. Sebab banyak kasus TKI yang terhambat dan tidak dapat ditangani oleh pemerintah Indonesia akibat dari tidak adanya dokumen5
News Letter Migrant CARE edisi Mei-Juni 2011 hal. 6
4
dokumen tersebut. Misalnya saja pada kasus penyiksaan Kokom binti Bama, TKI asal Jawa Barat di Arab Saudi pada tahun 2014 lalu. Kokom merupakan tenaga kerja yang statusnya ilegal dan pekerjaannya berpindah-pindah setelah melarikan diri dari majikan pertamanya. Menurut data dari Kementrian Luar Negeri menyebutkan sejak 2011 hingga awal 2014 ada kurang lebih 249 WNI yang terancam hukuman mati, termasuk 20 kasus terakhir pada awal tahun 2014 6. Permasalahan yang timbul selain karena faktor perlakuan majikan, kasuskasus TKI yang bermunculan juga disebabkan karena kurangnya persiapan yang dilakukan sebelum keberangkatan dan penempatan TKI sendiri. Pemberangkatan TKI hendaknya dibekali oleh keterampilan, persiapan dan pelatihan kompetensi tertentu. Misalnya saja kemampuan bahasa setempat maupun bahasa internasional, pengenalan budaya adat istiadat dan kebiasaan hidup sehari-hari, keterampilan dalam menggunakan tekhnologi, peraturan, hukum negara, etika saat dalam lingkungan kerja dan sebagainya. Pengetahuan umum mengenai keadaan politik negara tujuan juga mungkin diperlukan seperti informasi yang berkaitan dengan hubungan bilateral antara negara asal dengan negara tujuan. Hal ini akan meminimalisir terjadinya masalah-masalah yang tidak diinginkan. Pemerintah selayaknya juga memberlakukan seleksi yang ketat sebelum keberangkatan sehingga TKI yang diberangkatkan adalah TKI yang memang benar-benar siap secara fisik dan juga mental.
6
TKI Satinah Menunggu Hukuman Mati di Saudi | http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/02/140211_nasib_tki_satinah_mati diakses pada jam 9.40
5
Semakin maraknya kasus TKI yang semakin hari semakin bertambah mendorong munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia yang bergerak memperjuangkan hak-hak para buruh migran. Contohnya adalah Migrant CARE di Indonesia yang memiliki fokus dalam memperjuangkan dan memproteksi nasib para buruh migran. Migrant CARE mulai didirikan pada tahun 2004 dan bertujuan untuk memperkuat perlindungan atas hak-hak pekerja migran melalui program-programnya. Upaya perlindungan tersebut diwujudkan dengan memberikan advokasi bagi pekerja migran sera membangun jaringan, khususnya di kawasan Asia Tenggara7. Tidak hanya di lingkungan internasional, Migrant CARE juga bekerjasama dengan sejumlah lembaga pemerintah. Pada tahun 2007 Migrant CARE menandatangani MoU dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan untuk program pengawasan pelayanan publik bagi perempuan pekerja migran8. B. Rumusan Masalah Bagaimana upaya Migrant CARE dalam mendorong penyelesaian kasus TKI yang bermasalah di Arab Saudi pada tahun 2013-2015? C. Kerangka Pemikiran Konsep Non-Government Organization (NGO)
7
Migrant CARE, Profile | http://www.mampu.or.id/en/partner/migrant-CARE diakses pada 20/10/2015 8 Ibid
6
Non-government Organization, sering disingkat dengan NGO atau dikenal juga
dengan istilah LSM (Lembaga
Swadaya
Masyarakat) adalah suatu
perkumpulan/lembaga yang bersifat non pemerintah, non profit, volunteering, berkelanjutan, dermawan dan alturuistik9. Karakteristik utama yang mendasar dari NGO adalah independen dari kontrol negara. Maksud dari non-pemerintah disini adalah NGO membuat keputusannya secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah. Dalam menjalankan programnya sebuah NGO tidak diperbolehkan mengambil keuntungan apapun bagi para anggotanya untuk kepentingan pribadi. NGO bersifat sukarela yang artinya dalam keanggotaannya harus benar-benar karena keinginan pribadi untuk berpartisipasi tanpa ada paksaan. NGO juga harus memiliki program yang berkelanjutan tidak hanya sementara waktu. Sebuah NGO tidak memiliki prospek dalam mendapatkan pembayaran, jutru anggota NGO lah yang seharusnya menggalang dana untuk berlangsungnya kegiatan mereka dari berbagai sumber. Altruistik maksudnya adalah tujuan NGO semata-mata untuk kepentingan orang lain atau masyarakat secara umum10. NGO dapat menjadi pengawas terhadap berlangsungnya pemerintahan, sebab NGO memiliki kemampuan untuk menghimpun massa atau menjadi wakil dari jutaan orang yang mempunyai kepentingan yang sama namun tidak memiliki kekuatan politik. Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara NGO dengan masyarakat cukup dekat. Mereka memiliki point of view yang sama seperti masyarakat sebab
9
Salamon dan Anheier (1994) http://www.ngo.org/ngoinfo/define.html
10
7
mereka melihat sendiri bagaimana keadaan dan penderitaan yang dirasakan masyarakat. Hal ini membuat NGO memiliki peran dalam membantu pemerintahan suatu negara untuk menyelesaikan problem yang dihadapi. Menurut Philip Eldridge, NGO dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan jaraknya dengan pemerintah yaitu high level partnership, high level politics dan empowerment at the grassroot. NGO yang masuk dalam kategori high level partnership adalah NGO yang prinsipnya partisipatif dan kegiatannya lebih diutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan daripada yang bersifat advokasi. Ruang gerak NGO ini tidak bersinggungan dengan proses politik namun memiliki tujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kemudian NGO yang masuk dalam kategori high level politics adalah NGO yang cenderung aktif dalam kegiatan politik dan menempatkan perannya sebagai pembela masyarakat. NGO kategori ini bersifat advokatif terutama dalam memobilisasi massa untuk mendapatkan tempat dalam kehidupan politik. Dan yang terakhir adalah kategori empowerment at the grassroot, dimana LSM ini memiliki fokus pada peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat akan hak-haknya, NGO ini memiliki prinsip bahwa perubahan akan muncul sebagai akibat dari meningkatnya kapasitas masyarakat. 11 David Corten membagi NGO menjadi 2 kategori yaitu NGO yang bergerak dalam bidang community development, yaitu NGO yang menggunakan pendekatan mikro dalam memecahkan persoalan sosial. Pada kategori ini biasanya LSM melakukan pendampingan pada proyek-proyek pengembangan sosial ekonomi di 11
Bahan ajar kuliah Kajian Lembaga Swadaya Masyarakat – Ade Ma’rup Wirasenjaya (2015)
8
pedesaan. Dan yang kedua adalah NGO advokasi, yakni NGO yang memiliki pemikiran bahwa untuk merubah tatanan masyarakat yang adil maka tekanan harus diberikan pada kebijakan sehingga LSM jenis ini berusaha untuk mengubah kebijakan yang menyebabkan ketidakadilan.12 D. Hipotesis Upaya Migrant CARE dalam mendorong penyelesaian kasus TKI di Arab Saudi melalui dua cara. Pertama, Migrant CARE melakukan mobilisasi massa, yaitu dapat menggerakkan massa untuk terlibat dan berpartisipasi dalam isu perlindungan TKI. Kedua, Migrant CARE melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan undang-undang untuk mewujudkan keadilan bagi tenaga kerja migran. E. Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian dalam penulisan skripsi ini meliputi kasus para tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negri khususnya Arab Saudi dan peran serta Migrant CARE dalam mendorong pemerintah untuk menyelesaian kasus tersebut pada tahun 2013-2015. Namun tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk mengambil data dan fakta pada tahun sebelumnya. F. Metode Pengumpulan Data Penulis menggunakan metode pengumpulan data yang bersifat studi pustaka untuk lebih mengakuratkan penelitian dari sisi keilmuan. Metode ini dilaksanakan dengan topik permasalahan yang diangkat melalui penelitian terhadap buku, tulisan, 12
Ibid
9
artikel skripsi sebelumnya. Penulis juga mencari data yang relevan yang bersumber dari media elektronik yang reliable. G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini secara sistemaatis berdasarkan kaidah yang berlaku dalam penulisan ilmiah dibagi dalam beberapa bab dengan pembagian pembahasan dalam wilayahhnya sendiri namun saling berkaitan. Yang terdiri dari : Bab I
Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan, rumusan masalah, kerangka pemikiran, hipotesis, jangkauan penelitian, metode pengumpulan data dan sistematika penulisan.
Bab II
Berisi mengenai perkembangan isu buruh migran di Indonesia dan Migrant CARE sejak berdirinya dan program kerjanya.
Bab III
Bab ini akan memaparkan tentang perlindungan buruh migran dan permasalahan tenaga kerja migran di luar negeri.
Bab IV
Berisi tentang upaya advokasi yang dilakukan Migrant CARE terhadap kasus TKI di Arab Saudi
Bab V
Pemaparan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya
10