BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara global, pada tahun 2030 transisi epidemiologi dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (PTM) semakin jelas. Diproyeksikan jumlah kesakitan akibat PTMakan meningkat dan penyakit menular akan menurun. Peningkatan kejadian PTM berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup. Salah satu PTM yang akan meningkatsignifikan pada tahun 2030 yaitu Diabetes Melitus (WHO, 2011). Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak dapat memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau berkurangnya
kemampuan tubuh
untuk
merespon
kerja insulin
secara
efektif.Diabetes tipe 2 berjumlah 90% dari seluruh kasus diabetes (WHO, 2015).Indonesia menduduki rangking kelima jumlah penyandang diabetes terbanyak dengan jumlah penderita DM sebanyak 9,1 juta (IDF, 2014). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%) (Kemenkes, 2013). Pada Sidang Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dalam press release tanggal 20 Desember 2006 telah mengeluarkan Resolusi no 61/225 yang mendeklarasikan bahwa epidemik DM merupakan ancaman global dan serius sebagai salah satu PTM yang menitikberatkan pada pencegahan dan pelayanan
1
2
diabetes di seluruh dunia. Oleh karena itu, program pengendalian DM dilaksanakan dengan prioritas upaya preventif dan promotif, dengan tidak mengabaikan upaya kuratif.Serta dilaksanakan secara terintegrasi dan menyeluruh antara pemerintah, masyarakat dan swasta.Peran para pendidik baik formal maupun informal, edukator DM dan para kader sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan DM. (Kemenkes, 2015). Menurut Permenkes no 9 tahun 2014 pasal 32, pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu hari (one day care) dan/atau home care. Home care merupakan bagian atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan dampak penyakit. Program home care adalah program multidisipliner, yang artinya diperlukan kolaborasi yang baik dari semua bidang tenaga kesehatan.Salah satu keberhasilan program home care dapat dilihat dari peningkatan kualitas hidup pasien. Salah satu yang dibutuhkan disini adalah peran apoteker dalam memonitor penggunaan obat oleh pasien lanjut usia. Potensi polifarmasi pada pasien lanjut usia cukup besar dengan adanya penurunan fungsi fisik karena proses penuaan. Dalam hal ini, efek terapi, efek samping, kemungkinan interaksi obat dan ketaatan pasien merupakan hal yang harus dipantau oleh apoteker terutama ketika pasien ada di rumah (Reily et al, 2012; Venturini et al, 2011).
3
Pelayanan
home
care
juga
meliputi
konseling
yang
bermanfaat
meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, sehingga angka kematian dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas) dapat ditekan (Schnipper, 2006). Salah satu faktor yang berperan dalam kegagalan kontrol glukosa darah pasien DM adalah ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan (Suppapitiporn& Onsanit, 2005).Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut maupun kronik (Mangesha, 2007). Puskesmas Srandakan yang berada di Jl. Raya Srandakan No. 96, Dusun Srandakan, Desa Trimurti Kecamatan Srandakan, Bantul merupakan puskesmas pilihan pemerintah sebagai puskesmas percontohan pelayanan kefarmasian di pedesaan sejak tahun 2013. Salah satu pelayanan kefarmasian yang diberikan adalah pelayanan home care.Home care yang dilakukan oleh apoteker meliputi pemantauan penggunaan obat serta konseling kepada pasien penyakit kronik baik penderita hipertensi, DM dan penyakit kronis lainnya agar dapat menggunakan obat dengan benar dan patuh. DM merupakan penyakit dengan jumlah penderita terbanyak di Puskesmas Srandakan. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian home care terhadap kepatuhan, kadar glukosa darah, dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul.
4
B. Rumusan Masalah Masalah yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian di atas adalah: 1. Apakahhome caremeningkatkan kepatuhan pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul? 2. Apakah home caremenurunkan dan menormalkan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul? 3. Apakah home caremeningkatkan kualitas hidup DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul?
C. Tujuan Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Untuk melihat pengaruh home care terhadap peningkatan kepatuhan pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul. 2. Untuk melihat pengaruh home care terhadap penurunan dan pencapaian kadar glukosa darah normal pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul. 3. Untuk melihat pengaruh home care terhadap peningkatan kualitas hidup pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul.
5
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas Srandakan Memberikan informasi mengenai pengaruh homecarepada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia dan sebagai masukan untukmeningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terutama terkait konseling obat di Puskesmas Srandakan. 2. Bagi Pemerintah Republik Indonesia Sebagai sumber informasi dalam mengambil keputusan kebijakan terkait dengan pelayanan kesehatan. 3. Bagi peneliti Meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dalam memberikan home care bagi pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia.
E. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes melitus Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau disebabkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang berfungsi meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan sering mengakibatkan kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama sel saraf dan pembuluh darah (WHO, 2015).
6
Kelompok pakar diabetes Amerika(ADA, 2015) mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi 4 kategori yaitu: a. Diabetes Melitus Tipe 1 DM tipe 1 terjadi karena adanya kerusakan sel beta pankreas yang umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. b. Diabetes Melitus Tipe 2 Penyebab DM tipe 2 bervariasi, namun penyebab utama adalah resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif sampai pada defek sekresi insulin dengan resistensi insulin. c. Diabetes Melitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik dari fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. d. Diabetes Melitus Gestasional DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa biasanya didapati pada trimester kedua dan ketiga. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan jika terdapat keluhan seperti: 1) Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya 2) Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus valvae pada wanita (Gustaviani, 2006).
7
Langkah – langkah diagnostik DM Tipe2 dan gangguan toleransi glukosa sebagai berikut ( PERKENI, 2011) : a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dl (11,1mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. b. Gejala klasik DM + kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8jam. c. Kadar gula plasma 2 jam padaTes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥200mg/dl ( 11,1 mmol/L).Menurut WHO,TTGO menggunakan beban glukosa setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air. Pemeriksaan HbA1c ( ≥6,5% ) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik. Hal yang mendasar dalam pengelolaan DM tipe 2 adalah perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan (Bloomgarden, 2008). Untuk terapi farmakologi obat-obat yang dapat digunakan antara lain: 1. Metformin Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang sering dikeluhkan
8
adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia. Metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan penurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan
kontraindikasi
untuk
pemakaian
metformin
karena
meningkatkan risiko asidosis laktik; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal (Nathan et al, 2008). 2. Sulfonilurea Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan sekresi insulin. Dari segi efikasinya, sulfonilurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia
lebih
besar
dengan
klorpropamid
dan
glibenklamid
dibandingkan dengan sulfonilurea generasi kedua lainnya. Sulfonilurea menyebabkan berat badan bertambah ~ 2 kg. Kelebihan sulfonilurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal dan dosis lebih tinggi sebaiknya dihindari (Nathan et al, 2008). 3. Glinide Seperti halnya sulfonilurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonilurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering.
9
Golongan glinide dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5% Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai sulfonilurea, akan tetapi risiko hipoglikemianya lebih kecil (Nathan et al, 2008). 4. Penghambat α-glukosidase Penghambat α-glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakarida di usus halus sehingga monosakarida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan penghambat α-glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 – 0,8%. Meningkatnya karbohidrat di kolon mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal (Nathan et al, 2008). 5. Thiazolidinedione (TZD) TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap insulin baik endogen maupun eksogen. Efek TZD dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4%. Efek samping TZD adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif (Nathan et al, 2008). 6. Insulin Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, paling efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target
10
terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maksimal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al, 2008). 7. Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor) DPP-4 inhibitor merupakan protein membran yang diekspresikan pada berbagai jaringan termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor meningkatkan “glucose- mediated insulin secretion” dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9%. Golongan obat ini tidak menimbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai monoterapi (Nathan et al, 2008).
2. Home care Pelayanan kefarmasian di rumah (home care) oleh apoteker adalah pendampingan pasien oleh apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau keluarganya.Pelayanan kefarmasian di rumah terutama untuk pasien yang tidak atau belum dapat menggunakan obat dan atau alat kesehatan secara mandiri, yaitu pasien yang memiliki kemungkinan mendapatkan risiko masalah terkait obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan atau alat kesehatan agar tercapai efek yang terbaik (Depkes RI, 2008)
11
Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada semua
pasien
mengingat
berkesinambungan.Oleh
waktu
pelayanan
cukup
karena itu diperlukan seleksi
lama
dan
pasien dengan
menentukan prioritas pasien yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan kefarmasian di rumah. Pasien yang perlu mendapat pelayanan kefarmasian di rumah antara lain : a. Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus tentang penggunaan obat, interaksi obat, dan efek samping obat. b. Pasien dengan terapi jangka panjang misal pasien TB, HIV/AIDS, DM, dan lain-lain. c. Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih dengan salah satu kriteria atau lebih regimen obat sebagai berikut: 1. Pasien minum obat 6 macam atau lebih setiap hari; 2. Pasien minum obat 12 dosis atau lebih setiap hari; 3. Pasien minum salah satu dari 20 macam obat dalam tabel 1 yang telah diidentifikasi tidak sesuai untuk pasien geriatrik; 4. Pasien dengan 6 macam diagnosa atau lebih (Depkes RI, 2008). Dalam home care dilakukan konselingdengan pemberian informasi tentang obat-obatan olehapoteker sebagai konselor. Konselingakan mempengaruhi peningkatan ketaatan pada regimen obat yang tertulis dan mengakibatkan hasil terapi yang meningkat pada pasien.
12
Manfaat konseling bagi pasien dan apoteker adalah sebagai berikut: 1. Untuk pasien Konseling akan meningkatkan kualitas hidup pasien. Pemberian konseling akan
mencegah
peningkatan
ketidakpatuhan
keparahan
atau
pasien
yang
memperlama
dapat penyakit.
menyebabkan Selain
itu
menghindarkan terjadinya drug related problem morbidity dan membuat pasien yakin bahwa obat yang diterima aman dan efektif. Konseling juga dapat menambah informasi tentang penyakit, efek samping obat, interaksi obat atau penggunaan obat yang terkadang informasi ini tidak didapatkan dari dokter karena pasien tergesa-gesa atau malu bertanya (Rantucci, 2006). 2. Untuk apoteker Apabila pemberian informasi obat tidak cukup bagi pasien sehingga menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan maka apoteker harus bertanggungjawab akan hal tersebut. Konseling merupakan bentuk perlindungan dari hukum bagi apoteker (Rantucci, 2006). Melalui konseling dapat memperkenalkan peran apoteker di masyarakat dan apoteker dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugasnya. Perasaan puas diperoleh bila dapat menolong orang lain, terutama membantu pasien dalam meningkatkan kesehatan (Rantucci, 2006). Practice expectation dan kenyataan memiliki perbedaan yang membuat apoteker frustasi karena tidak dapat menggunakan seluruh
13
pengetahuannya. Konseling memberi peluang apoteker menggunakan pengetahuannya dengan lebih komprehensif (Rantucci, 2006). 3. Kepatuhan Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat.Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh bila melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Faktor - faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku kepatuhan pada pasien diabetes dapat dikelompokkan dalam empat jenis: 1. Karakteristik dari penyakit dan pengobatannya Tiga elemen dari pengobatan (kompleksitas dari pengobatan, lamanya penyakit dan cara pemberian pelayanan) dan penyakit itu sendiri sangat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Secara umum, semakin kompleks regimen
pengobatan,
semakin
kecil
kemungkinan
pasien
akan
mematuhinya. Indikator dari kompleksitas dari suatu pengobatan adalah frekuensi pengobatan yang harus dilakukan oleh pasien itu sendiri, misalnya frekuensi minum obat dalam sehari. Pasien akan lebih patuh pada dosis yang diberikan satu kali sehari daripada dosis yang diberikan lebih sering, misalnya tiga kali sehari. Lamanya penyakit tampaknya memberikan efek negatif terhadap kepatuhan pasien.Makin lama pasien mengidap penyakit diabetes, makin kecil pasien tersebut patuh pada pengobatannya. Cara pemberian
14
pelayanan untuk diabetes bervariasi dari perawatan secara intensif yang diberikan oleh tim diabetes multidisiplin hingga perawatan rawat jalan dari pelayanan kesehatan primer (dokter umum). Pasien yang dilayani pada klinik dokter keluarga, lebih banyak mengunjungi dokternya dengan tujuan
untuk
mendapatkan
konseling
terapinya
daripada
untuk
memeriksakan dirinya karena terserang penyakit yang akut.Masalah biaya pelayanan juga merupakan hambatan yang besar bagi pasien yang mendapat pelayanan rawat jalan dari klinik umum.Hambatan terhadap akses pelayanan juga berhubungan dengan buruknya kontrol metabolik. 2. Faktor Intrapersonal Tujuh faktor intrapersonal penting yang berhubungan dengan kepatuhan adalah umur, jenis kelamin, penghargaan terhadap diri sendiri, disiplin diri, stres, depresi dan penyalahgunaan alkohol. Umur berpengaruh terhadap kepatuhan dalam menerapkan terapi non farmakologi berupa aktivitas fisik.Pada kasus diabetes, pasien yang lebih muda lebih banyak melakukan terapi fisik sehingga mengeluarkan kalori lebih banyak daripada pasien yang lebih tua.Orang dewasa tua lebih mematuhi regimen pengobatannya daripada dewasa muda. 3. Faktor interpersonal Dua hal penting dalam faktor interpersonal : kualitas hubungan antara pasien dan petugas pelayanan kesehatan dan dukungan keluarga. Komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan sangat memperbaiki kepatuhan pasien.
15
4. Faktor lingkungan Dua faktor lingkungan yaitu sistem lingkungan dan situasi dengan risiko tinggi, berhubungan dengan buruknya kepatuhan pasien diabetes.Perilaku pengaturan pengobatan oleh diri sendiri terjadi dalam lingkungan yang berubah secara rutin, misalnya dari lingkungan rumah, lingkungan kerja, lingkungan masyarakat dan sebagainya, yang berhubungan dengan kebutuhan dan prioritas yang berbeda-beda. Setiap ada perubahan lingkaran kegiatan rutinya, setiap orang akan perlu melakukan penyesuaian. Situasi yang menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan disebut situasi dengan risiko tinggi. Sebagai contoh, situasi lingkungan yang cenderung membuat pasien diabetes melanggar aturan diet makanannya adalah pada saat liburan, adanya kegiatan pesta atau makan diluar rumah, pada saat sedang sendiri dan merasa bosan, ada permasalahan interpersonal, dan sebagainya. Sistem lingkungan yang mempengaruhi kepatuhan pasien misalnya sistem ekonomi, sistem politik, budaya, ekologi, geografi, dan sistem kesehatan. Adanya jenis makanan fast food dengan kandungan lemak, garam dan kalori yang tinggi, yang tersedia dengan mudah dan murah serta perubahan sistem tranportasi sehingga mengurangi aktifitas fisik, telah membuat tingginya kasus obesitas dan diabetes tipe 2 seperti yang terjadi sekarang ini (BPOM, 2006).
16
4. Kualitas hidup Kualitas hidup adalah keadaan yang dipersepsikan terhadap keadaan seseorang sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan dan niatnya (Depkes, 2007). Mengukur kualitas hidup (Quality of life) adalah cara untuk melakukan evaluasi dan memantau efek terapi yang penting bagi pasien. Hal yang biasa diukur, meliputi fungsi fisik, fungsi sosial dan hidup, kesehatan mental, serta persepsi kesehatan secara umum (Vogenberg, 2001). Alat yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup dalam bentuk kuisioner secara umum dibagi dalam dua kategori (Vogenberg, 2001), yaitu: 1. Generic Quality of Life Instrument Desain alat pengukuran ini digunakan untuk menilai kualitas hidup pada semua populasi tanpa melihat penyakit, terapi, ataupun demografi pasien. Jenis instrumen yang termasuk dalam kategori ini adalah Sickness Impact Profile, Medical Outcome Studi (MOS) Short form-36, dan Quality of Well – Being Scale. 2. Disease – Spesific Quality of Life Instrument Desain alat pengukuran ini digunakan untuk menilai kualitas hidup pada pasein dengan penyakit tertentu sehingga memberikan hasil yang terperinci berdasarkan luaran dari kondisi kesehatan atau penyakit tersebut. Kuisoner Diabetes Quality of Life (DQoL) adalah salah satu contoh instrumen yang termasuk dalam kategori ini.
17
5. Puskesmas Srandakan Puskesmas Srandakan berada di Jalan Raya Srandakan No. 96, Dusun Srandakan, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul.Wilayah kerja Puskesmas Srandakan meliputi Desa Trimurti terbagimenjadi 19 dusun dan Desa Poncosari terbagi menjadi 24 dusun. Luas wilayahnya 18,3 km2 yang sebagian besar merupakan tanah kering dan areal persawahan (Puskesmas Srandakan, 2015). Penyakit yang paling banyak diderita oleh warga Srandakan adalah diabetes melitus, hipertensi, dan infeksi saluran pernafasan akut. Menurut data Dinas Kesehatan Bantul tahun 2009 jumlah kunjungan pasien ke Puskesmas Srandakan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan pada tahun 2009 menempati posisi kedua sebagai puskesmas yang paling banyak dikunjungi di kabupaten Bantul setelah Puskesmas Kasihan I (Puskesmas Srandakan, 2015).
F. Landasan Teori Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanyadipengaruhi oleh kualitaspelayanan kesehatandan sikap serta keterampilan petugasnya, tetapidipengaruhi pula oleh perilaku pasien terhadappengobatan (Ramadona, 2011). Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan adalah dengan pemberian konseling dalam home care (Depkes RI, 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Suryani et al (2011) terjadi perubahan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat setelah pemberian konseling obat dalam home care.
18
Peningkatan skor kepatuhan pasien setelah pemberian konseling menunjukkan bahwa tujuan konseling dapat tercapai. Pada penelitian Ramadona (2011) dan Gustriwanto (2013) melaporkan hal yang sama, dimana terjadi peningkatan kepatuhan pasien DM dalam penggunaan obat setelah konseling. Konseling dapat meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki asumsi pasien yang salah terhadap pengobatan karena pasien diberikan informasi tentang obat yang mencakup nama obat, dosis, waktu penggunaan obat, dan cara penggunaan obat. Rantucci (2006) menyatakan bahwa konseling harus bertujuan untuk mendidik pasien sehinggga pengetahuan pasien terhadap penyakit serta pengobatannya akan meningkat dan mendorong pada perubahan perilaku pasien. Melalui konseling maka asumsi dan perilaku pasien yang salah dapat diperbaiki. Dengan demikian, pelaksanaan konseling dalam home care yang dilakukan secara kontinu mampu meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat. Konseling obat yang diberikan oleh apoteker dapat berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap pasien sehingga akan menimbulkan tindakan untuk patuh terhadap pengobatan. Salah satu hal yang dapat menunjukkan pengaruh positif konseling adalah adanya penurunan kadar glukosa darah puasa setelah konseling. Ramadona (2011), dalam penelitiannya menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus setelah diberi konseling. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2007), pemberian konseling oleh apoteker juga meningkatkan kualitas hidup pada pasien DM tipe 2 yang memperlihatkan adanya perbedaan signifikan pada domain kepuasan terapi yang diterima pasien, dampak dari diabetes melitus, dan kekhawatiran sosial
19
dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima konseling mengalami penurunan kualitas hidup.
G. Konsep Penelitian Pengaruh home care terhadap kepatuhan, glukosa darah, dan kualitas hidup dapat digambarkan seperti berikut. Kepatuhan Home care
Kadar glukosa darah Kualitas hidup
Gambar 1.Konsep Penelitian
H. Hipotesis 1. Home care meningkatkan kepatuhan pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul. 2. Home care menurunkan dan menormalkan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul. 3. Home care meningkatkan kualitas hidup pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan hiperlipidemia di Puskesmas Srandakan, Bantul.