BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya pengamanan. Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan bertujuan untuk mencegah penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu dan masyarakat dengan: a) melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi penyakit yang fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat penggunaan rokok, b) melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi penggunaan dan ketergantungan terhadap rokok, c) Meningkatkan kesadaran, kewaspadaan, kemampuan dan kegiatan masyarakat terhadap bahaya kesehatan terhadap penggunaan rokok (PP Nomor 19, 2003). Pada tahun 2030, WHO memperkirakan jumlah kematian akibat rokok lebih dari 8 juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Kematian akibat rokok sudah mendekati 6 juta orang per tahun, dan 80% kematian ini terjadi di negara-negara sedang berkembang (WHO, 2011). Jumlah perokok di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 34,7% dan ini merupakan urutan terbanyak ke 3 di dunia setelah Cina dan India, di atas Rusia dan Amerika Serikat. Indonesia saat ini berada di posisi puncak jumlah anak muda dan pelajar yang merokok dari 10 negara di Asia, yakni 81,4%. Jumlah perokok laki-laki di Indonesia yang berumur 15–19 tahun, pada tahun 1995 sebesar 14%, tahun 2001 mencapai 24%, dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 33%, sedangkan jumlah perokok perempuan di Indonesia yang berumur 15-19 tahun, pada tahun 1995 sebesar 0,3%, tahun 2001 sebanyak 0,4%, dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 1,9% (WHO, 2011). Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 dan 2010, persentase jumlah perokok secara nasional mengalami peningkatan sebesar 4,7%. Provinsi Maluku Utara mengalami peningkatan sebesar 10,5%, sedangkan jumlah perokok di Kota Ternate melebihi jumlah perokok secara nasional yang sebesar 4,7%. Persentase jumlah perokok secara nasional, Provinsi
1
2
Maluku Utara dan Kota Ternate, berdasarkan hasil Riskesdas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Persentase perokok nasional, Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate Tahun
Nasional
2007 29,2% 2010 33,9% Sumber : Riskesdas 2007, 2010
Maluku Utara
Ternate
30,2% 40,7%
33,9% Not Available
Kebiasaan merokok di Maluku Utara, khususnya Ternate, sangat tergantung pada perilaku kepala rumah tangga. Bila kepala rumah tangga merokok, maka cenderung anggota rumah tangga yang lain, termasuk anak, akan meniru kebiasaan orangtua atau kepala rumah tangga. Berdasarkan data hasil Survei yang terakhir yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Ternate Seksi Promosi Kesehatan pada tahun 2010, tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jumlah rumah tangga yang memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah ketika bersama dengan anggota rumah tangga lain sebesar 291 rumah tangga (82%), sedangkan jumlah rumah tangga yang tidak merokok sebanyak 64 rumah tangga (18%) (Dinkes Kota Ternate, 2010). Hasil studi Milton, et al. (2004) yang dilakukan di sekolah di Liverpool menyatakan bahwa
anak-anak pada awalnya mencoba merokok disebabkan
karena pengaruh sosial. Anak mencoba merokok karena tinggal di lingkungan keluarga perokok, yakni ibu, ayah, saudara laki–laki yang merokok. Kebiasaan merokok juga dipengaruhi oleh pekerjaan atau tingkat sosial dan ekonomi keluarga. Anak yang tinggal dengan keluarga berpendapatan rendah yang hidup di daerah kumuh memiliki kecenderungan untuk mencoba merokok. Lingkungan sekolah merupakan tempat untuk pembelajaran baik sikap maupun perilaku murid. Studi Poulsen, et al. (2002) bahwa anak sekolah mencoba merokok karena terpapar oleh perilaku guru yang merokok di lingkungan sekolah. Perilaku guru merokok dilakukan setiap hari, baik di dalam gedung (ruangan guru) maupun di luar gedung (taman) depan siswa. Perilaku ini mempengaruhi keyakinan dan sikap siswa untuk mencoba merokok, siswa menganggap bahwa
3
perilaku guru merokok depan siswa merupakan bentuk dukungan dari guru bila siswa mencoba merokok. Sekolah menempati kedudukan strategis dalam upaya promosi kesehatan karena: a) Sebagian besar anak-anak usia 5-19 tahun berada di lembaga pendidikan dalam jangka waktu yang cukup lama, b) Sekolah mendukung pertumbuhan dan perkembangan alamiah anak karena sekolah merupakan tempat untuk memperoleh berbagai pengetahuan, termasuk kesehatan, sebagai bekal kehidupan kelak. Promosi kesehatan di sekolah membantu meningkatkan kesehatan siswa, guru dan karyawan, orangtua serta masyarakat sekitar lingkungan sekolah, sehingga proses belajar mengajar berlangsung produktif (Kemenkes RI, 2008). Jumlah sekolah dasar atau sederajat di Kota Ternate sebanyak 114 sekolah. Jumlah sekolah yang gurunya merokok di lingkungan sekolah sebesar 83% (Dinkes Kota Ternate, 2011). Hasil pengamatan terdahulu yang dilakukan pada bulan Januari 2012 menunjukkan perilaku guru yang merokok di lingkungan sekolah hampir ditemui di semua sekolah dasar yang ada di Kota Ternate, bahkan ada guru yang merokok pada saat mengajar di kelas. Meskipun di kantin sekolah tidak tersedia rokok, tetapi rokok juga dapat dibeli warung-warung dekat sekolah. Guru juga biasanya membawa rokok dari rumah dan kadang-kadang yang disuruh membeli rokok adalah murid sekolah. Perilaku demikian secara tidak langsung mengajarkan murid untuk merokok. Perilaku guru merokok di lingkungan sekolah karena belum adanya peraturan mengenai hal tersebut. Untuk mencegah perilaku merokok anak secara dini, maka perlu adanya upaya pencegahan di sekolah. Studi Dobbins, et al. (2007) mengatakan bahwa efektivitas upaya pencegahan penggunaan tembakau pada anak, yaitu menerapkan aturan tentang larangan merokok di sekolah. Aturan tentang larangan merokok di sekolah juga dapat menurunkan perilaku merokok guru di sekolah, karena guru bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan aturan larangan merokok di sekolah. Penerapan aturan larangan merokok di sekolah membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak dan strategi yang baik dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
4
Keberhasilan suatu suatu program dalam pendidikan dan promosi kesehatan sangat tergantung pada perencanaan dan identifikasi kebutuhan (needs assessment), baik kebutuhan individu, kelompok maupun sistem yang menjadi fokus dari suatu program. Mengidentifikasi kebutuhan merupakan tahap awal dalam pelaksanaan program promosi kesehatan. Mengidentifikasi kebutuhan penting karena merupakan dasar dalam menyusun kegiatan yang efektif, sehingga dapat dipastikan bahwa dasar program dapat dicapai secara maksimal sesuai dengan tujuan atau standar yang telah ditentukan. Mengidentifikasi kebutuhan juga dapat memberikan informasi untuk mengevaluasi efektivitas suatu program (Dignan & Carr, 1992). Bartholomew, et al. (2006) berpendapat bahwa dalam mengidentifikasi kebutuhan harus mencakup pendapat dari tokoh, dalam hal ini guru sekolah dasar, sebagai panutan oleh murid atau mereka yang memiliki kepentingan dalam masalah dan solusinya, serta menjelaskan fakta-fakta dari masalah dan penyebabnya. Partisipasi guru dalam pengembangan program promosi kesehatan merupakan hal yang sangat penting, dan mereka perlu tahu bahwa mereka memiliki hak dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan keberhasilan program untuk kesehatan mereka sendiri (WHO, 1978, cit. Bartholomew, et al., 2006). Hasil studi Murnaghan, et al. (2007), bahwa perilaku merokok remaja di pengaruhi oleh 3 faktor: 1) faktor intrapersonal meliputi seperti ciri kepribadian atau harga diri, 2) faktor sosio-lingkungan seperti teman-teman atau anggota keluarga yang merokok, 3) kontekstual seperti lingkungan, dalam hal ini lingkungan sekolah. perilaku merokok guru di lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi murid mencoba merokok. Susanto (2008) melaporkan bahwa masih banyak guru dan staf adminstrasi merokok di sekolah. Larangan merokok hanya berlaku untuk murid, sementara guru masih leluasa merokok di lingkungan sekolah. Semua sekolah di Kabupaten Lampung Tengah belum memiliki aturan larangan merokok di sekolah yang tertulis dan dijalankan secara sungguh–sungguh. Perilaku guru merokok tidak konsisten dengan sikap guru terhadap penerapan dan pengembangan KTR di
5
sekolah. Hasil penelitian menemukan bahwa, guru memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang bahaya rokok, guru membenci perilaku merokok murid, guru berpendapat bahwa guru seharusnya tidak merokok di lingkungan sekolah, guru merasa bahwa keterlibatan guru hanya sebatas di sekolah, dan tidak mempunyai wewenang menegur murid ketika sudah berada di rumah. Guru berpendapat bahwa keterlibatan guru dalam penerapan KTR sulit berhasil, karena belum ada aturan larangan merokok di sekolah secara tertulis, serta masih banyak guru yang merokok dan bebas merokok di lingkungan sekolah. Pencegahan perilaku merokok di sekolah belum diprogramkan secara serius, tidak semua guru mau melakukan/peduli dan belum ada kerja sama dengan lingkungan sekitar termasuk warung di sekitar sekolah. Studi yang dilakukan Yudho, et al. (2010) mendapatkan hasil bahwa semua unsur mendukung penerapan KTR di sekolah dengan bertahap seperti dengan melakukan sosialisasi sebagai langkah awal, dilanjutkan dengan penerapan KTR kemudian pemberian sanksi. Namun, ada kendala-kendala yang harus dipikirkan jalan keluarnya agar penerapan KTR di sekolah dapat berjalan baik dan ditaati oleh semua unsur, misalnya perlu adanya pengawasan terhadap KTR dan diberlakukannya sanksi bagi semua unsur yang melanggar. Pelaksanaan KTR di sekolah belum diterapkan, khususnya di sekolah dasar yang ada di Kota Ternate. Hal ini terbukti dari masih banyak guru atau tenaga pengajar yang merokok di lingkungan sekolah dasar, dan belum adanya dukungan berupa peraturan atau himbauan larangan guru merokok di sekolah dasar, selain tentang tata tertib sekolah yang melarang siswa untuk merokok di lingkungan sekolah. Hal ini tidak sesuai dengan Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 4/U/1997 tentang lingkungan sekolah bebas rokok dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/PB/I/2011, Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan KTR. Undang–undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, khususnya pasal 115 menjelaskan tempat belajar merupakan kawasan tanpa rokok.
6
Pengembangan KTR di tempat belajar atau di sekolah sangat tergantung dari dukungan berbagai pihak, termasuk partisipasi guru, karena guru merupakan pihak yang sangat berperan dalam menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif. Peranan guru dalam pendidikan merupakan orang yang dianggap penting, berpengaruh dalam perilaku anak, diharapkan persetujuannya, dan orang yang tidak ingin dikecewakan oleh muridnya. Studi Kiyohara, et al. (2012) mengatakan bahwa guru harusnya tidak merokok di lingkungan sekolah karena guru mempunyai pendidikan dan pengetahuan tinggi tentang bahaya rokok dan guru harus berperilaku sebagai teladan bagi murid. Guru sebagai orang yang dianggap penting banyak mempengaruhi pembentukan sikap murid terhadap sesuatu (Azwar, 2005). Status sebagai guru dapat dipandang sebagai yang tinggi atau rendah, tergantung tempat ia berada. Peranan guru yang berkedudukan sebagai pendidik seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai dengan harapan masyarakat, dan guru diharapkan berperan sebagai teladan dan rujukan dalam masyarakat dan khususnya anak didik yang dia ajar. Guru tidak hanya memiliki satu peran saja, ia bisa berperan sebagai orang dewasa, sebagai seorang pengajar dan sebagai seorang pendidik, sebagai pemberi contoh dan sebagainya. Dalam menciptakan lingkungan sekolah yang sehat, guru mendukung dan berpartisipasi dalam menerapkan KTR di sekolah. Dukungan dan partisipasi guru tersebut terkait dengan persepsi mereka terhadap ancaman dari bahaya asap rokok terhadap kesehatan, dan persepsi tentang manfaat yang diperoleh dalam menerapkan KTR di sekolah. Menurut (Becker, 1977: cit. Albery, 2011) bahwa orang melakukan tindakan pencegahan karena berpersepsi bahwa mereka terancam dan merasa rentan terhadap bahaya yang ditimbulkan asap rokok. Selain itu, mereka juga berpersepsi bahwa tindakan pencegahan dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi mereka. Dalam hal ini tindakan pencegahan terhadap bahaya rokok dengan cara mendukung dan berpartisipasi dalam penerapan KTR di sekolah. Kebijakan mengenai penetapan kawasan tanpa rokok di tempat belajar mengajar, membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, terutama peranan guru. Guru sebagai tenaga pendidik perlu dibekali materi tentang kesehatan dan faktor-
7
faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan. Sikap dan perilaku guru merupakan panutan dalam membentuk sikap dan perilaku murid. Oleh karena itu peranan guru, khususnya guru sekolah dasar sangat penting karena usia sekolah dasar merupakan awal pembentukan sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku anak sejak usia dini cenderung meniru tokoh yang dilihatnya, termasuk guru yang setiap harinya berinteraksi dengan mereka (Siswanto, 2010). Keberhasilan program penerapan dan pengembangan KTR di sekolah secara komprehensif tidak terlepas dari sikap guru dalam mendukung dan berperan aktif pada program tersebut. Pada saat ini, penerapan KTR di sekolah belum terlaksana karena masih ada guru yang merokok di lingkungan sekolah (Dinkes Kota Ternate, 2011), oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai bentuk partisipasi guru dalam pengenalan masalah dan penentuan prioritas masalah, penentuan cara pemecahan masalah atau tahap perencanaan, dalam menerapkan KTR di sekolah, sehingga diharapkan penelitian ini memberikan masukan mengenai strategi yang akan digunakan dalam penerapan KTR di sekolah. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis ingin mengetahui partisipasi guru sekolah dasar dalam penerapan KTR di sekolah. B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana partisipasi guru sekolah dasar dalam penerapan KTR di sekolah? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Mengetahui partisipasi guru sekolah dasar dalam penerapan KTR di sekolah.
2.
Tujuan khusus a. Mengetahui partisipasi guru sekolah dasar dalam pengenalan masalah dan penentuan prioritas masalah terhadap penerapan KTR di sekolah. b. Mengetahui partisipasi guru sekolah dasar dalam penentuan cara pemecahan masalah atau tahap perencanaan terhadap penerapan KTR di sekolah.
8
c. Mengetahui persepsi guru sekolah dasar terhadap ancaman dari bahaya rokok. d. Mengetahui persepsi guru sekolah dasar terhadap hasil yang diharapkan dalam penerapan KTR. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi: 1. Institusi a. Dapat memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Ternate dalam menyusun program kerja, khususnya yang terkait dengan program promkes mengenai penerapan KTR. b. Dapat memberikan masukan kepada Dinas Pendidikan Nasional beserta seluruh jajarannya agar lebih menegaskan aturan yang telah ada bahwa institusi sekolah merupakan KTR. c. Pemerintah daerah, khususnya Kota Ternate, dalam membuat regulasi tentang KTR. 2. Peneliti Sebagai proses pembelajaran dan dapat dijadikan rujukan bagi peneliti selanjutnya. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini mendeskripsikan partisipasi guru sekolah dasar di Kota Ternate dalam penerapan KTR di sekolah. Penulis menemukan beberapa penulisan tesis penelitian sebelumnya yang hampir sama, namun memiliki perbedaan yang sangat signifikan, di antaranya: 1. Susanto (2008), meneliti perilaku guru dalam upaya pencegahan perilaku merokok pada remaja di Kabupaten Lampung Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap mendukung guru dalam upaya mencegah perilaku merokok pada anak sekolah sangat baik dan mendukung pengembangan KTR di sekolah. Sikap ini tidak disertai dengan perilaku guru yang masih merokok di sekolah, juga tidak adanya dukungan kebijakan mengenai penetapan dan pengembangan KTR di sekolah. Persamaan dengan penelitian ini adalah objek penelitian, yaitu masalah rokok dan subjek penelitian, yaitu guru dan murid.
9
Perbedaan penelitian pada rancangan, yakni menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, lokasi penelitian, dan tujuan penelitian. 2. Arno (2009), meneliti perilaku merokok petugas kesehatan pasca penerapan kawasan tanpa rokok di Dinas Kesehatan Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat dengan hasil penelitian bahwa tidak adanya hubungan antara pengetahuan dan perilaku merokok petugas kesehatan, namun terdapat hubungan antara sikap dan persepsi dengan perilaku merokok petugas kesehatan, pasca penerapan kawasan tanpa rokok di Dinas Kesehatan Kabupaten Agam.
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah
penerapan kawasan tanpa rokok. Perbedaannya pada subjek penelitian, yaitu petugas kesehatan, rancangan penelitian menggunakan kuantitatif dan kualitatif. 3. Sutopo (2009), meneliti sikap karyawan terhadap kawasan bebas rokok di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Bandar Lampung dengan hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan dan jenis kelamin karyawan dengan sikap terhadap area bebas asap rokok d Poltekes Tanjung Karang Bandar Lampung. Jumlah guru yang bersikap mendukung penerapan area bebas rokok sebanding dengan jumlah guru yang tidak mendukung penerapan area bebas rokok. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah objek penelitian, yaitu masalah kawasan bebas rokok. Perbedaannya pada rancangan penelitian menggunakan kuantitatif dan kualitatif, tempat penelitian di Poltekes Tanjung Karang Bandar Lampung dan subjek penelitian seluruh karyawan di lingkungan Poltekes Tanjung Karang. 4. Mardhiah (2011), meneliti dukungan stakeholder terhadap KTR di lingkungan kampus terpadu Politeknik Kesehatan Kemenkes Nanggroe Aceh Darussalam dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dukungan dari stakeholder dalam penerapan kebijakan KTR di kampus. Keterlibatan stakeholder dalam penerapan suatu kebijakan sangat dibutuhkan. Kebijakan yang telah dibuat perlu disosialisasikan agar semua pihak mengetahui akan hal tersebut. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah pada objek penelitian, yaitu masalah kebijakan KTR, rancangan penelitian kualitatif dengan
10
pendekatan studi kasus. Perbedaannya pada subjek penelitian, yakni dosen, staf dan mahasiswa Poltekes Kemenkes Nanggroe Aceh Darussalam dan tempat penelitian Politeknik Kesehatan Kemenkes Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Mohamad (2011), meneliti peningkatan pengetahuan dan sikap terhadap bahaya rokok bagi kesehatan melalui poster dengan partisipasi siswa di Kabupaten Gorontalo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan dengan melibatkan partisipasi siswa dalam pembuatan poster bahaya rokok dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang bahaya rokok bagi kesehatan dibandingkan dengan poster tempel dan kelompok pendidikan kesehatan. Persamaan dengan penelitian ini adalah tingkat partisipasi. Perbedaan penelitian pada rancangan, yakni menggunakan rancangan kuantitatif, lokasi penelitian, dan tujuan penelitian.