BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Organisasi maupun perusahaan sangat membutuhkan karyawan yang kreatif, memiliki kepuasan kerja tinggi, produktif, dan berkomitmen untuk mencapai dan mempertahankan keunggulan kompetitif (Marschke, Preziosi, & Harington, 2009). Tapi kondisi karyawan di tempat kerja seringkali mengalami tingkat stres yang tinggi, kurang termotivasi, merasakan minimnya keamanan kerja dan meningkatnya ketidakpastian kerja akibat krisis ekonomi, perampingan, serta restrukturisasi dalam organisasi mereka (Freshman, 1999; Malik & Naeem, 2011). Saat kondisi iklim kerja menjadi sangat dinamis dan persaingan dunia usaha semakin ketat, isu spiritualitas tempat kerja (workplace spirituality) kemudian muncul (Heaton, Wilk, & Travis, 2004; Marschke et al., 2009). Ashmos dan Duchon (2000) mendefinisikan spiritualitas tempat kerja sebagai pengakuan kehidupan batin yang tumbuh dan dipelihara oleh pekerjaan yang bermakna yang terjadi dalam sebuah konteks komunitas. Spiritualitas tempat kerja (STK) menjadi suatu wawasan pengetahuan baru yang menjadi fokus pembahasan baik dalam dunia praktik organisasi maupun dunia akademis di bidang organisasi sejak awal milenium baru (Milliman, Andrew, & Ferguson, 2003; Vasconcelos, 2009; Lazar, 2010). Kebutuhan atas hubungan antara spiritualitas dan pekerjaan menjadi isu penting disebabkan oleh perubahan-perubahan yang sering terjadi di organisasi. Sebagian besar praktik bisnis seringkali mengabaikan standar pengelolaan sumber 1
daya manusia yang membuat posisi seseorang menjadi tidak aman di dalam suatu sistem, sehingga tingkat keamanan kerja rendah (Heaton et al., 2004; Marschke et al., 2009). Latar belakang lain kemunculan STK adalah lingkungan kerja menjadi tempat seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya (Karakas, 2010). Akibatnya, lingkungan kerja menjadi tempat utama aktivitas individu dalam mewujudkan orientasi tujuan hidup mereka (Cameron, Dutton, & Quinn, 2003, dalam Geldenhuys, Laba, & Venter, 2014). Hal ini dapat digambarkan dengan Compensation theory (Staines, 1980) yang menyatakan terdapat hubungan timbal balik yang terjadi antara pekerjaan dan kehidupan. Karyawan membuat investasi yang berbeda dalam mencoba mengejar sesuatu yang dirasa hilang. Karyawan akan mencari kehidupan spiritualitasnya di tempat kerja saat tidak memiliki kesempatan mengejarnya di luar pekerjaan. Inti teori ini adalah, kehidupan pribadi dan pekerjaan saling berpengaruh satu sama lain sehingga karyawan tidak dapat memisahkan antara dua hal ini. Definisi spiritualitas tempat kerja Ashmos dan Duchon (2000) memiliki tiga komponen utama (Duchon & Plowman, 2000). Pertama, STK berarti mengakui karyawan merupakan makluk spiritual; mereka memiliki kehidupan batin yang menunjukkan kebutuhan akan sebuah makna dalam berkegiatan. Kedua, STK tidak hanya tentang sifat karyawan yang memerlukan makna atau arti, tapi juga rasa saling memiliki (sense of belonging), menjadi bagian suatu komunitas. Ketiga, variabel ini meliputi gagasan bahwa kebutuhan karyawan akan makna dapat dicapai melalui pekerjaan yang memiliki makna (meaningful work).
2
Ashmos dan Duchon (2000) menjelaskan bahwa spiritualitas tempat kerja terdiri dari dimensi-dimensi yang menekankan pada kegiatan dan pencarian arti, tujuan, dan pekerjaan yang lebih bermakna bagi diri pribadi maupun orang banyak. Pendapat ini didukung oleh Milliman dan rekan (2003) yang menyebutkan bahwa, STK dapat hadir ketika karyawan merasakan pekerjaan yang memiliki arti dan bermanfaat dalam sebuah komunitas masyarakat. Gupta dan Kumar (2012) menyatakan organisasi harus memahami bahwa kepuasan karyawan tidak hanya berupa material, tetapi mereka menginginkan lebih dari itu. Setiap karyawan memiliki kebutuhan lahir dan batin, dan pemenuhan kebutuhan batin (inner life) dapat menumbuhkan makna dalam pekerjaan dan meningkatkan produktivitas kerja. Spiritualitas tempat kerja dinilai dapat menumbuhkan etika kerja di antara para karyawan dan meningkatkan produktivitas kerja (Gibbons, 2000; McGhee & Grant, 2008). Organisasi yang fokus menjaga iklim spiritualitas dalam proses kerja, seperti selalu menumbuhkan dan menjaga motivasi kerja karyawan dan mendorong karyawan untuk mencari arti pekerjaan bagi kehidupan mereka, seringkali dapat meningkatkan retensi karyawan, yang akan berdampak positif pada profitabilitas (Marschke et al., 2009). Lebih jauh, Marschke dan rekan (2009) menjelaskan dampak STK terhadap lingkungan kerja ketika karyawan menemukan makna dan arti dalam aktivitas kerja mereka, dan merasakan iklim spiritualitas dalam organisasi, karyawan merasakan kebahagiaan dalam bekerja. Mereka menunjukkan sikap kolaboratif terhadap organisasi, menunjukkan semua kemampuan dan potensi maksimal dalam bekerja. Gambaran di atas menjelaskan urgensi STK dalam kehidupan organisasi. Oleh karena itu, organisasi perlu 3
memelihara tumbuhnya STK untuk menumbuhkan sikap kerja positif karyawan agar terciptanya keunggulan kompetitif dan perbaikan kinerja organisasi. Pada tataran praktis, studi Harvard Business School yang dikutip oleh Giacalone dan Jurkiewicz (dalam Marschke et al., 2009) membandingkan perusahaan yang memiliki budaya STK yang kuat dengan yang lemah. Studi ini tidak hanya menemukan korelasi yang kuat antara budaya spiritual perusahaan dengan profitabilitas, tapi juga melaporkan dalam beberapa kasus ditemukan semakin perusahaan menerapkan STK, terdapat peningkatan sebesar 400-500 persen dalam kinerja keuangannya. Selain itu, hasil studi yang dilakukan Milliman dan rekan (1999) menunjukkan bahwa penerapan spiritualitas di lingkungan kerja perusahaan Southwest Airlines (SWA) mampu memberikan kepuasan kerja yang tinggi kepada karyawan. Tercatat SWA memiliki tingkat perputaran karyawan yang paling rendah di industri penerbangan Amerika Serikat. Beberapa riset empiris memberikan bukti dan dukungan terhadap pentingnya peran STK dalam memberikan dampak positif bagi organisasi, karena STK secara langsung dapat membentuk berbagai sikap kerja positif karyawan. Dari beberapa riset empiris yang ada, STK ditemukan memiliki pengaruh positif pada kepuasan kerja karyawan (Milliman et al., 2003; Lazar, 2009; Piryaei & Zare, 2013), perilaku kewargaan organisasional (Rastgar, Zarei, Davoudi, & Fartash, 2012; Kazemipour, Amin, & Poursedi, 2012), intensi keluar (Milliman et al., 2003; Hong, 2012), keterlibatan kerja (Milliman et al., 2003; Kolodinsky, Giacalone, & Jurkiewicz, 2008; Pawar, 2009), serta mengurangi frustasi kerja (Kolodinsky et al., 2008). Bentuk sikap kerja positif lain yang merupakan 4
konsekuensi dan memiliki hubungan positif dengan STK adalah adalah komitmen organisasional (Jurkiewicz & Giacalone, 2004). Beberapa riset empiris juga menemukan dukungan positif antara STK dengan komitmen organisasional (Milliman et al., 2003; Rego & Cunha, 2008; Pawar, 2009). Komitmen
organisasional
adalah
suatu
keadaan
psikologis
yang
mengarakteristikkan hubungan karyawan dengan organisasi dan melihat implikasi dari keputusan karyawan untuk tetap tinggal atau meninggalkan organisasi (Allen & Meyer, 1990). Komitmen organisasional merupakan topik yang juga menyita perhatian para akademisi dan praktisi di bidang organisasi. Allen dan Meyer (dalam Rego & Cunha, 2008) menggambarkan indikasi pentingnya komitmen organisasional bagi organisasi. Mereka menjelaskan bahwa dari beberapa variabel sikap kerja yang ada, komitmen organisasional menjadi variabel yang paling banyak menjadi objek riset oleh para psikolog organisasional setelah kepuasan kerja. Model komitmen organisasional yang dibangun oleh Allen dan Meyer (1990, 1991) merupakan salah satu model yang paling banyak digunakan dalam riset (Rego & Cunha, 2008). Model ini membedakan komitmen menjadi tiga komponen: afektif (keterikatan emosional terhadap organisasi), kontinuans (biaya yang harus dikeluarkan atau investasi yang harus dikorbankan saat meninggalkan organisasi), dan normatif (rasa kewajiban terhadap orgaisasi). Tiap komponen berkontribusi untuk memperkuat kemungkinan karyawan untuk tetap tinggal di organisasi. Besarnya minat dan perhatian terhadap komitmen organisasional ini dikarenakan besarnya dampak yang diberikannya kepada berbagai macam sikap dan perilaku kerja karyawan yang relevan dengan kinerja organisasi. Hal ini 5
diperlihatkan meta-analisis yang dilakukan oleh Meyer dan rekan (2002) terhadap komitmen organisasional. Hasil studi Meyer dan rekan (2002) menunjukkan bahwa ketiga komponen komitmen tersebut berhubungan negatif dengan keinginan mengundurkan diri dan turnover, komponen afektif berpengaruh negatif terhadap ketidakhadiran dan stres serta konflik kerja-keluarga, dan berpengaruh positif terhadap tingkat kedatangan, kinerja karyawan, dan perilaku kewargaan organisasional. Melihat
pentingnya
spiritualitas
tempat
kerja
dan
komitmen
organisasional, kedua variabel ini memiliki urgensi untuk diteliti, tetapi studi empiris masih jarang dilakukan (Duchon & Plowman, 2005; Rego & Cunha, 2008). Peneliti melakukan penelusuran artikel melalui penyedia jurnal online seperti Scopus, Science Direct, dan Ebsco dengan kata kunci workplace spirituality dan organizational commitment. Dari hasil pencarian tersebut, hanya ada satu riset (Rego & Cunha, 2008) yang meneliti hubungan antara STK dengan model multidimensional komitmen organisasional. Hasil lainnya hanya ditemukan beberapa penelitian spiritualitas tempat kerja dengan model unidimensional komitmen organisasional (Milliman et al., 2003; Marschke et al., 2009; Pawar, 2009). Dimensi spiritualitas tempat kerja pada penelitian ini menggunakan model Ashmos dan Duchon (2000) yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kehidupan batin (inner life), pekerjaan yang bermakna (meaningful work), dan keadaan komunitas (condition of community). Studi telaah literatur yang dilakukan oleh Geigle (2012) menjelaskan bahwa model yang dikembangkan Ashmos dan Duchon (2000) sebagai instrumen yang paling sering banyak digunakan dalam penelitian STK. 6
Milliman dan rekan (2003) yang dalam risetnya juga mengadopsi model Ashmos dan Duchon (2000) menjelaskan alasan memilih dimensi ini. Pertama, dimensi ini diasumsikan oleh berbagai peneliti sebagai dimensi paling penting dalam studi riset STK sebelumnya. Kedua, STK disadari sebagai konsep yang kompleks dan multidimensi. Ketiga, model Ashmos dan Duchon dinilai sebagai dimensi yang mempunyai hubungan paling dekat dengan sikap kerja dan perilaku karyawan. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa inner life (Duchon & Plowman, 2005) dan interconnectedness (Gibbons, 1990) dianggap yang paling mewakili definisi STK. Dari beberapa penelitian yang menguji pengaruh STK terhadap komitmen organisasional, sangat jarang yang menggunakan pengujian dengan level dimensi di kedua variabel. Pawar (2009) dan Marschke et al. (2009) menggunakan komitmen organisasional secara unidimensional. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Milliman et al. (2003) menguji efek STK hanya kepada komitmen afektif. Model multidimensional variabel komitmen organisasional dalam penelitian ini akan menggunakan model Allen dan Meyer (1990, 1991). Berdasarkan hasil beberapa riset sebelumnya, dimensi STK memiliki pengaruh yang berbeda terhadap komponen komitmen organisasional. Milliman et al. (2003) menemukan bahwa karyawan dengan keselarasan nilai spiritualitas dengan organisasi memiliki efek yang lebih kuat kepada komitmen afektif dari dimensi STK lainnya. Riset Rego dan Cunha (2008) juga menemukan bahwa tiap dimensi STK memiliki efek yang berbeda pada dimensi komitmen organisasional. Dimensi enjoyment at work yang sama dengan pekerjaan bermakna memiliki pengaruh sangat besar pada komitmen afektif tetapi moderat terhadap komitmen 7
normatif, dan diluar perkiraan bahwa inner life memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap komitmen afektif dan normatif (Rego & Cunha, 2005). Sedangkan hasil riset Suleiman, Ismail, Nor, dan Long (2012) menemukan korelasi yang sangat rendah antara sense of community dan kehidupan batin terhadap komitmen normatif, sedangkan keselarasan nilai spiritualitas dengan organisasi memiliki korelasi yang paling besar dengan komitmen normatif. Argumen alternatif pengujian level dimensi datang dari Meyer dan Allen (1991) yang menjelaskan bahwa, ketiga komponen komitmen ini memiliki anteseden yang berbeda. Rego dan Cunha (2008) menambahkah bahwa setiap komponen yang dipisahkan oleh Allen dan Meyer berkontribusi dalam memperkuat kemungkinan karyawan untuk tetap tinggal di organisasi, tetapi sifat dari setiap konsep berbeda satu dan lainnya. Isu pengujian level dimensi antara STK dan komitmen organisasional menjadi penting karena muncul dugaan bahwa dimensi-dimensi STK akan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap komponen komitmen organisasional. Peneliti ingin menguji derajat komitmen organisasional mana yang dimiliki karyawan, jika dikaitkan dengan dimensi spiritualitas tempat kerja, untuk memutuskan tetap tinggal dan bekerja di organisasi. Hubungan antara spiritualitas tempat kerja dan komitmen organisasional dapat dijelaskan dengan Teori Identitas dan Teori Kontrol Afek. Burke dan Reitzes (1991) menyebutkan bahwa, Teori Identitas dan Teori Kontrol Afek memperlihatkan proses komitmen sebagai suatu cara yang dilakukan seseorang untuk membentuk dan mempertahankan identitas. Identitas adalah sebuah makna sosial yang seseorang hubungkan dengan dirinya sendiri dalam sebuah peran. Identitas merupakan sumber motivasi dari sebuah tindakan, khususnya tindakan 8
yang menghasilkan konfirmasi sosial atas sebuah identitas. Sedangkan Teori Kontrol Afek menyatakan bahwa individu berperilaku sesuai dengan kerangka identitasnya, dan mereka mencari pengalaman yang dapat mengkonfirmasi keyakinan atas identitas mereka, dan terlibat dalam tindakan yang sesuai untuk itu. Berdasarkan kedua teori yang telah dijelaskan sebelumnya, Burke dan Reitzes (1991) mengemukakan dua basis terbentuknya komitmen. Pertama, cognitive bases of commitment, mengacu kepada persepsi atas makna atau arti dan imbalan yang timbul dari sebuah perbuatan, dan penilaian atas keseimbangan antara biaya dan imbalan yang timbul dari usaha untuk mempertahankan identitas. Kedua,
socioemotional
bases
of
commitment,
mengacu
kepada
usaha
mempertahankan ikatan emosional dan identitas yang tercipta melalui interaksi dengan pihak lain. Rasa memiliki terhadap jaringan sosial dan merasakan keterikatan dengan pihak lain menjadi sebuah basis komitmen. Kehangatan, dukungan, interaksi berkelanjutan, antara individu dengan rekannya akan meningkatkan kekuatan perilaku yang mengkonfirmasi identitas (Burke & Reitzes, 1991). Milliman et al. (2003) dan Pawar (2009) menemukan bahwa spiritualitas tempat kerja berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional. Ketika seseorang merasakan kebutuhan batinnya terpenuhi melalui pekerjaan yang bermakna bagi mereka dan merasakan keterikatan dengan komunitas sosial di tempat kerja, karyawan memutuskan untuk berkomitmen dan tinggal di organisasi. Selain itu, pengaruh STK terhadap komitmen organisasional juga telah diteliti oleh Rego dan Cunha (2008), menemukan bahwa karyawan memiliki 9
komitmen organisasional yang tinggi ketika karyawan memiliki rasa terikat dengan komunitas dalam pekerjaan, merasa nilai pribadi dan organisasi memiliki kesamaan, merasa mengerjakan pekerjaan yang bermakna, merasa senang saat melakukan pekerjaan, dan organisasi memberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan batin karyawan. Milliman et al. (2003) serta Rego dan Cunha (2008) menyarankan salah satu perbaikan yang dapat menyempurnakan riset sebelumnya adalah perlu dihadirkannya efek interaksi dalam hubungan spiritualitas kerja dan komitmen organisasional. Hal ini didukung Jurkiewicz dan Giacalone (2004) yang menyatakan bahwa banyaknya variabel lain yang dapat mempengaruhi level komitmen organisasional tidak akan membuat hubungan antara STK dengan variabel konsekuensinya menjadi sederhana, tapi jauh lebih kompleks. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menentukan dan menguji variabel pemoderasi hubungan antara STK dan komitmen organisasional (Jurkiewicz & Giacalone, 2004). Jurkiewicz dan Giacalone (2004) dalam studinya menyatakan bahwa, baik faktor internal maupun eksternal sangat mungkin untuk memoderasi efek STK terhadap konsekuensinya. Faktor internal dapat meliputi kadar spiritualitas individu dan iklim spiritualitas di organisasi. Sedangkan faktor eksternal dapat berupa perubahan kondisi ekonomi (krisis ekonomi, perubahan struktur industri). Tingkat spiritualitas individu dalam diri masing-masing karyawan dianggap dapat mempengaruhi hubungan STK terhadap konsekuensinya. Ketika karyawan yang tidak berorientasi pada spiritualitas bekerja di lingkungan yang mendukung STK,
10
apakah pengaruh yang dihasilkan akan sama dengan karyawan dengan orientasi spiritualitas tinggi? (Jurkiewicz & Giacalone, 2004). Kolodinsky et al. (2008) dan Pawar (2009) kemudian mencoba menguji efek interaksi spiritualitas individu. Kolodinsky dan rekan (2008) menemukan bahwa spiritualitas individu tidak memiliki hubungan signifikan sebagai variabel pemoderasi hubungan antara spiritualitas organisasi dengan kepuasan kerja dan keterlibatan kerja. Sedangkan riset dari Pawar (2009) menunjukkan dari sembilan hipotesis efek interaksi spiritualitas individu, hanya dua yang terdukung. Hasil yang mengecewakan ini membuat Kolodinsky dan rekan (2008) memiliki pendapat alternatif bahwa faktor organisasi yang kemudian dapat mempengarui efek STK. Organisasi yang dirasa lebih mendorong terciptanya spiritualitas akan menghadirkan keadaan komunitas yang diharapkan karyawannya, berharap untuk dapat mengurangi perilaku mengundurkan diri karyawan (Kolodinsky et al., 2008). Krishnakumar dan Neck (2002) menjelaskan terdapat dua perspektif dalam implementasi dan usaha terwujudnya STK.
Perspektif pertama adalah
organization-centered perspective, menjelaskan bahwa spiritualitas harus diimplementasikan secara keseluruhan di organisasi. Pandangan ini diusulkan oleh Mitroff dan Denton (1999) yang mengklasifikasikan organisasi berdasarkan penerapan prinsip spiritualitas di organisasi, mulai dari values-based hingga organisasi dengan religion-based. Akan tetapi, penerapan pandangan spiritualitas tertentu di organisasi secara keseluruhan menurut Krishnakumar dan Neck (2002) dapat menimbulkan masalah, karena organisasi merupakan kumpulan entitas individu yang masing-masing memiliki pandangan berbeda terhadap spiritualitas. 11
Anggota organisasi tertentu bisa saja mengalami tekanan dan frustasi karena nilai organisasi tidak sesuai dengan mereka. Konsep alternatif sebagai perspektif kedua adalah individual centeredperspective, yang mengakui dan mencoba mengembangkan STK dari sudut pandang individu. Dalam pandangan ini, organisasi tidak memiliki budaya atau orientasi spiritualitas yang ketat, tetapi organisasi harus berusaha untuk mengakomodasi dan mendorong kebutuhan spiritual karyawan (Cash & Gray, 2000). Untuk meningkatkan rasa spiritualitas yang dirasakan karyawan di tempat kerja, Thompson (2000) berpendapat bahwa hal ini harus dimulai dengan mendorong individu untuk dengan bebas menyatakan ide spiritualitasnya dan membantu mereka meenghubungkan hal ini melalui nilai organisasi. Penelitian Rego dan Cunha (2008) secara implisit menunjukkan bahwa dukungan organisasi dapat mempengaruhi hubungan STK dengan komitmen. Hasil dari cluster analysis menunjukkan bahwa karyawan yang tergabung di kelompok yang mempersepsikan organisasinya memiliki orientasi yang lemah terhadap STK memiliki ikatan komitmen yang lemah. Sedangkan kelompok yang merasakan kesempatan mewujudkan kehidupan batin cenderung memiliki nilai komitmen yang lebih tinggi dari kelompok sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti menduga bahwa persepsi karyawan atas dukungan organisasi dalam terciptanya STK dapat menjadi variabel pemoderasi. Dukungan organisasional persepsian (Perceived Organizational Support) didefinisikan sebagai keyakinan umum yang berkaitan dengan sejauh mana organisasi menghargai kontribusi karyawan dan peduli tentang kesejahteraan (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa, 1986). POS diduga dapat 12
memperkuat pengaruh hubungan STK pada komitmen organisasional. Menurut Churchill, Ford dan Orville (1976) dukungan organisasi secara konseptual dapat memicu atau memoderasi evaluasi afektif karyawan dan reaksi mengenai pekerjaan dan lingkungan kerja mereka. Studi yang dilakukan Huang dan Lin (2014) mengkonfirmasi peran POS yang dapat memoderasi hubungan antara STK dengan keterlibatan kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika karyawan merasakan adanya dukungan organisasi dan merasa organisasi memperhatikan kesejahteraan mereka, maka karyawan akan merasakan adanya usaha organisasi untuk menyediakan dan memfasilitasi ekspresi sisi spiritual mereka di tempat kerja. Karyawan merasa diberi tempat untuk memenuhi kehidupan batin mereka, organisasi mendukung terciptanya keterikatan antar karyawan dan menekankan makna dan arti pada setiap tugas yang dikerjakan karyawan. Hal ini tidak merugikan organisasi karena organisasi melalui pertukaran sosial akan mengharapkan karyawan akan memberikan usaha terbaiknya dan memutuskan untuk tetap tinggal di organisasi karena kebutuhannya difasilitasi oleh organisasi. Penelitian Adebayo (2005) menemukan bahwa POS memiliki dampak moderasi negatif yang signifikan terhadap hubungan antara perilaku prososial dan sikap tidak etis. Perilaku prososial menunjukkan perhatian individu kepada organisasi atau orang lain seperti membantu orang lain yang bila dilihat pada konsep STK, serupa dengan dimensi keadaan komunitas (condition of community). Dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa pengaruh STK terhadap komitmen organisasional akan dimoderasi oleh POS.
13
Selama satu dekade terakhir, jumlah penelitian dengan tema spiritualitas tempat kerja yang dikaitkan dengan berbagai variabel organisasional meningkat dengan sangat pesat (Malik & Naeem, 2011; Bell & Theiler, 2012). Tetapi ditengah maraknya volume riset yang bertambah ini, konteks penelitian masih didominasi latar belakang negara tertentu seperti belahan dunia bagian Barat, dan Amerika Selatan termasuk Amerika Serikat, Portugal, Brazil dan sebagian kecil negara di Asia Tenggara (Petchsawanga & Duchon, 2009; Mat & Koh, 2011). Kondisi ini membuat bukti empiris yang berasal dari latar belakang belahan dunia lain sangat terbatas (Mat & Koh, 2011). Perbedaan konteks negara akan memungkinkan terdapatnya perbedaan hasil penelitian, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk meneliti apakah perbedaan konteks nantinya akan memberikan hasil yang berbeda. Sehingga peneliti akan melakukan riset untuk menguji praktik penerapan spiritualitas tempat kerja di Indonesia. Berdasarkan paparan teori sebelumnya dan kesenjangan penelitian yang kemudian muncul, peneliti berusaha mengisi celah riset yang ada dengan menguji hubungan antara spiritualitas tempat kerja terhadap komitmen organisasional dengan dimoderasi oleh dukungan organisasional persepsian. Studi ini akan menggunakan desain penelitian survey.
B. Rumusan Masalah Penelitian dengan isu spiritualitas tempat kerja berkembang pesat dalam dan dikaitkan dengan berbagai konteks dan variabel studi organisasi lainnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa hal. Pertama, spiritualitas tempat kerja dalam hubungannya dengan komitmen organisasional 14
sebagai salah satu konsekuensi, membutuhkan tambahan dukungan riset empiris. Penelitian yang sudah ada dalam menguji hubungan spiritualitas tempat dengan komitmen organisasional masih sangat terbatas. Kedua, adanya dugaan teoritis dan empiris bahwa dimensi STK akan memiliki pengaruh yang berbeda-beda pada jenis komitmen organisasional, membawa riset ini pada isu pengujian level dimensi. Spiritualitas tempat kerja akan diuji pada tingkat dimensi dan dilihat hubungannya dengan berbagai bentuk komitmen organisasional dari model komitmen Allen dan Meyer (1990). Riset yang menguji hubungan kedua variabel dalam level dimensi masih sangat terbatas. Ketiga, berdasarkan dukungan empiris dan teoritis yang ada, peneliti juga tertarik untuk menguji hubungan interaksi untuk melihat adanya pengaruh moderasi. Variabel pemoderasi yang digunakan pada penelitian ini adalah dukungan organisasional persepsian. Alasan terakhir, terbatasnya studi mengenai spiritualitas tempat kerja di wilayah Asia, terutama di konteks Indonesia menjadi salah satu alasan peneliti tertarik melakukan penelitian tentang isu ini.
C. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah dimensi-dimensi spiritualitas tempat kerja berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional? a. Apakah kehidupan batin berpengaruh positif terhadap komitmen afektif? b. Apakah pekerjaan yang bermakna berpengaruh positif terhadap komitmen afektif?
15
c. Apakah keadaan komunitas berpengaruh positif terhadap komitmen afektif? d. Apakah kehidupan batin berpengaruh positif terhadap komitmen kontinuans? e. Apakah pekerjaan yang bermakna berpengaruh positif terhadap komitmen kontinuans? f. Apakah keadaan komunitas berpengaruh positif terhadap komitmen kontinuans? g. Apakah kehidupan batin berpengaruh positif terhadap komitmen normatif? h. Apakah pekerjaan yang bermakna berpengaruh positif terhadap komitmen normatif? i. Apakah keadaan komunitas berpengaruh positif terhadap komitmen normatif? 2. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh dimensidimensi spiritualitas tempat kerja terhadap komitmen organisasional? a. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh kehidupan batin terhadap komitmen afektif? b. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh pekerjaan yang bermakna terhadap komitmen afektif? c. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh keadaan komunitas terhadap komitmen afektif? d. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh kehidupan batin terhadap komitmen kontinuans?
16
e. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh pekerjaan yang bermakna terhadap komitmen kontinuans? f. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh keadaan komunitas terhadap komitmen kontinuans? g. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh kehidupan batin terhadap komitmen normatif? h. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh pekerjaan yang bermakna terhadap komitmen normatif? i. Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh keadaan komunitas terhadap komitmen normatif?
D. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menguji pengaruh positif dimensi-dimensi spiritualitas tempat kerja pada komitmen organisasional. a. Menguji pengaruh positif kehidupan batin pada komitmen afektif. b. Menguji pengaruh positif pekerjaan yang bermakna pada komitmen afektif. c. Menguji pengaruh positif keadaan komunitas pada komitmen afektif. d. Menguji pengaruh positif kehidupan batin pada komitmen kontinuans. e. Menguji pengaruh positif pekerjaan yang bermakna pada komitmen kontinuans. f. Menguji pengaruh positif keadaan komunitas pada komitmen kontinuans. g. Menguji pengaruh positif kehidupan batin pada komitmen normatif. 17
h. Menguji pengaruh positif pekerjaan yang bermakna pada komitmen normatif. i. Menguji pengaruh positif keadaan komunitas pada komitmen normatif. 2.
Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara dimensi-dimensi spiritualitas tempat kerja pada komitmen organisasional. a. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara kehidupan batin dan komitmen afektif. b. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara pekerjaan yang bermakna dan komitmen afektif. c. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara keadaan komunitas dan komitmen afektif. d. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara kehidupan batin dan kontinuans. e. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara pekerjaan yang bermakna dan komitmen kontinuans. f. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara keadaan komunitas dan komitmen kontinuans. g. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara kehidupan batin dan komitmen normatif.
18
h. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara pekerjaan yang bermakna dan komitmen normatif. i. Menguji pengaruh pemoderasi dukungan organisasional persepsian terhadap hubungan antara keadaan komunitas dan komitmen normatif.
E. Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dapat diberikan penelitian ini adalah 1. Kontribusi empiris Memberikan tambahan bukti empiris untuk memperkuat konsep dan teori mengenai spiritualitas tempat kerjakhususnya dalam hubungannya dengan komitmen organisasional, dan menguji efek interaksi dengan menyertakan dukungan organisasi persepsiansebagai variabel pemoderasi. 2. Kontribusi praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran bagi praktisi untuk menjadi bahan pertimbangan bagaimana meningkatkan keefektifandan kinerja organisasi melalui komitmen organisasional karyawan, dengan memperhatikan penerapan variabel spiritualitas tempat kerja di lingkungan kerja dan memperhatikan dukungan organisasional kepada karyawan.
19