BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Neoplasma adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal serta terus berlanjut walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti (Kumar et al., 2007). Istilah neoplasma kurang lebih merupakan sinonim dari istilah tumor. Tumor diartikan secara sederhana sebagai pembengkakan atau gumpalan. Neoplasma dapat dibedakan berdasarkan sifat-sifatnya yaitu jinak dan ganas (Price dan Wilson, 2006). Sel-sel yang membentuk sebuah neoplasma berasal dari sel-sel yang telah ada dalam tubuh dan biasanya sel-sel ini serupa. Tetapi sering juga sel neoplasma tidak sama dengan sel dewasa yang normal dari mana mereka berasal, walaupun sel-sel tersebut biasanya akan mengambil bentuk menyerupai jaringan asalnya (Berata et al., 2011). Neoplasma tidak mempunyai ukuran, bentuk, warna atau konsistensi tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi variasi neoplasma adalah lokasi, jenis neoplasma, suplai darah, kecepatan pertumbuhan dan lamanya neoplasma. Variasinya secara makroskopis bisa bundar, elips, atau multi lobuler. Neoplasma yang lambat tumbuhnya biasanya bundar dan batasnya tampak jelas dengan jaringan sekitar. Sedangkan neoplasma yang tumbuhnya cepat mempunyai bentuk tidak teratur dan multi lobuler. Warna dari neoplasma biasanya putih keabu-abuan, dengan tepi yang dapat berwarna kuning merah, coklat hingga hitam. Bagian nekrosa dalam neoplasma
kelihatan putih atau kuning. Tumor yang terdiri atas lemak yang diwarnai dengan lipochrome berwarna kuning, sedangkan neoplasma dengan pendarahan berwarna merah jambu atau merah tergantung dari banyaknya sel darah merah. Adanya melanin akan memberikan jaringan neoplasma berwarna abu-abu kehitaman. Konsistensi dari neoplasma berubah-ubah menurut jenis jaringan yang mengalami neoplasma (Berata et al., 2011). Penyebab tumor sangat kompleks, ada dua faktor penyebab tumor yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik tumor yaitu virus, unsur fisik (lingkungan) dan bahan-bahan kimia tertentu (Madewell dan Theilen, 1987), sedangkan faktor intrinsik atau faktor predisposisi antara lain seperti ras, cell rest, umur, jenis kelamin, pigmentasi, dan imunitas (Berata et al., 2011). Tumor merupakan salah satu penyakit yang akhir-akhir ini banyak dan sering ditemukan baik pada hewan maupun manusia. Pada anjing sering ditemukan kejadian tumor mamae, terutama pada anjing yang telah berumur lebih dari 6 tahun. Pernah juga dilaporkan tumor ditemukan pada anjing betina berumur 2 tahun (Foster dan Nash, 2008). Tumor mamae berasal dari epitel kelenjar pada kelenjar mamae. Faktor risiko kejadian tumor mamae tinggi pada anjing yang masih aktif bereproduksi. Hal ini diduga berhubungan dengan produksi dan aktivitas hormon estrogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut berperan dalam inisiasi awal dan perkembangan tumor selanjutnya (Mitsui, 2007). Gejala klinis yang terlihat biasanya adalah adanya pertumbuhan massa yang perlahan, tunggal atau ganda. Kurang lebih 50% kejadian adalah multiple tumor (Tilley dan Smith, 2004). Tumor jinak pada kelenjar mamae berbentuk kecil, halus,
dan
tumbuh
perlahan,
sedangkan
tumor
ganas
berbentuk
tidak
teratur,
pertumbuhannya cepat, melekat pada kulit atau jaringan di bawahnya, berdarah dan terlihat adanya ulseratif (Foster dan Nash, 2008). Kasus tumor mamae pada anjing di Bali perlu mendapatkan perhatian serta diteliti lebih intensif mengingat anjing banyak dipelihara sebagai hewan kesayangan dengan jumlah populasi yang cukup tinggi di Bali. Oleh karena itu, maka dilakukanlah penelitian mengenai gambaran histopatologi dan klasifikasi tumor mamae pada anjing anjing penderita tumor mamae di kota Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah gambaran histopatologi dari tumor mamae pada anjing di kota Denpasar? 2. Apakah jenis tumor mamae yang terbanyak pada anjing di kota Denpasar? 1.3 Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui gambaran histopatologi dari tumor mamae pada anjing di kota Denpasar. 2. Untuk mengetahui jenis tumor mamae yang terbanyak menyerang anjing di kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai : 1. Gambaran histopatologi tumor mamae yang umum pada anjing penderita. 2. Jenis tumor mamae yang terbanyak pada anjing di Denpasar.
1.5 Kerangka Konsep
A Anjing Betina
B
Ras Jenis Kelamin Umur Hormon Pakan Pemeliharaan Genetika Tumor Mamae
C Gambar 1.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan A= Variabel Bebas B= Variabel yang Berpengaruh C= Variabel Tergantung
Tumor mamae umumnya dijumpai pada anjing betina, dan sangat jarang ditemukan pada anjing jantan (Bostock, 1986; Misdorp et al., 1988; Moe 2001; Morris et al., 2001; Sorenmo 2003). Anjing jantan yang menderita tumor mamae biasanya disebabkan oleh ketidakseimbangan hormonal yang dikarenakan oleh sekresi estrogen yang berasal dari tumor sel sertoli pada testis (Moulton, 1999). Dorn et al., (1968) menyatakan bahwa frekuensi paling tinggi terjadinya kasus tumor mamae ditemukan pada anjing berumur dengan kisaran 6 tahun. Ras atau jenis anjing seperti Dachshunds, Toy Poodles, German Shepherds, Cocker Spaniels juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kenaikan jumlah kasus tumor mamae (Rutteman, 1990) . Pada pengamatan mikroskopik, tumor kelenjar mamae terdiri dari sel-sel epitel yang pleomorfik membentuk lajur-lajur irregular atau struktur tubular. Salah satu masalah besar yang dihadapi dalam mengevaluasi tumor mamae adalah mengidentifikasi keganasan tumor tersebut. Berikut adalah kriteria yang paling signifikan dalam menentukan keaganasan tumor mamae pada anjing berdasarkan pewarnaan hematoksilin dan eosin yaitu : tipe tumor, nukleus signifikan dan sel yang pleomorfik, indeks mitosis, daerah nekrosis terdistribusi secara acak didalam tumor, invasi limfatik, dan metastasis aliran limfe (Goldschmidt et al, 2011). Secara umum tumor mamae dibatasi oleh nodul dengan ukuran dan konsistensi yang bervariasi, pada kulit terlihat adanya ulserasi dan reaksi inflamasi lokal (Kurtzman dan Gilbertson, 1986).