BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ujian Nasional, atau yang lebih dikenal dengan UN, adalah sistem evaluasi standar pendidikan bagi tingkat dasar dan menengah di Indonesia, sekaligus untuk menilai persamaan mutu berbagai tingkat pendidikan antara suatu daerah dengan daerah yang lain (Gultom, 2012). Kegunaan ujian nasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kegunaan bagi negara dan kegunaan bagi siswa. Menurut Gultom (2012), kegunaan ujian nasional bagi negara adalah untuk mengetahui mutu pendidikan serta membuat perencanaan peningkatan mutu pendidikan di suatu wilayah. Bagi siswa, ujian nasional berguna untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Mardapi, 2012). Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013, sejak tahun 2015 telah diputuskan bahwa ujian nasional tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Meskipun demikian, ujian nasional tetap digunakan untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, keberadaan ujian nasional tidak dapat disepelekan. Siswa tetap memiliki kewajiban untuk belajar dengan giat apabila ingin mendapatkan nilai ujian nasional yang tinggi, sehingga dapat diterima di sekolah unggulan. Keuntungan yang diperoleh siswa dari sistem ujian nasional yang baru adalah berkurangnya rasa takut tidak lulus karena tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian nasional. Penyebab kecemasan siswa dalam menghadapi ujian nasional saat kini bergeser dari ketakutan siswa tidak lulus ujian nasional menjadi kecemasan terhadap mendapatkan nilai ujian nasional yang rendah, sehingga menghambat siswa untuk dapat diterima di sekolah unggulan atau sekolah yang diinginkan. Hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap tenaga pengajar dan siswa di SMP N “X” Yogyakarta menunjukkan bahwa meskipun kini ujian nasional tidak lagi menjadi 1
2 penentu kelulusan siswa, siswa tetap merasa cemas dalam menghadapi ujian nasional. Kecemasan terutama dirasakan oleh siswa yang bercita-cita untuk dapat diterima di sekolah ggulan karena nilai ujian nasional yang didapat harus tinggi agar tidak kalah saing dengan siswa pendaftar yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh salah satu pernyataan tenaga pengajar di SMP N “X” Yogyakarta, sebagai berikut:
“Iya, sekarang UN sudah bukan untuk kelulusan lagi, tapi siswa tetap cemas. Apalagi yang mau masuk sekolah bagus, kan harus dapat nilai tinggi.” (Interviewee 1, 2016)
Perasaan cemas yang dialami siswa meliputi rasa kurang yakin dengan kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi ujian nasional dan kekhawatiran mendapatkan nilai ujian nasional yang tidak memuaskan. Selain itu, adanya tuntutan untuk mendapatkan nilai ujian nasional yang tinggi agar dapat diterima di sekolah unggulan juga menjadi penyebab kecemasan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh salah seorang siswa SMP N “X” Yogyakarta sebagai berikut:
“Kalau sekarang masih ngerasa kurang (kemampuan) mbak. Masih takut kalau nggak bisa ngerjain soal UN besok padahal pengen SMA-nya yang bagus. Jadi kan kalau kaya gitu nilainya harus tinggi. Jadi cemas juga sih mbak kalau kepikiran bentar lagi UN.” (Interviewee 2, 2016)
Guna melihat kecemasan siswa dalam menghadapi ujian nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan penyebaran angket pada siswa SMA/SMK/MA selama pelaksanaan ujian nasional di tahun 2012. Angket tersebut berisi empat pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana perasaan Anda dalam menghadapi UN?” dengan pilihan jawaban biasa saja/tidak biasa/sangat tidak biasa; “Bagaimana tingkat kekhawatiran Anda terhadap kelulusan UN?” dengan pilihan jawaban yakin lulus/cukup
3 khawatir/sangat khawatir; “Bagaimana tingkat kecemasan Anda menghadapi UN?” dengan pilihan jawaban biasa saja/cemas/sangat cemas; dan siswa diminta memberikan pendapat pribadi tentang ujian nasional. Hasil pengisian angket menunjukkan bahwa 21,6% siswa merasa biasa saja, 56% merasa cemas, dan 22,4% merasa sangat cemas (Akuntono, 2012). Jumlah siswa yang mengalami kecemasan mencapai hampir empat kali lipat dari jumlah siswa yang tidak merasa cemas. Hal ini menunjukkan bahwa ujian nasional adalah pemicu kecemasan yang kuat bagi siswa. Kecemasan yang dialami siswa dalam menghadapi ujian nasional pada dasarnya adalah hal yang wajar, tetapi kecemasan yang berlebihan dapat mengarahkan pada tindakan yang tidak terduga, seperti munculnya pikiran untuk bunuh diri atau suicidal thought (Sareen, Cox, Afifi, de Graaf, Asmundson, ten Have,& Stein, 2005) dan yang lebih parah adalah usaha bunuh diri atau suicide attempts (Nepon, Belik, Bolton,& Sareen, 2010). Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa 16 siswa bunuh diri karena ujian nasional selama tahun 2004 sampai 2007, sementara media massa mencatat terdapat tujuh siswa lainnya yang juga melakukan bunuh diri karena ujian nasional pada tahun 2008 sampai 2014 (Hamzah, 2014). Berdasarkan data dari FSGI dan media massa tersebut, maka diketahui jumlah kasus bunuh diri yang dilakukan oleh pelajar karena cemas menghadapi ujian nasional adalah sebanyak 23 kasus. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang kecil, sehingga diperlukan perhatian lebih untuk mengantisipasi terulangnya kasus serupa, salah satunya bisa dilakukan dengan cara mengatasi kecemasan yang dialami siswa. Kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang bercirikan perasaan tegang yang tidak menyenangkan dan terdapatnya keyakinan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Kecemasan tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga bisa terjadi pada segala jenjang usia, mulai dari anak-anak, remaja, hingga
4 lansia. Kecemasan merupakan kondisi kejiwaan yang umum diketahui pada anak muda, bahkan onset muncul pada rata-rata usia 11 tahun (Waszcuk, Zavos, & Eley, 2013). Hal yang kerap kali memicu kecemasan anak salah satunya adalah ketika hendak menghadapi ujian (Langley, Falk, Peris, Wiley, Kendall, Ginsburg, Birhamer, March, Albano, & Piacentini, 2014). Kecemasan pada tingkat ringan (mild) biasanya memberikan pengaruh positif pada performa individu. Terkait dengan UN, motivasi belajar siswa dapat meningkat karena perasaan cemas yang dirasakan (Elliot, Kratochwill, Litllefield, & Traver, 1996). Apabila kecemasan mencapai tingkat berat (severe), maka kejernihan pikiran dan daya ingat akan terganggu, sehingga berdampak pada aktivitas belajar yang dilakukan oleh siswa (Goleman, 1997). Hopko, Crittendon, Grant, & Wilson (2005) menyebutkan bahwa siswa dengan kecemasan tingkat berat dapat mengalami ketertinggalan secara akademis karena kemampuan working memory verbalnya terganggu ketika sedang merasa cemas. Aktivitas belajar yang terganggu oleh perasaan cemas tidak akan memberikan hasil belajar yang baik. Bukan tidak mungkin bagi siswa akan mengalami kesulitan dalam mengerjakan ujian nasional karena aktivitas belajarnya tidak efektif, sehingga hasil ujian nasional yang didapat pun tidak memuaskan. Sasaran penelitian adalah siswa SMP kelas 9 di salah satu SMP di Yogyakarta. Siswa SMP di Indonesia pada umumnya berada dalam rentang usia 11-15 tahun. Jika mengacu pada teori psikososial milik Erikson (Sacco, 2013), maka anak telah memasuki periode remaja. Lebih rinci lagi, Santrock (2007) menyebutkan bahwa anak yang termasuk dalam rentang usia tersebut sudah memasuki tahap perkembangan remaja awal dan tengah. Teori psikososial menjelaskan bahwa remaja memiliki atribusi kepribadian identitas vs kebingungan identitas yang dicirikan dengan adanya pencarian jati diri. Tahap ini menjadi jembatan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Sacco, 2013). Oleh karena itu, pada tahap ini banyak ditemui perubahan yang terjadi pada masa remaja, antara
5 lain perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Perubahan yang paling jelas terlihat dan bisa diamati adalah perubahan biologis, seperti munculnya payudara pada perempuan dan munculnya kumis atau jenggot pada laki-laki. Perubahan kognitif secara umum menunjukkan peningkatan kualitas berpikir dalam menghadapi permasalahan sehari-hari. Perubahan pada aspek sosio-emosional ditunjukkan dengan keadaan emosi yang belum stabil dan dapat meledak-ledak ketika menghadapi tuntutan atau tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari (Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Selain terjadi banyak perubahan, terdapat pula banyak tuntutan dari lingkungan sekitar yang ditujukan bagi remaja. Tuntutan tersebut merupakan rekonsiliasi antara “menjadi seseorang yang diinginkan oleh diri sendiri” dan “menjadi seseorang yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat” (Wright & Eugene, 1982). Dikaitkan dengan konteks ujian nasional, siswa dituntut untuk bisa mendapatkan nilai yang tinggi, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain di sekitarnya. Di sisi lain, siswa sedang berada pada tahap remaja, sehingga belum memiliki emosi yang stabil dalam menghadapi tuntutan hidup yang berimbas pada kerentanan terhadap kecemasan (Conger & John, 1991). Kecemasan yang dialami siswa dalam menghadapi ujian nasional dikenal dengan istilah kecemasan ujian. Kecemasan ujian adalah perilaku yang menyertai keprihatinan mengenai kemungkinan mendapatkan kegagalan pada sebuah ujian atau kondisi evaluatif serupa (Sieber, O’Neil, & Tobias dalam Thoomaszen, 2013). Kecemasan ujian pada dasarnya disebabkan oleh terbentuknya suatu kepercayaan bahwa dirinya belum memiliki kemampuan intelektual, motivasi, dan dukungan sosial yang cukup untuk menghadapi ujian nasional. Kepercayaan yang sebenarnya belum tentu valid tersebut akhirnya menyebabkan kecemasan. Kecemasan ujian ditandai dengan munculnya rasa takut terhadap ujian, pudarnya rasa percaya diri, kesulitan berkonsentrasi saat belajar, terbayang akan kegagalan, dan dapat diikuti dengan menyalahkan diri sendiri (Sarason, 1984).
6 Lazarus dan Folkman (1984) juga menyatakan bahwa penyebab kecemasan siswa yang lain dalam menghadapi ujian nasional bisa berasal dari penilaian dan interpretasi individu terhadap situasi ujian nasional yang pada akhirnya dapat menghasilkan rasa cemas dalam menghadapi ujian nasional. Kecemasan dipengaruhi oleh beragam faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan fisik (Park, Tsunetsugu, Kasetani, Kagawa, & Miyazaki, 2009; Bratman, Daily, Levy, & Gross, 2015). Faktor lingkungan fisik dapat berupa suhu udara, suara atau kebisingan, sentuhan, bahkan bau atau aroma. Salah satu bau-bauan yang diyakini dapat menurunkan kecemasan bisa diperoleh dari penggunaan aromaterapi (Cristina, 2004). Dewasa ini, aromaterapi mulai banyak diminati oleh masyarakat. Aromaterapi yang dulu hanya menjadi pelengkap suasana rileks di salon dan spa, kini penggunannya telah merambah ke tempat-tempat lain, seperti pertokoan, kantor, hingga rumah tinggal. Sejalan dengan semakin banyaknya pengguna aromaterapi, meningkat pula penawaran produk aromaterapi dengan berbagai khasiat serta keunggulan yang ditawarkan. Salah satu manfaat aromaterapi yang paling dicari adalah memberikan efek rileks dan menurunkan kecemasan (Setiawan, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini sekaligus ingin membuktikan kebenaran informasi yang beredar di masyarakat bahwa aromaterapi dapat menurunkan kecemasann. Penelitian ini akan difokuskan pada faktor lingkungan fisik, khususnya bau atau aroma dalam menurunkan kecemasan. Bau yang dimaksud merupakan bau yang diperoleh dari minyak esensial. Adanya manipulasi terhadap lingkungan fisik dapat memberikan efek yang beragam pada tingkat kecemasan. Manipulasi dilakukan dengan memberikan aromaterapi di ruang kelas siswa. Kelas yang tadinya tidak berbau akan dipenuhi dengan wewangian dari aromaterapi. Wewangian aromaterapi yang dipercaya memiliki khasiat menurunkan kecemasan akan dihirup oleh siswa dan bereaksi pada tubuh. Reaksi pada
7 tubuh pada umumnya ditandai dengan peregangan otot dan sendi, perubahan zat kimia pada otak, dan perubahan secara emosional yang diharapkan pada akhirnya berpengaruh pada penurunan kecemasan siswa (Herz, 2009). Salah satu cara yang sederhana dan praktis dalam menangani kecemasan adalah dengan menggunakan aromaterapi (Koulivand, Ghadiri, & Gorji, 2013; Lehmer, Marwinski, Lehr, Johren, & Deecke, 2005; McCaffrey, Thomas, & Kinzelman, 2009). Aromaterapi didefinisikan sebagai sebuah seni dan ilmu pengetahuan dalam memanfaatkan esensi aromatik yang diekstrak secara alami dari tumbuhan. Dewasa ini, aromaterapi sedang menjadi pilihan utama yang digunakan untuk memberikan rasa tenang dan mengurangi
rasa
cemas.
Aromaterapi
digunakan
untuk
menyeimbangkan,
mengharmoniskan, dan meningkatkan kesehatan tubuh, jiwa, dan pikiran (Hutasoit, 2002). Dalam rangka mengatasi kecemasan siswa ketika menghadapi ujian nasional, peneliti menggunakan aromaterapi sebagai sarana menurunkan kecemasan siswa. Aromaterapi memiliki pilihan aroma yang beragam tergantung dari minyak esensial yang digunakan, salah satunya adalah lavender. Aromaterapi lavender dipercaya mampu meningkatkan ketenangan, keyakinan, rasa nyaman, rasa keterbukaan dan menurunkan stres, perasaan tertekan, frustrasi, kepanikan, serta emosi yang tidak seimbang (Hutasoit, 2002). Aromaterapi lavender diketahui juga dapat menghasilkan efek anti cemas dan anti konflik yang signifikan (Koulivand, dkk, 2013). Oleh karena itu, aromaterapi lavender dipilih untuk digunakan karena khasiatnya yang sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk menurunkan rasa cemas dan memberikan rasa tenang. Penelitian terdahulu mengenai pengaruh aromaterapi dalam menurunkan kecemasan siswa yang menghadapi ujian telah dilakukan. Penelitian mengenai efek minyak esensial lavender terhadap kecemasan menghadapi ujian pada siswa keperawatan dilakukan oleh McCaffrey, dkk (2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan aromaterapi
8 lavender melalui inhalasi dapat membantu siswa untuk merasa rileks dan menurunkan kecemasan menghadapi ujian. Kavurmaci, Kucukoglu, dan Tan (2015) juga melakukan penelitian untuk melihat efektivitas aromaterapi lavender dalam menurunkan kecemasan menghadapi ujian pada siswa keperawatan. Setelah eksperimen dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa menghirup aromaterapi lavender dapat menurunkan kecemasan menghadapi ujian pada siswa. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa aromaterapi lavender dapat menurunkan kecemasan menghadapi ujian pada siswa. Aromaterapi lavender tidak hanya berhasil menurunkan kecemasan dalam konteks menghadapi ujian. Beberapa penelitian berikut ini membuktikan bahwa aromaterapi lavender juga dapat menurunkan kecemasan dalam konteks yang berbeda. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lehmer, dkk (2005) menunjukkan aromaterapi lavender menurunkan kecemasan pada pasien di klinik gigi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Itai, Amayasu, Kuribayashi, Kawamura, Okada, Momose, Tateyama, Narumi, Uematsu, & Kaneko (2000) menunjukkan bahwa aromaterapi lavender menurunkan kecemasan pada pasien hemodialisis kronis. Sesuai dengan penjabaran beberapa hasil penelitian tersebut, maka aromaterapi seharusnya juga dapat digunakan di sekolah dalam rangka mengatasi kecemasan yang melanda siswa ketika menghadapi ujian nasional. Selain itu, penggunaan aromaterapi terbilang praktis, aman, dan tidak membutuhkan dana yang besar, sehingga tidak memberatkan pihak sekolah ataupun siswa apabila siswa juga ingin mengaplikasikan aromaterapi di tempat tinggalnya (McCaffrey, dkk, 2009). Penanganan terhadap gangguan kecemasan adalah hal yang penting karena kecemasan yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan kecemasan itu menetap dalam diri individu yang bersangkutan selama bertahun-tahun selanjutnya (Mychailyszyn, Mendez, & Kendall, 2010). Sebaliknya,
9 pemberian intervensi yang tepat dapat menurunkan kecemasan itu sendiri dan meningkatkan kualitas belajar anak (Ozsivadjian, Knott, & Magiati, 2012). Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh aromaterapi dalam menurunkan kecemasan menghadapi ujian nasional pada siswa SMP dinilai penting untuk dilakukan berdasarkan beberapa sebab. Apabila aromaterapi lavender terbukti mampu menurunkan kecemasan menghadapi ujian yang dialami siswa, maka penggunaan aromaterapi di ruang kelas dapat dianjurkan untuk diterapkan di sekolah-sekolah. Manfaat aromaterapi dalam menurunkan kecemasan juga akan sangat membantu siswa dalam memberikan performa yang lebih baik selama berlangsungnya proses belajar di sekolah. Adanya kenyamanan dalam belajar yang disebabkan menurunnya kecemasan yang selama ini melanda siswa, diharapkan dapat membantu siswa untuk dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik dalam menghadapi ujian nasional. Dengan demikian, siswa dapat memberikan performa terbaiknya ketika mengerjakan soal-soal ujian nasional.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aromaterapi dalam penurunan kecemasan menghadapi ujian nasional pada siswa SMP.
C. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Diharapkan penelitian mengenai pengaruh aromaterapi dalam menurunkan kecemasan pada siswa yang menghadapi ujian nasional dapat memberikan tambahan pengetahuan khususnya pada bidang psikologi klinis, psikologi perkembangan, dan psikologi pendidikan.
10 2. Secara Praktis Apabila aromaterapi terbukti efektif dalam menurunkan kecemasan pada siswa yang menghadapi ujian nasional, maka penggunaan aromaterapi dapat disarankan di setiap sekolah dalam upaya mengatasi kecemasan pada siswa.