BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadat
menurut
agama
dan
kepercayaannya itu1. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Zakat adalah salah satu bentuk kedermawanan atau filantropi2 Islam, yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan sesama manusia dalam masyarakat (hablumminannas)3. Zakat sebagai 1
Pasal 29 UUD RI Tahun 1945 Secara harfiah, istilah filantropi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu philos (cinta) dan antrophos (manusia. Istilah ini mulai popular pada saat Negara dan warga masyarakat menyadari tanggungjawabnya untuk membantu kaum miskin, sesuatu yang sejak lama telah diperankan oleh kalangan agamawan. Kini pada masa modern, istilah “filantropi” tampaknya lebih tepat didefinisikan sebagai “activities of voluntary giving and serving, primarily for the benefit of others beyond one’s family”. Warren F. Ilchman (ed.). 1998. Philantrophy in the World’s Traditions. Indiana University Press. Bloomington and Indianapolis; Ridwan al-Makassary, ”BAZ Propinsi Jawa Barat: Eksistensi yang Mulai Pudar?” dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar (eds.). 2005. Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta dan The Ford Foundation. Jakarta, hlm. 61-62; Ridwan alMakassary. 2006. Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial: Refleksi terhadap Badan Amil Zakat di Indonesia. http://almakassary.blogspot.com/2006/06/filantropi-islam-untuk-keadilan.html diakses tanggal 5 November 2013. 3 Zakat, sekalipun dibahas di dalam pokok bahasan “Ibadat”, karena dipandang bagian yang tidak terpisahkan dari shalat, sesungguhnya merupakan bagian sistem sosial ekonomi Islam. Yusuf Qardhawi. 1996. Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat berdasarkan Qur’an dan Hadis. Terjemah oleh Salman Harun dkk. Pustaka Litera AntarNusa. Bogor, hlm. 3; Abdurrachman Qadir, 2001, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Cet. 2, PT RajaGrafindo Persada. Jakarta, hlm. 67; Rifyal Ka’bah. 2004. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Khairul Bayan. Jakarta, hlm. 58; Ridwan Mas’ud dan Muhammad. 2005. Zakat dan Kemiskinan: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. UII Press. Yogyakarta, hlm. v; Asnaini. 2008. Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam. Kerjasama Pustaka Pelajar. Yogyakarta dan STAIN Bengkulu. Bengkulu, hlm. 1; Muhammad Hadi, 2010, Problematika Zakat Profesi dan Solusinya (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam), Pustaka Pelajar. Yogyakarta, hlm. 1. 2
2
ibadah maaliyah ijtima’iyah4, yaitu ibadah di bidang harta yang memiliki kedudukan penting dalam membangun masyarakat, tidak hanya bermakna tanggungjawab kepada Allah, lebih dari itu, zakat diwajibkan bagi setiap orang Islam agar selalu peduli dan bertanggungjawab terhadap situasi dan kondisi sosial masyarakat sekitarnya. Zakat menjadi media yang sangat penting untuk membangun mental dan solidaritas orang-orang Islam untuk meminimalkan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin5. Dalam al Qur’an terdapat tiga puluh kata zakat dan dua puluh tujuh diantaranya bergandengan dengan kata shalat6. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat sejajar dengan kewajiban shalat. Perintah zakat dan shalat memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu perbaikan kualitas kehidupan masyarakat. Zakat bertujuan membersihkan diri dari sifat rakus dan kikir, serta mendorong manusia untuk mengembangkan sifat kedermawanan dan sensitivitas kesetiaan sosial. Shalat bertujuan menghindarkan kehidupan manusia dari 4
Yusuf Qardhawi. 1993. Al Ibadah fil Islam. Muassasah al Risalah. Beirut, hlm. 235; Didin Hafidhuddin, 2002, Zakat dalam Perekonomian Modern, Cet. 1, Gema Insani Press. Jakarta, hlm. 1; Abdul Ghofur Anshori. 2006. Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib Zakat dan Pajak di Indonesia. Pilar Media. Yogyakarta, hlm. 5; Umrotul Khasanah. 2010. Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. UIN Maliki Press. Malang, hlm. 7; Ismail Nawawi. 2010. Zakat dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi. Putra Media Nusantara. Surabaya, hlm. 1; Didin Hafidhuddin. 2012. Zakat, Kesejahteraan dan Keadilan Sosial. http://cekong19.blogspot.com/2012/05/zakat-kesjahteraan-dan-keadilan-sosial.html diakses tanggal 6 November 2013. 5 Wahbah al Zuhaily. 1989. al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh. Jilid II. Dar al Fikr. Damsyiq, hlm.732; M. Syafi’ie. 2011. Zakat dan Transformasi Keadilan Sosial. http://syafiie.blogspot.com/2011/04/zakat-dan-tranformasi-keadilan-sosial.html diakses tanggal 5 November 2013. 6 Muhammad Fuad Abdul Baqi. 1987. Al Mu’jam al Mufahras li Alfadh al Qur’an al Karim. Dar al Fikr. Beirut, hlm. 331-332; Yusuf Qardhawi. Op.cit., hlm. 39; Didin Hafidhuddin. Op.cit., hlm. 1; John B. Taylor. 1964. The Quranic Doctrine of Zakat. Mc. Gill University. Montreal, hlm. 135; Abdurrachman Qadir, Op.cit., hlm. 43. Dalam al Qur’an terdapat tiga puluh dua kata zakat, dua puluh sembilan diantaranya bergandengan dengan kata shalat; Sayyid Sabiq. 1983. Fiqh al Sunnah. Jilid I. Dar al Fikr. Beirut, hlm. 276; Ridwan Mas’ud dan Muhammad. Op.cit., hlm. 35. Kata zakat digandengkan dengan kata shalat pada delapan puluh dua ayat al Qur’an.
3
fakhsya’ (kejahatan) dan munkar (kerusakan)7. Ayat al Qur’an tentang zakat diturunkan dalam dua periode, periode Mekkah sebanyak delapan ayat dan ayat selanjutnya diturunkan pada periode Madinah. Selama tiga belas tahun di Mekkah, kaum muslim didorong untuk menginfakkan harta kepada para fakir, miskin, dan budak, namun belum ditentukan kadar dan ukurannya. Perintah zakat yang diturunkan di Mekkah masih sebatas anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan pihak-pihak yang kekurangan. Sebagian sanggup menjalankannya, namun cukup banyak yang keberatan karena tidak mudah memulai ajaran baru ini, meskipun sebelumnya kaum muslim terbiasa menjalankan kemurahan hati dan bersikap ramah terhadap orang asing (karam)8. Seiring dengan perkembangan komunitas muslim yang baru di Madinah, ajaran zakat mulai dilembagakan sebagai bagian dari kewajiban keagamaan. Zakat mulai diwajibkan pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah (624 Masehi), setelah diperkenalkannya zakat fitrah pada bulan Sya’ban di tahun yang sama9. Pada periode Madinah, ditentukan jumlah minimal harta yang wajib zakat
7
Quraish Shihab. 2001. Panduan Zakat. Penerbit Republika. Jakarta, hlm. 88. Irfan Abubakar dan Chaider S. Bamualim (eds.). 2006. Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi, dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia. CSRC UIN Syarif Hidayatullah dan The Ford Foundation. Jakarta, hlm. 67; Adiwarman Azwar Karim, “Filantropi dalam Pandangan Agama-agama dan Praktiknya di Dunia Islam dan Kristen Barat” dalam Idris Thaha (ed.). 2003. Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Indonesia. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Teraju. Jakarta, hlm. 94. Bangsa Arab sangat terkenal dengan kemurahhatian dan keramahtamahannya. Memberi santunan kepada orang miskin bukanlah hal yang baru bagi bangsa Arab. Namun ketika Islam mengajarkan zakat sebagai suatu kewajiban (haqq ma’lum), bukan sekedar kemurahhatian, wajar saja bila kemudian timbul resistensi dari sebagian bangsa Arab. 9 Sayyid Sabiq. Op.cit., hlm. 277; Muhammad Amin Suma, “Pengelolaan Zakat dalam Perpektif Sejarah” dalam Muhtar Sadili dan Amru (ed.). 2003. Problematika Zakat Kontemporer. Forum Zakat. Jakarta, hlm. 55-71; Idris Thaha (ed.). Op.cit., hlm. 94; Ridwan Mas’ud dan Muhammad. Op.cit., hlm. 39; Irfan Abubakar dan Chaider S. Bamualim (eds.). Op.cit., hlm. 90; Abdul Ghofur Anshori. Op.cit., hlm. 5; Yasin Ibrahim al Syaikh. 2008. Kitab Zakat: Hukum, Tata Cara, dan Sejarah. Marja. Bandung, hlm. 119; 8
4
(nishab) dan jumlah kewajiban zakat, administrasi, pengumpulan dan penyaluran zakat. Kondisi demografis komunitas Islam awal yang belum begitu kompleks memudahkan untuk menjalankan pemberian zakat langsung kepada penerima (mustahiq zakat atau masharif al zakat)10. Pada saat itu, lembaga perantara belum terlalu dibutuhkan. Namun kenyataan bahwa Nabi Muhammad telah mulai meminta beberapa sahabat, seperti Umar dan Ali, untuk mengumpulkan zakat, menunjukkan bahwa benih kelembagaan zakat telah disemai sejak masa hidup Nabi. Para sahabat itu bahkan diminta oleh Nabi untuk memungut zakat di daerahdaerah pelosok yang dihuni oleh suku-suku yang telah menerima Islam dan tunduk kepada otoritas politik Madinah11. Para petugas yang ditunjuk oleh Nabi dibekali dengan petunjuk-petunjuk teknis operasional dan bimbingan serta peringatan keras dan ancaman sanksi agar dalam pelaksanaan dan pengelolaan zakat benar-benar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya12. Sepeninggal Nabi, praktik pemungutan zakat oleh petugas negara tetap dilakukan oleh Khulafa’ al Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kebijakan Khalifah Abu Bakar yang 10
Al Qur’an Surat al Taubah (9) ayat 60. “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orangorang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. Departemen Agama RI. 2007. Al Qur’an dan Terjemahnya. Darus Sunnah. Jakarta, hlm. 197. 11 al Khuza’i. 1981. Kitab Tahrij al Dalalah al Syar’iyyah. Abu Salama (ed.). Tanpa Penerbit. Kairo, hlm. 544; Irfan Abubakar dan Chaider S. Bamualim (eds.). Op.cit., hlm. 68. Idris Thaha (ed.). Op.cit., hlm. 94. Rasulullah pernah mengirim Ala al Hadrami ke Bahrain dan Amr ke Oman pada tahun 8 Hijriyah, Muadz ke Yaman pada tahun 9 Hijriyah. Umrotul Khasanah. Op.cit., hlm. 9. Rasulullah juga mengangkat pegawai zakat antara lain Ibnu Lutbiyyah, Abu Mas’ud, Abu Jahm, Uqbah bin Amir, Dahhaq, Ibnu Qais, dan Ubadah al Samit. 12 Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al Thayyar. 1414 H. al Zakat wa Tathbiqatuha al Mu’ashirah. Cetakan 11. Dar al Wathan. Riyadl, hlm. 48; Abdurrachman Qadir, Op.cit., hlm. 89.
5
memerangi sebagian orang yang menolak untuk membayar zakat kepada negara sepeninggal Nabi, karena dianggap sebagai tindakan membangkang ajaran agama (riddah)13, sangat menentukan praktik pengumpulan zakat oleh negara pada periode-periode berikutnya, hingga kemudian praktik ini memudar menjelang abad ke-12 Masehi14. Sejak masa itu dan selanjutnya, praktik zakat secara umum berlangsung secara interpersonal, meskipun fikih tetap membolehkan zakat diberikan kepada negara15. Namun demikian, hilangnya pengumpul zakat resmi oleh negara tidak lantas menyebabkan zakat semata-mata diserahkan langsung oleh muzakki kepada penerima. Di beberapa tempat seperti di Afrika atau lainnya, imam masjid, ulama lokal atau tarekat sufi menjalankan fungsi sebagai pengumpul zakat16.
13 al Imam al Jashshash. 1993. Ahkam al Qur’an. Jilid III. Dar al Fikr. Beirut, hlm. 122; Yusuf Qardhawi. Op.cit., hlm. 82; Sukron Kamil. “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqih: Problem dan Solusi”, dalam Idris Thaha (ed.). Op.cit., hlm. 55. 14 Gregory C. Kozloski, “Religious Authority, Reform and Philanthropy in the Contemporary Muslim World”, dalam Warren F. Ilchman (ed.). Op.cit., hlm. 282. 15 Abu Yusuf. 1975. Kitab al Kharaj. Jilid I. Tanpa Penerbit. Baghdad, hlm. 536. Rifyal Ka’bah. Op.cit., hlm 67. Kewajiban zakat yang harus disalurkan melalui negara ini berlangsung sampai ke masa pemerintahan Umawi dan awal pemerintahan Abbasi. Setelah itu sampai hari ini, zakat menjadi lembaga sukarela, tanpa kewajiban negara untuk menyalurkannya. 16 Tipologi pengelolaan zakat di dunia Islam pada dasarnya ada tiga macam, yaitu sentralisasi (Pakistan dan Sudan), pengelolaan zakat oleh masyarakat (Turki), dan pengelolaan zakat oleh pemerintah dan masyarakat (Jordania dan Indonesia pada masa UU Nomor 38 Tahun 1999). Amelia Fauziyah, “Masyarakat dan Negara dalam Pengelolaan Dana Zakat: Implikasi UUPZ 2011 terhadap Perkembangan Zakat dan Civil Society di Indonesia”, Membaca UU Pengelolaan Zakat dalam Multi-Perspektif: Konstitusi, Ekonomi, Sosiologis, dan Sejarah Bangsa. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 22 November 2011. Asep Saefuddin Jahar, “Zakat Antar Bangsa Muslim: Menimbang Posisi Realistis Pemerintah dan Oraganisasi Masyarakat Sipil”. Zakat & Empowering. Volume 1 Nomor 4. Agustus 2008. CID Dompet Dhuafa. Jakarta, hlm. 16. Ada dua model pengelolaan zakat. Pertama, zakat dikelola oleh negara dalam sebuah departemen. Kedua, zakat dikelola lembaga non-pemerintah (masyarakat sipil) atau semipemerintah dengan mengacu pada aturan yang ditetapkan oleh negara. Model pertama, pengumpulan dan pendistribusian zakat ditetapkan oleh kebijakan pemerintah dengan melihat pada kebutuhan masyarakat sehingga zakat mirip seperti pajak yang dilakukan pada negara-negara sekuler. Sistem pengelolaan zakat seperti ini bersifat langsung, artinya warga masyarakat muslim berkewajiban membayar zakat dengan cara dipotong langsung dari harta yang dimilikinya. Sementara pada model kedua, pengelolaan zakat dilakukan oleh masyarakat sipil dengan cara suka rela sedang negara hanya bersifat sebagai fasilitator atau regulator.
6
Di Indonesia, aktivitas zakat diperkirakan sudah mulai dipraktekkan sejak adanya beberapa orang Islam yang datang ke Nusantara sekitar abad kedelapan sampai kesembilan Masehi17. Namun, besar kemungkinan praktik tersebut mulai tampak nyata khususnya ketika Islam sudah menjadi kekuatan sosial dan politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam pada akhir abad keduabelas Masehi18. Pada abad kesembilanbelas setelah proses Islamisasi menyebar hampir di seluruh pelosok Nusantara, praktik zakat bisa ditemukan di semua komunitas muslim di Indonesia, meskipun jenis zakat yang dipraktekkan secara umum barulah zakat fitrah, sementara zakat mal masih sangat terbatas19. Hingga periode ini, tidak ada bukti kuat bahwa zakat dikelola oleh negara meskipun kalangan pembesar istana kerajaan terbiasa mengeluarkan zakat. Di masa penjajahan Belanda, zakat pernah dimobilisasi oleh tokoh agama (penghulu). Harta zakat selain digunakan untuk menolong umat yang sedang kesulitan, sebagian lainnya dijadikan modal perjuangan untuk melawan penjajah20. Namun praktik mobilisasi zakat ini tidak berlangsung lama, sebab pemerintah Belanda kemudian melakukan kontrol yang cukup ketat dengan cara mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan zakat kaum Muslim 17
Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ”Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia” dalam Idris Thaha (ed.). Op.cit., hlm. 157189; Irfan Abubakar dan Chaider S. Bamualim (eds.). Op.cit., hlm. 96. 18 Menurut Ricklefs di wilayah Sumatera telah ada kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri pada akhir abad keduabelas Masehi. Namun data-data sejarah menunjukkan bahwa baru pada abad ketigabelas Masehi beberapa bagian Sumatera seperti Perlak dan Samudera Pasai, berada di bawah kekuasaan Islam. M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terjemahan dari A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition. Serambi. Jakarta; Irfan Abubakar dan Chaider S. Bamualim (eds.). Op.cit., hlm. 136. 19 C. Snouck Hurgronje. 1992. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jilid VII. INIS. Jakarta, hlm. 1323-1379. 20 Mohammad Daud Ali. 1988. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. UI Press. Jakarta, hlm. 32; Uswatun Hasanah, “Potret Filantropi Islam di Indonesia” dalam Idris Thaha (ed.). Op.cit., hlm. 211; Abdul Ghofur Anshori. Op.cit., hlm. 6.
7
pada tanggal 4 Agustus 1893 yang dituangkan dalam Bijblad Nomor 189221 dan pada tanggal 28 Februari 1905 yang dituangkan dalam Bijblad Nomor 620022. Hal ini menyebabkan penerimaan zakat menurun, sehingga dana rakyat untuk melawan penjajah tidak memadai. Pada masa orde baru, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1968 tertanggal 15 Juli 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1968 tertanggal 22 Oktober 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kotamadya. Dalam pidato peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara pada tanggal 26 Oktober 1968, presiden Soeharto menganjurkan untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisir, bahkan secara pribadi presiden bersedia menjadi amil zakat tingkat nasional. Anjuran ini menjadi pendorong terbentuknya Badan Amil Zakat di berbagai propinsi yang dipelopori oleh Pemda DKI Jakarta pada tanggal 5 Desember 196823. Sejak tahun 1999, ada beberapa peraturan terkait pelaksanaan zakat yang telah ditetapkan. Berdasarkan tahun ditetapkannya peraturan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
21 Kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi pelaksanaan zakat fitrah oleh penghulu atau naib dengan alasan untuk mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat. Ironisnya penghulu atau naib yang bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan Belanda itu tidak digaji dan tidak diberi tunjangan. Ibid. 22 Pemerintah Belanda melarang semua pegawai pemerintahan dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Ibid. 23 Di bawah Gubernur Ali Sadikin, Pemda DKI Jakarta mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Cb.14/8/18/68 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam dalam wilayah DKI Jakarta. Uswatun Hasanah, “Potret Filantropi Islam di Indonesia” dalam Idris Thaha (ed.). Op.cit., hlm. 213.
8
1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebagai peraturan pertama yang mengaitkan zakat sebagai kewajiban beragama dengan pajak sebagai kewajiban warga negara24; 2. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang memuat unsur-unsur kelembagaan meliputi susunan organisasi dan tata kerja pengelola zakat baik itu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah25, maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat26; 3. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat; 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional; 5. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan; 6. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang Dana Zakat untuk Istitsmar (Investasi);
24
“Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”, UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 14 Ayat (3). Lihat Abdul Ghofur Anshori. Op.cit., hlm. 165. 25 “Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah”, UU Nomor 38 Tahun 1999 Pengelolaan Zakat Pasal 6 Ayat (1). 26 “Lembaga amil zakat adalah instistusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat”, Penjelasan atas UU Nomor 38 Tahun 1999 Pengelolaan Zakat Pasal 7 Ayat (1).
9
7. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek PPh; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto; 10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menggantikan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat27; 11. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat; 12. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram; 13. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Penarikan, Pemeliharaan, dan Penyaluran Harta Zakat; 14. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyaluran Harta Zakat dalam Bentuk Aset Kelolaan;
27
Zakat.
Konsideran huruf e dan Penjelasan atas UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
10
15. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2011
tentang
Pengelolaan Zakat terhadap UUD RI 1945; 16. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; dan 17. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif. Dalam konsideran UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat bagian menimbang huruf c dinyatakan bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Begitu pula dalam penjelasan bagian umum alinea pertama dinyatakan kembali bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan. Selanjutnya dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa: Pengelolaan zakat berasaskan: a. Syariat Islam: b. Amanah; c. Kemanfaatan; d. Keadilan; e. Kepastian hukum; f. Terintegrasi; dan g. Akuntabilitas.
11
Dalam penjelasan UU Pengelolaan Zakat (UUPZ) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan asas keadilan adalah pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan secara adil. Pertimbangan prinsip keadilan dalam distribusi zakat juga dijelaskan dalam Pasal 26: Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Menurut M. Fuad Nasar, apa yang dimaksud dengan adil disini tidak hanya mencakup skala prioritas berdasarkan proporsinya, melainkan juga kemampuan untuk merumuskan kebutuhan para mustahik secara faktual28. Oleh karena itu, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat memberikan amanat bahwa zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, serta meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan zakat tersebut, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan
di
ibukota
negara,
BAZNAS
propinsi,
dan
BAZNAS
kabupaten/kota. Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Berkaitan dengan syarat pembentukan LAZ, UU Pengelolaan Zakat menegaskannya dalam Pasal 18:
28 M. Fuad Nasar et al. 2012. Standarisasi Amil Zakat di Indonesia Menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Direktorat Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta, hlm. 75.
12
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b. Berbentuk lembaga berbadan hukum; c. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d. Memiliki pengawas syariat; e. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f. Bersifat nirlaba; g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang mensyaratkan bahwa LAZ harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan berbentuk lembaga berbadan hukum mengakibatkan ketidakadilan sebab menafikan keberadaan lembaga atau perorangan yang selama ini telah bertindak sebagai amil zakat. Lebih dari itu, dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ditegaskan adanya ancaman sanksi bagi masyarakat yang mengelola zakat tapi tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang sebagaimana dipaparkan berikut ini: Pasal 38: Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang. Pasal 41: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
13
Rumusan norma larangan terutama frasa “setiap orang” pada Pasal 38 terlalu umum/luas, sehingga berpotensi mengkriminalisasi pengelolaan zakat oleh perkumpulan, perseorangan, atau takmir/pengurus masjid yang selama ini telah berjalan. Ketentuan ini telah menimbulkan ketidakadilan dari aspek pemberian kesempatan kepada perseorangan karena mengabaikan eksistensi amil zakat yang telah melayani umat sejak lama sebelum UU tersebut berlaku. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat hanya mengabulkan sebagian kecil gugatan yaitu terkait syarat LAZ harus berbentuk ormas Islam, berbadan hukum, dan memiliki pengawas syariat dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, b, dan d, dan frasa “setiap orang” dalam Pasal 38 dan 41, dan menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945. Pada UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, posisi lembaga pengelola zakat yang dibentuk pemerintah maupun masyarakat memiliki kesetaraan posisi dan kewenangan dalam melakukan pengelolaan zakat. Keduanya bertugas untuk mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 8: Badan Amil Zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Lembaga Amil Zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
14
Hal yang berbeda dinyatakan dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 17: Untuk
membantu
BAZNAS
dalam
pelaksanaan
pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan masyarakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. Kata membantu menunjukkan ketidaksetaraan posisi di antara BAZNAS dan LAZ. Pasal 17 telah mensubordinasikan kedudukan LAZ sebagai lembaga pengelola zakat yang dibentuk masyarakat di bawah BAZNAS sebagai lembaga pengelola zakat yang dibentuk pemerintah. Eksistensi LAZ hanya sekedar membantu BAZNAS dalam melakukan pengelolaan zakat. Subordinasi LAZ juga disertai kewajiban LAZ terhadap BAZNAS yang harus ditunaikan, yaitu melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit secara berkala. Dalam konteks BAZNAS sebagai operator, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menerapkan persyaratan yang ketat pada pendirian LAZ, sementara hal yang sama tidak diterapkan kepada BAZNAS karena statusnya sebagai lembaga pengelola zakat yang dibentuk pemerintah. Pendirian BAZNAS di semua tingkatan menjadi amanat UU. Selain itu, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat memberi privilege secara luar biasa kepada BAZNAS, sehingga menciptakan level of playing field yang tidak sama antara BAZNAS dan LAZ. Ketika LAZ dihadapkan pada disiplin kinerja yang tinggi karena kelangsungan operasionalnya sepenuhnya tergantung pada zakat
15
yang dihimpun, BAZNAS mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD serta tetap berhak menggunakan zakat untuk operasionalnya, yaitu hak amil29. Berkaitan dengan amil zakat perseorangan atau perkumpulan orang dalam masyarakat, amil zakat tersebut hanya dapat melakukan pengelolaan zakat jika di suatu komunitas atau wilayah tertentu secara geografis jaraknya cukup jauh dari BAZNAS dan LAZ serta tidak memiliki infrastruktur untuk membayarkan zakat kepada BAZNAS dan LAZ sehingga belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ. Hal ini akan menimbulkan polemik bagi amil zakat perseorangan atau perkumpulan orang dalam masyarakat yang berada di wilayah yang sudah memiliki BAZNAS dan LAZ seperti di beberapa kota-kota besar. Putusan Mahkamah Konstitusi dan PP Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 66 secara langsung mematikan potensi amil zakat perseorangan atau perkumpulan orang dalam masyarakat di kota-kota besar dan atau daerah-daerah yang sudah terdapat BAZNAS dan LAZ. Pengakuan negara terhadap keberadaan amil zakat perseorangan atau perkumpulan orang dalam masyarakat yang hanya beroperasi di wilayah yang belum terjangkau BAZNAS dan LAZ telah menghilangkan kesempatan bagi amil zakat perseorangan atau perkumpulan orang dalam masyarakat di wilayah yang sudah memiliki BAZNAS dan LAZ untuk melakukan pengelolaan zakat. Ketidakadilan pada aspek pemerataan pendistribusian zakat terlihat pada pelaksanaan pengelolaan zakat di lapangan. Beberapa hasil penelitian tentang 29 Heru Susetyo. 2012. Selamatkan Gerakan Zakat: Catatan-Catatan Kritis atas UndangUndang No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ). Jakarta, hlm. 20.
16
pengumpulan dana zakat di Indonesia menunjukkan adanya fluktuasi nominal dari tahun ke tahun sebagaimana berikut ini30: Tabel 1 Pengumpulan Dana Zakat di Indonesia 2002-2012 Tahun Total Dana Zakat Pertumbuhan Tahunan(%) 2002 68.39 miliar 2003 85.28 miliar 24.70 2004 150.09 miliar 76.00 2005 295.52 miliar 96.90 2006 373.17 miliar 26.28 2007 740.00 miliar 98.30 2008 920.00 miliar 24.32 2009 2010 1.50 triliun 2011 1.70 triliun 13.33 2012 2.73 triliun 60.59 Sumber: diolah dari Muhammad Firdaus et al. “Economic Estimation and Determinations of Zakat Potential in Indonesia”. IRTI Working Paper Series. Jeddah: Islamic Research and Training Institute. 9 Oktober 2012, hlm. 1; http://17-08-1945.blogspot.com/2011/11/koran-digital-yusufwibisono-ironi-ruu.html diakses tanggal 15 Desember 2013; http://news.liputan6.com/read/648347/baznas-potensi-zakat-indonesiacapai-rp-217-triliun diakses tanggal 15 Desember 2013
Besarnya dana zakat yang berhasil dihimpun oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia belum dibarengi dengan pendistribusian yang adil. Belum adanya strategic planning secara nasional, baik penghimpunan maupun pendayagunaan mengakibatkan terjadinya irisan wilayah penghimpunan. Pada Focused Group Discussion (FGD) Sharing Program Pemberdayaan dan Rencana Sinergi yang diselenggarakan oleh Forum Zakat (FOZ) pada tanggal 27 Oktober 2011, 30
Muhammad Firdaus et al. “Economic Estimation and Determinations of Zakat Potential in Indonesia”. IRTI Working Paper Series. Islamic Research and Training Institute. Jeddah. 9 Oktober 2012, hlm. 1; http://17-08-1945.blogspot.com/2011/11/koran-digital-yusuf-wibisonoironi-ruu.html diakses tanggal 15 Desember 2013; http://news.liputan6.com/read/648347/baznaspotensi-zakat-indonesia-capai-rp-217-triliun diakses tanggal 15 Desember 2013
17
sebanyak tiga belas lembaga pengelola zakat mempresentasikan programnya masing-masing. Ketigabelas lembaga pengelola zakat tersebut adalah: PKPU, BMM, Yatim Mandiri, Dompet Dhuafa, BSM Ummat, BAZNAS, Rumah Zakat, PKPU Lazis DDII, Baituz Zakah Pertamina, Al Azhar Peduli Ummat, Lazis Nahdlatul Ulama dan PPPA Darul Quran. Dari presentasi tersebut terlihat adanya banyak kesamaan program antara satu dengan lainnya yang bertitik tolak dari empat aspek yaitu: pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan dakwah31. Kesamaan program di antara lembaga pengelola zakat serta belum maksimalnya koordinasi dan sinergi di antara lembaga pengelola zakat berdampak pada terjadinya tumpang tindih dalam pendistribusian zakat. Satu wilayah bisa menjadi sasaran pendistribusian bagi beberapa lembaga zakat. Sementara ada daerah lain yang berhak menjadi mustahik, sama sekali tidak tersentuh oleh program lembaga pengelola zakat. Pendistribusian zakat yang tidak merata menggambarkan adanya ketidakadilan bagi mustahik yang berhak menerima zakat. Sementara itu, potensi zakat nasional pada tahun 2012 mencapai angka Rp 217 triliun atau setara dengan 3,4% dari Pendapatan Domestik Bruto. Potensi zakat nasional ini terbagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu potensi zakat rumah tangga nasional, potensi zakat industri menengah dan besar nasional serta zakat BUMN, dan potensi zakat tabungan nasional32. Meskipun demikian, pada kenyataannya pengumpulan zakat tidak mencapai nominal tersebut, bahkan Ketua BAZNAS, Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat hanya 31 Forum Zakat. “Program Sinergi FOZ: Perkuat Sinergi Program Pemberdayaan ZIS”. INFOZ+. Edisi 15 TH VI. November-Desember 2011. Forum Zakat. Jakarta, hlm. 15 32 Muhammad Firdaus et al. Op.cit., hlm. 65
18
bisa menghimpun dan mengelola sekitar Rp 2.73 triliun atau 1.26% dari potensi zakat nasional33. Berdasarkan penelitian tentang potensi zakat rumah tangga nasional dengan menggunakan data SUSENAS 2009 di seluruh provinsi Indonesia, terdapat provinsi dengan potensi zakat tertinggi, yaitu Jawa Barat Rp 17,67 triliun, Jawa Timur Rp 15,49 triliun, dan Jawa Tengah Rp 13,28 triliun34. Jawa Timur menempati posisi kedua sebagai provinsi dengan potensi zakat tertinggi di Indonesia dengan jumlah muzaki 2.871.741 orang35. Namun demikian jumlah mustahik di Jawa Timur menempati urutan pertama di Indonesia sebanyak 7.446.180 jiwa36. Penelitian ini dilakukan di Kota Malang yang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur37 dengan beberapa pertimbangan berikut ini: 1. Pengelolaan zakat di Malang tepatnya di Desa Putukrejo, Gondanglegi pernah menjadi contoh pelaksanaan inovasi zakat. Desa Putukrejo sudah sejak lama dikenal sebagai desa yang telah berhasil mempelopori
gerakan
untuk
memobilisasi
zakat.
Pengalaman
pengelolaan zakat di desa Putukrejo ini juga telah menarik minat 33
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/13/04/29/mm039ypotensi-zakat-rp-217-triliun-terserap-satu-persen diakses tanggal 15 Desember 2013 34 Muhammad Firdaus dan Irfan Syauqi Beik. “Potensi Rumah Tangga Zakat Nasional”. Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Islam Republika. 26 Desember 2011. 35 Hasil penelitian Dompet Dhuafa tentang data muzaki dan mustahik di Indonesia menyatakan bahwa terdapat 23.676.263 muzaki di seluruh Indonesia dengan jumlah kumulatif terbesar di Jawa Barat 4.721.101 orang, Jawa Timur 2.871.741 orang, DKI Jakarta 2.467.677 orang, Jawa Tengah 2.181.139, Banten 1.324.908 orang, dan Sumatra Utara 1.094.889 orang. M. Arifin Purwakananta et al. 2010. Peta Kemiskinan: Data Mustahik, Muzakki dan Potensi Pemberdayaan Indonesia. Dompet Dhuafa. Jakarta; Azyumardi Azra. 2010. Zakat dan Kemiskinan. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1643-zakat-dankemiskinan-.html diakses 27 Juli 2013. 36 Jumlah mustahik di seluruh Indonesia adalah 33,943.313 jiwa-angka yang tidak berbeda terlalu banyak dengan jumlah penduduk miskin dalam estimasi BPS. Kelompok yang berhak menerima zakat paling banyak terdapat di Jawa Timur 7.446.180 jiwa; Jawa Tengah 7.012.814; Jawa Barat 5.736.425; Lampung 1.560516; NAD 1.280.104; Sumatra Selatan 1.219.050; Banten 1.113.876; Sumatra Utara 1.076.778; NTB 1.041.402. Jumlah mustahik di provinsi-provinsi lain berkisar antara 60 ribuan sampai 500 ribuan orang. Ibid. 37 Eka Susi et al. 2013. Atlas Tematik Kota Malang. Intan Pariwara. Klaten, hlm. 2.
19
Menteri Agama, Mukti Ali pada tahun 1970-an untuk mengunjungi desa itu. Keunikan pengelolaan zakat di Putukrejo diantaranya: kelembagaan pengelola zakat melibatkan ulama, umaro, dan aghniya’, pemanfaatan dana zakat digunakan secara konsumtif untuk penduduk yang memerlukan sandang dan pangan serta untuk pembangunan desa, seperti jalan, sekolah, masjid-mushala, renovasi rumah warga, dan adanya penerapan sanksi bagi pembangkang zakat38. 2. Adanya Forum Sinergi Organisasi Pengelola Zakat Malang Raya sebagai wadah untuk berbagi informasi, berkoordinasi dan bersinergi di antara organisasi pengelola zakat yang ada di Malang Raya yang meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Pendirian forum ini digagas oleh Kementerian Agama Kota Malang pada tahun 2010. Hal yang menarik adalah adanya relasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diprakarsai masyarakat untuk bersama-sama meningkatkan pelayanan dalam pengelolaan zakat39. 3. Beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang berkantor di Kota Malang dalam hal penghimpunan dan pendistribusian zakat tidak hanya beroperasi di Kota Malang, lebih dari itu wilayahnya mencakup
38
Mahmud Thoha. “Pengelolaan Zakat di Desa Putukrejo, Gondanglegi, Malang dalam Firmansyah (ed.). 2009. Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus Jawa Barat dan Jawa Timur. LIPI Press. Jakarta, hlm. 113-144; Yamin Hadad. 2008. “Dinamika Pengelolaan Zakat di Desa Putukrejo, Gondanglegi, Malang”, Disertasi, IAIN Sunan Ampel. Surabaya. 39 Wawancara dengan MNC, Ketua Forum Sinergi Organisasi Pengelola Zakat Malang Raya. 4 Juli 2014.
20
Malang Raya yang terdiri dari Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu40. Berdasarkan uraian dan paparan di atas, maka penelitian tentang Pengelolaan Zakat Berdasarkan Asas Keadilan (Studi Kasus Pengelolaan Zakat di Malang Jawa Timur) penting untuk dilakukan.
B. Perumusan Masalah Bertitik tolak pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan dalam peraturan perundang-undangan? 2. Bagaimana pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur? 3. Bagaimana prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur?
C. Tujuan Penelitian Dari permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan dalam peraturan perundang-undangan;
40
Ibid.
21
2. Mendeskripsikan
dan
menganalisis
pelaksanaan
pengelolaan
zakat
berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur; 3. Menganalisis prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur.
D. Keaslian Penelitian Sepanjang pelacakan peneliti, belum ditemukan kajian yang secara spesifik mengangkat judul “Pengelolaan Zakat Berdasarkan Asas Keadilan (Studi Kasus Pengelolaan Zakat di Malang Jawa Timur)”. Beberapa tulisan dan hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah: 1. Abdurrachman Qadir, Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997, Reaktualisasi Zakat (Suatu Telaah Teoritik Menurut Konsep Keadilan) menyimpulkan bahwa: a) Harta harus dipergunakan dan difungsikan secara optimal dan maksimal melalui berbagai aktivitas sosial ekonomi, termasuk penunaian zakat, infak, dan sadakah serta berbagai amal kebajikan lainnya guna mencapai ridha-Nya; b) Ibadah zakat memiliki wawasan yang multi dimensi yaitu suatu kewajiban spiritual kepada Allah (ibadah mahdhah) dan kewajiban sosial (mu’amalah) dalam membantu golongan lemah, fakir miskin dan delapan ashnaf lainnya; c) Zakat adalah salah satu wujud dan instrumen serta implementasi keadilan yang komprehensif; d) Paradigma zakat baik pada
konsep
teoritik
maupun
pada
konsep
operasionalnya,
perlu
direaktualisasi dan direformasi dalam rangka menemukan esensi dan
22
wawasan kewajiban zakat sebagai salah satu instrumen keadilan, khususnya keadilan sosial41. 2. Didin Hafidhuddin, Disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001, Zakat dalam Perekonomian Modern menyimpulkan bahwa: a) Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah, artinya ibadah di bidang harta yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat; b) Banyak hikmah dan manfaat dari ibadah zakat, baik yang akan dirasakan oleh pemberi zakat (muzakki), penerima (mustahik), maupun masyarakat secara keseluruhan; c) Di dalam menentukan sumber atau objek zakat, Al-Qur’an dan Hadits mempergunakan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan tafsil (terurai) dan pendekatan ijmal (global); d) Beberapa contoh sektor ekonomi modern potensial sebagai harta wajib adalah zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat berharga, zakat perdagangan mata uang, zakat hewan ternak yang diperdagangkan, zakat madu dan produk hewani, zakat investasi properti, zakat asuransi syariah dan zakat sektor-sektor modern lainnya; e) Zakat dan pajak memiliki kesamaan dalam beberapa hal, tetapi juga memiliki beberapa perbedaan yang mendasar; f) Zakat yang dikumpulkan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Badan Amil Zakat (BAZ) bisa diberikan secara konsumtif maupun produktif42. 3. Palmawati Tahir, Disertasi, Universitas Indonesia Jakarta, 2004, Zakat dan Negara (Studi tentang Prospek Zakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan Berlakunya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan 41 42
Abdurrachman Qadir, Op.cit., hlm. vii, 225-227. Didin Hafidhuddin, Op.cit., hlm. vii, 140-142.
23
Zakat) menyimpulkan bahwa43: a) Para ahli hukum telah sepakat bahwa pengumpulan zakat kepada yang berhak menerimanya pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara dengan memberikan fasilitas yang dapat memudahkan terlaksananya pengelolaan zakat; b) Zakat adalah ibadah yang berhubungan dengan harta dan merupakan salah satu bagian maqasid al syari’ah yang wajib dilindungi; c) Melalui berbagai kerajaan Islam di Nusantara, zakat telah dikelola oleh masyarakat (dan juga negara); d) Meskipun zakat dan pajak telah diatur dalam Pasal 14 ayat (3) UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, kedudukan zakat dan pajak di Indonesia masih berjalan sendiri-sendiri (secara terpisah); e) Pasal-pasal di dalam UUPZ perlu disempurnakan; f) Potensi zakat sampai sekarang belum tergarap dengan maksimal. 4. Yamin Hadad, Disertasi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008, Dinamika Pengelolaan Zakat di Desa Putukrejo, Gondanglegi, Malang menyimpulkan adanya tiga sistem kolaborasi yang berbeda pada pengelolaan zakat di Putukrejo oleh ulama, umara, dan aghniya’ yaitu: a) Kolaborasi normatif tradisional dilaksanakan sebelum tahun 1970 dimana zakat dipahami sebatas kewajiban personal dan diberikan langsung kepada mustahik atau lewat para kiai di pondok pesantren, masjid atau mushalla; b) Kolaborasi normatif profesional dilaksanakan sesudah tahun 1970, bahwa zakat selain bentuk ibadah kepada Allah juga bentuk ibadah sosial dengan tujuan meningkatkan 43 Palmawati Tahir, 2004, “Zakat dan Negara (Studi tentang Prospek Zakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan Berlakunya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat)”, Disertasi, Universitas Indonesia. Jakarta.
24
kesejahteraan fakir miskin; c) Kolaborasi normatif transisional dilaksanakan sesudah tahun 1999, yaitu kolaborasi yang mengalami masa transisi akibat tidak ada regenerasi secara struktural44. 5. Muhammad Hadi, Disertasi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009, Zakat Profesi dan Implementasinya bagi Pegawai Negeri Sipil di Tulungagung, Jawa Timur menyimpulkan bahwa: a) Paham tentang kewajiban zakat profesi di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tampak beragam, sebagian menerima karena memahami dengan sikap yang positif dan optimis, sedangkan sebagian yang lain menolak karena memahami dengan pengertian yang negatif, pesimis dan terbatas pada pemahaman zakat yang bersifat ritual mahdhah; b) PNS melakukan pembayaran zakat dan infak di Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dan BAZ pada hakekatnya bertumpu pada paham kewajiban zakat, SK Bupati dan interpretasi ulama dalam bingkai hukum positif45. 6. N. Oneng Nurul Badriyah, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Kontekstualisasi Total Quality Management dalam Lembaga Pengelola untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip dan Praktik) menyimpulkan bahwa lembaga pengelola zakat telah menerapkan manajemen mutu (TQM) dalam operasionalnya sebagai upaya memberdayakan ekonomi masyarakat. Argumentasi yang dibangun atas kesimpulan tersebut adalah adanya indikator mutu kinerja lembaga pengelola zakat yang meliputi: kepemimpinan,
44 45
Yamin Hadad. Op.cit., hlm. 303-304. Muhammad Hadi, Op.cit., hlm. 243-244.
25
perencanaan strategis, fokus pada muzaki dan mustahik, pengukuran dan analisis manajemen, sumber daya amil, dan pencapaian hasil46. Fokus kajian dalam penelitian ini berbeda dalam hal lokasi penelitian, sudut pandang, ruang lingkup isu, dan subjek penelitian. Beberapa penelitian terdahulu dilakukan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, sedangkan penelitian ini dilakukan setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap UUD RI 1945, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Penelitian ini memusatkan kajian pada konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan dalam peraturan perundang-undangan, pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur, dan prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur. Berikut ini dikemukakan tabel tentang penelitian terdahulu yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini: Tabel 2 Perbandingan Penelitian Terdahulu Dengan Penelitian Baru Peneliti Abdurrachman Qadir, Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997
Judul Reaktualisasi Zakat (Suatu Telaah Teoritik Menurut Konsep Keadilan)
Fokus Penelitian 1. Konsep kewajiban zakat dan asas pelaksanaannya 2. Konsep dan paradigma tentang harta dan pemilikannya dan
Penelitian Baru Penelitian ini berbeda dalam hal sudut pandang dan ruang lingkup isu. Penelitian ini menganalisis konsep pengelolaan
46 N. Oneng Nurul Badriyah, 2010, “Kontekstualisasi Total Quality Management dalam Lembaga Pengelola untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip dan Praktik)”, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
26
Didin Hafidhuddin, Disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001
Palmawati Tahir, Disertasi, Universitas Indonesia Jakarta, 2004
Zakat dalam Perekonomian Modern
kaitannya dengan ibadah zakat 3. Konsep keadilan dalam Islam dan hubungannya dengan zakat 4. Reaktualisasi zakat yang berwawasan keadilan dalam upaya mewujudkan keadilan sosial, khususnya pengentasan kemiskinan Bagaimana menempatkan beragam komoditi dan jasa yang terus berkembang dari masa ke masa sebagai sumber atau objek zakat?
zakat berdasarkan asas keadilan dalam peraturan perundangundangan dan prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur
Penelitian ini berbeda dalam hal sudut pandang dan ruang lingkup isu. Penelitian ini menganalisis konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan dalam peraturan perundangundangan. Zakat dan Negara Prospek zakat dalam Penelitian ini (Studi tentang meningkatkan dilakukan setelah Prospek Zakat kesejahteraan ditetapkannya dalam masyarakat dengan Undang-Undang Meningkatkan berlakunya UU Nomor 23 Tahun Kesejahteraan Nomor 38 Tahun 2011 tentang Masyarakat 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dengan Pengelolaan Zakat Putusan Mahkamah Berlakunya UU Konstitusi Nomor No. 38 Tahun 86/PUU-X/2012 1999 tentang dalam perkara Pengelolaan pengujian UndangZakat) Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap UUD RI 1945, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014
27
Yamin Hadad, Disertasi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008
Muhammad Hadi, Disertasi, IAIN Sunan
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Penelitian ini menganalisis konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan dalam peraturan perundangundangan. Dinamika 1. Sistem kolaborasi Penelitian ini Pengelolaan ulama, umara, dan berbeda dalam hal lokasi penelitian dan Zakat di Desa aghniya dalam Putukrejo, pengelolaan zakat, subjek penelitian. Gondanglegi, infak dan sadaqah Penelitian ini Malang di BAZIS dilakukan di Malang dengan subjek Putukrejo, penelitian pengelola Gondanglegi, zakat yang dibentuk Malang 2. Upaya kolaborasi pemerintah ulama, umara dan (BAZNAS) dan pengelola zakat aghniya dalam menyelesaikan yang dibentuk masyarakat baik problem sosial yang berbentuk yang dihadapi lembaga (LAZ) masyarakat Desa Putukrejo dengan maupun perseorangan. menggunakan dana zakat, infak Penelitian ini dan sadaqah menganalisis pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur dan menganalisis prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur Zakat Profesi dan Implementasi zakat Penelitian ini Implementasinya profesi Pegawai berbeda dalam hal bagi Pegawai Negeri Sipil di lokasi penelitian dan
28
Ampel Surabaya, 2009
Negeri Sipil di Tulungagung, Jawa Timur
N. Oneng Nurul Badriyah, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Kontekstualisasi Total Quality Management dalam Lembaga Pengelola untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip dan Praktik)
Tulungagung yang terkait dengan relasi paham kewajiban zakat, Surat Keputusan Bupati, dan interpretasi ulama
subjek penelitian. Penelitian ini dilakukan di Malang dengan subjek penelitian pengelola zakat yang dibentuk pemerintah (BAZNAS) dan pengelola zakat yang dibentuk masyarakat baik yang berbentuk lembaga (LAZ) maupun perseorangan. Penelitian ini menganalisis pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur dan menganalisis prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur 1. Implementasi Penelitian ini TQM pada berbeda dalam hal lembaga pengelola lokasi penelitian dan zakat subjek penelitian. 2. Persamaan dan Penelitian ini perbedaan TQM dilakukan di Malang Lembaga dengan subjek Pengelola Zakat penelitian pengelola dengan TQM pada zakat yang dibentuk lembaga profit pemerintah 3. Kinerja Lembaga (BAZNAS) dan Pengelola Zakat pengelola zakat dalam yang dibentuk Pemberdayaan masyarakat baik Ekonomi yang berbentuk Masyarakat lembaga (LAZ) maupun perseorangan. Penelitian ini
29
menganalisis pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur dan menganalisis prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur Sumber: penelitian-penelitian terdahulu
E. Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangan pikiran baik secara praktis maupun secara teoritis yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.
Kegunaan praktis: memberikan masukan bagi BAZNAS Kota Malang, LAZ dan pengelola zakat baik yang berbentuk perkumpulan ataupun amil zakat perseorangan di Malang, Kementerian Agama Kota Malang, dan Pemerintah Kota Malang mengenai perlunya pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan pada aspek pemberian kesempatan dan pemerataan pendistribusian zakat dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna zakat;
2.
Kegunaan teoritis: memberikan sumbangan bagi pengembangan disiplin ilmu yang berkaitan dengan hukum zakat khususnya dalam hal konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan pada aspek pemberian kesempatan dan pemerataan pendistribusian zakat.
30
F. Cara Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian tentang Pengelolaan Zakat Berdasarkan Asas Keadilan (Studi Kasus Pengelolaan Zakat di Malang) adalah perpaduan antara penelitian hukum normatif47 dan penelitian hukum empiris48. Penelitian ini adalah penelitian studi kasus untuk menggambarkan secara lengkap mengenai ciri-ciri dari pengelolaan zakat di Malang Jawa Timur dan menganalisis prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur. Dengan demikian, generalisasi yang diperoleh juga sangat terbatas, yakni hanya pada ruang lingkup obyek penelitian yang bersangkutan49. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di lembaga pengelola zakat dan perkumpulan orang atau perseorangan yang melakukan pengelolaan zakat di Malang Jawa Timur. Lembaga pengelola zakat yang menjadi lokasi penelitian adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Malang dan 5 Lembaga Amil Zakat (LAZ). Penelitian di BAZNAS Kota Malang juga dilakukan di dua Baitul Maal 47
Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, hlm. 35. Penelitian hukum normatif meliputi pengkajian mengenai: asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif. Cetakan ke-13. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 14; Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, hlm. 86; Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 34-35. 48 Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia. Jakarta, hlm. 24. Penelitian hukum sosiologis atau empiris terdiri dari: penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta, hlm. 51. 49 Soerjono Soekanto. Op.cit. hlm. 55
31
yang dibentuk oleh BAZNAS Kota Malang, yaitu: Baitul Maal al-Hidayah di Jodipan dan Baitul Maal Barokah di Arjowinangun. LAZ yang menjadi lokasi penelitian meliputi: 1) Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Cabang Malang, 2) Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) Kota Malang, 3) Rumah Zakat (RZ) Cabang Malang, 4) Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Kota Malang, dan 5) Lembaga Manajemen Infak (LMI) Cabang Malang. Penelitian ini juga dilakukan di 7 perkumpulan orang yang terdiri dari: 1) Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Malang, 2) Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infak, Shadaqah, dan Wakaf Harapan Ummat (LPP-Ziswaf Harum), 3) Yayasan Amal Sosial Ash Shahwah (YASA), 4) Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sadaqah (LAZIS) Sabilillah, 5) Pusat Kajian Zakat dan Wakaf eL-Zawa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 6) Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sadaqah (LAZIS) Baitul Ummah, dan 7) Takmir Masjid Jami’ Kota Malang. 3. Data Penelitian Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data sekunder yang diperoleh dari bahanbahan pustaka50. a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Sumber data primer dipilih secara purposive sampling/sampel bertujuan yang didasarkan atas pertimbangan peneliti bahwa responden menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data. Pengumpulan 50
Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm. 51.
32
data dilakukan secara snowball sampling berdasarkan penunjukan atau rekomendasi responden awal. Pemilihan berakhir jika terjadi pengulangan informasi dan tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring. Data primer yang diperoleh
melalui
wawancara
dengan
responden
berkaitan
dengan
pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur dan prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur; b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, dimana sumber data dapat berupa dokumen-dokumen resmi, karya ilmiah, jurnaljurnal penelitian ilmiah, artikel ilmiah, surat kabar, majalah maupun sumber tertulis lain yang berhubungan dengan obyek penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini antara lain: 1) Dokumen tentang pelaksanaan pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat
di
Malang
Jawa
Timur
yang
meliputi
pengumpulan,
pendistribusian, pendayagunaan, dan pelaporan zakat. Dokumen tersebut berupa majalah, buletin, brosur, dan pamflet. 2) Bahan hukum yang terdiri dari: a) Bahan hukum primer meliputi: (1) UUD RI Tahun 1945; (2) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat;
33
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; (5) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional; (6) Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif; (7) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; (8) Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat; (9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap UUD RI 1945; (10) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah; (11) Fatwa MUI tanggal 2 Februari 1982 tentang Mentasarufkan Dana Zakat Untuk Kegiatan Produktif dan Kemaslahatan Umum; (12) Fatwa MUI Nomor Kep.-120/MU/II/1996 tentang Pemberian Zakat Untuk Beasiswa;
34
(13) Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Penggunaan Dana Zakat Untuk Istitsmar (Investasi); (14) Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat; (15) Fatwa MUI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyaluran Harta Zakat Dalam Bentuk Aset Kelolaan. b) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi51: (1) Hasil-hasil penelitian tentang pengelolaan zakat, khususnya hasil penelitian tentang pengelolaan zakat di Malang Jawa Timur; (2) Hasil karya dari kalangan hukum terkait zakat diantaranya: Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, Fiqh Zakat karya Yusuf Qardawi, dan Zakat dalam Perekonomian Modern karya Didin Hafidhudin. c) Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedi52.
4. Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu53. Wawancara dimaksudkan antara lain: untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; memproyeksikan 51
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2011. Op.cit., hlm. 13. Ibid. 53 Burhan Ashshofa. 1998. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta, hlm. 95. 52
35
kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah, memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota54.
Pada penelitian ini, wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview) terhadap responden yang memiliki pengetahuan, mendalami situasi dan lebih mengetahui informasi tentang pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur. Responden dalam penelitian ini berjumlah 38 orang yang terdiri dari 29 orang pengelola zakat baik yang berbentuk lembaga maupun perkumpulan orang atau perseorangan, 3 orang muzakki, dan 7 orang mustahik sebagaimana diuraikan berikut ini: 1)
BAZNAS Kota Malang
FZ, SH, FM
3 orang
Baitul Maal Barokah
KU, WI, RS
3 orang
Baitul Maal al Hidayah
SUA, NG, JE
3 orang
2)
BMH Cabang Malang
RI, BA, AN
3 orang
3)
LAZISMU Kota Malang
NHK
1 orang
4)
Rumah Zakat Cabang Malang
RU
1 orang
5)
LAZISNU Kota Malang
SUD
1 orang
6)
LMI Cabang Malang
AJ
1 orang
7)
YDSF Malang
AW
1 orang
8)
LPP-Ziswaf Harum
MNC, YI, AWI
3 orang
9)
YASA
NA, FJ
2 orang
54
Lexy J. Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung, hlm. 135.
36
10) LAZIS Sabilillah
SUL
1 orang
11) eL-Zawa UIN Malang
MT, IAR
2 orang
12) LAZIS Baitul Ummah
UK
1 orang
13) Takmir Masjid Jami’ Kota
ZAM, AA
2 orang
14) Muzakki
AC, FH, ZF
3 orang
15) Mustahik
EL, JU, NI, TU,
7 orang
Malang
IL, IF, DP Jumlah
38 orang
Dalam penelitian ini wawancara juga dilakukan terhadap narasumber55 untuk memberikan pendapat tentang prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur. Narasumber dalam penelitian ini berjumlah 6 orang yang terdiri dari: (1) TNB, Penyelenggara Syariah Kementerian Agama Kota Malang; (2) CA, Penyelenggara Zakat dan Wakaf Departemen Agama Kota Malang (2009-2011); (3) MNC, Ketua Forum Sinergi Organisasi Pengelola Zakat Malang Raya; (4) AS, pengasuh salah satu pondok pesantren di Kota Malang; (5) MA, Ketua RW 07 Kelurahan Jodipan; (6) TA, Sekretaris Kelurahan Arjowinangun.
55
Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti. Hubungan narasumber dengan objek yang diteliti disebabkan karena kompetensi keilmuan yang dimiliki, hubungan struktural dengan person-person yang diteliti, atau karena ketokohannya. Penggunaan narasumber dapat digunakan untuk menambah bahan hukum sekunder dalam penelitian normatif maupun menambah data sekunder dalam penelitian empiris. Ibid.
37
b. Studi Pustaka Studi pustaka digunakan untuk mendapatkan data sekunder sebagai pelengkap data primer, yang diperoleh melalui: 1) Pengelola zakat di Malang Jawa Timur yang terdiri dari: BAZNAS Kota Malang,
Baitul
Maal
al-Hidayah
Jodipan,
Baitul
Maal
Barokah
Arjowinangun, 5 LAZ, dan 7 perkumpulan orang atau amil zakat perseorangan di Kota Malang tentang pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di lembaga masing-masing; 2) Perpustakaan Kementerian Agama Kota Malang, Perpustakaan Kementerian Agama Kabupaten Malang, perpustakaan beberapa perguruan tinggi, dan internet berupa literatur buku-buku, hasil penelitian sebelumnya, dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan dalam peraturan perundang-undangan dan prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur. 5. Analisis Data Proses analisis data dimulai dengan menelaah semua peraturan perundangundangan, regulasi, hasil penelitian dan data sekunder lainnya yang berkaitan dengan konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan. Langkah selanjutnya melakukan
identifikasi
pasal-pasal
dan
ketentuan
yang
terkait
dengan
permasalahan pertama, yaitu konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan dalam
peraturan
perundang-undangan.
Analisis
data
dilakukan
dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, pendekatan historis, dan pendekatan komparatif. Pendekatan perundang-undangan dilakukan
38
dengan menggunakan prinsip-prinsip dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi: prinsip hirarki perundang-undangan, prinsip lex superior derogat legi inferiori, prinsip lex specialis derogat legi generali, dan prinsip lex posterior derogat legi priori. Pendekatan konsep dilakukan dengan menelaah pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan pengelolaan zakat. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan materi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan secara kronologis sejak ditetapkan dalam UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan hasil pendekatan perundang-undangan, konsep, dan historis, selanjutnya dilakukan pendekatan komparatif untuk menemukan persamaan dan perbedaan dalam peraturanperaturan berkaitan dengan konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan. Untuk menjawab permasalahan kedua, yaitu pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur diawali dengan penelusuran dokumen tentang pelaksanaan pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat di Malang Jawa Timur yang meliputi pengumpulan, pendistribusian,
pendayagunaan
dan
pengadministrasian
zakat.
Langkah
selanjutnya adalah melakukan wawancara terhadap responden untuk mendapatkan data terkait dengan pengelolaan zakat di Malang Jawa Timur. Untuk menghindari kesalahan-kesalahan dan meniadakan keragu-raguan, peneliti melakukan editing terhadap data primer yang sudah terkumpul. Peneliti memeriksa kembali informasi yang diperoleh dari responden dan narasumber dari segi kejelasan, konsistensi jawaban atau informasi, dan relevansinya bagi penelitian. Editing
39
dilakukan dengan maksud agar kelengkapan serta validitas data dan informasi terjamin. Langkah selanjutnya data diklasifikasikan secara sistematis dalam kategori-kategori atau koding agar mempermudah melakukan analisis. Data primer dari responden dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan. Hasil analisis dipertajam dengan batasan konseptual dan operasional keadilan yang terdiri dari: pemberian kesempatan bagi lembaga dan perseorangan untuk melakukan pengelolaan zakat serta pemerataan pendistribusian zakat. Batasan tersebut didasarkan pada keadilan dalam Islam dan keadilan dalam hukum khususnya menurut Utilitarianisme dan Deontologikalisme. Dengan demikian, diperoleh data deskriptif-analitis56 tentang apa yang dinyatakan oleh responden dan narasumber secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur. Berdasarkan hasil temuan dari permasalahan pertama dan kedua serta dilengkapi dengan hasil wawancara dari narasumber, maka didapatkan jawaban dari permasalahan yang ketiga, yaitu prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur. Keseluruhan data tersebut dipertajam dengan batasan konseptual dan operasional keadilan dan selanjutnya dilakukan analisis yang bersifat preskriptif57 untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang dilakukan. Argumentasi dilakukan peneliti untuk menemukan prospek pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur berdasarkan 56
Soerjono Soekanto. Op.cit. hlm. 250 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Op.cit., hlm. 252, Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad. Op.cit., hlm. 184. 57
40
konsep pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan dalam peraturan perundangundangan dan pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan asas keadilan di Malang Jawa Timur.