BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hiperplasia prostat jinak (BPH) merupakan penyakit jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan pembesaran prostat jinak (BPE), keluhan traktus urinarius bawah (LUTS), dan atau obstruksi outlet kandung kemih (BOO) (Oelke et al., 2007; Briganti et al., 2009). Pembesaran prostat jinak (BPE) merupakan pembesaran prostat akibat BPH tanpa adanya karsinoma prostat. BOO merupakan obstruksi outlet kandung kemih tanpa adanya penyebab spesifik. Obstruksi prostat jinak (BPO) merupakan BOO akibat BPH. BPO biasanya berhubungan, namun tidak selalu berhubungan dengan BPE. LUTS merupakan keluhan akibat perubahan fungsi kandung kemih yang sering, namun tidak selalu mengganggu pasien sehingga memerlukan konsultasi medis. Semua kondisi tersebut, BPE, BPO, dan LUTS sering berkaitan dengan BPH (Maruschke et al., 2009). Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor tersebut berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, dengan skor 0-7 digolongkan sebagai bergejala ringan, skor 8-19
1
2
bergejala sedang, dan skor 20-35 bergejala berat (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2007; Kuo, 2008). Dari keseluruhan pasien dengan tanda-tanda histologik hiperplasia prostat jinak, sepertiga hingga separuhnya memiliki volume prostat >25ml, dan hingga 28%-nya mengalami LUTS sedang hingga berat. BOO terdeteksi pada sekitar 60% penderita BPH yang simtomatik dan pada 52% penderita asimtomatik (Oelke et al., 2007). Perubahan histologi BPH berkembang pada zone transisi dan atau pada periuretra sfinkter preprostatika. Pertumbuhan dan pembesaran noduler dapat mengakibatkan BPE, LUTS, BOO, perubahan fungsi kandung kemih, dan retensi akut atau kronik (Maruschke et al., 2009; McVary et al., 2010). Pada kasus yang berat, disfungsi kandung kemih akibat pembesaran protat dapat mengakibatkan perubahan fungsi ginjal (Maruschke et al., 2009). Keseluruhan efek sekunder BPE secara predominan mempengaruhi kandung kemih. Adanya BOO dikompensasi oleh kandung kemih dengan meningkatkan kerja otot detrusor. BOO yang menetap mengakibatkan terjadinya hipertrofi otot detrusor yang dapat terlihat dengan ultrasonografi. Obstruksi yang progresif dan dalam waktu lama dapat mengakibatkan kegagalan kandung kemih untuk mengkompensasi secara penuh obstruksi tersebut, yang mengakibatkan tidak sempurnanya pengosongan kandung kemih dan penurunan aliran urin (Mirone et al., 2007). Proses berkemih melibatkan suatu rangkaian neural yang kompleks di dalam otak dan medulla spinalis yang mengkoordinasi aktivitas otot polos
3
kandung kemih dan uretra. Pengisian kandung kemih dan penimbunan urin normal membutuhkan akomodasi terhadap peningkatan volume urin dengan tekanan intravesika yang rendah. Pengosongan kandung kemih memerlukan kontraksi otot polos kandung kemih yang terkoordinasi dengan kekuatan yang cukup (Kuei et al., 2011). Disfungsi berkemih merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu kegagalan absolut atau relatif untuk mengosongkan kandung kemih yang diakibatkan penurunan kontraktilitas kandung kemih, peningkatan tahanan outlet, atau keduanya (Wein, 2012). Pemeriksaan standar untuk menilai disfungsi berkemih meliputi uroflometri, pengukuran volume residu urin pascamiksi (PVR), serta pressure flow studies (Kuei et al., 2011). Evaluasi yang dapat menentukan BOO dengan akurat hingga saat ini hanyalah pressure flow studies. Pemeriksaan tersebut bersifat invasif, mahal, dan lama. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi kontribusi ultrasonografi dalam identifikasi pasien dengan BOO. Metode yang dilakukan meliputi pengukuran ketebalan dinding kandung kemih (BWT) dan otot detrusor (DWT), protrusi prostat intravesika (IPP), dan perkiraan berat kandung kemih dengan ultrasonografi (UEBW) ( Foo, 2010; Arnolds et al., 2009 cit. Kuei et al., 2011; dan D’Ancona et al., 2012). Pengukuran DWT lebih dipilih dibandingkan BWT total karena 2 alasan, yaitu penelitian pada hewan coba memperlihatkan bahwa lapisan otot paling terpengaruh oleh perubahan tekanan dan mukosa dapat dipengaruhi oleh patologi kandung kemih lainnya sperti karsinoma atau infeksi (Bright et al., 2010). Pada
4
pemeriksaan klinis rutin, pengukuran free uroflowmetry, PVR, dan volume prostat digunakan untuk memperkirakan adanya BOO pada pasien dengan BPH (Oelke et al., 2007). Hasil penelitian Tokgöz et al. (2012) memperlihatkan bahwa PVR, DWT, volume prostat dan kandung kemih teridentifikasi sebagai faktor prediktif yang signifikan adanya BOO/LUTS. Chen et al. (2006) menyatakan bahwa derajat BOO pada laki-laki berusia lanjut dengan BPH dan LUTS berkorelasi sangat signifikan dengan volume prostat. Penelitian yang dilakukan pada hewan coba yang kandung kemihnya dilakukan obstruksi secara buatan memperlihatkan pembesaran dinding kandung kemih yang berkaitan dengan hipertrofi sel-sel otot polos, hiperplasia fibrosit, dan deposisi kolagen di dalam otot detrusor. Temuan-temuan eksperimental tersebut telah ditegaskan terjadi pula pada manusia dengan BOO (Levin et al., 2000 cit. Oelke et al., 2007). Dinding otot detrusor dapat terlihat jelas dengan menggunakan teknologi ultrasonografi. Sebagai konsekuensinya, pengukuran DWT akhir-akhir ini telah digunakan untuk mediagnosis BOO pada penderita BPH (Kessler et al., 2006; Manieri et al., 1998). Pengukuran DWT dengan ultrasonografi merupakan metode baru untuk mendiagnosis BOO. Hipertrofi dinding kandung kemih pada binatang dan manusia dapat divisualisasikan dan diukur dengan pemeriksaan ultrasonografi (Manieri et al., 1998; Oelke et al., 2002).
5
Pengukuran DWT secara tepat memerlukan alat ultrasonografi frekuensi tinggi (7,5 MHz atau lebih) dan memiliki fitur fungsi perbesaran pada pencitraannya (Oelke et al., 2007). Perbedaan kecil DWT dapat dievaluasi dengan menggunakan alat ultrasonografi tersebut sehingga memungkinkan untuk pengklasifikasian pasien dengan tepat (Oelke et al., 2006). Penelitian yang dilakukan Oelke et al. (2002) menetapkan DWT >2mm merupakan nilai cut off untuk mendeteksi BOO. Teknik noninvasif untuk mendeteksi adanya BOO dengan menggunakan ultrasonografi berupa pengukuran BWT dan DWT memiliki beberapa keuntungan karena merupakan teknik yang benar-benar noninvasif, mudah dilakukan oleh pemeriksa, dapat dikerjakan dalam waktu singkat, dan murah (Valentini et al.,2011). Pada kenyataannya aspek teknis memainkan peran utama dalam pengukuran BWT dan DWT secara akurat karena fungsi perbesaran pencitraan USG sebagai salah satu persyaratan pengukuran tidak tersedia pada kebanyakan peralatan USG yang ada (Gratzke dan Reich, 2007). Pengukuran
DWT
menggunakan
ultrasonografi
bersifat
operator
dependent, namun telah diperlihatkan pengukuran tersebut akurat, dapat dipercaya, cepat, dan sederhana. Pengukuran tebal dinding kandung kemih atau DWT biasanya dikerjakan dalam waktu kurang dari dua menit dengan variabilitas intrapengamat ≤ 5,1% dan varia bilitas interpengamat 4-12,3% (Manieri et al., 1998; Kessler et al., 2006). Oelke et al. (2007) meneliti akurasi diagnostik pemeriksaan noninvasif untuk mengevaluasi BOO pada laki-laki, meliputi pengukuran DWT, uroflometri,
6
PVR, dan volume prostat. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa akurasi diagnostik penilaian BOO dengan pengukuran DWT lebih baik dibandingkan dengan pengukuran Qmax dan Qave pada urofometri, PVR, atau volume prostat. Deteksi BOO dengan pengukuran DWT hampir seakurat pressure flow studies yang merupakan pemeriksaan baku emas. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa akurasi DWT dalam mendeteksi BOO 89%, sedangkan akurasi PVR dalam mendeteksi BOO sebesar 56%. Keadaan
residu urin yang menetap menunjukkan adanya kelemahan
kontraksi otot detrusor relatif terhadap outlet kandung kemih. Pada laki-laki dengan BPE, keadaan tersebut biasanya menunjukkan bahwa otot detrusor tidak lagi dapat menghasilkan peningkatan tekanan berkemih yang cukup untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya akibat BOO (Maruschke et al., 2009). Proses berkemih normal membutuhkan relaksasi otot detrusor pada saat penimbunan urin, serta kontraksi selama proses berkemih untuk mengatasi tahanan outlet kandung kemih, yang dalam hal ini prostat dan leher kandung kemih (Andersson dan Arner, 2004). Hiperplasia prostat jinak yang diikuti BPE secara anatomi dapat mengakibatkan BOO statis (Sarma dan Wei, 2012). Residu urin pascamiksi pada laki-laki merupakan suatu masalah urologi yang kompleks dan merupakan komplikasi BOO yang sering terjadi akibat BPH (May et al., 2009). Pemeriksaan uroflometri dan PVR merupakan pemeriksaan sederhana yang digunakan untuk mendeteksi adanya BOO, walaupun keduanya tidak dapat memberikan diagnosis definitif (Nitti, 2005). Berbagai asosiasi ahli urologi
7
termasuk Asosiasi Urologi Kanada dalam panduan penatalaksanaan BPH tahun 2010 merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai salah satu metode evaluasi pasien dengan BPH (Nickel et al., 2010). PVR yang signifikan merupakan manifestasi BPH yang sering dijumpai (Amole et al., 2004). Penentuan PVR merupakan faktor penting untuk mendiagnosis disfungsi berkemih dan untuk membuat keputusan terkait pilihan penatalaksanaan pasien BPH. Kateterisasi uretra merupakan baku emas untuk mengukur PVR, namun pengukuran dengan ultrasonografi lebih mudah dilakukan, serta telah dilaporkan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam memperkirakan PVR (Özden, 2006). B. Perumusan Masalah 1. BPH dapat mengakibatkan keadaan BPE, LUTS, dan atau BOO. 2. Ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai beberapa parameter yang digunakan untuk menentukan adanya BOO, meliputi pengukuran volume prostat, DWT, BWT, IPP, dan PVR. 3. Deteksi BOO dengan pengukuran DWT hampir seakurat pressure flow studies yang merupakan pemeriksaan baku emas. 4. Fungsi perbesaran pencitraan USG sebagai salah satu persyaratan pengukuran DWT tidak tersedia pada kebanyakan peralatan USG yang tersedia. 5. Panduan penatalaksanaan BPH yang dikeluarkan berbagai asosiasi ahli urologi masih merekomendasikan pengukuran PVR sebagai salah satu metode evaluasi untuk mengarahkan dan menentukan adanya obstruksi.
8
C. Pertanyaan Penelitian Adakah korelasi antara ketebalan otot detrusor dan volume residu urin pascamiksi pada penderita pembesaran prostat jinak? D. Keaslian Penelitian Penelitian untuk mengetahui korelasi antara ketebalan otot detrusor dan volume residu urin pascamiksi pada penderita pembesaran prostat jinak sejauh pengetahuan dan penelusuran peneliti belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUP Dr. Sardjito. Beberapa penelitian terkait pembesaran prostat jinak, BOO, DWT, dan PVR yang dijadikan acuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti (Tahun)
Ʃ Subyek
Desain
Topik
Hasil
Oelke et al. (2007)
160
Penelitian prospektif
Perbandingan akurasi diagnostik DWT, uroflometri, PVR, dan volume prostat dengan pressure flow studies untuk mendeteksi BOO pada laki-laki
Ko et al. (2010)
309
Tidak disebutkan dengan jelas
Penelitian nilai prediktif PVR terhadap kejadian klinis terkait BPH
Tokgöz et al. (2012)
243
Penelitian prospektif, terkontrol
Pengukuran nilai diagnostik DWT, PVR, dan volume prostat pada laki-laki dengan LUTS
Pengukuran DWT dapat mendeteksi BOO secara lebih baik dibandingkan uroflometri, PVR, atau volume prostat. Pengukuran DWT dapat digunakan untuk menentukan adanya BOO secara noninvasif pada klinis rutin. Peningkatan PVR pada evaluasi awal populasi Korea yang simptomatik merupakan indikator signifikan kejadian klinis terkait BPH, bersamaan dengan peningkatan skor gejala atau volume prostat Pengukuran DWT, PVR, volume kandung kemih dan prostat dengan ultrasonografi merupakan alat diagnostik yang menjanjikan untuk mendiagnosis LUTS atau BOO pada laki-laki
9
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara ketebalan otot detrusor dan volume residu urin pascamiksi pada penderita pembesaran prostat jinak. F. Manfaat Penelitian 1.
Penelitian ini dapat memperjelas peran pengukuran PVR dengan pemeriksaan USG untuk mengetahui adanya BOO pada pasien dengan pembesaran prostat jinak.
2.
Penelitian ini dapat mengembangkan wawasan peneliti tentang pemeriksaan ultrasonografi transabdominal untuk mendeteksi kemungkinan adanya obstruksi outlet kandung kemih pada pasien dengan pembesaran prostat jinak.
3.
Jika terdapat korelasi positif antara DWT dan PVR pada penderita pembesaran prostat jinak, pemeriksaan DWT dan PVR diharapkan dapat diusulkan penerapannya sebagai prosedur pemeriksan rutin bagi pasien dengan pembesaran prostat jinak yang menjalani pemeriksaan USG urologi/abdomen bawah di RSUP Dr. Sardjito.
4.
Penelitian ini bermanfaat bagi institusi pendidikan untuk melatih cara berpikir dan melakukan penelitian yang benar.
5.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pelayanan radiologi diagnostik dalam memeriksa pasien dengan pembesaran prostat jinak menggunakan modalitas ultrasonografi.