BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di abad milenium seperti sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, hal ini ditandai dengan peradapan manusia yang telah mengalami pergeseran yang signifikan dalam berbagai bidang (sosial, budaya, pendidikan, ekonomi,
agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi). Dengan
peradapan dunia yang semakin pesat pengaruhnya, dirasakan di Indonesia yaitu dengan lahirnya globalisasi. Globalisasi adalah sebuah sistem yang mendunia, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik ekonomi, politik, budaya, dan tentu didalamnya termasuk juga pendidikan.1 Umat islam dalam melihat realitas tersebut harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan global tersebut. Guna menyelaraskan dengan tuntutan zaman, transformasi (perubahan) sosial umat islam tentunya harus tetap dalam bingkai Islam. Maka agama harus mampu menjawab persoalanpersoalan yang muncul. Relevansi terhadap penafsiran agama dalam merespon perubahan dunia yang begitu dahsyat menjadi sebuah tuntutan. Agama yang kehilangan kemampuan untuk merespon secara kreatif perubahan sosial, kerap menampakkan wajah fundamentalistiknya. Jika agama gagal membangun umatnya, maka agama akan memasung pengikutnya pada lembah kebingungan, kefrustasian, dan pada akhirnya memunculkan reaksi konflik dan kekerasan. 1
Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif Pergulatan Kritis Merumuskan Penddikan di Tengah Pusaran Arus Glibalisasi, (Yogyakarta: TERAS, 2010), hlm. 13-15.
1
2
Dengan kata lain, kesulitan dalam mengatasi perubahan sosial dapat menyebabkan agama kehilangan pengaruh dan relevansinya.2 Menurut Kuntowijoyo, pemahaman terhadap ajaran islam, lebih khusus lagi pada aspek teologi memerlukan penafsiran-penafsiran baru dalam rangka memahami realitas yang senantiasa berubah. Usaha melakukan reorientasi pemahaman keagamaan, baik secara individual maupun kolektif adalah untuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan.3 Tafsir baru dalam memahami realitas ini dapat dilakukan dengan cara mengelaborasi ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Ini dipilih karena akan mampu merekayasa perubahan sosial melalui bahasa yang obyektif dan lebih menekankan bahwa bidang garapannya lebih bersifat empiris, historis dan temporal. Ruang lingkup dari teori ini adalah pada rekayasa untuk transformasi soaial. Maka muncullah konsep ilmu sosial yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo, yaitu Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP ialah ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Semangat itulah yang dituangkan kembali oleh Kuntowijoyo dalam konsep pendidikan profetik. Menurut Kunto, Islam perlu dipahami sebagai dan dalam kerangka ilmu. Sebab, pola keilmuan akan lebih menjanjikan sifat yang obyektif, faktual dan terbuka. Sehingga, lewat kerangka ilmu itu, terutama 2
Mun’im A. Sirry, Membendam Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 124. 3
287.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,(Bandung: Mizan, 1996), hlm.
3
yang empiris, umat Islam akan lebih bisa memahami relitas sebagaimana AlQur’an memahaminya. Dengan cara itu, umat akan dapat melakukan transformasi sosial berdasarkan cita-cita dan profetik searah yang ditunjuk AlQur’an, yaitu humanisasi, liberasi, dan transdensi. Humanisasi
yang
dimaksud
adalah
memanusiakan
manusia,
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Liberasi (dalam bahasa Latin liberrare berarti memerdekakan) artinya pembebasan, semuanya dengan konotasi yang mempunyai signifikansi sosial. Tujuan dari liberasi adalah pembebasan dari kekejaman, kemiskinan, struktural, keangkuhan teknologi. Transendensi (dalam bahasa Latin trascendere berarti naik ke atas; bahasa Inggris “to trascend” ialah menembus, melewati, melampaui) artinya perjalanan di atas atau di luar.4 Tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan.kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materialisme. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yakni membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi trasnsendensi yang manjadi bagian sah dan fitrah kemanusiaan.5 Maka dalam sisi pendidikan, 3 hal dasar utama tersebut menjadi paradigma
dalam
mengembangkan
sistem
pendidikan
di
Indonesia.
Pengembangan tersebut hingga pada dataran penyelenggaraan pendidikan di kelas. Selain itu, pendidikan profetik juga sekaligus menghadirkan paradigma
4
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hlm .98-99. 5
Ibid., hlm. 87-88.
4
pendidikan baru yang mampu melahirkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat
pinggiran,
menumbuhkan
pendidikan
yang
berjati
diri
keindonesiaan dan beriringan dengan kontekstual kehidupan masyarakat. Kuntowijoyo menjelaskan dengan humanisasi, Islam menekankan pentingnya memanusiakan dalam proses perubahan. Sedangkan dengan liberasi, Islam mendorong gerakan pembebasan terhadap segala bentuk determenasi kultural dan struktural seperti kemiskinan, kebodohan. Dan dengan transdensi, perubahan dicoba diberi sentuhan yang lebih maknawi, yaitu perubahan yang tetap berada dalam bingkai kemanusian dan ketuhanan. Maka didalam pendidikan profetik, pendidikan tidak hanya dilakukan untuk mengejar standar kompetensi dan tujuan didalam kurikulum saja. Siswa dalam setiap
sesi
mata
pelajaran
harus
diajak
berdialog,
berdiskusi
dan
mengkontekskan apa yang sedang dibahas dalam mata pelajaran tersebut dengan realitas sosial yang sedang terjadi. Sehingga siswa memiliki wawasan dan pengetahuan akan kondisi masyarakat dan lingkungan tempat ia berada selama ini. Melalui penerapan pendidikan profetik out put yang diharapkan, yaitu mencetak generasi-generasi muda Islam yang memiliki dan memahami jati dirinya sebagai Muslim. Kemudian siswa diarahkan dan diajak berdiskusi, berdialog dan berfikir tentang realitas sosial, hingga ia mampu memiliki sence of belonging akan masalah sosial yang muncul. Maka dengan keberislamannya ia pun sadar bahwa Islam yang ia pilih merupakan sebuah petunjuk, arahan dan solusi akan masalah sosial yang ia hadapi di lapangan.
5
Munculnya generasi-generasi muda Islam tersebut seharusnya menjadi target besar umat Islam saat ini. Karena pendidikan Islam tidak lagi dalam posisi sekedar mengekor, mengikuti atau memenuhi kebutuhan zaman ini. Akan tetapi pendidikan Islam harus mampu menciptakan mainstream dan tren mode bagaimana pendidikan itu berjalan. Maka pendidikan profetik merupakan salah satu solusi dalam merekontruksi bagi pendidikan Indonesia saat ini yang sedang kehilangan arah dan tidak memiliki jati diri keindonesiannya. Upaya menanamkan dan memupuk nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi akan lebih efektif dilakukan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan tidak akan pernah lepas dari penanaman nilai-nilai, guna membentuk profil manusia yang dewasa dalam pola pikir, sikap, dan tingkah laku serta berakhlakul karimah. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Prof. Ahmad Tafsir bahwa tugas pendidikan termasuk pendidikan di sekolah yang paling utama adalah menanamkan nilai-nilai.6 Masa depan bangsa terletak dalam tangan generasi muda. Mutu bangsa di kemudian hari tergantung pada pendidikan yang diperoleh oleh anak anak sekarang, terutama melalui pendidikan formal yang diterima di sekolah. Apa yang akan dicapai di sekolah, ditentukan oleh kurikulum sekolah itu. Jadi barangsiapa yang menguasai kurikulum memegang nasib bangsa dan negara kedepannya. Maka dapat dipahami bahwa kurikulum sebagai alat yang begitu vital bagi perkembangan bangsa dipegang oleh pemerintah suatu negara. Para guru atau pengajar harus pula memahami seluk beluk kurikulum hingga batas6
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam; Integrasi Jasmani, Memanusiakan Manusia, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008), hlm. 49.
Rohan,
Kalbu
6
batas tertentu dalam skala mikro. Selain itu, guru diharapkan mampu mengembangkan kurikulum bagi kelas.7 Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberi pemahaman tentang pengalaman belajar yang dimiliki setiap siswa.8 Kurikulum yang dianggap lebih bermakna ialah bila bahan pelajaran dihubungkan atau didasarkan atas pengalaman anak dalam kehidupan sehari hari, misalnya bila dibicarakan yang nyata, seperti masalah kesehatan, kecelakaan lalu lintas dan sebainya.9 Kurikulum sebagai acuan atau progam untuk mencapai tujuan pendidikan
berpengaruh
besar
dalam
membentuk
output
pendidikan
berkualitas. Begitu juga nilai-nilai yang tertanam dalam peserta didik juga bergantung pada nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum yang menjadi acuan. Terlebih lagi berbicara tentang Pendidikan Agama Islam, dimana penanaman nilai-nilai menjadi suatu hal yang dominan, yang akan berefek pada aspek afektif dan psikomotor sebagai wujud nyata dalam diri peserta didik.
7
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm.1.
8
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran,(Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2011), hlm. 31. 9
S. Nasution, Op. cit. , hlm. 231.
7
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis konsep nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo kemudian bagaimana relevansinya terhadap kurikulum PAI. Yang dimaksud kurikulum PAI di sini adalah kurikulum PAI di sekolah dasar. Penulis memilih sekolah dasar karena sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang sangat penting keberadaannya karena tanpa menyelesaikan pendidikan dasar pada sekolah dasar secara formal seseorang
tidak
mungkin
dapat
melanjutkan
pendidikan
di
SLTP.
Ditemukannya relevansi dari nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo terhadap kurikulum PAI di sekolah dasar ini diharapkan dapat menjadi sebuah alternatif bagi pengembangan kurikulum di sekolah dasar pada masa depan.
B. Rumusan Masalah dan Penegasan Istilah Dari latar belakang masalah yang penulis paparkan diatas, maka bisa diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep nilai-nilai profetik menurut Kuntowijoyo? 2. Bagaimana relevansi nilai-nilai profetik dalam kurikulum PAI di sekolah dasar ? Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan untuk menghindari kesalahpahaman, maka perlu adanya penegasan istilah. Adapun istilah-istilah yang dipandang perlu mendapatkan penegasan adalah: 1. Relevansi adalah sesuatu yang mempunyai kecocokan atau saling berhubungan.10 2. Nilai adalah banyaknya isi, kadar, mutu.11 10
J.S. Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2007), hlm. 149.
8
3. Profetik, berasal dari bahasa Inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi.12 4. Kurikulum adalah kegiatan belajar yang direncanakan dan diprogramkan bagi peserta didik dibawah bimbingan sekolah baik di dalam maupun diluar sekolah.13 5. Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum
Islam
menuju
kepada
terbentuknya
kepribadian utama hukum Islam.14
C. Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep Nilai-nilai Profetik. 2. Untuk mengetahui pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-nilai profetik dan bagaimana relevansinya terhadap Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur pendidikan Islam, terutama dalam hal pemikiran tokoh pendidikan Islam
11
Tim Penyusun Kamus Pusat dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 281. 12
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, ( Bandung: Mizan, 2001), hlm. 357.
13
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 15. 14
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Aj Ma’arif, 1986), hlm. 23.
9
b. Penelitian ini dapat menambah wawasan penulis mengenai tokoh Kuntowijoyo dan pemikirannya mengenai Nilai-nilai Profetik. 2. Kegunaan Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesadaran kepada pembaca akan pentingnya nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo. b. Dapat dijadikan inspirasi bagi praktisi-praktisi pendidikan Islam untuk lebih meningkatkan kualitas dalam hal pengembangan kurikulum PAI di Sekolah Dasar berdasarkan nilai-nilai profetik.
E. Kerangka Teori 1. Analisis Teori Di dalam buku yang berjudul Islam Sebagai Ilmu : Epistemologi, Metodologi, dan Etika menerangkan bahwa nilai-nilai profetik menurut Kuntowijoyo memuat 3 hal yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi yang diderivikasi dari kandungan surat Ali Imron ayat 110. 15 Ketiga unsur profetik ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga nilai terebut berhubungan dengan masalah sosial, artinya lebih menekankan pada aspek interaksi dengan sesama manusia. Hal ini tidak lepas dari ide-ide Kuntowijoyo yang banyak memperbincangkan persoalan sosial umat Islam. Selanjutnya, Kuntowijoyo dalam buku yang berjudul Paradigma Islam: Interprestasi untuk Aksi menyatakan bahwa gagasan pendidikan
15
Kuntowijoyo, Islam Sebagai..., hlm. 87.
10
berparadigma profetik layak untuk ditawarkan sebagai solusi pendidikan islam dimasa sekarang dan di masa yang kan datang. 16 Dalam bukunya Moh. Shofan, Pendidikan berparadigma profetik; upaya konstruktif membongkar dikotomi sistem pendidikan Islam, bahwa konseptualisasi pilar-pilar ilmu sosial profetik pada dasarnya berangkat dari paradigma pendidikan yang berusaha melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang konsen terhadap nilai-nilai moral dan religius dengan sistem pendidikan modern yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dualisme sistem pendidikan yang dikotomis yang dalam konteks Indonesia merupakan dua sisi diametrikal antara pendidikan ala barat yang dinasionalisasi dan pendidikan ala timur yang sudah secara historis telah ada sejak nenek moyang. Pendidikan profetik dapat dikembangkan dalam tiga dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.17 Buku berjudul Pendidikan
Profetik yang ditulis oleh Khoiron
Rosyadi menerangkan bahwa pendidikan harus kembali pada misi profetik, yaitu memanusiakan manusia, yang dalam terminologi islam sering disebut sebagai insan kamil, syumul, dan manusia taqwa.18 Jurnal yang ditulis Moh. Ikmal (Dosen Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan STKIP PGRI Sumenep) dengan judul Integrasi
16
Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm. 230.
17
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam.(Yogyakarta:IrcIsod, 2004) , hlm. 76. 18
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 306.
11
Pendidikan Profetik (Mengurai Tradisi dan Implemintasi Dalam Sistem Pendidikan Indonesia) ia menyatakan, ada beberapa aspek penting dari proses implementasi pendidikan profetik adalah; pertama, mengubah mindset bagi semua pihak. Kepala sekolah dan guru harus mampu menjadi pelaksana pendidikan yang sebenarnya, sebagaimana para nabi atau rasul menjalankan tugas-tugasnya. Mereka harus sadar bahwa tatkala dirinya sebagai seorang guru atau pendidik, maka perannya tidak ubahnya sebagaimana seorang rasul, yaitu sebagai uswah hasanah tatkala sedang di mana saja. Agar tugas-tugas itu bisa ditunaikan secara maksimal, maka kepala
sekolah
dan
guru
seharusnya
diberi
kebebasan
untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai yang dipandang benar dan luhur. Kedua, pendekatan legal formal yang memuat standart nilai-nilai dan diakui bersama sebagai kekuatan pengikat, serta penanaman nilai yang terintegrasi dalam setiap kurikulum. Dengan demikian pendidikan senantiasa dijalankan atas dasar tuntutan nurani para pengelola pendidikan dan memperhatikan nilai moralitasnya.19 Di samping itu, beberapa hasil penelitian telah beberapa penulis temukan, antara lain; Pertama, Integrasi Ilmu dan Agama Menurut Isma’il Raji Alfaruqi dan Kuntowijoyo (studi perbandingan). Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta, ditulis oleh Muhammad Solikhin. Dalam skripsi ini dijelaskan konsep Integrasi ilmu dan agama menurut kedua
19
Moh. Ikmal, “Integrasi Pendidikan Profetik; Mengurai Tradisi dan Implementasi dalam Sistem Pendidikan Indonesia”, (Jurnal Pelopor Pendidikan,Volume 4, Nomor 1, Januari 2013).
12
tokoh pemikir Islam di atas, kemudian membandingkan pemikiran keduanya.20 Kedua, Prinsip-prinsip Tahapan Pendidikan Profetik dalam al Qur’an. Tesis UIN Sunan Kalijaga, ditulis oleh Ahmad Nurrohim. Dalam tesis ini mengkaji konsep pendidikan dalam al Qur’an dengan didekatkan pada masa kenabian Muhammad. Artinya prosesi pengutusan Muhammad dan transformasi yang dilakukannya menjadi titik tolak pola pendidikan al Qur’an, atau dalam bahasa lain, penelitian ini mencoba meniliti konsep dan praktik pendidikan yang dilakukan Nabi dari perspektif al Qur’an.21 Ketiga, Pengembangan Pendidikan Islam Berbasis Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo. Disertasi UIN Sunan Kalijaga, ditulis oleh Lutfiah. Dijelaskan dalam disertasinya, bahwa Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo memiliki relevansi dan keterkaitan langsung dengan pendidikan Islam. Mengingat nilai humanisasi berusaha untuk membentuk pribadi seseorang sebagai manusia yang sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia mendapat pendidikan. Maka pendidikan hendaknya diselenggarakan dalam kondisi yang humanis, berkaitan dengan pembentukan sikap, akhlak dan kepribadian seseorang. Relevansi liberasi juga erat kaitannya dengan pendidikan. Karena di dalamnya mengandung pembebasan, sementara pendidikanpun menuntut pembebasan untuk dapat membuka cakrawala
20
Muhammad Solihin, “ Integrasi Ilmu dan Agama Menurut Isma’il Raji Alfaruqi Dan Kuntowijoyo (studi perbandingan)”, Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta,(Surakarta: Perpustakaan Universitas Muhamadiyah, 2009). 21
Ahmad Nurrohim, “Prinsip-prinsip Tahapan Pendidikan Profetik dalam al Qur’an” , Tesis UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2011) .
13
pemikiran. Sedangkan transendensi dalam proses pendidikan, diartikan sebagai kesadaran diri untuk berusaha mencapai derajat yang lebih tinggi dan lebih baik. Senada dengan itu, pencapaian yang lebih baik juga diharapkan dengan penerapan ketiga nilai Ilmu Sosial Profetik ke dalam Pendidikan Islam, yang akan melahirkan pendidikan Islam Profetis. 22 Melalui Pendidikan Islam Profetik, diharapkan pendidikan Islam tidak sekedar menekankan pengetahuan tekstual belaka, tetapi kontekstual dan transformatif, yang mampu mengkondisikan agar pemberdayaan potensi dasar manusia dan masyarakat menjadi lebih mengalami peningkatan kualitas sekaligus adaptif terhadap perkembangan lingkungan dan tuntutan global, sehingga tidak terasing dari kemajuan peradaban. Judul penelitian yang penulis tawarkan mempunyai perbedaan yang cukup mendasar pada beberapa hal yang dibahas dalam penelitianpenelitian terdahulu yang penulis paparkan di atas. Setidaknya di STAIN Pekalongan sendiri, sepanjang yang penulis ketahui melalui searching terhadap data skripsi mahasiswa, belum ada penelitian yang membahas mengenai nilai nilai profetik dan relevansinya bagi kurikulum PAI. Padahal menurut penulis, tema ini merupakan tema yang sangat penting dikaji oleh mahasiswa tarbiyah. Oleh sebab itu, penulis berpendapat judul ini mempunyai posisi tersendiri dalam kajian pemikiran pendidikan Islam apabila dikaji lebih dalam. 22
Lutfiah, “Pengembangan Pendidikan Islam Berbasis Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo”, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2013).
14
2. Kerangka Berpikir Istilah profetik sebetulnya telah diperkenalkan oleh Muhammad Iqbal melalui konsep etika profetik, yang menyatakan bahwa Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggungjawab sosial. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang dijalankan seorang Nabi tidak pernah terlena, ia datang dengan membawa cita-cita perubahan dan semangat revolusioner.23 Kata profetik dalam term keilmuan sudah diperkenalkan pula oleh Kuntowijoyo melalui konsep Ilmu Sosial Profetik. Bagi Kuntowijoyo, ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan untuk siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik bukan hanya sekedar mengubah berdasarkan cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini, ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita yang diidamkan masyarakatnya.24 Pendidikan merupakan pilar terpenting bagi kebangkitan dan kemajuan suatu bangsa dimanapun bangsa tesebut berada. Tanpa pendidikan mustahil manusia dapat mengembangkan diri menjadi insan intelektual dan berperadaban. Pendidikan pulalah yang pada akhirnya dapat menentukan peningkatan harkat dan martabat seorang manusia, sehingga menjadi insan yang semakin terdidik artinya lebih memiliki
23
Muhamad Iqbal, Membangun Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), hlm. 20. 24
Kuntowijoyo, Paradigma..., hlm. 288.
15
kapabilitas, kredibelitas, dan kompetensi secara khusus. Dan di hadapan sesama manusia akan lebih dinilai berharga. Pendidikan Islam yang juga sekaligus sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional. Secara ideal, pendidikan Islam bertujuan melahirkan pribadi manusia seutuhnya. Dari itu, pendidikan Islam diarahkan untuk mengembangkan segenap potensi manusia seperti; fisik, akal, ruh dan hati. Segenap potensi itu dioptimalkan untuk membangun kehidupan manusia yang meliputi aspek spiritual, intelektual, rasa sosial, imajinasi dan sebagainya. Rumusan ini merupakan acuan umum bagi pendidikan Islam, yang akhir tujuannya adalah pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kehadiran pendidikan Islam profetik sebagai sebuah alternatif diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan yang ada. Berangkat dari nilai-nilai Islam yang dijadikan sebagai sumber ideologi dan paradigma pendidikan, maka lahirlah pendidikan Islam yang membawa misi memanusiakan manusia, membebaskan manusia dan mengembalikan manusia kepada Tuhan-nya. Untuk dapat mewujudkan itu maka dibutuhkan pengintegrasian terhadap beberapa model pendidikan yang sebelumnya ada, tentu saja dengan tetap menggunakan nilai-nilai lama yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru yang sesuai dengan Islam. Pendidikan Profetik mengandung pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu,
16
starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologisfilosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan moral-transendensi.25
F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian akan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang menekankan analisisnya pada proses pengumpulan deduktif dan induktif serta melakukan analisis terhadap dinamika antara fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.26 Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka. Penelitian pustaka digunakan untuk meneliti dokumen atau literatur atau tulisan-
25
http://www.kammi-unj.or.id/2013/03/pendidikan-profetik-karakteristik.html. pada 15 Novenber 2014. 26
Diakses
Syaifudin Anwar, Metode Penelitian (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 5.
17
tulisan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan peneliti kaji 27, dalam hal ini adalah Nilai-nilai Profetik dalam Kurikulum PAI tingkat sekolah dasar. 2. Sumber Data a. Sumber Data Primer Yaitu sumber-sumber yang memberikan data langsung dari sumber pertama dan dijadikan rujukan pokok dalam penelitian. Dalam hal ini penulis mengambil data dari buku-buku atau kumpulan tulisan yang secara langsung ditulis oleh Kuntowijoyo . Adapun sumber data primer dari penelitian yang akan peneliti kaji adalah : 1) Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi - Kuntowijoyo 2) Islam sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi dan Etika;Kutowijoyo. 3) Muslim tanpa Masjid- Kuntowijoyo 4) Identitas Politik Umat Islam, Kuntowijoyo 5) Penjelasan Sejarah, Kuntowijoyo b. Sumber Data Sekunder Yaitu sumber data yang diperoleh dari sumber kedua, yang memiliki keterkaitan dengan judul penelitian dan dapat memberi informasi tambahan. Dalam hal ini penulis mengambil data dari bukubuku yang membahas mengenai nilai-nilai pendidikan profetik -
27
Sutrisno Hadi, Metodologi Research ( Yogyakarta : Andi Offset, 1984), hlm. 4.
18
beserta berbagai kemungkinan derivasi definisinya- di samping itu, data mengenai kurikulum PAI ke dalam data sekunder. 3. Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian ini merupakan penelitian pustaka, maka data yang akan peneliti telusuri akan dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari dan menggali data dari bahan-bahan bacaan yang terkait dengan permasalahan.28 Pengumpulan data baik primer maupun sekunder dengan studi literatur dengan membaca, memahami, mengidentifikasi, menganalisis, kemudian membandingkan sumber data yang satu dengan yang lain yang terdapat dalam sumber data. Setelah terkumpul lalu diklasifikasi sesuai dengan karakteristik masing-masing ke dalam bab-bab tertentu untuk mempermudah analisis.29 4. Teknik Analisis Data Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sesuai dengan kaidah ilmiah yang baik secara tekstual (sepertinya aslinya), maupun kontekstual (pemahaman terhadap data). Penelitian ini akan menggunakan pendekatan rasionalistik. Pendekatan ini ditempuh karena penelitian ini adalah penelitian pustaka dan data-data yang terkumpul tidak hanya tekstual, tetapi juga merupakan analisis terhadap data-data yang telah dideskripsikan dengan menggunakan metode deskriptif analisis.
28
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan (Jakarta : Mutiara Putra, 1999), hlm. 13. 29
Winarno Surachmat, Metode Penelitian Survey ( Jakarta : LP3ES, 1993), hlm. 139.
19
Metode ini mencakup menuliskan, menafsirkan, serta mengklasifikasi dalam bab dan sub babnya. Sedangkan untuk mendukung analisis tersebut ditarik generalisasi yang memiliki sifat umum. Untuk kemudian, dalam pola pikir deduktif, didasarkan pada pengetahuan atau keadaan yang sifatnya umum tersebut karena hendak menilai sesuatu kejadian yang bersifat khusus.30 Selain itu, penelitian menggunakan analisys content sebagai metode untuk menganalisa makna dan kandungan data yang dijadikan rujukan sehingga diketahui ide pokoknya.
G. Sistematika Pembahasan BAB I, berisi Pendahuluan, meliputi Latar belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Bab II Nilai-nilai Profetik dan Kurikulum PAI. Berisi sub bab pertama, Nilai-nilai Profetik, yang berisi Pengertian Nilai Profetik, Nilai Profetik dalam Teoritik, Pendidikan Profetik. Kedua, Teori tentang Kurikulum PAI yang di dalamnya berisi sub bab, Pengertian Kurikulum PAI, Tujuan Kurikulum PAI, Materi Kurikulum PAI, Evaluasi Kurikulum PAI, dan Kurikulum PAI di Sekolah Dasar. Bab III Pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-nilai Profetik yang didalamnya berisi bab pertama yaitu, Biografi Kuntowijoyo, yang berisi sub 30
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 103-104.
20
bab Kelahiran dan Latar belakang Keluarga Kuntowijoyo, Setting Sosial Pemikiran Kuntowijoyo, Sosio-historis Perpolitikan Kuntowijoyo, Karya-karya Kuntowijoyo dan penghargaan yang diperoleh, dan bab kedua, Pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-nilai Profetik. Bab IV Konsep Nilai-nilai Profetik menurut Kuntowijoyo dan Relevansinya terhadap Kurikulum PAI tingkat Sekolah Dasar. Berisi sub bab Pertama, Analisis Pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-nilai Profetik dalam Pendidikan. Kedua, Analisis Nilai-nilai Profetik dalam Kurikulum PAI tingkat Sekolah Dasar. Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan saran berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya.