1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ada sebuah kesinambungan antara nasionalisme1 kita dengan mooi indie2, yakni keduanya lebih menekankan faktor pemandangan alamnya ketimbang kondisi sosial masyarakatnya. Buktinya, kampanye kepulauan Nusantara dari lagu-lagu nasional, buku pelajaran sekolah, dan politik pariwisata kita selalu menggambarkan Indonesia dari alam yang indah-indah saja. Ini adalah warisan mooi indie, yang sudah seratus tahun lebih kita pelihara dan menjadi representasi kebudayaan kita saat ini. Alhasil, nasionalisme kita sering muncul dari penggambaran stereotip yang statis
1
Pengertian nasionalisme di sini adalah nasionalisme dalam arti sempit yang dipahami oleh
negara-negara dunia ketiga. Menurut Leela Gandhi (1998), pasca kolonialisme negara-negara di dunia ketiga membayangkan semangat kebangsaan sebagai kesadaran politik yang tegas antara yang di dalam negara dan yang di luar negara, sehingga, pada praktiknya nasionalisme dipahami sebagai kekuasaan atas alam dan kekuasaan atas budaya. 2
Menurut Onghokham, mooi indie berarti “Hindia Molek”. Sederhananya mooi indie adalah
penggambaran alam dan masyarakat Hindia secara damai, tenang, dan harmonis. Mooi indie sebenarnya adalah aliran dalam lukisan tentang Hindia-Belanda pada zaman kolonial. Dikenalkan oleh Du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk portofolio di Amsterdam tahun 1930. Lukisan mooi indie biasanya menggambarkan Hindia seperti pemandangan alam yang cantik, kebudayaan yang eksotis, dan manusia Hindia yang menerima perlakuan Barat sebagai pembawa peradaban. Mooi indie kemudian dijadikan politik oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk pariwisata bangsa Eropa yang hendak berkunjung ke Hindia, dan penggambaran tentang Hindia yang seolah-olah makmur dan kaya walau dijajah oleh Belanda.
2
melalui kepulauan yang indah, pemandangan alam, dan keunikan budaya. (Onghokham: 1994). Apa yang menjadi renungan di atas adalah ide untuk menulis penelitian ini, yakni penggambaran lanskap Indonesia melalui “pemandangan alam” yang indahindah
saja. Dalam hal ini, saya memilih “pantai” sebagai salah satu dari
pemandangan alam yang indah tersebut. Pantai adalah sebuah ruang kebudayaan di masyarakat. Di dalamnya terdapat wisatawan, masyarakat lokal, pendatang, dan bentuk-bentuk masyarakat lainnya. Pantai di Indonesia saat ini sering digambarkan oleh media sebagai „tempat-tempat baru‟ untuk melakukan ritual-ritual pariwisata masyarakat modern. Pantai seperti ini yang menurut hipotesa saya adalah imaji dari masyarakat kekinian. Penggambaran pantai di Indonesia seperti halnya lukisan gradasi langit biru, pasir putih, air laut yang berkilauan, pohon kelapa, serta sampansampan yang bersandar di dermaga. Kemudian juga senja dengan panorama langit yang memerah, percikan air laut yang menggelap, serta bayangan siluet orang-orang yang sedang menikmati sisa hari. Penggambaran pantai seperti ini berbeda dengan pantai-pantai di pelabuhan yang kotor dan sesak, pantai-pantai di kawasan industri yang rusak dan tercemar, atau pantai-pantai nelayan yang kotor. Wacana mengenai pantai indah ini terjadi pada beberapa media di Indonesia. Terlebih media traveling dan majalah gaya hidup yang mengusung „eksotisme‟ alam dan budaya. Media-media tersebut membangun wacana pantai indah seperti halnya “mooi indie”, yakni menggambarkan Indonesia sebagai sebuah gugusan kepulauan yang penuh dengan keindahan. Keindahan tersebut seperti penggambaran pasirnya
3
yang putih, airnya yang tenang, ikan-ikan, terumbu karang, sedangkan masyarakat lokal yang hidup sebagai nelayan dinihilkan begitu saja. Fenomena pantai indah ini juga menjadi tren baru yang sedang berkembang di masyarakat. Kemunculan destinasi-destinasi wisata laut seperti, Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat, Gunung Kidul, dan lain-lain adalah general hysteria3 dari industri pariwisata di Indonesia. Kondisi ini berbeda dengan gambaran mengenai pantai di Indonesia yang sebelumnya bukan menjadi wisata andalan karena kotor dan panas. Kini, banyak pantai yang kotor disulap menjadi ruang-ruang baru bagi para wisatawan yang hendak memburu „kenikmatan‟. Munculnya resor-resor mewah, private beach, hotel, tempat perbelanjaan, dan tempat kuliner menandakan ada sebuah kelas baru yang menempati pantai saat ini. Mereka-mereka inilah yang menjadi agen dari perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat di sekitar pantai. Begitu banyak media di Indonesia yang memeriahkan keindahan pantaipantai. Sebut saja majalah-majalah traveling cetak seperti National Geographic, DestinAsian, Traveller, Tamasya, Jalan-jalan, Panorama, Travelounge, dan masih banyak lainnya. Belum lagi majalah-majalah digital seperti ScubaHolic, RepMagz, Travelist. Majalah traveling semacam ini mewabah laiknya sebuah epidemik yang menyerang masyarakat. Mereka berlomba-lomba mewacanakan keindahan alam termasuk pantai melalui foto-foto indah, artikel menarik, dan kampanye-kampanye
3
General hysteria, menurut Jean Baudrillard (1970) adalah tren mengkonsumsi produk
kebudayaan secara histeris, massal, dan menular secara cepat. Tren ini seperti epidemik yang menyerang suatu masyarakat, dan membuat semua mengalami rasa ketakutan atau bahkan kenikmatan.
4
cintai alam Indonesia. Media seperti ini menawarkan sebuah kenikmatan kepada pembaca melalui „imajinasi‟ tempat-tempat indah. Di dalam imajinasi tersebut, pantai sering digambarkan seperti surga baru yang penuh harmoni. Surga ini menawarkan „kenikmatan‟ kepada wisatawan-wisatawan yang lelah dengan kehidupan rutinitas mereka sehari-hari. Wacana di dalam media tersebut adalah salah satu cerminan dari dinamika sosial yang terjadi di masyarakat saat ini. Fenomena munculnya destinasi-destinasi pantai di Indonesia melalui gambar yang indah dan narasi teks yang menarik merupakan bagian dari representasi kebudayaan Indonesia yang dilihat dari indahindahnya saja. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Stuart Hall (1997), memahami media adalah salah satu cara cepat memahami sebuah kebudayaan di suatu daerah. (Hall, 1997) Maka, di sinilah saya berpendapat bahwa wacana pantai yang terdapat pada media-media tersebut adalah cerminan dari kondisi sosiokultral masyarakat saat ini. Di dalam wacana pantai oleh media, terdapat representasi kehidupan orangorang yang menikmatinya. Mereka ini adalah pecinta pantai yang terdiri dari wisatawan, pembaca, pelaku industri wisata, atau sekedar orang-orang yang berada di sekitar wacana tersebut. Orang-orang inilah yang saya maksud terlibat dalam proses wacana pantai tersebut. Mereka adalah bagian dari realitas sosial wacana pantai tersebut. Dalam konteks antropologi, melibatkan „orang‟ sebagai obyek dari masalah yang ingin dikaji adalah penting. Sehingga, di sini saya tidak hanya bermaksud melihat teks dari media tersebut, tetapi juga realitas sosial di balik wacana tersebut.
5
Para pecinta pantai yang berada dalam wacana media tersebut sangat beragam, namun yang paling pokok ingin saya bicarakan adalah wisatawan. Wisatawan dalam konteks wacana pantai adalah orang-orang yang mengunjungi pantai untuk menikmati sebuah keindahan alam. Wisatawan yang di dalam wacana pantai di majalah traveling adalah masyarakat modern yang tinggal di kota-kota besar. Mereka adalah masyarakat urban yang sebagian besar adalah anak muda. Dalam pariwisata, anak muda sering menjadi aktor perubahan budaya. (Featherstone, 1990) Mereka adalah generasi yang gemar melakukan perjalanan. Melalui perjalanan, pengalaman-pengalaman baru ditemukan. Di sinilah spirit of travelling menjadi bagian dari gaya hidup anak muda zaman sekarang. Dunia wisata anak muda juga sering dibedakan dengan dunia wisata orang tua. Pariwisata anak muda sering dilakukan dengan cara ala backpacker, yakni seolah-olah menjalaninya dengan sederhana. Mereka juga mencoba menjadi bagian dari masyarakat yang dikunjungi. Sedangkan dunia wisata orang tua sering disebut sebagai wisata konvensional. Wisata ini dianggap cara kuno, karena tidak melewati sebuah pengalaman perjalanan yang mengesankan. Sikap-sikap wisatawan di pantai digambarkan oleh majalah traveling sebagai seorang yang sedang lari dari kebosanan. Dari sebuah Majalah Traveller edisi Sepetember 2014 yang saya teliti misalnya, pantai seolah-olah dijadikan tempat pelarian dari rutinitas kerja di Jakarta yang padat. Pantai seolah-olah adalah rumah kedua bagi mereka. Sehingga di pantailah mereka melepas kepenatan atas rutinitas yang membebaninya. Di pantai, kenikmatan wisata bisa dilakukan seperti mencari
6
ketenangan dan kesepian, menginap di resor mewah, bermain olahraga pantai, makan kuliner lezat, dan lain sebaginya. Kenikmatan-kenikmatan seperti demikianlah yang ditawarkan majalah traveling kepada pembaca. Melalui wacana kenikmatan tersebut, pantai diubah menjadi ruang kebudayaan pariwisata yang begitu kompleks. Pantai adalah tempat di mana budaya konsumsi, kontak budaya, dan perubahan-perubahan kultural terjadi. Apa yang terjadi dengan fenomena di atas tidak bisa lepas dari wacana pariwisata pantai yang dilakukan oleh media-media di Indonesia saat ini. Media yang kita lihat sehari-hari sering menampilkan gambar-gambar visual tentang pantai dengan segala pesona keindahannya. Apakah memang benar demikian indahnya? Pertanyaan inilah yang menjadi penting untuk diketahui ketika melihat fenomena pantai dan wacana dari media yang mempromosikannya. Menurut Michel Foucault, wacana-wacana seperti ini bermain pada teks4. Pantai adalah teks yang dibangun oleh media, maka ia diwacanakan sebagai produk yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Wacana-wacana tersebut membangun sebuah pengetahuan yang bersifat kebenaran. (Foucault: 1977). Media kerap memunculkan pengetahuan dan kebenaran dengan dalil-dalilnya seperti “pariwisata sumber devisa negara5”, “pariwisata membuka
4
Teks menurut Foucault adalah semua dimensi yang bisa terbaca. Dimensi tersebut meliputi,
kebudayaan, tempat, bahasa, material culture, ide atau gagasan, serta apapun yang bisa dibaca dan diproduksi melalui wacana. Teks pantai dalam media merupakan wacana yang diproduksi demi sebuah kepentingan atau kekuasaan. 5
Pariwisata sebagai sumber devisa negara adalah politik pemerintah dalam mendatangkan
wisatawan sebanyak-banyaknya ke Indonesia. Dalam data WWF Council 2014, pariwisata di
7
lapangan baru bagi penduduk setempat”, “pariwisata membawa perubahan lebih baik”. Apakah benar demikian? Menurut Denison Nash (1996), dalam penelitiannya tentang Pariwisata di berbagai negara berkembang, wacana pariwisata sebagai sumber devisa negara adalah wacana kebenaran yang diciptakan oleh negara. Wacana tersebut seolah-olah menyatakan negara berhak mengambil alih semua kekayaan alam dan menjadikannya industri pariwisata. (Nash, 1996) Pariwisata di pantai sering dihubungkan dengan keberadaan negara sebagai empunya alam yang wajib disumbang. Berwisata ke pantai adalah menyumbang kepada negara. Negara dan media sendiri justru mewacanakan pantai-pantai yang indah agar bisa dijual. Agar laku, pantai tidak saja diperlakukan indah, tetapi juga eksotis, mistis, dan penuh daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Di sinilah pewacana-pewacana tersebut menciptakan mitos-mitos tentang pantai. Mitos tersebut biasanya berupa kenikmatan, keindahan, kemewahan, mistisme, nasionalisme, dan hal-hal yang membuat pantai menjadi candu bagi wisatawan. Mitos tersebut dinarasikan oleh majalah traveling melalui gambar-gambar indah dan cerita menarik tentang pantai. Ada kemiripan antara majalah-majalah traveling di Indonesia saat ini dengan media mooi indie pada masa kolonial. Keduanya memperlihatkan Hindia/Indonesia melalui kecantikan alamnya saja. Keadaan ini seperti halnya orang Barat yang datang
Indonesia adalah penyumbang devisa negara terbesar setelah migas atau pariwisata penyumbang devisa negara terbesar dari sektor non-migas. Peningkatan devisa dari pariwisata ini setiap tahun ratarata mencapai 2,5%.
8
ke Indonesia dan kagum melihat keindahan alam serta keeksotisan budayanya. Begitupun para pecinta pantai dan wisatawan lainnya. Perilaku melancong ke suatu tempat merupakan tradisi orang Barat sejak dahulu. Kini, perilaku semacam itu menjadi budaya massal dan global di dunia. Menurut Michael Hall dan Hazel Tucker (2004), perilaku pariwisata seperti di atas ditiru oeh orang-orang yang hidup di negara-negara dunia ketiga. Di negara-negara dunia ketiga dampak dari kolonialisme menyebabkan pemahaman nasionalisme terbatas pada lanskap alam saja. Melalui kondisi geografis yang indah dan luas, mereka membanggakan nasionalisme dan kebudayaan sendiri kepada dunia internasional. Sehingga, negara-negara seperti ini kembali menjadi obyek untuk didatangi pelancong Barat sebagai wisatawan. (Hall, dan Tucker, 2004: 03). Bahkan, bukan hanya wisatawan dari Barat, wisatawan domestik pun melakukan demikian. Akan tetapi, kedatangan mereka ke tempattempat indah di negaranya sendiri bisa jadi berupa menikmati „nasionalisme‟ yang mereka banggakan. Perilaku semacam ini adalah cerminan dari masyarakat yang hidup di negara bekas koloni. Mereka masih terjebak pada nasionalisme yang romantis sehingga tak sadar membuat celah baru untuk kembali di datangi orangorang asing. Dalam hal ini, media yang akan saya teliti adalah majalah traveling cetak dan majalah traveling digital. Pengertian majalah traveling di sini adalah majalah yang mempunyai konten wisata dan gaya hidup. Di dalam majalah seperti ini, gambargambar pemandangan indah menjadi kunci dari kontennya. Majalah traveling cetak yang akan saya teliti adalah Majalah Traveller, Majalah DestinAsian, dan Majalah
9
Tamasya. Sedangkan Majalah digital yang akan saya teliti adalah Majalah ScubaHolic. Selama tahun 2014, keempat majalah ini sering mewacanakan keindahan pantai-pantai di Indonesia. Keindahan tersebut berupa kecantikan pantai, kemewahan pantai, dunia bawah laut, kenikmatan olahraga pantai, dan lain sebagainya. Pemilihan keempat majalah ini adalah sebagai indikator dalam wacana pantai oleh media. Sehingga, di dalam penelitian ini saya tidak bermaksud menimbang mana yang lebih banyak, lebih bermasalah, dan porsi yang berbeda. Penggunaan indikator ini bermaksud untuk menarik sebuah benang merah tentang keadaan sosiokultural masyarakat yang hidup di antara wacana-wacana tersebut. Dalam hemat pendapat saya, keempat majalah ini telah membangun wacana keindahan pantai di Indonesia melalui foto dan narasi teks. Foto dan narasi teks tersaji dalam sebuah rubrik yang menceritakan sebuah keindahan pantai. Penelitian ini akan menguji hipotesa saya mengenai wacana pantai indah di dalam majalah traveling. Melalui analisis sosiokultural pantai di Indonesia, analisis fenomena pantai dalam majalah traveling, dan analisis teks dalam majalah traveling. Analisis-analisis ini bertujuan untuk menguji apakah memang benar wacana pantai indah yang direpresentasikan oleh media kepada publik adalah yang semestesinya terjadi. B. Rumusan Permasalahan Apa yang telah diuraikan di atas adalah bagian dari wacana masyarakat modern saat ini. Masyarakat yang menciptakan mitos-mitos tentang kenikmatan atas sebuah peristiwa yang mereka alami. Pantai-pantai di Indonesia diwacanakan oleh majalah traveling sebagai obyek dari mitos tersebut. Sedangkan orang-orang yang
10
berada di sekitar wacana tersebut sebagai realitas sosiokulturalnya. Keduanya seperti salah satu cerminan atas kondisi masyarakat saat ini yang begitu kompleks. Hal-hal semacam inilah yang menjadi menarik dan menggelitik untuk saya pertanyakan dalam rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pantai direpresentasikan oleh media dalam wacana publik? 2. Bagaimana makna pantai indah dalam majalah traveling? 3. Mengapa wacana pantai menjadi penting untuk diketahui dalam konteks nasionalisme? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan mencoba melihat hal ini ke dalam tiga kategori pembahasan, yakni (1) wacana pantai dalam nasionalisme (2) beragam wacana pantai yang terdapat pada majalah traveling (3) dan makna yang terkandung dalam wacana pantai indah pada majalah traveling. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan tiga pertanyaan penelitian yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk; 1. Memberikan gambaran sosial mengenai pariwisata pantai di Indonesia dalam perspektif antropologi. 2. Memberikan pemahaman mengenai fenomena pantai indah yang sedang marak di media-media di Indonesia. 3. Melihat fenomena traveling di Indonesia melalui media-media sebagai representasi kondisi masyarakat saat ini.
11
D. Tinjauan Pustaka Meski pantai, media, dan pariwisata menjadi hal yang sering dibicarakan banyak orang, bukan berarti penelitian dan literatur mengenai hal tersebut banyak. Apalagi jika dilihat dari perspektif perspektif antropologi. Selama ini, penelitian antropologi mengenai pantai dan pariwisata sering dihadirkan pada konflik yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pendatang atau dampak kultural pariwisata terhadap masyarakat lokal. Bedanya, penelitian ini mencoba melihat proses di balik dinamika pariwisata yang terjadi di sekitar pantai, yakni melalui wacana media. Tinjauan pustaka di sini digunakan untuk memberi pemahaman konseptual yang selama ini dipakai oleh penelitian lain dalam menjelaskan fenomena yang hampir sama. Pencarian literatur yang saya gunakan adalah dengan kata kunci: pantai, media, pariwisata, visual, wacana, mooi indie, poskolonial, orientalisme, nasionalisme. Buku tentang media dan pariwisata karya Peters Burns, Chaty Palmer, dan JoAnne Lester berjudul Tourism and Visual Culture volume 1 - 2. Theories and Concept (2010) menjadi salah satu referensi penting untuk melihat bagaimana budaya pariwisata dan budaya visual. Buku dua jilid ini merupakan kumpulan tulisan artikel dari beberapa penelitian tentang budaya pariwisata di dunia. Dalam jilid 1, beberapa tulisan menekankan tentang “the gaze”, “decolonizing”, dan “cultural change” dalam budaya pariwisata. Melalui pendekatan sejarah, antropologi, dan sosiologi buku ini menjelaskan bahwa proses pariwisata merupakan proses kebudayaan yang cukup panjang dan kompleks. Cara pandang pariwisata selama ini seperti halnya sebuah
12
proses dekolonisasi baru negara-negara maju kepada negara dunia ketiga. Proses tersebut juga membuat perubahan-perubahan kebudayaan dalam masyarakat, melalui media-media visual seperti fotografi. Di dalam fotografi, terdapat apa yang disebut sebagai “the gaze” terhadap obyek pariwisata tersebut. Dalam jilid kedua, artikelartikel di dalamnya banyak membicarakan tentang “images”, “destination” yang mempunyai maksud tentang imaji dan konstruksi atas destinasi-destinsai yang telah dibuat oleh industri pariwisata. Kemudian juga tentang media-media yang digunakan produsen pariwisata seperti “art”, “photography”, dan “advertising”. Di dalam media-media tersebutlah terkandung wacana pariwisata. Buku ini relevan dengan penelitian ini melalui analisis konten-kontennya seperti obyek-obyek visual dalam pariwisata. Cara menyajikan analisis data seperti foto, teks, media, ke dalam budaya visual memberikan gambaran bahwa analisis wacana sangat penting untuk mengetahui fenomena yang tidak empiris sekalipun. Buku Tourism and Postcolonialism: Contested discourses, identities and representations (2004), editor C. Michael Hall and Hazel Tucker berisi artikel-artikel di dalam buku ini menjelaskan di mana posisi poskolonialisme dalam budaya pariwisata. Poskolonialisme yang dimaksud adalah mempertanyakan kondisi dan posisi negara-negara bekas jajahan kolonial dalam budaya pariwisata. Menurut buku ini, negara-negara dunia ketiga masih mengalami krisis identitas dalam budaya berpariwisata, yakni terjebak pada perilaku-perilaku negara kolonial. Melalui media seperti majalah populer, roman, dan industri budaya massal lainnya proses
13
dekolonisasi masih terjadi. Media-media populer di negara-negara ini justru meminjam cara pandang Barat untuk memajukan industri pariwisata. Apa yang dimediasikan oleh industri massal tersebut adalah representasi kebudayaan Barat. Sehingga, pasar-pasar wisatawan yang tercipta pun pasar Barat. Proses dekolonisasi di sini lebih menekankan pada kebudayaan, bukan ekonomi atau politik. Buku ini melihat wacana pariwisata di negara-negara dunia ketiga, seperti Malaysia dan beberapa negara di Afrika. Dari buku ini, bisa diambil sebuah ide substansial maupun konseptual mengenai
wacana pantai-pantai di
Indonesia dari media dan
keterkaitannya dengan industri pariwisata. Di dalam konteks dalam penelitian ini, buku ini memberikan gambaran mengenai posisi dunia pariwisata Indonesia pasca kolonialisme. Buku ini sangat membantu menjelaskan posisi “masyarakat pacakolonial” dalam budaya pariwisata. Masyarakat pascakolonial yang dimaksud mirip dengan kondisi Indonesia saat ini. Di antaranya terjadi krisis-krisis identitas bahkan dalam budaya berpariwisata sekalipun. Pada tahun 2006, sudah ada artikel terbitan Asian Journal of Communication yang membahas cara pandang “orang Jakarta” terhadap “orang Jogja” melalui sebuah acara televisi jalan-jalan yakni Anak Muda Punya Mau. Artikel tersebut berjudul The Foreignizing Gaze: Producers, Audiences, and Symbols of the 'Traditional' karya Gareth Barkin. Acara di salah satu chanel swasta itu membincangkan Jogja seperti halnya “the other” dari Jakarta atau Indonesia pada saat itu. Di dalam ulasannya, host dari acara ini sering membandingkan Jakarta dan Jogja dalam konteks kebudayaan.
14
Pandangan-pandangan atas kebudayaannya diukur dari gaya hidup anak muda Jakarta. Melalui media jalan-jalan, acara ini mempertontonkan Jogja seperti sebuah daerah yang eksotis dengan masyarakat tradisional dan kurang modern. Artikel ini menjadi hipotesa awal mengenai munculnya acara-acara di televisi Indonesia saat ini seperti “My Trip My Adventure” dan”Celebrity on Vacation” sebagai media pariwisata yang melihat Indonesia dari sisi eksotisme alam belaka. Dari artikel ini, bisa diketahui bagaimana sikap media mewacanakan Indonesia dari eksotisme budaya dan alamnya. Artikel ini juga begitu relevan dengan penelitian ini karena memberikan contoh bagaimana proses eksotisme yang terjadi dari pusat ke pinggir. Melalui pariwisata dan media, proses-proses peminggiran tersebut bahkan menjadi entertaint bagi banyak orang. Sebuah artikel yang paling manarik dan mendorong penelitian ini adalah “Hindia yang Dibekukan: Mooi Indie dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial” karya Onghokham dalam Jurnal Kalam edisi 3 (1994). Di dalam isinya, Ong menjelaskan tentang nasionalisme Indonesia yang saat ini digambarkan seperti halnya lukisan mooi indie karya Raden Saleh. Ia menceritakan apa makna mooi indie bagi Indonesia di luar konteks aliran dalam seni lukis. Bahkan, bagi ilmu sosial, mooi indie adalah wabah orientalis yang melanda masyarakat dan negara. JJ Rizal dalam pengantar buku Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme (2009) yang merupakan kumpulan artikel tentang mooi indie, bahkan menyebutkan bahwa melihat Indonesia dari lukisan cantik adalah “senjatanya orang kalah”. Senjatanya orang yang
15
selama ini tertindas, atau terhegemoni oleh kekuasaan Barat. Senjatanya orang yang kalah adalah ketika negara tidak mempunyai sisi kemajuan lain untuk berkontestasi di Internasional selain kondisi alam yang begitu indah dan kebudayaan masyarakat yang unik. Artikel dan buku ini menjadi dasar dari melihat wacana orientalisme yang diusung oleh media-media dalam memvisualisasikan pantai di Indonesia saat ini. Pemahaman Onghokham mengenai mooi indie kontemporer di sini membantu penelitian ini menjelaskan bagaimana proses orientalisme skala kecil masih terjadi sehari-hari. Pantai dan kebudayaan remeh-temeh di sekitarnya adalah obyek dari mooi indie yang sering luput disadari. Untuk melihat etnografi pariwisata, saya melihatnya dari apa yang dikatakan oleh Peter M. Burn dalam bukunya An Introduction Tourism and Anthropology (1999). Menurutnya, hubungan antara ilmu antropologi dan pariwisata adalah melihat gejala budaya dan dinamika manusia. Karena pariwisata adalah seperangkat kegiatan global melintasi banyak kebudayaan. Maka, ada kebutuhan untuk pemahaman yang lebih mengenai konsekuensi dari interaksi antara masyarakat dan industri pariwisata. Ada juga Dennison Nash dalam bukunya Anthropology of Tourism (1996) yang menjelaskan antropologi pariwisata bisa dilihat dari dua segi, yakni proses akulturasi ataupun globalisasi dan proses pembangunan negara. Namun, hal tersebut menjadi sebuah pemahaman yang berseberangan. Bahwasannya antropologi pariwisata yang melihat globalisasi sebagai sebuah proses budaya akan melihat sisi-sisi kultural sebagai dampak, pemicu, atau bahkan melihat posisi pariwisata tersebut sebagai
16
proses sejarah yang cukup panjang. Berbeda dengan antropologi pariwisata sebagai proses pembangunan, maka lebih mempertimbangkan kaidah-kaidah ekonomi dan politik yang kaitannya dengan surplus negara dengan industri tersebut. Di sini saya akan menjelaskan bagaimana antropologi pariwisata sebagai sebuah proses melihat globalisasi, percampuran budaya, dan proses identitas. Sehingga pendekatan antropologi pariwisata yang akan saya gunakan adalah melalui dimensi wacana yang memperilhatkan bagaimana media mengkonstruksi ide-ide pariwisata dalam visualisasi pantai yang cantik beserta narasinya. Buku antropologi pariwisata semacam ini berguna untuk membedakan kajian pariwisata dalam ilmu sosial dan tourism studies. Di dalam penelitian ini, saya beberapa kali mengambil ide-ide tentang kajian pariwisata dalam ilmu sosial seperti memetakan jenis-jenis wisatawan berdasarkan kelas. Sedangkan di dalam tourism studies pun terdapat wacana pariwisata di dalam media, akan tetapi logika yang digunakan adalam media strategy yakni cara mendatangkan keuntungan. Kemudian Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Communities (1983). Ide yang paling menarik dari Benedict Anderson dalam buku ini adalah perihal nasionalisme yang utopis. Nasionalisme yang digambarkan sebagai sebuah romantisme karena melihat bangsa secara tak kasat mata. Ide Benedict Anderson ini tepat jika dipadukan dengan ide Onghokham yang melihat proyek nasionalisme kita sebagai warisan mooi indie, yakni melihat Indonesia dari indah-indahnya saja. Melihat Indonesia dari sebuah gambar imajiner. Dalam teori-teori poskolonial,
17
konsep nasionalisme semacam ini merupakan salah satu penyakitnya masyarakat yang punya pengalaman dijajah. Ide nasionalisme yang utopis Ben Anderson ini membantu saya menjelaskan bagaimana pantai di wacanakan media sebagai tempat untuk merayakan nasionalisme. Melalui pemandangan yang indah dan ragam florafauna yang harus dijaga dengan semangat cintai alam Indonesia. Kemudian untuk mencermati isi dari majalah traveling sebagai sebuah teks kebudayaan yang bisa diteliti secara antropologi, saya mengikut apa yang dikatakan oleh Sarah Pink dalam bukunya Doing Visual Ethnography: Images, Media and Representation in Research (2001). Buku ini merupakan salah satu panduan bagi ilmu antropologi yang hendak melihat realitas suatu masyarakat melalui perspektif visual. Yang ditekankan oleh Pink dalam buku ini adalah metode penelitian dan sensitivitas peneliti (antropolog) akan peristiwa-peristiwa yang tervisualisasikan melalui media atau mata sang peneliti. Di dalam antropologi visual, mata antropolog dituntut untuk cermat melihat masalah-masalah terkait gender, etnisitas, dominasisubordinasi, dan lain sebagainya. Buku ini banyak menceritakan pengalamanpengalaman sederhana antropolog yang merupakan pengalaman visual namun tidak disadarinya. Lalu Sarah Pink juga melanjutkannya melalui buku The Future of Visual Anthropology (2006). Buku ini bercerita tentang perkembangan ilmu antropologi visual yang ke depan bakal dilakukan oleh para peneliti media. Menurutnya, media adalah representasi dari kehidupan manusia modern. Di dalam media tersebut,
18
terdapat makna-makna yag divisualisasikan. Oleh karenya, penelitian antropologi visual di masa mendatang menjadi sangat penting untuk dilakukan. Kedua buku Sarah Pink ini mengantarkan saya bahwa sebuah kesimpulan bahwa penelitian yang akan saya lakukan adalah bagian antropologi visual. Melalui media, saya hendak melihat pantai sebagai representasi kondisi masyarakat yang ada saat ini. Buku ini juga membantu menjelaskan bahwa gambar-gambar pantai dalam majalah traveling adalah data-data saya dalam penelitian ini. E. Kerangka Konseptual Pertama-tama, sebelum menjelaskan kerangka konseptual lebih lanjut saya akan coba mengenali penelitian ini sebagai sebuah kajian wacana dalam teks media. Jika merujuk pada Roland Barthes dimensi kebudayaan dalam ilmu sosial tidak lagi terbatas oleh masyarakat dengan realita empirik saja. Melainkan juga realita dalam image. Image tersebut berada pada ruang seperti media, seni, bahasa, ide, dan imajinasi. (Barthes, 1990) Maka apa yang disebut wacana di sini adalah realita yang ada dalam dimensi ruang tersebut. Atau menurut Michel Foucault, wacana merupakan teks dari kebudayaan itu sendiri. Sehingga apa yang disebut sebagai wacana adalah realitas yang berada pada ruang imaji, bahasa, dan ide atau gagasan. (Foucault, 1977) Konsep wacana sendiri telah diperkenalkan oleh banyak pemikir. Sebut saja terori wacana konstruksionis sosial Ernesto Laclau, analisis wacana kritis Chantal
19
Mouffe, atau psikologi kewacanaan. Model wacana di sini sangat beragam, tergantung penekanan obyek dan studi kasus yang ada. Namun, dalam penelitian ini saya
menggunakan
model
“wacana
poskolonial”.
Ania
Loomba
dalam
Colonialsm/Poscolonialism (2000) menjelaskan bahwa teori poskolonial sudah tak lagi terbatas pada pemikiran-pemikiran tunggal seperti Edward Said, Homi Bhaha, dan Gayatri Spivak. Lebih dari itu teori poskolonial telah menjadi upaya pelepasan hegemoni atas Barat secara bersama, sehingga secara garis besar teori poskolonial tidak lagi upaya pemisahan kode-kode aliran intelektual, melainkan satu sama lain mempunyai peran untuk menutupi segala kelemahan untuk menjelaskan sebuah masalah. (Loomba, 2000). Kemudian saya juga sependapat dengan Leela Gandhi dalam Poscolonial Theory A Critical Introduction (1998), para sarjana tak harus lagi kelelahan memecah-mecah
teori
poskolonial
berdasarkan
asal-muasal
epistomologi.
Poskolonial sudah berada pada ambang dikenang. Mengenang poskolonial berarti mengenang masa lalu yang tak pernah usai. Bahwasanya sejarah penindasan kolonial masih saja terjadi. Kita tidak lagi melihat poskolonial sebagai upaya politik fundamental. Poskolonial sudah berada pada level reflektif dalam kehidupan seharihari. (Gandhi, 1998). Merujuk pada dua pendapat tersebut, di sini saya menempatkan pemahaman mengenai poskolonial secara cair. Tidak lagi memilih, mana yang paling tepat untuk menjelaskan fenomena pantai dalam penelitian ini. Di sini saya akan menggunakan beberapa ide-ide dari teori ini untuk membahas masalah-masalah yang
20
ditemui. Yang terpenting, dengan saya memilih pendekatan poskolonial, berarti saya bersepakat untuk melihat wacana pantai indah secara garis panjang sejarah dari masa kolonial hingga sekarang. Wacana poskolonial adalah diskursus mengenai mengenai persoalanpersoalan yang dihadapi oleh negara-negara dunia ketiga pasca kolonialisme. Persoalan tersebut tidak hanya masalah koloni (penguasaan tanah) saja, akan tetapi masalah identitas, warisan politik, kekuasaan, sampai pada masalah remeh-temeh keseharian. Di dalam persoalan tersebut terdapat relasi yang berbentuk „dominasisubordinasi‟. Relasi ini terjadi mulai dari level makro sampai mikro, mulai dari antar negara sampai dengan antar level masyarakat dan bahkan sampai dengan antar jenis kelamin. Poskolonialitas berhubungan secara langsung dengan kolonialisme. Sama dengan awalan-awalan pos yang lain, mengartikan poskolonial dengan sesudah kolonialisme
bisa
dianggap
benar,
mengartikannya
dengan
keberlanjutan
kolonialisme dengan bentuk yang berbeda juga benar. Apapun arti leksikal dari poskolonial pada dasarnya tidak terlalu penting, karena pada dasarnya patokan teori tersebut mendasarkan diri pada penyadaran-penyadaran baru terhadap konsep-konsep dominasi, konsep-konsep pemilahan kultur bangsa, dan konsep we or them atau pendeskriditan the other (liyan). Secara garis besar teori ini menyatakan bahwa kolonialisme sudah berakhir adalah prematur. Kolonialisme tidak sepenuhnya berakhir, bentuk-bentuk lain dari penindasan dan penguasaan bangsa lain muncul
21
seperti neokolonialisme, neoimperialisme, dan lain sebaginya. Di sini saya juga tidak memperdebatkan definisi tersebut, akan tetapi hal sama yang bisa dipetik dari pemahaman teori ini adalah kontinyuitas dari kolonialisme itu sendiri yang secara nirsadar digunakan terus-menerus, direproduksi, bahkan menjadi warisan yang langgeng pada kebudayaan negara-negara dunia ketiga. Menurut Gayatri Spivak, kekuasaan kolonial dipertahankan dalam dan melalui wacana berbeda. (Spivak, 1990) Hal tersebut bisa dilihat dari politik neokolonialisme kontemporer Barat yang mengendap pada budaya populer. Misalnya saja, melalui media dan sarana hiburan praktik dominasi Barat ke Timur masih saja terjadi. Spivak mengkritik ide-ide neokolonial tersebut justru disegani oleh subaltern (masyarakat poskolonial). Menurutnya, orang-orang di dunia ketiga tidak lagi penting melawan kekuasaan Barat secara politik. Pekerjaan rumah orang-orang di negara dunia ketiga adalah melawan ketidaksadaran atas neokolonialisme kontemporer tersebut yang bersifat ideologis. (Spivak, 1990). Dalam konteks penelitian ini, pemaparan mengenai wacana poskolonial sangat penting untuk mengetahui masalah apa yang terjadi di pantai, sehingga saya memproblematisirnya melalui konsep sejarah yang amat panjang. Dengan teori poskolonial, saya akan mencoba membedah wacana pantai dari orientalisme, hegemoni pada subaltern, hingga permasalahan nasionalisme di negara-negara dunia ketiga. Konsep-konsep ini sering didengungkan dalam teori poskolonial. Konsep orientalisme di sini saya gunakan untuk melihat cara pandang majalah traveling dari
22
luar negeri (Barat) yang kemudian juga diadopsi oleh media dalam negeri. Hegemoni pada subaltern akan saya gunakan untuk melihat wisatawan yang berada pada wacana tersebut, dan permasalahan nasionalisme di dunia ketiga untuk melihat salah satu bentuk general dari kebudayaan kita. Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang sebelumnya, ide dari penelitian ini adalah sebuah renungan tentang lanskap Indonesia yang digambarkan melalui gambar-gambar yang indah saja. Pengalaman ini merupakan warisan kolonial Belanda. Gambar indah pantai sudah ada sejak masa mooi indie. Gambar tersebut dijadikan politik citra Belanda. Dan politik tersebut masih diwariskan hingga sekarang. Bedanya, lukisan-lukisan tersebut berubah menjadi foto-foto dalam majalah traveling. Di sinilah letak poskolonialisme bekerja. Melihat relasi antara saat ini dan kondisi pada masa kolonial. Bahwa apa yang terjadi pada saat ini tidaklah murni sebuah fenomena dadakan. Melainkan telah menjadi serangkaian dari peristiwa kolonialisme yang amat panjang. Wacana pantai indah yang terjadi pada majalah traveling saat ini telah ada sejak dulu. Namun, orang sering nirsadar, sehingga melihat fenomena pantai saat ini sebagai sebuah hal baru. Untuk melihat wacana pantai pada majalah traveling. Mula-mula saya merujuk pada Orientalism (1978) Edward Said. Orientalisme mempermasalahkan “perdebatan posisi Barat ke Timur. Atau dalam kajian ilmu sosial, Said sering mengatakan orientalisme adalah kajian tentang representasi “Timur” oleh “Barat”. Kajian ini tentu merupakan bagian dari pemahaman poskolonialisme secara global.
23
Akan tetapi, orientalisme dan poskolonialisme mempunyai dimensi yang berbeda. Jika poskolonialisme merupakan sebuah upaya pelepasan hegemoni Barat atas negara-negara dunia ketiga (bekas jajajahannya), maka orientalisme yang saya maksud di sini adalah mengenai “the gaze” atau cara pandang Barat ke Timur. Cara pandang orientalis juga tidak selalu Barat yang berarti Eropa atau Amerika ke Asia atau Afrika. Akan tetapi, bisa dalam lingkup satu negara. Perilaku poligenesis, yakni yang menganggap kebudayaannya lebih maju dibanding kebudayaan lainnya masih terlihat di Indonesia. Orang Jawa, orang Jakarta, dan masyarakat urban menganggap kebudayaan mereka sebagai “civilization”, sedangkan orang luar Jawa, orang daerah, dan masyarakat tradisional dianggap “culture”. Perilaku cara pandang seperti inilah yang tercermin di media-media Indonesia pada saat ini. Di sini saya mencoba meminjam pisau teori orientalisme Edward Said (1978) untuk membedah konten Majalah National Geographic sebagai awal dari maraknya majalah traveling di Indonesia. Kemudian juga Malajah Traveller, Majalah DestinAsian yang banyak mengambil ide-ide Barat untuk melihat pantai di Indonesia. Di dalam orientalisme tersebut terkandung juga ide-ide keliyanan (otherness) seperti eksotisme. Eksotisme mengandung arti daya tarik, aneh, mistis, tahayul, tidak rasional, kuno, tradisional, dan lain sebagainya. Pandangan eksotisme ini sering bersemayam pada bangsa-bangsa yang dijajah oleh Barat. Misalnya saja orang Belanda yang menganggap perempuan Bali eksotis. Hal tersebut tidak semestinya memuji kecantikan, akan tetapi memberi label bahwa perempuan Bali adalah unik
24
dan berbeda dengan perempuan pada umumnya. Kata eksotis juga sering digunakan oleh Barat untuk melabeli negara-negara bekas jajahannya yang dianggap masih tradisional, kuno, percaya dengan tahayul, dan tidak rasional. Di sini, majalahmajalah traveling juga kerap menggunakan kata eksotis untuk menyebutkan pantaipantai yang ada di Indonesia. Kata ini paling tidak mempunyai makna dominasi kepada subordinasi. Praktik dominasi tersebut hadir melalui cara pandang media kepada pantai. Selain menggunakan konsep orientalisme Said (1978), saya juga memadukan konsep mooi indie yang mempunyai banyak kesamaan dengannya. Kesamaan antara orientalisme dan mooi indie terletak pada wacana kecantikan, keindahan alam dan budaya Indonesia. Bedanya, jika mooi indie merupakan warisan kolonial masa lalu, orientalisme adalah warisan Barat ke Timur. Namun, setidaknya kita bisa memahami bahwa mooi indie adalah orientalisme dalam skala kecil, yang menjadi khas dari keadaan sosiohistoris masyarakat Indonesia. Mooi indie sendiri tidak mempunyai akar teori seperti halnya orientalisme. Ia tidak dicetuskan oleh seorang akademisi untuk menteorisasikan keadaan. Ia justru lahir dari perlawanan atas kesenian yang adiluhung. Di sinilah saya menggunakan mooi indie sebagai pelengkap dari ide-ide orientalisme Said. Karena dengan mooi indie, bisa dipahami peristiwa-peristiwa orientalisme yang begitu khas di Indonesia. Di dalam penelitian ini, konsep orientalisme dan mooi indie mampu menjelaskan bagaimana cara pandang mediamedia di Indonesia mulai dari masa kolonial, hingga majalah traveling kontemporer.
25
Sesudah memahami orientalisme sebagai cara pandang media, saya mencoba melihat siapa saja yang terdapat dalam wacana media tersebut. Mereka ini adalah masyarakat pascakolonial/poskolonial. Gayatri Spivak (1988) menyebut orang-orang yang hidup di negara dunia ketiga dan mempunyai pengalaman penindasan kolonial ini sebagai subaltern. Subaltern adalah sama dengan masyarakat poskolonial. Dalam tesisnya Can Subaltern Speak? (1988), Spivak menggugat hegemoni Barat yang membuat masyarakat poskolonial bungkam atas pengalaman penindasan. Ia menuduh Barat memang tidak lagi melakukan koloni secara sitematis, akan tetapi Barat menciptakan bentuk dominasi dalam hal berbeda, yakni kapitalisme global. (Spivak, 1998) Saya mencoba menempatkan masyarakat Indonesia yang berada pada wacana pantai di majalah traveling tersebut sebagai subaltern. Masyarakat Indonesia dalam konteks penelitian ini adalah wisatawan atau orang-orang yang melakukan penjelajahan ke pantai-pantai di Indonesia. Kemudian masyarakat Indonesia juga berarti masyarakat lokal di sekitar pantai yang turut digambarkan oleh media-media tersebut sebagai obyek. Hal ini terkesan berlebihan, karena selama ini subaltern sendiri seringnya digunakan oleh poskolonialis untuk menjelaskan masyarakat poskolonial yang berada pada posisi yang tersubordinasi (victim approach). Sedangkan, masyarakat poskolonial (wisatawan) yang berada pada wacana
di
majalah traveling adalah kelas menengah dan kelas atas yang tidak tersubordinasi. Mereka justru bagian dari wacana dominasi dari media tersebut. Namun, seperti yang
26
Spivak katakan, subaltern harusnya tidak hanya dipahami sebagai korban. Mereka bisa dipahami sebagai sebuah kompleksitas masyarakat poskolonial. Subaltern adalah masyarakat pewaris, bukan hanya korban. Di dalam warisan tersebut, tentu ada halhal yang ditiru, seperti dominasi, penindasan, dan lain-lain. Hal inilah yang membuat praktik kolonialisme tidak usai. (Spivak, 1988). Konsep subaltern Spivak di sini juga terinspirasi dari ide-ide Gramsci tentang hegemoni. Subaltern adalah masyarakat poskolonial yang terhegemoni oleh Barat. Hegemoninya bisa bermacam-macam, mulai dari penindasan secara langsung atau bahkan kenikmatan yang nirsadar. Hegemoni ini membuat orang tidak sadar sedang dikontrol atasnya. Dalam konteks penelitian ini, masyarakat poskolonial yang terhegemoni adalah wisatawan yang dihadirkan oleh majalah traveling. Mereka yang menjadi obyek dari gambar indah, cerita dalam narasi teks yang menarik, atau representasi dari media itu sendiri. Orang-orang yang berada di sini tentu adalah masyarakat urban dari kelas menengah atau kelas atas. Wisatawan yang melakukan traveling adalah masyarakat poskolonial yang terhegemoni tersebut. Mereka inilah yang hidup di dalam mitos-mitos kenikmatan di pantai. Konsep masyarakat poskolonial (subaltern) yang terhegemoni ini hendak saya gunakan untuk membedah mitos-mitos di balik kenikmatan dan keindahan pantai. Selain orientalisme dan subaltern, di dalam teori poskolonial juga dibicarakan mengenai bentuk-bentuk dari nasionalisme di negara dunia ketiga. Salah satu bentuk nasionalisme yang sering dipahami oleh orang-orang yang hidup di negara ketiga
27
adalah wawasan tentang teritotori dan kekayaan alam. Pemahaman nasionalisme seperti ini adalah imagined landscapes, atau lanskap-lanskap alam yang terbayang. Maksudnya, di dalam nasionalisme tersebut terdapat ide melihat Indonesia melalui kondisi dan letak geografisnya saja. Orang-orang Indonesia begitu percaya dengan kepulauan dari Sabang sampai Merauke, padahal tidak semua dari mereka pernah datang dan melihat daerah-daerah tersebut. Mereka juga bangga dengan begitu luasnya wilayah teritotial negara, padahal tidak semua dari mereka menikmati kebesaran wilayah tersebut. Menurut Leela Gandhi (1998) nasionalisme seperti ini adalah penyakit negara yang mempunyai pengalaman yang tertindas oleh penjajah. Sehingga, baginya nasionalisme dipahami sebagai batasan yang tegas antara “we or them”. (Gandhi, 1998). Nasionalisme seperti ini adalah nasionalisme yang romantis, yakni meletakkan fondasi politik kebangsaan pada aspek geografis seperti batas teritori, keindahan alam, kekayaan alam. Di dalam nasionalisme yang romantis, kesadaran akan berbangsa dan bernegara justru menjadi sempit, karena melihat negara dari sisi-sisi yang baik-baik saja. Padahal, di balik keindahan alam dan luasnya wilayah negara, terdapat juga persoalan-persoalan seperti ketidakmerataan pembangunan, kemiskinan, dan lain sebagainya. Dalam konteks penelitian ini, pantai saya lihat dari nasionalisme yang romantis tersebut. Pantai dan laut bisa diartikan sebagai batasan antar daerah atau negara. Bangga dengan kekayaan alam di pantai juga menjadi bentuk nasionalisme tersebut. Sebagai contoh, dalam majalah ScubaHolic edisi 17 yang saya teliti,
28
kampanye nasionalisme melalui pantai bisa dilihat dari sebuah artikel yang berjudul “Halo Nusantara”. Di dalam artikel tersebut digambarkan keindahan pantai-pantai di Nusantara yang merupakan kekayaan Indonesia dan wajib dibanggakan sebagai rasa nasionalisme kita. Majalah-majalah traveling seperti ini kerap memadukan keindahan pantai dengan nasionalisme Indonesia. Melalui kampanye-kampanye, berkunjung ke pantai bisa diartikan menghargai kekayaan alam Indonesia. Selain teori besar mengenai wacana poskolonial, saya juga akan menggunakan teori representasi Stuart Hall (1997) untuk membahas mengenai makna-maka yang diberikan pada gambar atau teks dalam media mengenai pantai. Representasi adalah sebuah cara memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. (Haal, 1997) Di dalam media, benda-benda yang dimaksud bisa berupa bahasa, gambar, desain dan lain sebagainya. Dalam konteks peneltian ini, saya mencoba menggunakan pendekatan representasi secara reflektif yakni melihat makna yang diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata. Pantai yang digambarkan melalui foto dan narasi teks adalah bentuk dari representasi ide-ide manusia yang dimediasikan. Melalaui pendekatan representasi secara reflektif ini, saya mencoba melihat bagaimana mediamedia di Indonesia mewacanakan pantai-pantai.
29
F. Metode Penelitian 1. Peta Kajian Penelitian ini adalah etnografi wacana. Wacana yang saya teliti adalah wacana pantai yang terdapat dalam majalah traveling. Adapun empat majalah traveling yang saya gunakan, yakni Majalah Traveller, Majalah DestinAsian, Majalah Tamasya, dan Majalah ScubaHolic. Di dalam empat majalah tersebut, masing-masing saya ambil 2 (dua) edisi dalam kurun waktu 2014. Penjabaran keempat majalah tersebut sebagai berikut; (1) Majalah Traveller edisi Juni 2014 dan September 2014, (2) Majalah DestinAsian edisi Maret/April 2014 dan September/Oktober 2014, (3) Majalah Tamasya edisi Februari 2014 dan Maret 2014, (4) Majalah ScubaHolic edisi 18 awal tahun 2014 dan 19 akhir tahun 2014. Penggunaan empat majalah ini adalah sebagai indikator dari fenomena wacana pantai yang berkembang di media. Majalah-majalah ini saya kategorikan sebagai majalah traveling. Definisi majalah traveling menurut hemat saya adalah majalah yang mempunyai konten pariwisata dan gaya hidup. Biasanya majalah ini menghadirkan konten jalan-jalan dan jasa pariwisata. Pengkategorian keempat majalah ini berdasarkan beberapa kesamaan pada konten-konten yang dihadirkan dalam majalah. Kecuali Majalah ScubaHolic yang merupakan media digital dan media alternatif karena milik komunitas pecinta pantai. Namun, nyatanya konten dalam majalah ini tidak berbeda dengan majalah yang lain. Yakni kesemuanya mewacanakan pantai secara indah-indah saja. Di sini saya juga tidak akan
30
membandingkan seberapa banyak wacana pantai yang ada di dalam empat majalah tersebut. Saya justru memilih wacana-wacana yang mengulik perhatian saya untuk analisis lebih lanjut. Pemilihan keempat majalah tersebut didasari dari pengalaman membaca. Menurut saya, keempat majalah ini sering mewacanakan destinasi pantai-pantai di Indonesia sebagai konten dalam isinya. Sedangkan pemilihan tahun 2014 adalah konteks waktu yang penting dalam dunia pariwisata Indonesia. Karena di tahun 2014, angka kunjungan wisata adalah yang tertinggi dalam sejarah Indonesia, yakni meningkat 9,39 persen dari tahun 2013. Tahun 2014 juga tahun terdekat dalam penelitian ini, sehingga memudahkan saya untuk melihat sejauh mana wacana pantai berkembang di media saat ini. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mengenai wacana yang terdapat dalam teks-teks majalah traveling. Di dalamnya, terdapat subyek pewacana, wisatawan, dan masyarakat lokal. Ketiga elemen inilah akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan membahas ketiga elemen ini, mampu menjelaskan kontradiksi yang terjadi dalam wacana pantai tersebut. 2. Metode Analisis Teks Seperti halnya yang Foucault katakan, bahwa wacana merujuk pada teks. Teks wujudnya bisa macam-macam. Penggambaran pantai dalam Majalah Traveller, Majalah DestinAsian, Majalah Tamasya, dan Majalah ScubaHolic merupakan teks
31
yang akan saya teliti. Teks tersebut berupa foto dan narasi teks (tertulis). Analisis teks bertujuan untuk memperlihatkan motivasi yang tersembunyi di balik sebuah teks tersebut. Di dalam analisis teks terjadi proses dekonstruktif membaca dan menafsirkan masalah. Karena melalui cara demikian teks bisa dipahami sebagai sebuah permasalahan yang bisa dibongkar. Metode analisis teks yang saya gunakan tidak merujuk pada sebuah pemikiran tunggal. Di sini, saya justru memaknai teks-teks tersebut secara cair. Misalnya saja, saya menggunakan Critical Discourse Analysis Norman Fairclough (1995) untuk melihat bagaimana subyek (produksi wacana) bisa dianalisis. Di dalam CDA Fairclough terdapat tiga elemen penting darinya, yakni (analisis teks, analisis proses produksi, analisis sosiokultural). Dalam konteks penelitian ini, saya menggunakan CDA untuk menjelaskan analisis subyek pewacana dan dan analisis teks tersebut. Penggunaan CDA Fairclough ini membantu menjelaskan bagaimana fenomena yang terjadi dalam subyek pewacana dan teks di dalam media yang saya teliti. Kemudian saya juga menggunakan semiotika Roland Barthes untuk membedah foto-foto di dalam wacana tersebut. Di dalam bukunya Camera Lucida (1981) misalnya ia memberikan metode membaca foto dengan melihat relasi punctum dan studium. Punctum adalah fokus dari foto, biasanya berupa inti atau hal yang paling menarik dari komposisi foto. Di dalam punctum inilah biasanya inti dari sebuah wacana hendak dihadirkan. Kemudian studium adalah kondisi di luar punctum tersebut. Biasanya ia berupa latar pendukung inti foto. Punctum bisa dartikan sebagai
32
inti dari teks, sedangkan studium adalah kondisi sosiokulturalnya. Keduanya mempunyai relasi semantik, sehingga mengahasilkan pemahaman-pemahaman di luar foto tersebut. Dalam penelitian ini, punctum dan studium akan saya gunakan untuk melihat teks-teks visual pantai yang berada pada bab IV (analsisi teks). Penggunaan punctum dan studium ini bertujuan untuk mempermudah melihat gejala-gejala yang terjadi baik di dalam maupun di luat teks tersebut. Di dalam semiotika visual, terdapat leksia-leksia yang bisa kita maknai secara semantik. Leksia adalah penggalan-penggalan dari obyek visual yang akan kita amati. Di dalam foto pemandangan alam gunung misalnya, leksia itu bisa berupa gambar gunung, gambar pohon, gambar matahari, gambar petani, dan lain sebagainya. Leksia-leksia ini bisa dimaknai secara tunggal ataupun relasi. Jika dimaknai secara tunggal, leksia akan hadir dalam pemahaman semantik yang paradoksal, yakni pemahaman di luar bingkai obyek visual tersebut. Jika dimaknai secara relasi, maka antar leksia mampu menjelaskan sebuah gejala yang sedang terjadi dalam obyek tersebut. Misalnya saja leksia pada gambar gunung adalah sawah dan petani. Relasi semantik antar leksia tersebut bisa dimaknai sebagai „kesuburan suatu tempat‟. Metode analisis teks menggunakan semiotika visual ini bertujuan mempermudah saya memenggal-menggal isi dari foto-foto yang ada di dalam Majalah Traveller, Majalah DestinAsian, Majalah Tamasya, dan Majalah ScubaHolic.
33
3. Metode Pengumpulan Data Di dalam etnografi, metode pengumpulan data umumnya dilakukan melalui riset lapangan yang begitu formal. Akan tetapi, karena penelitian ini adalah wacana media, saya hanya mengumpulkan data-data berupa potongan-potongan wacana media. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, potongan media ini berasal dari empat majalah, yakni Majalah Traveller, Majalah DestinAsian, Majalah Tamasya, dan Majalah ScubaHolic. Potongan-potongan tersebut berupa foto, narasi teks (tulisan) serta cerita di antara keduanya. Selain data dari empat majalah tersebut, saya juga mengumpulkan data dari malajah lain seperti Majalah National Geographic dalam beberapa edisi yang sesuai dengan penelitian ini. Pengambilan data dari majalahmajalah ini bertujuan untuk mencari seperangkat pemahaman akan wacana pantai dari penelitian ini. Selain pengumpulan data dari majalah-majalah tersebut, saya juga telah melakukan beberapa wawancara atau riset kecil mengenai wacana pantai dalam media. Wawancara ini berupa pengetahuan dari dapur redaksi beberapa majalah. Kemudian data-data lain berupa riset kecil saya selama menjalani pekerjaan sebagai freelance journalist di beberapa media traveling. 4. Rancangan Penulisan Di dalam penelitian ini, pembahasan mengenai pantai akan dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab I (satu) berupa pedahuluan, yakni proposal penelitian beserta
34
rumusan permasalahan yang akan diuji. Bab II (dua) berupa analisis kondisi sosiokultural pantai di Indonesia. Di dalamnya
terdapat pembahasan mengenai
kondisi kultural pantai di Indonesia, sejarah pantai masa kolonial, hingga kondisi kultural masyarakat di sekitar pantai saat ini. Bab III (tiga) berupa analisis fenomena pantai yang terdapat dalam majalah traveling. Di dalamnya terdapat wacana mooi indie dan orientalisme pada pantai, produksi wacana pantai, dan mitos-mitos tentang pantai di Indonesia. Bab IV (empat) berupa analisis teks pada keempat majalah traveling. Analisis itu berupa pantai dan perempuan, pantai dan kemewahan, eksotisme pantai, serta kampanye nasionalisme pantai di Indonesia. Bab V (lima) adalah kesimpulan yang berupa jawaban dan refleksi atas rumusan permasalahan dalam bab 1.