1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Adakalanya seorang siswa mengalami kesulitan walaupun dia telah mengeluarkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk belajar. Pemahaman yang didapatkannya tetap sedikit walaupun telah berusaha maksimal. Cashin (Rosyidah, 2007:1) menyebutkan variabel pertama yang menyebabkan pengajaran tidak efisien adalah siswa yang pasif karena tidak menyenangi atau tidak tertarik pada bahan ajar yang diberikan. Artinya motivasi intrinsik siswa berupa ketertarikan siswa pada materi pelajaran tidak ada. Padahal Hakim (Rosyidah, 2007:1) menegaskan bahwa sesungguhnya kemauan dan motivasi merupakan penggerak pertama dan utama dalam proses belajar. Seorang
guru
matematika
harus
mampu
mensiasati
bagaimana
memaksimalkan usahanya membawa para siswa untuk memahami dan menerapkan keilmuan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan ilmu yang abstrak. Oleh karena itu, guru membutuhkan keuletan, kesabaran, ketekunan, dan ketelitian untuk dapat menerapkan konsep dan mengetahui kondisi siswa. Cara meminimalisir turunnya motivasi siswa dalam belajar matematika dengan membuat matematika menjadi menarik perhatian siswa dan siswa menikmati semua proses pembelajarannya. Akhirnya siswa dapat
2
menangkap makna pengajaran dari guru dan dapat menjadi manusia yang unggul di daerahnya. Menurut Silver (Turmudi, 2010:179) bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa tidak baik apabila dipaksa untuk mengingat seluruh materi yang ada. Hal yang efektif adalah membuat siswa paham dengan materi sehingga ketika paham konsep umum suatu topik, maka siswa pun akan mengingat keseluruhan topik tertentu. Jika mereka tidak memahaminya, maka cara siswa belajar matematika yaitu menghafal rumus atau aturan tanpa dicerna terlebih dahulu. Tidak baik juga pembelajaran matematika yang pasif, siswa hanya melihat bagaimana gurunya mendemonstrasikan penyelesaian soal-soal di papan tulis, kemudian mencatat ulang dalam bukunya. Hal yang sebaiknya dilakukan guru adalah bertanya kepada dirinya sendiri, “apakah siswa memahami penjelasan saya?” Hal tersebut untuk mengubah sikap mental dari guru sehingga siswa pun di akhir proses pembelajaran mengatakan, “ya, saya bisa”. Guru harus melakukan hal baru dengan apa yang sudah ada (pengetahuan dan fakta) untuk memfasilitasi pemahaman siswa. Jika seorang guru merencanakan pembelajaran matematika hanya berdasarkan pemahaman tekstual, maka proses pembelajaran di kelas pun terjadi dalam waktu yang singkat. Begitu juga dengan pemahaman siswanya. Mereka akan memahami materi secara keseluruhan dalam gambaran umum dan hanya paham dalam waktu yang singkat pula. Menurut Suryadi (2010:6) gambaran tersebut menunjukkan bahwa ada proses yang hilang sebagaimana proses yang
3
dialami oleh matematikawan yang menjadi pengembang konsep atau penulis buku tersebut. Untuk memperoleh makna sebagaimana yang pernah dialami penulisnya, maka tidaklah cukup guru hanya mencapai pemahaman yang sudah instant (langsung jadi) secara tekstual, melainkan guru harus melakukan proses repersonalisasi dan rekontekstualisasi. Berbagai pengalaman yang diperoleh dari proses tersebut akan menjadi bahan berharga bagi guru pada saat guru berusaha mengatasi kesulitan yang dialami siswa dan terkadang kesulitan tersebut sama persis dengan proses yang pernah dialaminya pada saat melakukan proses repersonalisasi. Bagaimana dengan proses pembelajaran yang idealnya dialami siswa? Proses yang dilakukan siswa pada saat belajar matematika pada hakekatnya sama dengan yang dilakukan para matematikawan. Ada sedikit perbedaan yaitu siswa tidak berproses pada menemukan sesuatu yang benar-benar baru, melainkan hanya melakukan redepersonalisasi dan redekontekstualisasi. Siswa sebaiknya mempunyai pengalaman belajar yang lebih sehingga siswa dapat membangun concept image berdasarkan dari proses belajar yang dia peroleh. Jika pengalaman belajar siswa terbatas, maka pemahaman yang di dapat siswa pun terbatas. Suryadi (2010:6) mengemukakan bahwa proses berpikir guru dalam konteks pembelajaran terjadi dalam 3 fase yaitu sebelum pembelajaran, pada saat pembelajaran, dan setelah pembelajaran. Kecenderungan proses berpikir sebelum pembelajaran yang lebih berorientasi pada tujuan berdampak pada proses penyiapan bahan ajar serta minimnya antisipasi terutama yang bersifat didaktis. Penyiapan bahan ajar pada umumnya hanya didasarkan pada model sajian yang
4
tersedia dalam buku-buku acuan tanpa melalui proses rekontekstualisasi dan repersonalisasi. Padahal sajian matematika dalam buku acuan, baik berupa uraian konsep, pembuktian, atau penyelesaian contoh masalah, sebenarnya merupakan sintesis dari suatu proses panjang yang berakhir pada proses dekontekstualisasi dan depersonalisasi yang telah dijelaskan tadi. Selain itu, proses belajar matematika yang cenderung diarahkan pada berpikir imitatif, berdampak pada kurangnya antisipasi didaktis yang tercermin pada persiapan yang dilakukan guru. Rencana pembelajaran biasanya kurang memperhatikan keragaman respon siswa atas situasi didaktis yang dikembangkan sehingga rangkaian situasi didaktis yang dikembangkan berikutnya kemungkinan tidak lagi sesuai dengan keragaman lintasan belajar masing-masing siswa. Lebih jauh, proses belajar matematika yang idealnya dikembangkan mengarah pada proses re-dekontekstualisasi dan redepersonalisasi belum menjadi pertimbangan utama bagi para guru di lapangan. Menurut An, Kulm dan Wu ( Mulyana, 2010:10 ) terdapat dua pandangan pembelajaran matematika yaitu
learning as knowing dan learning as
understanding. Pandangan learning as knowing sejalan dengan paradigma pengajaran,
sedangkan pandangan learning as understanding sejalan dengan
paradigma pembelajaran. Pola pembelajaran pandangan learning as knowing mengakibatkan siswa mengetahui dan hafal konsep-konsep dan terampil menggunakan suatu prosedur, tetapi satu sama lain terpisah (disconnected and memorized knowledge) disebut
juga pemahaman tingkat permukaan (surface
level). Pandangan pembelajaran learning as understanding memiliki anggapan bahwa seorang siswa telah mengetahui suatu konsep matematika tidaklah
5
cukup sebelum konsep itu terinternalisasi dan terkait dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Kita mengetahui bahwa jumlah informasi, konsep, atau rumus yang harus diingat itu banyak, sedangkan tingkat pemahaman berkorelasi dengan tingkat daya ingat (Mulyana, 2010:10). Hal itu mengakibatkan sesuatu yang dipahami
tersebut direpresentasikan sedemikian rupa sehingga terkoneksi
dengan suatu jaringan. Apabila struktur jaringan itu makin baik, makin gampang untuk diingat. Jadi, suatu bagian memori
akan
muncul melalui
memori dari suatu jaringan yang utuh. Dengan demikian, pemahaman dapat mengurangi jumlah item yang harus diingat. Contohnya jika seseorang memahami peta konsep dari berbagai macam segiempat, mengingat
satu rumus
untuk
mencari
luas
dengan
hanya
daerah trapesium, rumus
tersebut dapat digunakan untuk menentukan luas daerah jenis segiempat lainnya, seperti jajargenjang, persegipanjang, dan persegi. Dalam pembelajaran matematika di sekolah, definisi trapesium berbedabeda. Dari buku ajar yang banyak dipakai, trapesium terdiri atas trapesium samakaki, siku-siku dan sebarang tanpa mengaitkan dengan konsep bangun datar yang lain dalam segiempat, misalnya jajargenjang, persegi, dan persegipanjang. Berdasarkan pengalaman dari peneliti sebelumnya, bahwa dalam mempelajari konsep luas daerah segitiga, contoh yang diberikan sangatlah terbatas. Guru hanya memberikan gambar segitiga yang sangat sederhana sehingga dapat menimbulkan kesalahan pemahaman mengenai segitiga. Seperti yang diungkapkan Suryadi (2010:78) bahwa “... jika siswa yang pada awal belajar konsep segitiga hanya
6
dihadapkan pada model konvensional dengan titik puncaknya di atas dan alasnya di bawah, maka concept image yang terbangun dalam pikiran siswa bahwa segitiga tersebut selalu harus seperti yang digambarkan.“ Dalam uji coba soal berikut yang dilakukan oleh Wadifah (2010:30) siswa sebagian besar menganggap bahwa alasnya adalah AB dan tingginya BC. D
C
B A
Gambar 1.1 Uji instrumen learning obstacle materi luas daerah segitiga
Begitu juga dalam konsep luas daerah trapesium. Sajian bahan ajar trapesium hanya memperkenalkan trapesium dengan variasi yang terbatas.. Ketika dihadapkan dengan bentuk trapesium dengan konteks yang berbeda, maka siswa akan mengalami kesulitan. Bahan ajar yang terbatas dapat mengakibatkan concept image yang terbentuk mengenai trapesium karena dasar dari konsep luas daerah trapesium adalah konsep luas daerah segitiga. C D
B
A Gambar 1.2 Trapesium dalam konteks yang berbeda
7
Gambar di atas merupakan trapesium dalam konteks yang berbeda. Peneliti menduga ada yang menyebut hal tersebut sebagai jajargenjang, belum mengerti hubungan antara jajargenjang dan trapesium sehingga untuk mencari luas daerah di atas menggunakan konsep luas daerah jajargenjang yaitu perkalian alas dengan tinggi yang bersesuaian. Ketika siswa dihadapkan pada persoalan luas daerah trapesium yang belum pernah dicontohkan oleh gurunya, besar kemungkinan siswa belum mampu menyelesaikannya. Hal ini terjadi akibat pembelajaran matematika, yang harusnya mampu menjadikan siswa memahami mulai dari konsep dasar suatu materi secara utuh, ternyata tidak tersampaikan sehingga timbul hambatan pembelajaran (learning obstacle). Dengan demikian, perlu adanya suatu proses perencanaan pembelajaran yang disusun sebagai rancangan pembelajaran (desain didaktis). Desain didaktis ini merupakan langkah awal sebelum adanya pembelajaran untuk mengatasi hambatan belajar yang muncul pada proses pembelajaran sehingga diharapkan mampu mengarahkan siswa pada pembentukan pemahaman yang utuh. Itulah alasan mengapa peneliti tertarik untuk meneliti “Desain Didaktis Konsep Luas Daerah Trapesium pada Pembelajaran Matematika SMP”. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengetahui bagaimana desain didaktis bahan ajar konsep luas daerah trapesium pada pembelajaran SMP. Dari rumusan masalah tersebut, dapat diuraikan pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut.
8
1. Bagaimana karakteristik learning obstacle yang bisa diidentifikasi terkait konsep luas daearah trapesium? 2. Bagaimana hasil repersonalisasi konsep luas daerah trapesium dalam keterkaitan antar konsep ? 3. Bagaimana desain didaktis awal konsep luas daerah trapesium yang sesuai dengan karakteristik siswa kelas VII? 4. Bagaimana implementasi desain didaktis, khususnya ditinjau dari respon siswa yang muncul? 5. Bagaimana hasil revisi desain didaktis awal setelah mengetahui hasil respon siswa? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui karakteristik learning obstacle yang dapat diidentifikasi terkait konsep luas daerah trapesium. 2. Mengetahui hasil repersonalisasi konsep luas daerah trapesium dalam keterkaitan antar konsep. 3. Mengetahui desain didaktis awal konsep luas daerah trapesium yang sesuai dengan karakteristik siswa kelas VII. 4. Mengetahui implementasi desain didaktis, khususnya ditinjau dari respon siswa yang muncul.
9
5. Mengetahui hasil revisi desain didaktis awal setelah mengetahui hasil respon siswa. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi nyata bagi berbagai kalangan, diantaranya sebagai berikut. 1. Bagi siswa, diharapkan dapat lebih memahami konsep luas daerah trapesium dalam pembelajaran matematika tanpa adanya kesalahan konsep yang akan berakibat pada pembelajaran matematika berikutnya. 2. Bagi guru matematika, diharapkan dapat menciptakan pembelajaran matematika berdasarkan
karakteristik siswa melalui penelitian desain
didaktis serta dapat menerapkan dan memilih metode pembelajaran yang tepat sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika secara optimal. 3. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya yang relevan. E. Definisi Operasional 1. Learning obstacle merupakan hambatan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Learning obstacle terdiri atas didaktis (dalam hal cara mengajar), ontogenis (penggunaan) , epistimologis (dalam konsep yang terbatas pada konteks tertentu). 2. Hambatan epistimologis merupakan hambatan yang berkaitan dengan pengetahuan seseorang yang hanya terbatas pada konteks tertentu.
10
3. Desain didaktis
merupakan rancangan tentang sajian bahan ajar yang
memperhatikan prediksi respon siswa. Desain didaktis dikembangkan berdasarkan sifat konsep yang akan disajikan dengan mempertimbangkan learning obstacle yang diidentifikasi. Desain didaktis tersebut dirancang untuk mengurangi munculnya learning obstacle. 4. Pembelajaran matematika SMP adalah pembelajaran matematika yang menggunakan desain didaktis pada siswa SMP. 5. Konsep luas daerah trapesium adalah konsep matematika yang menyangkut konsep luas daerah sebelumnya, yaitu segitiga dan mempertimbangkan berbagai hambatan epistimologis dan learning obstacle.