BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul akibat pajanan terhadap
bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009). Kelainan saluran pernafasan dan penyakit paru kerja dapat diakibatkan oleh berbagai zat yang terdapat di pabrik maupun tambang, kelainan tersebut bergantung pada jenis zat, debu, gas ataupun asap yang terhirup. Penyakit paru kerja adalah penyakit yang timbul akibat inhalasi zat pada tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009). Zat zat yang terdapat di pabrik dan pertambangan dapat mengakibatkan kelainan pada tubuh, khususnya kelainan pada saluran pernafasan. Paparan gas secara terus menerus tanpa adanya alat pelindung diri yang menunjang dapat mengakibatkan munculnya penyakit akibat kerja pada para penambang belerang tersebut. Studi yang telah dilakukan menyatakan bahwa saluran pernafasan dan sistem syaraf adalah target yang paling sering terkena dampak dari terhirupnya gas H2S (ATSDR, 2014). Para pekerja belerang setiap harinya bekerja selama 6-8 jam perhari dengan konsentrasi gas belerang yang keluar dari pusat kawah tersebut mencapai 47 ppm (PVMBG, 2012). Sedangkan rekomendasi dari Standart Nasional Indonesia Nilai Ambang Batas Zat Kimia di Udara Tempat Kerja (SNI 19-0232-2005) yaitu 2 ppm. Sedangkan menurut NIOSHA yaitu Threshold Limit Value – Time Weighted Average (TLV-TWA) maksimal sebesar 10 ppm/8 jam kerja dan Threshold Limit Value – Shortterm Exposure Limit (TLV-STEL) adalah 15 ppm per 15 menit, tidak lebih dari 4 kali per hari. Menghirup gas sulfur secara berkala dapat meningkatkan resiko terjadinya hipersekresi dan iritasi radang pada saluran pernafasan (Tanaka. S & Takebayashi.T,
1
2
2009). Menurut Migas Indonesia batas kadar gas sulfur yang aman pada lingkungan tempat bekerja yaitu 800mg/m3 udara. Pajanan berulang juga dapat mengakibatkan hiperplasia pada sel epitel, dan juga dapat mengiritasi mukosa saluran nafas dan menimbulkan terjadinya faringitis. Faringitis yaitu terjadinya radang pada saluran faring, radang tersebut mengakibatkan menumpuknya sekret sepanjang saluran pernafasan, yang diakibatkan oleh respon imun non spesifik dari tubuh pada tempat yang terjadi inflamasi akibat paparan gas sehari – hari yang ditandai dengan adanya kemerahan, bengkak, rasa panas dan sakit di area inflamasi. Menumpuknya sekret di sepanjang saluran pernafasan akibat faringitis tersebut dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan inspirasi. Faringitis merupakan penyakit paling umum yang dapat diderita orang dewasa maupun anak – anak. Data yang diperoleh dari Ambulatory Medical Care di Amerika Serikat melaporkan bahwa 6,2 – 9,7 juta pasien yang berkunjung mengalami faringitis. Prevalensi faringitis pada daerah berkembang didapatkan 5-10 kali kebih besar, 40- 80% disebabkan oleh virus, dan sisanya diakibatkan oleh infeksi bakteri, polusi atau paparan zat kimia (Mustafa et al, 2015). Penggunaan terapi fisioterapi dada dapat menurunkan gejala faringitis dikarenakan terapi tersebut dapat membantu dalam mengeluarkan penumpukkan sekret yang menumpuk di faring. Penumpukkan sekret yang semakin banyak dapat mengakibatkan beberapa kompikasi yang lebih parah seperti, asma, pneumoni dan bronkhitis. Fisioterapi dada adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perawat yang bertujuan untuk mengencerkan atau mengeluarkan sekret di saluran pernafasan, fisioterapi dada terdiri dari 3 tindakan, yaitu : postural drainase, perkusi, dan vibrasi yang diikuti dengan nafas dalam dan batuk efektif. Waktu optimal yang dapat digunakan untuk melakukan fisioterapi dada yaitu sebelum pasien makan pagi, siang
3
maupun sore hari dan saat malam hari menjelang tidur. Tindakan ini dilaukan sebanyak 2-3 kali dalam sehari tergantung banyaknya sekret yang menumpuk (Soemantri, 2007). Penggunaan fisioterapi dada untuk menurunkan gejala faringitis sangat mudah dan murah untuk diterapkan oleh petugas kesehatan maupun penderita sebagai terapi, karena terapi fisioterapi dada ini hanya terdiri dari 3 teknik yaitu perkusi, vibrasi dan batuk efektif. Pada penelitian sebelumnya oleh Rahmawati (2015) didapatkan hasil bahwa, para pekerja tambang yang terpajan gas sulfur secara terus menerus akan mengalami beberapa masalah kesehatan seperti halnya gangguan pada saluran pernafasan, didapatkan hasil juga bahwa semakin tinggi paparan gas sulfur yang terhirup oleh pekerja tambang maka akan semakin parah pula dampak yang akan diakibatkan pada saluran nafas pekerja tambang tersebut. Melalui observasi dan tanya jawab yang dilakukan pada para pekerja tambang belerang di Kawah Ijen didapatkan bahwa, sebagian besar para pekerja tambang belerang mengalami gangguan pada pernafasan seperti batuk 53%, flu 38% dan faringitis 64% akibat menghirup gas belerang secara langsung yang keluar langsung dari pusat kawah gunung tanpa perlindungan pada pernafasannya yang tergolong sebagai penyakit akibat kerja. Selain itu para pekerja juga memiliki kebiasaan buruk yaitu mengisi waktu luangnya saat bekerja dengan cara merokok yang juga dapat memperparah pada gangguan pernafasannya. Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin meneliti tentang “ Keefektifan Pemberian Fisioterapi Dada Terhadap Penurunan Gejala Faringitis Pada Pekerja Tambang yang Terpajan Gas Belerang di Kawah Ijen”
4
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas diatas, maka rumusan
masalahnya adalah “Apakah terdapat efektifitas pemberian fisioterapi dada terhadap penurunan gejala faringitis pada pekerja tambang belerang?”
1.3
Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui keefektifan penerapan fisioterapi dada pada pekerja penambang belerang di Kawah Ijen yang terpajan gas belerang. 1.3.2 Tujuan Khusus : 1. Mengidentifikasi gejala faringitis sebelum diberikan fisioterapi dada 2. Mengidentifikasi gejala faringitis setelah diberikan fisioterapi dada 3. Menganalisis efektifitas fisioterapi dada terhadap penurunan gejala faringitis penambang belerang. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi Peneliti
1.
Menambah ilmu pengetahuan yang dimiliki peneliti tentang keefektifan fisioterapi dada
2.
Mengetahui hasil dari keefektifan terapi fisioterapi dada pada penderita faringitis
1.4.2
Bagi Masyarakat Memberikan pengetahuan tentang keuntungan dari Fisiotrapi dada agar dapat
memahami manfaat dari fisioterapi dada.
5
1.4.3
Bagi Pelayanan Kesehatan Dapat memberikan ilmu yang bermanfaat agar dapat diimpilaksikan pada
pasien dengan penyak it ISPA lainnya
1.5
Keaslian Penelitian Castro et al (2013), yaitu Chestphysioterapy evectiveness to reduce hospitalization and
mechanical ventilation length of stay, pulmonary infection rate and mortality in ICU patients. Penelitian ini menggunakan rancangan kohort dengan menggunakan dua lokasi ICU di dua rumah sakit yang berbeda. Subyek penelitian adalah pasien yang dalam masa perawatan di ICU dengan pemberian fisioterapi dada selama pelayanan A 24jam/hari dan pelayanan B 6jam/hari. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang diberikan pelayanan B dapat menurunkan kebutuhan penggunaan ventilasi mekanik, menurunkan jumlah hari pada rawat inap, penurunan resiko infeksi pernafasan dan kematian. Cross et al (2012), yaitu Evaluation of the evectiveness of manual chest physiotherapy techniques on qualit
y of life at six months post exacerbation of COPD (MATREX): a
randomized controlled equivalence trial. Dalam penelitian ini menggunakan rancangan random terkontrol dengan menggunakan 526 pasien yang dirawat dirumahsakit dengan eksaserbasi COPD akut dari empat pusat perawatan di Inggris. Pasien dibagi menjadi dua kelompak, kelompok intervensi yang menerima perlakuan fisioterapi dada manual dengan pembersihan jalan nafas dan kelompok kontrol yang hanya menerima pembersihan jalan nafas. Hasil yang didapatkan bahwa pada kelompok intervensi tidak terdapat hasil yang signifikan untuk peningkatan kualitas hidupnya dibandingkan dengan kelompok kontrol, tetapi tidak berarti pemberian terapi
6
fisioterapi dada manual tidak dapat di berikan untuk pasien COPD dalam keadaan tertentu. Tanaka & Takebayashi (2009), yaitu Effect of SO2 on Respiratory System of Adult Miyakejima Resident 2 Years after Returning to the Island. Penelitian ini dilakukan di pulau Miyakejima yang telah terjadi letusan gunung berapi dan terpapar SO2. Subyek penelitian berjumlah 823 penduduk dewasa pulau Miyakejima yg menjalani pemeriksaan kesehatan di tahun 2006, penelitian dilakukan selama 2 tahun mulai Agustus 2004 hingga Juli 2006. Hasil dari penelitian ini yaitu resiko penduduk yg terpapar SO2 pada penyakit pernafasan seperti bronkitis kronis meningkat 4.1% di 2006 dibandingkan 2.1% pada 2004, selain itu frekuensi sekret dan iritasi hidung dan saluran pernafasan meningkat secara signifikan.